Kamis, 31 Desember 2009

KEPONGAHAN STRUKTURAL!!!!

Kemarin Rifka Annisa Yogyakarta menyelenggarakan sarasehan tentang pengintegrasian UUPKDRT dalam sistem Peradilan Agama. Saya dan salah seorang hakim tinggi PTA Yogya menjadi pembicara. Kami menjadi pembicara karena menjadi tim perumus dari rangkaian semiloka, dan sarasehan ini untuk mensosialisasikan hasil-hasil itu dan tentunya diharapkan ada sumbang saran dari peserta sarasehan yang terdiri dari hakim, BP4 , KUA serta beberapa LSM yang menangani masalah keluarga.

Saya mencoba memaparkan hasil-hasil semiloka, yang targetnya akan menjadi rekomendasi ke stake holder.Sehingga kedepannya diharapkan kasus KDRT akan menurun, tidak seperti sekarang walaupun UU telah ada tapi kasus KDRT dari tahun ke tahun menunjukkkan trend yang meningkat.

Beberapa peserta memberikan umpan balik yang positif. Artinya ada beberapa hal yang selama ini luput dari pemikiran tim, yang rasanya memang layak untuk diakomodir. Misalnya "hukuman" yang diberikan bukan hanya ganti rugi, tetapi "ta'jir" yang berefek membuat jera. Atau juga ada yang kurang sepakat bahwa UUPKDRT sebagai pemicu perceraian sebagaimana hasil FGD.

Sebagai pemateri, hal itu saya terima sebagai kewajaran, bahwa pro dan kontra adalah hal yang wajar. Dan tentunya semua itu akan menjadi catatan yang akan saya sampaikan dalam diskusi dengan tim perumus.

Sayangnyadi penghujung diskusi, ada tanggapan dari seorang "hakim senior" yang disampaikan dengan bahasa yang kurang santun dan sikap yang layak dicemooh. Kesan yang muncul adalah kepongahan dan kesombongan serta keangkuhan.

Alih-alih mendapat simpati, tetapi justru mendapat cibiran. Karena dia menganggap bahwa yang saya sampaikan di luar etika hakim. Bahwa seharusnya ini disampaikan dalam forum hakim saja. Padahal yang saya sampaikan adalah fakta, bahwa masih banyak hakim yang belum mengetahui UUPKDRT, sehingga tim memasukkan ini sebagai rekomendasi untuk memaksimalkan sosialisasi UUPKDRT pada hakim. Dan ini semua hasil dari semiloka dan UUPKDRT. Dan sarasehan ini betul-betul forum ilmiah dan sangat diharapkan imbal balik. Jika sang hakim senior ini menganggap bahwa ini tidak benar, seharusnya dia mengajukan dalih sebaliknya, bahwa sudah banyak hakim yang tahu tentang UUPKDRT dengan bukti bla...bla...bla...

Dan jika ini bukan forum untuk itu, apa alasannya??? Ini forum ilmiah, bukan forum di pinggir jalan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Hasil semiloka, dan prosesing semiloka mencatat apa yang saya sampaikan.

Ternyata kemarahan belum mereda, selesai sarasehan sang hakim senior yang sangat terhormat menghampiri saya yang lagi berdiskusi dengan teman LSM Mitra keluarga. Sang hakim yang mulia masih menguntap, dan ini membuat saya terkejut. KETIDAKPANTASAN DAN KETIDAKSOPANAN telah dilakukan oleh seorang hakim senior terhadap hakim junior!!!!

Pada posisi sarasehan, hubungan kita bukan antara senior dan junior. Tak pantas apa yang anda lakukan itu pada saya. Okelah saya sebagai hakim junior, tapi ini bukan sarana pembinaan. Ada forum lain yang bisa anda gunakan untuk membina saya, bukan disini tempatnya bung!!! itu yang ada dalam hati saya.
Saat itu saya hanya menjawab bahwa apa yang saya sampaikan adalah hasil dari semiloka dan FGD, bukan hasil rekayasa saya. Dan ini forum ilmiah, buka forum eblek-eblek untuk menyampaikan gagasan.

Sepeninggal hakim senior tadi, peserta yang tersisa nyaris mencemooh perilaku yang tak semestinya. Ada yang komentar, waah....dari pagi saat pendaftaran peserta sudah error, sombong. Ada yang komentar juga bahwa ini kan diskusi, apa hakim senior tadi tidak mengetahui tatakrama diskusi. Belum lagi dari hakim sendiri yang mengatakan bahwa hakim senior ini tidak tahu diri, dikiranya ini forum pembinaan sehingga bersikap demikian. Walaupun dalam hati saya walaupun pembinaan tak selayaknya sikap demikian itu dimunculkan. Dan masih banyak lagi komentar-komentar lainnya, yang terus terang memuat saya malu mempunyai hakim senior yang demikian.

Untuk meredam rasa amarah saya (saya juga boleh marah kan???) saya kemudian mengingat kembali ketika kami sama-sama mengikuti pelatihan mediator. Dimana ada beberapa teman hakim yang bertanya pada tuada udilag tentang mediasi, yang kebetulan pendapat tuada udilag berbeda dengan pemateri yang kebetulan dari peradilan umum. Bagi hakim senior kita ini, pertanyaan tersebut tak semestinya ditanyakan karena seakan-akan mengangkat derajat pemateri dan menjatuhkan tuada udilag.

Saya yang mendengar "grendengan"hakim senior hanya berkata dalam hati. "Lho.... apa yang salah dari penanya. Dia bertanya karena dia belum faham, Dia ingin tak ada dualisme dalam penyelesaian masalah, satu versi tuada udilag, yang satu versi pemateri". Ohya yang jadi persoalan waktu itu adalah, tuada udilag menyatakan bahwa walaupun verstek dan ghoib, tetap wajib mediasi. Sementara pemateri menyatakan bahwa mediasi hanya bisa dilaksanakan jika pihak-pihak hadir dalam persidangan.


Dari kasus di atas, saya hanya menganggap bahwa rasa pembelaan korps dari hakim senior ini sangat berlebihan. Tidak mengetahui bahwa tak semestinya loyalitas kekorp"an" ini berlaku dalam tiap lini. Sampai dalam diskusi terbataspun muncul. Dalam forum ilmiah dan terbatas, tak ada ketabuan-ketabuan, yang ada fakta dan solusi.

Belum sampai disitu kemarahan senior saya, di wall face book saya juga masih muncul dan saya juga menjawab apa adanya. Tapi rasanya say juga boleh marah dong.... (hehehe...) maka saya pun membuat status yang menggambarkan kemarahan saya. Kemudian beberapa teman muncul memberi komentar, ada yang pro dan kontra. Tapi yang banyak sih mencemooh sikap arogansi itu.

Di sisi lain, hakim senior tadi membuat status di wall, yang kurang lebih isinya kontra dengan apa yang saya sampaikan. Eeeee............ sayangnya tak ada yang komentari selain hakim senior lain yang mengikuti sarasehan itu. Inilah hidup jika dalam kepongahan struktural.

Aaah....untuk menghargai teman-teman yang berkomentar, saya ingin memasukkan dalam ocehan ini sebagai kenangan. Dan sebagai hakim junior, kemarahan saya hanya bisa seperti ini. Semoga hakim senior-hakim senior lain bisa menyelami perasaan hakim junior sehingga kepongahan dan kesombongan struktural tak terjadi lagi.

Ini beberapa "dialog" dan komentar dari teman-teman

Lily Ahmad Hari gene masih ada hakim yang tak berkenan untuk dikritik, namanya apa ya???? Hakim orba?? hakim jadul?? hakim jaim??? atau hakim apa????

Kemarin jam 20:30 · ·
Fitri Hasan
Fitri Hasan
ada yg kurang bu...hakim galak suka marahin terdakwa, pengacara, ato orang lain dimuka persidangan.... haha gmn tuhh menurut ibu... Bagusnya masuk dijaman apa dy...
Kemarin jam 20:38 ·
Fachruddin Rifai Sh MHum
Fachruddin Rifai Sh MHum
kalo ngritiknya didepan umum dan membuat malu pribadinya, siapapun juga pasti nggak mau dibuat malu toh...
Kemarin jam 20:43 ·
Prabawani Nurhadi
Prabawani Nurhadi
Hakim ketinggalan jaman kui nyah...ini aku otw pulang jkt...alhamdulillah td sdh ktm Esty dirmh duka
Kemarin jam 20:44 ·
Diah Rofika
Diah Rofika
Hakim yang gak mau ada saingannya mbak, hakim yanga gak siap untuk dihakimi. Nah biasanya yang begini ini bisa menghalalkan segala cara agar luput dari vonis hakim. Harusnya sudah mulai dibiasakan hakim makan hakim, (jeruk makan jeruk he...he....) kritik itukan bagian dari pembelajaran, kalau ada orang mengkritik cara kerja hakim berarti dia mesti introspeksi diri, sudah benarkan dia menjalankan fungsinya sebagai hakim?
Kemarin jam 21:04 ·
Cecep Suhaeli
Cecep Suhaeli
Ya Hakim yang tidak hakiim he he he.... wah bahaya kalau masih ada hakim seperti itu. apa kata dunia??
Kemarin jam 21:15 ·
Lily Ahmad
Lily Ahmad
@Fitri: hahaha...... berarti sesama hakim gak boleh saling galak ya???
@Bang Fakhruddin: Ini bukan kritik terhadap pribadi seseorang. Sebenarnya ini hasil FGD dari hakim dan beberapa LSM di Jkt, yang saya sampaikan dengan teman-teman hakim di Yk. Pisssss deh!!! wkwkwkwkw...
@Anon: Hehehe...... istilah baru ya???? Wahhhh cerita di fb angkatan dong pertemuanmu dengan Esthy, pasti banyak teman yang menantinya.
Kemarin jam 21:40 ·
Lily Ahmad
Lily Ahmad
@Diah: Heeeeemmmmmmm..... aku hanya tarik nafas membaca komentarmu.
@Kang Cecep: Hehe...kayak iklan aja. Doakan aku tidak seperti itu ya kang..... Apalagi doa orang baru pulang haji, konon makbul. Amieeennnnnnn
Kemarin jam 21:43 ·
Retno Oshin Dhamayanti
Retno Oshin Dhamayanti
Wah, emang skrg tuh banyak hakim yg mau benernya sendiri say..., gak doyan kritik, merasa dirinya yg paling bener dan paling hebat.. Mrk gak sadar kalau dg sikap mrk itu sama aj membohongi hati mrk sendiri. Celakalah bagi hakim yg bersikap spt itu...
Kemarin jam 21:46 ·
Cheeputh JaKal
Cheeputh JaKal
kalee bliau2 ini mrasa drnya MALAIKAT (pencabut nyawa) ya lik??yg ga pny slh...hehe..klo malaikat arogan gpp kan lik?? gni hari??? msi ada hakim yg brpikiran kolot n feodal??? kacian INDONESIAkuuuuuuuuuuuuu..hik..hik..hik...
(kpn indonesia jd pinter??org2nya aja sok keminter??)
Kemarin jam 22:00 ·
Abu Maula
Abu Maula
waktu kuliah dulu kita kenal ada dosen killer dan tidak. biasanya, dosen killer itu yang sudah berumur, merasa paling tahu dan paling benar, sehingga tidak terima kalau disanggah apalagi dikritik. jangan jangan hakim yang tidak mau dikritik itu hakim yang sudah berumur (atau kalau tidak, merasa tua dan ingin dituakan hehehe...). dia gak nyadar kali... Lihat Selengkapnya ya kalau manusia (TIDAK TERKEDCUALI HAKIM) itu LEMAH dan BODOH... karena itu KRITIK (sebagai ejawantah dari wa tawashau bi al-haqq wa tawashau bi al-shabr) itu diperlukan. S A D A R L A H ....
Kemarin jam 22:18 ·
Diah Sulastri Dewi
Diah Sulastri Dewi
ssssttttt jangan marah 2 bu...... mediator handal hrs tersenyum selalu.....^_^
Kemarin jam 22:24 ·
Mantep Miharso
Mantep Miharso
menurut teori politik, kata teman saya : dalam suatu kekuasaan, Orang yang sudah berkuasa itu biasanya semakin kepengin lebih berkuasa. Teori ini kelihatanya benar deh... kalau gak salah tu... dalam sejarahnya si raja Fi'aun kan dah jadi raja ya..... eh... pengin jadi tuhan. Akhirnya si laknatulloh fir'aun itu gimana ?????
Ketika aku mencoba ... Lihat Selengkapnyajabatanku untuk latihan berkuasa, malah aku sendiri yang rugi. Masyarakat malah gak hormat padaku. beneeer nich pengalamanku begitu...
Sabaaar ya diajeng...... Semoga Alloh membukakan hidayah kepada kita semua.
Kemarin jam 22:33 ·
Yuniyanti Chuzaifah
Yuniyanti Chuzaifah
Post colonial syndrome. Tradisi elitisme hakim, dokter, jaksa,tentara dll, adalah warisan kolonial untuk menjaga kekuasaan dan memagar batas strata. Jaman sudah berubah, masyarakat terdidik melihat semua itu hanya ragam profesi bukan tingkatan profesi. Jd begitu dikritik seakan Singgasananya runtuh.
Kemarin jam 22:51 ·
Bang Ohiem
Bang Ohiem
ada 4 macam manusia dalam kamus saya.
1.orang yang tahu kalau dirinya tidak tahu
2.orang yang tahu kalau dirinya tahu
3.orang yang tidak tahu kalau dirinya tahu
4.orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu
Hari ini jam 0:45 ·
Imas Aisah
Imas Aisah
ly,untuk menjadi lebih bijaksana seorang pemimpin hrs mau mendengarkan kritik sepedas apapun!
tak peduli apapun profesinya.ok say..
Hari ini jam 2:39 ·
Zen M. Fauzie
Zen M. Fauzie
Saya langsung to point aja deh, kalo di era reformasi masih ada oknum hakim yg alergi terhadap kritikan.....itu namanya HAKIM SAMBER GLEDEK. Itu jenis hakim bermental kerdill yang suka mencederai keadilan di baik kebesaran jubahnya. Kelaut aja deh lo.... !
Hari ini jam 7:05 ·
Gunung Sri Hartono
Gunung Sri Hartono
Lebih parah lagi kalau terjadi komplikasi antara jabatan, besar kepala dan merasa dirinya selalu benar. Otokritik itu memang gampang diucapkan semua orang tapi hanya orang-orang yang berjiwa besar (dan nggak sakit jiwa) yang bisa mengambil hikmahnya..
Hari ini jam 8:18 ·
Lily Ahmad
Lily Ahmad
@Oshin: Hiiiii....mengerikan say. Moga-moga kita tidak seperti itu ya say....
@Oni:Aku juga ikut menangis sedih karena sampe detik ini masih banyak yang seperti itu.
@kak Abu: yuuuk....kita sama-sama menyadarkan hakim-hakim yang seperti itu.
Hari ini jam 14:23 ·
Lily Ahmad
Lily Ahmad
Bu Dewi: senyum selalu mengembang, walau senyum sinis karena hare gene arogansi struktural masih menempel di kalangan kita. Naudzubillah.....
Hari ini jam 14:24 ·
Lily Ahmad
Lily Ahmad
@kang Mantep: hahahah....jadi hakim-hakim seperti ini senilai dengan Fir'au??? ampyyyuuuuun deh. wkwkwkwkw....pisss... kami gak membutuhkan firaun-firaun baru di muka bumi ini.
@Yuni: Betul say..... Aku mencoba merobah paradigma itu. Bahwa hakim tak mesti berwajah dingin, dengan kepala yang tak menunduk jika bertemu orang. Bahwa kewibawaan dan kesucian hakim ada dalam putusan yang dihasilkan, bukan di interaksi personal, apalagi interaksi struktural. Tks pencerahanmu say...
Hari ini jam 14:28 ·
Lily Ahmad
Lily Ahmad
@Bang Ohiem: Lalu yang ini masuk yang mana ya????
@Imas: Susyaaah say.... paradigma anti kritik masih merajalela. Yuuuuk kita berangus. hehehehe..
@Bang Zein: hahahaha.... susahnya kalau hakim sambar gledek, jika musim panas, gak ada gledek yang nyambar. wkwkwkwkw........
@mas Hanno: betuuuuuullllllllllllllllllllllllllllllll.
Hari ini jam 14:32 ·
Sholeh Gisymar
Sholeh Gisymar
Saat ini aku sdg mengedit bk peradilan sesat, ternyata bgt banyak kasus org tdk salah hrs dihukum. Dmn nurani pengadil? Hakim itu minutes biasa, bisa salah dan lupa, jd ga perlu merasa benar sndr. Kalo sll merasa benar, dia kehilangan sikap bijaknya, jk sdh tdk bijak bkn hakim namanya
Hari ini jam 18:37 ·
Mantep Miharso
Mantep Miharso
emang di dalam bahasa arab ada haakim ( panjang ha-nya) dan ada hakiiim ( panjang ki-nya) artinye pasti beda.
10 jam yang lalu ·
Noor Mahfudz
Noor Mahfudz
Hukum itu tegas tp lentur dan fleksìbel. Hakim yg kepala batu akan mengkoyak aturan2 hukum. Semoga dibukakan summun,bukmunnya sehingga mereka bìsa yarji`uun.
sekitar sejam yang lalu ·

Antonius Hartono >>Hakim sebuah asma ALLAH....lalu di INDONESIA predikat itu pun dipakai utk tempat mencari keadilan, namun sayang banyak para hakim lupa makna dan lupa hakekat utk apa dia menyandang gelar itu....sdh menjadi rahasia umum jika hakim tempat mempermainkan hukum (tempat salah) walau tidak semuanya demikian, masih ada hakim...2 yg benar, maka di Indonesia ada Hakim Tinggi dan Hakim Agung utk mengoreksi sesuatu yg salah, sekalipun di tangan MA saja pututusan terkadang masih tidak sesuai rasa keadilan, maka diperlukan saling memperbaiki lewat kritik dan saran, kalau hakim tidak mau dikoreksi, suruh saja jadi DIKTATOR....(yg sdh pasti kebenarannya subyektif)

Lihat SelengkapnyaHari ini jam 8:44 · · · Lihat Antar-Dinding
Lily Ahmad
Lily Ahmad
Betul-betul kata yang mencerahkan. Tks kakanda... Doakan saya dalam menjalankan tugas.
Hari ini jam 14:52 ·
Kurdianto Sh
Kurdianto Sh
yang tidak mau dikritik itu berarti tidak punya nurani, ketika seseorang apapun stratanya, apaun prfesinya tidak mau dikritik sebetulnya dia telah kehilang hakekat kemanusiaanya. ha ha ha sok filsuf
9 jam yang lalu ·

Andi Rais Bener Ly..sdh bukan jamannya lagi hakim anti kritik,namanya jg manusia..tdk lepas dari salah dan khilaf "erare humanum est" manusia bukan saja tdk lepas dari salah dan khilaf,justru sumber kedua hal tsb,20 tahun sy berpraktek sbg advokat..kalau sy temui hakim arogan,sy lawan dg argumen yg konstruktif,elegan dan tdk seg...an" sy gebrak meja,karena sejak kecil sy diajarkan kalau salah wajib minta maaf,namun kalau benar"harus dilawan" itu sy ingat" terus,bukankah junjungan kita Rasulullah jg mengatakan "katakan" sekalipun itu pahit demi Kebenaran.kemarin sy sampaikan pd mas Busyro Muqoddas dikampus Ly..bahwa ada beberapa hakim (oknum) berperilaku tdk terpuji...namun sebaliknya scra Fair..sy juga sampaikan ada juga hakim berperilaku terpuji. Sekarang ini sdh era yg lain, jadi kalau ada hakim anti dikririt..amat sangat disayangkan...sudah kuno..sdh enggak jaman..he...he...

Lihat SelengkapnyaKemarin jam 23:53 · · · Lihat Antar-Dinding
Muna Agusta
Muna Agusta
Betul mbk Lily karena Hakim jg manusia biasa bukan malaikat, seharusnya kalau ada yg mau mengkritik itu malah bagus, krn bs interopeksi untuk lbh meningkatkan kinerja spy lbh baik lagi. Sdh tdk jamannya lg org tdk mau dikritik,
Hari ini jam 10:19 ·

Aroma Elmina Martha Tanya ya Bu hakim,kode etik hakim sekarang yang digunakan oleh majelis kehormatan hakim yang diikuti versi mana ya,bikinan KY,atau dari IKAHI atau dari MA atau darimana?setahuku kalau parameter akademisi apa saja dan siapa saja boleh dikritik,entah kalau ada hakim yang menggunakan versi kode etik sendiri,hehehe

Hari ini jam 6:30 · · · Lihat Antar-Dinding
Lily Ahmad
Lily Ahmad
Hahahahaha.... Ini masalahnya. Ternyata dalam diskusi ilmiah, bahkan untuk mencari solusi pemecahanpun kok lupa melepas kesombongan. hehehehehehe..
Hari ini jam 14:35 ·
Cheeputh JaKal
Cheeputh JaKal
kesombongan utk sebgian org digunakan sbg "jubah kebesaran"..yg aku kuatirkan jgn2 ni org sdh kna reye sindrom kronis..
5 jam yang lalu ·

Sabtu, 05 Desember 2009

Menumbuhkan sensiifitas anti korupsi.




Tanpa disengaja, mingu lalu saat bersama anak-anak main ke Malioboro mall, ada acara sosialisasi anti korupsi oleh KPK.
Seperti biasanya, kadang anak-anak acuh dengan acara yang sifatnya "promosi",tapi kali ini tidak, karena selain games yang enteng-enteng berisi, juga ada gifts yang membuat mereka tambah bersemangat.

Rasanya memang harus diancungi jempol, upaya KPK ini. Walau saya yakin anggaran yang dikeluarkan bukan dalam jumlah sedikit. Hanya sayangnya saya melihat ini tidak tepat strategi dan tepat sasaran.

Kalau di mall. komunikasi yang terjalin rasanya biasa-biasa saja. Anak-anak mengisi kuis, atau bermain games yang disediakansetelah itu diberi gifts. Selesai!!! Tanpa tahu, apakah games yang diberikan itu bisa sampai dalam mind anak atau tidak.

Teringat beberapa waktu yang lalu, ada sebuah produksi yag mengajarkan anak untuk mencuci tangan dengan benar. Anak-anak digiring untuk mencuci tangan di wastafel, diajarkan memakai sabun, proses tangan dibersihkan sampai mengeringkan tangan. Ini nyata dan skill anak tentang mencuci tangan jelas dan nyata. Insya Allah setelah itu, anak-anak akan mempraktekkan dengan benar.

Kembali dengan misi KPK dengan sosialisasi di mall. Tanpa mengecilkan upaya ini, tapi sepertinya hasil yang didapat sangat minim. Gak akan nyantol di benak anak, apa itu korupsi, bagaimana mensikapi korupsi, dll. Tentu juga gak perlu diajarkan korupsi kelas kakap, tapi korupsi-korupsi kelas anak SD. wow...jika sikap mental itu terbina.... Insya Allah 20 tahun ke depan, saat anak-anak kita memimpin negara ini, tak ada yang korupsi!! (amien...)

Lepas dari itu semua, apresiasi saya terhadap langkah sosialisasi yang dibuat KPK, tentu dengan harapan ke depannya akan dibuat lebih tepat sasaran. Seperti kata orang pintar, untuk menggolkan sesuatu, bukan hanya dengan tenaga yang kuat, tetapi yang lebih penting lagi tepat sasaran. Bravo KPK.

Minggu, 22 November 2009

MEMASUKKAN UUPKDRT DALAM KONSIDERAN PUTUSAN SEBAGAI SUMBANGSIH HAKIM PA TERHADAP TINGGINYA ANGKA KDRT

UUP KDRT: “Assalamu’alaikum bu…”
Hakim : “Waalaikum salam…”
UUPKDRT: “Perkenalkan nama saya UUP KDRT bu, ingin sedikit berbincang tentang hubungan kami dengan korps hakim ibu.
Hakim : “Boleh-boleh…selama saya mampu menjawab dan sesuai bidang saya”.
UUP KDRT: “Alhamdulillah…. Saya sengaja memilih ibu, karena dengan kapasitas ibu sebagai hakim dan dosen, ibu tentu lebih obyektif, transparan, dalam melihat persoalan.
Hakim : “Ahh…. Jangan gitu, saya jadi malu” (sambil tersenyum simpul).
UUP KDRT: “Maaf bu, agak sedikit narsis, dan berbeda dengan wawancara pada umumnya. Pertanyaan pertama saya, sampai sejauh mana ibu mengenal saya?
Hakim : “Betul juga…. Biasanya orang bertanya untuk mengetahui informasi tentang yang ditanya, sekarang saya ditanya untuk mengetahui informasi penanya. Heeem….Saya mengetahui anda sejak anda diundangkan, karena kalau tak salah proses sampai diundangkannya memakan waktu yang lama. Secara jujur, saat proses pembahasan UU ini,saya hanya melihat bahwa UU ini dimaksudkan untuk meminimalisir kekerasan yang dominan dialami ibu dan anak dalam rumah tangga. Dan dengan adanya UU ini maka angka KDRT akan menurun, sehingga akan tercipta keluarga-keluarga harmonis.Dan ini tentu bukan kewenangan kami”
UUP KDRT: “Saya senang mendengarnya bu. Ini artinya ibu ada perhatian terhadap kehadiran kami dalam ranah sejuta UU di negeri tercinta ini.Tapi gimana UUPKDRT dalam tugas ibu,apakah ibu menggunakan dalam putusan-putusan ibu??
Hakim (menyela): “Ah….untuk apa kita punya sejuta UU tapi tak diimplementasikan”(rupanya hakim ini teringat akan humor gus Dur tentang “hinaan “ seorang duta besar terhadap Indonesia yang tak ada gunanya memiliki Mentri Hukum dan Per UUngan, jika UU tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya.
UUP KDRT: “Sepakat bu…..”. Tapi bagaimana dengan ibu sendiri sebagai hakim PA? Apakah ibu juga menggunakannya sebagai konsideran dalam memutus perkara yang diajukan kepada ibu? (UUPKDRT mencoba mengulang pertanyaan yang lupa dijawab)
Hakim : (Terdiam cukup lama) “Ya…kadang-kadang kami menggunakannya tapi tak jarang pula hal ini terabaikan”. Maklum walau kami sudah mengetahui, tapi kamu tak terlalu akrab. Apalagi pemahaman kami, kamu bukan bagian yang terintegrasi dengan peradilan agama, tapi terkait dengan peradilan umum. Karena rasanya ruh yang muncul jika terjadi KDRT, adalah merupakan ranah peradilan umum. Sebagian dari kami menganggap bahwa UU Perkawinan, PP 9 Tahun 1975 serta KHI sudah cukup bisa menaungi hal-hal sebagaimana termaktub dalam UUPKDRT. Misalnya kekerasan fisik dan ekonomi, termasuk juga kekerasan psikis.
UUP KDRT: “Ooh… begitu bu. Tapi jika saya memohon diri untuk bergabung dengan aturan-aturan yang telah ibu pergunakan. Saya berharap, jika ibu memasukkan saya dalam konsideran, maka angka KDRT akan menurun. Please bu……
Hakim : “heeeeeemmmmmmmmm”(mantuk-mantuk……)

Dialog di atas walaupun imaginer, tapi ini merupakan gambaran umum bagaimana interaksi antara UUP KDRT dengan hakim PA. Sepintas kita sudah bisa membayangkan bagaimana hubungan hakim PA dengan UUPKDRT.
1. INILAH KAMI….
Hakim Pengadilan Agama dengan kewenangan tugas yang diamanatkan kepadanya sebagaimana yang telah ditetapkan UU, antara lain : perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,ekonomi syari’ah..Dari sekian kewenangan tugas yang diberikan, didominasi oleh perkara-perkara perceraian, baik cerai talak, cerai gugat. Data tahun 2008, dari 245.023 perkara, 221.520 perkara adalah perkara cerai talak dan cerai gugat.
Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan bahwa pada tahun 2007 pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga dari berbagai lembaga layanan di seluruh Indonesia berjumlah 17.772 kasus, jika dikomparasi dengan data yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag, bahwa perkara yang masuk pada tahun 2007 adalah 251.170 dimana jumlah cerai gugat, cerai talak berjumlah 196.848 (90%). Dari data tersebut menempatkan meninggalkan kewajiban , di urutan teratas dengan 77.528 kasus, di sususl perselisihan (65.818) dan menyakiti jasmani 1.845 perkara.
Dari data-data tersebut, cukup mencengangkan, karena 3 penyebab utama terbesar perceraian nyaris dapat dikatakan adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersentuhan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Disini menunjukkan bahwa dalam keseharian tugasnya, hakim-hakim peradilan agama bersentuhan langsung dengan masalah-masalah KDRT.
Ini belum jika kita analisa fakta bahwa yang melaporkan adanya KDRT (17.772 kasus) jauh lebih sedikit dibanding 3 penyebab perceraian yang masuk domain “pelanggaran” UUP KDRT (145.191 perkara). Dengan angka ini, bisa juga diartikan bahwa para korban KDRT cenderung menyelesaikan persoalannya dengan perceraian, bukan dengan menyelesaikan kekerasan yang dialami dan membina kembali rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Hakim ketika diserahkan perkara perceraian, diwajibkan mengupayakan perdamaian. Apalagi dengan terbitnya PERMA No 1 Tahun 2008, maka setiap diajukannya gugatan,selalu mengupayakan mediasi. DIharapkan dengan mediasi, persoalan akan selesai, dan para pihak akan mencabut perkaranya. Ini tanpa melihat apakah penyebabnya dikarenakan ada kekerasan fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran rumah tangga. Jika upaya mediasi tidak selesai maka perkara dilajutkan dalam persidangan.
Saya sebagai mediator hakim, kadang memanfaatkan proses mediasi untuk memperjuangkan hak-hak istri maupun suami, baik yang korban KDRT maupun tidak. Pada awalnya tentu upaya damai, dengan harapan para pihak mencabut perkaranya. Tapi jika baik pelaku maupun korban KDRT sudah tidak ingin lagi melanjutkan hidup berumah tangga, maka hak-hak istri (jika istri tersebut menjadi korban) diupayakan diminta kepada suaminya. Demikian juga kepada suami, harus disadarkan bahwa penelantaran yang telah dilakukan telah melalaikan kewajibannya, sehingga pada saat perceraian, kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan, harus dibayarkan. Biasanya dalam mediasi, kewajiban-kewajiban tadi diwujudkan dalam pembayaran uang.


2. HAKIM PA DAN UUPKDRT.
UUPKDRT tentu bukanlah hal yang baru bagi sebagian hakim PA. Dengan berbagai seminar dan lokakarya serta kajian-kajian hukum,bacaan dan pemberitaan media masa, nyaris dapat dikatakan bahwa semua hakim telah mengetahui adanya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini.
Tetapi dalam prakteknya, tidak semua hakim mengintegrasikan atau memasukkannya ke dalam konsideran putusannya. Padahal sesuai data di atas, setiap tahun dari kurang lebih 3000 hakim peradilan agama di Indonesia, mengadili tidak kurang dari 200 ribu perkara perceraian.
Walaupun demikian, tentu masih ada juga hakim PA yang memasukkan UUPKDRT ini dalam konsiderannya. Secara pribadi, saya juga pernah memasukkan UUPKDRT dalam putusan saya, selain saya melihat bahwa UU ini tidak hanya diciptakan untuk peradilan umum, tapi juga peradilan agama. Tetapi hal yang mendasar, adalah dengan memasukkan dalam konsideran, maka sebagai bentuk sumbangsih hakim menekan laju angka KDRT.
Kelihatannya sepele dan terlalu idealis, tetapi ketika putusan hakim tersebut dibaca, minimal oleh para pihak, maka telah ada 2 orang yang kita sosialisasikan UUPKDRT tersebut termasuk akibatnya, yaitu perceraian. Jika kedua keluarga juga membaca putusan, maka minimal sosialisasi UUPKDRT telah kita berikan pada 10 orang. Jika setiap tahunnya ada 200 ribu putusan yang menuangkan UUKDRT dalam putusan, maka hakim tersebut telah mensosialisasikan UU tersebut kepada 2 juta orang. Angka yang cukup fantastis untuk sebuah sosialisasi UU, apalagi jika semuanya kemudian menyadari bahwa KDRT harus dihindari, maka laju pertambahan laporan KDRT akan menyusut, hanya dengan sebuah putusan hakim yang mencantumkan dalam konsiderannya UUPKDRT.

3. ALASAN HAKIM TIDAK MEMASUKKAN DALAM KONSIDERAN
Tentu tidak semua hakim mempunyai keyakinan yang sama, ada beberapa alasan yang menyebabkan beberapa hakim enggan memasukkan UUPKDRT dalam konsideran putusan.
Alasan-alasan yang diungkapkan adalah hasil diskusi terbatas, sehingga tak perlu kita perdebatkan. Ini semua adalah hak masing-masing untuk ungkapkan pendapat yang harus kita hormati. Bahkan justru dari ini kita bisa mencari solusi.
a. Alasan hukum yang ada sudah cukup.
Alasan ini yang mendominasi mengapa sebagian besar hakim-hakim PA Agama enggan memasukkan UUP KDRT dalam konsideran putusan yang dihasilkan.
Bagi sebagian hakim, alasan-alasan sebagaimana yang diatur oleh pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam sudah cukup memadai untuk sebuah konsideran putusan. Sehingga dicantumkan atau tidak dicantumkannya UUP KDRT dalam sebuah konsideran putusan tidak punya nilai yang berarti.

b. Pemahaman terhadap UUPKDRT.
Bagi sebagian hakim peradilan agama isi dari UUPKDRT justru tentang pencegahan terhadap perceraian. Artinya isi dari UU ini adalah upaya-upaya terhadap pencegahan perceraian, bagaimana agar rumah tangga yang telah terbina bisa menjadi rumah tangga yang harmonis. Ini berbeda dengan bidang tugas hakim PA yang justru memisahkan sebuah perkawinan, setelah diupayakan berbagai cara untuk mendamaikan tidak berhasil.
Menurut yang memahami ini, sangat kontradiktif jika dimasukkan alasan perceraian sebagaimana yang disebutkan PP No 9 Tahun 1975 disandingkan dengan UUPKDRT yang pasal 4 ayat (d) berbunyi bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

c. Bukan “domain” Peradilan Agama.
Alasan ini didasarkan pada pemikiran bahwa UUPKDRT ini merupakan domain peradilan umum, karena yang diatur adalah masalah pidana. Dan peradilan agama tidak punya kompetensi apapun jika terjadi pelanggaran terhadap pelanggaran UU ini.

Kalaupun telah terjadi pelanggaran UUPKDRT, dan kemudian dijadikan penyebab perceraian, maka hakim peradilan agama hanya menjadikan salinan putusan peradilan umum tadi sebagai alat bukti yang menguatkan dalil-dalil telah terjadi penganiayaan. Artinya, sinergi yang muncul adalah sinergi pada alat bukti saja. Dimana putusan yang dikeluarkan oleh peradilam umum, oleh peradilan agama dijadikan sebagai alat bukti.

d. Bandingpun tak pernah dibatalkan.
Ketika mendengar alasan ini, saya tersenyum membenarkan. Yang ada di benak saya adalah satu pernyataan:”Benar juga ya??”.
Dalam teorinya, jika pihak-pihak yang berperkara tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat pertama,maka kepadanya dibenarkan untuk mengajukan banding. Oleh hakim tingkat banding, putusan tingkat pertama akan diujiulang, apakah penerapan hukum telah benar atau tidak tepat. Jika telah benar, hakim banding akan menguatkan putusan hakim tingkat pertama, dan jika salah, maka hakim akan memeriksa dan memutus perkara banding tersebut.

Dalam prakteknya,saya memang belum mendapatkan putusan banding yang membatalkan putusan hakim tingkat pertama karena tidak memasukkan UUPKDRT dalam konsiderannya, walau nyata-nyata telah terbukti adanya penganiyaan serta kekerasan dalam rumah tangga tersebut.



4. KONDISI IDEAL:
Jika kita ingin mengembangkan rasa sensifitas terhadap pencegahan KDRT, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat secara luas, tentu pemahaman terhadap pencegahan KDRT harus kita tumbuh sebarkan. Dan khusus bagi hakim, dengan produk putusan yang sensifitas terhadap KDRT harus dilakukan.
a. Memulai dari diri sendiri.
Menumbuhkan sensifitas-sensifitas terhadap KDRT memang sulit. Apalagi masih banyak pola pikir kita yang menganggap bahwa KDRT adalah semata-mata kekerasan fisik. Otak kita belum bisa secara otomatis “menilai” jika ada perselisihan dan pertengkaran dimana seorang suami yang menelantarkan istri, mengancam, menekan perasaan istri, adalah bagian dari KDRT.
Jika ada hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan fisik, otak kita langsung mengarahkan pada pelanggaran Pasal 19 huruf (d) PP No 9 tahun 1975 atau pelanggaran ta’lik talak angka 3.
Kita masih serta merta mengartikan bahwa adanya pelanggaran KDRT jika si istri, anak, atau anggota keluarga sudah babak belur. Hakim pun demikian, ketika memeriksa perkara, tidak serta merta mengartikan pelanggaran-pelanggaran non fisik sebagai pelanggaran n terhadap UUPKDRT. Lebih parahnya lagi,jika seorang istri karena telah menderita tekanan batin, kemudian meninggalkan suaminya, justru diartikan sebagai istri tersebut telah nuzus.
Perlu kebiasaan yang terus menerus untuk memunculkan sensifitas ini. Pertama adalah dengan kemunculkan Kesadaran itu kita munculkan dari diri kita sendiri, dari teman-teman satu majelis, dari teman-teman sekantor.Ini berkembang menjadi teman-teman sewilayah Pengadilan Tinggi Agama, dstnya. Marilah kita melihat, bahwa sumbangsih kita yang kecil ini, ke depannya dapat mencegah lajunya angka KDRT. Mungkin ini di luar bayangan kita, tapi yakinlah dari pertimbangan-pertimbangan kita dapat membuat masyarakat lebih sadar hukum.
Ada baiknya kita mengingat pesan ulama AA Gym, bahwa sesuatu itu mulai dari diri sendiri, ulai dari yang terkecil dan mulai dari sekarang. Jika nasehat ini kita lakukan, lama kelamaan kesadaran serta kebiasaan otak kita juga akan mengarahkan pada adanya pelanggaran terhadap KDRT.

b. Menjadikan slogan: “Ingat perselisihan ingat UUPKDRT”.
Andai saja sen sifitas PKDRT sudah melekat dalam benak hakim, maka tentu tiap tahun ada minimal 200 ribu putusan yang mencantumkan UUPKDRT dalam konsiderannya. Dan ini tentu mempunyai dampak yang besar.
Mungkin kita tidak menyadari betul,bahwa ketika seorang hakim berbicara tentang adanya pelanggaran terhadap UU, maka masyarakat akan lebih mengenal terhadap pelanggaran UU tersebut. Contoh kecil, betapa banyak masyarakat yang mengetahui bahwa: suami mempunyai kewajiban member nafkah, dan jika melalaikan selama 3 bulan berturut-turut, maka istri dapat mengajukan perceraian. Ini sesungguhnya dimulai dari putusan hakim tentang pelanggaran ta’lik talak. Dan ini tentu kebiasaan yang berulang dari puutusan hakim ini telah mencerdaskan masyarakat akan hak dan kewajiban suami dan istri.
Mengutip slogan sebuah iklan: maka rasanya slogan: “ Ingat perselisihan ingat UUPKDRT” bisa digiatkan. Karena nyaris setiap alasan perceraian bersinggungan dengan PKDRT, maka jika slogan ini sudah menempel dalam benak,maka otomatis setiap putusan yang dihasilkan yang ada unsur KDRT, serta merta hakimakanmemasukkannya dalam konsideran.

5. SOLUSI:
Dari fakta-fakta yang ada dimana masih begitu banyak alasan hakim belum memasukkannya ke dalam konsideran putusannya, dan untuk mencapai kondisi ideal yang kita harapkan,maka ada beberapa alternatif solusi yang bisa membantu tercapainya kondisi ideal tersebut:
1. Tumbuhkan sensifitas PKDRT sejak tes masuk menjadi hakim PA.
Selama ini, soal-soal yang ditanyakan saat tes masuk hakim peradilan agama, hanya berkaitan UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU Peradilan Agama.Tidak ada sama sekali kaitannya dengan UUPKDRT. Jika dalam soal ada sedikit memuat tentang UUPKDRT, tentu ini akan memicu peserta tes untuk mempelajari UUPKDRT lebih dalam.
Dan jika yang bersangkutan kemudian lulus menjadi cakim, maka paling tidak sudah ada satu sosok calon hakim yang sudah memahami UUPKDRT.

Dengan demikian, wacana tentang UU PDKRT ini sudah ada sejak awal dan berniat menjadi hakim di lingkungan peradilan agama. Dan ini merupakan waktu yang tepat, karena idealism-idealisme sebagai hakim sedang memasuki masa puncaknya pada saat mendaftarkan diri menjadi hakim.

2. Memasukkan materi ini dalam pendidikan cakim.
Menciptakan hakim yang punya sensifitas KDRT tidak hanya sebatas saat tes masuk saja. Ini harus dilanjutkan pada saat menempuh pendidikan cakim. Pada masa pendidikan, selain sensifitas Perlindungan KDRT yang semakin ditumbuhkan, juga secara teknis mengajarkan pada cakim-cakim teknis pembuatan putusan yang memasukkan UUPKDRT sebagai konsiderannya.

Idealisme yang berada pada puncaknya, diisi dengan hal-hal positif, sehingga sikap mental seorang hakim akan tumbuh dan berkembang baik.
3. Sosialisasi lebih intensif kepada hakim dan pimpinan pengadilan.
Ternyata mengetahui saja tidak cukup. Diperlukan penyadran-penyadaran individual maupun kesadaran bersama untuk mengintegrasikan UUPKDRT ini terhadap putusan

Sosialisasi sebaiknya tidak sebatas seminar dan lokakarya, tetapi para hakim yang telah mengikuti seminar dan lokakarya diikuti perkembangannya. Selain itu mengadakan diskusi-diskusi intensif antar hakim, sehngga dapat berbagi pengalaman. Dari sinilah kita dapat melihat seberapa jauh perkembangan yang dilakukan hakim tersebut. Apakah setelah mengikuti seminar yang dilanjutkan FGD, sensifitas PKDRTnya semakin baik.Tentu yang diharapkan adalah ada perkembangan positif setelah berbagai kegiatan diikuti.

Kedepannya, akan lahir hakim-hakim peradilan agama yang sensitive terhadap masalah-masalah KDRT. Amien……

Bantul 13 Nopember 2009
Lily Ahmad

Jumat, 10 Juli 2009

Mbak Aya....mama bangga, dik Caysa mama berharap..


mbak Aya beberapa hari lalu mengakhiri masa study di SD Muhammadiyah Sapen. Seperti kak Abil 2 tahun yang lalu, tahun ini mama dan papa juga bisa menyaksikan anak mama maju di depan dengan lulusan-lulusan terbaik.

Mama haru....kerja keras mbak Aya selama ini terbayarkan. Dan jika kemudian mbak Aya tidak bisa masuk SMP 5 bukan karena Nilai UASBN mbak Aya yang rendah, tapi karena mbak Aya kena pembatasan kuota. Mbak Aya yang penduduk Bantul/luar kota Yogyakarta harus mengalah dengan penduduk kota. Padahal Nilai UASBN mbak Aya di atas Nilai UASBN anak Yogya yang diterima.

Tak apa nak....ini bukan akhir dari segalanya. Toh beberapa teman mbak Aya juga memilih SMP 8 sebagai sekolah lajutan. SMP 8 juga termasuk SMP yang baik di Yogya.Dan mama yakin di SMP 8 yang baik ini mbak Aya juga bisa menjadi murid terbaik.

Mama begitu haru dengan semangat mbak Aya untuk berbuat yang terbaik. Walau kadang keegoan mbak Aya sangat menonjol. Tapi mama yakin pada saatnya mbak Aya bisa banyak belajar kompromi dengan kak Abil dan dik Caysa.

Mbak Aya, saat mbak Aya wisuda, mama sengaja mengajak dik Caysa untuk ikut. Mama berharap ini menjadi motifasi bagi adik untuk menjadi murid-murid terbaik. Mama yakin dengan sedikit tambah tekun, adik juga bisa mengikuti prestasi kak Abil dan mbak Aya.

Oke dik...mama tunggu janji adik untuk menjadi yang terbaik besok saat adik wisuda. Amien.....

Rabu, 01 Juli 2009

Ibu masih saya sisakan dikit.

Semalam,tukang pijat kami mbah Jiwat datang ke rumah karena mau mijat suami. Tak lupa pula membawa botol untuk meminta minyak tawon.
Mbah Jiwat: "Bu, minta minyak tawonnya. Ini saya sudah bawa botolnya"
Lily: "Monggo mbah.... diisi sendiri aja. Ini minyak tawonnya"
Dengan tekun dan seksama serta perlahan-lahan si mbah mengisi minyak tawon sampai penuh botol yang dibawanya.
Mbah Jiwat: "Sudah selesai bu, saya penuhi botol saya. Ibu masih saya sisakan dikit"
Lily: " hehe....mbah...mbah.... kalau mbah ambil semua, berarti saya sudah gak kebagian lagi"
Mbah: "Oh iya ya bu...."

Jumat, 26 Juni 2009

"Orgasme" Mediasi

Di blog lama saya, saya sempat menulis tentang "Orgasme Putusan", dimana ada kepuasan dari hakim (khususnya saya pribadi) jika suatu perkara yang sudah lama dan berlalut-larut dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi kemudian bisa diterima pihak-pihak yang berperkara dengan tidak mengajukan banding. Tentu ini perkara-perkara perdata.

Ternyata ada lagi rasa "orgasme" dari putusan, yaitu orgasme mediasi, dimana seorang mediator bisa menyelesaikan sengketa pihak-pihak, dimana kemudian sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan win-win solution hingga mediasi tersebut dinyatakan berhasil.
Jika ditilik dari rasa puasnya menjalankan tugas, tentu mediasi jauh lebih mencapai kepuasan tertinggi dibanding lputusan. Maksudnya, jika kita bisa menyelesaikan suatu sengketa dengan mediasi kemudian tercapai satu perdamaian, maka perasaan "puas" tadi melebihi rasa puas saat kita menjatuhkan putusan, dimana pihak-pihak bisa menerima putusan kita.

Mengapa demikian? Karena dalam mediasi, alternatif penyelesaian sengketa bukan ada di tangan mediator. Mediator hanya menjadi fasilitator demi tercapainya kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa. Mediator disini sama sekali tidak mempunyai kewenangan memutus sengketa. Beda dengan proses persidangan (litigasi) dimana penyelesaian sengketa adalah otoritas sepenuhnya oleh hakim. Orgasme kepuasan akan muncul saat pihak-pihak bisa menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum apapun.

Mengapa mediator merasa sangat puas dengan hasil mediasi yang dilakukan? Tentu...karena proses mediasi juga bukanlah proses yang mudah. Tahapan-tahapan yang dilalui cukup panjang diawali dengan sidang dimana pihak-pihak hadir dalam persidangan, kemudian kesepakatan memilih seorang mediator. Ini masih tidak terlalu menyita waktu dan pikiran, sampai pada tahapan awal mediasi yaitu perkenalan, membuat aturan tentang proses mediasi dan tahapan mengemukakan masalah.

Jika sudah selesai tahap awal, masuk pada perumusan masalah, ini baru mulai pada perasaan "mediasi yang sesungguhnya", karena sebagai mediator harus mengupayakan semaksimal mungkin akan tercapainya kesepakatan. Disini akan temui hal-hal yang bersifat emosional, kemarahan, caci maki, kegeraman, keegoan, kesombongan, akan banyak kita temui. Kalau seorang mediator tidak bisa mengolah emosi baik emosi diri sendiri, maupun emosi para pihak, maka tentu akan sulit mencapai titik temu.

Pada tahap ini, selain kemampuan komunikasi yang baik dari seorang mediator diperlukan, juga kemampuan komunikasi secara personal betul-betul harus dikuasai. Tetapi ini jangan sampai timbul kecurigaan pihak lawan akan adanya keberpihakan.Karena bisa-bisa dikira kita memihak pada pihak lawan, atau sebaliknya.

Selama ini saya juga merasa, bahwa kaukus (bertemu salah satu pihak) merupakan salah satu cara yang jitu jika menghadapi deadlock. Karena nyaris setiap mediasi, awalnya akan muncul seakan-akan perkara ini deadlock.Ini tentu sangat dimaklumi, karena nyaris setiap orang akan bertahan pada pendapatnya, akan bertahan pada posisinya. Dan dengan kaukus, sangat bisa membantu kita untuk mencairkan perkara yang seakan-akan tak bisa terselesaikan.

Betul kata teori mediasi yang saya dapatkan, bahwa kaukus bisa mengungkap kepentingan yang tersembunyi dari pihak-pihak. Dalam kaukus, sering muncul hal-hal yang belum terungkap pada saat joint meeting. Ini mungkin karena pihak-pihak merasa dalam kaukus, hubungannya dengan mediator bisa sangat persoanal, maka mereka cenderung lebih terbuka.

Ada salah satu perkara yang saya hadapi, ketika mediasi bersama-sama, semua "ngotot-ngototan", bertahan pada pendirian masing-masing, keukeuh tak mau berubah. Tapi ketika kaukus, emosi lebih lumer, bicara lebih santai dan mau sedikit membuka jalan kompromi.

Kemarin ada satu kasus harta bersama (gono-gini), entah bisa dikatakan mediasi berhasil atau tidak, tapi yang jelas mereka sama-sama menerima putusan hakim, tapi membuat kesepakatan damai, di luar putusan hakim. Lho kok bisa begitu??? Singkat cerita, ada satu perkara gono-gini, diajukan oleh mantan istri kedua kepada suami dan istri pertama. Dalam sidang pertama, majelis sudah meminta mediasi, tapi ternyata tidak ada kata kata damai, sehingga perkara tetap dilanjutkan. Dalam persidangan semua sama-sama keras, dan majelis akhirnya menjatuhkan putusan.

Setelah putusan dijatuhkan, pihak-pihak yang bersengketa baru menyadari bahwa ini tentu akan merugikan semua pihak. Akhirnya mereka sepakat untuk dilakukan mediasi sebelum perkara ini berkekuatan hukum tetap, sehingga jika mediasi gagal, para pihak bisa mengajukan banding yang waktunya hanya 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Akhirnya saya sebagai mediator harus kerja keras, setia hari nyaris mediasi. Pada tahap awal, nyaris seperti sebelum perkara ini dilanjutkan. Hari demi hari ada kemajuan dari mediasi. Pihak-pihak sudah mulai melumer, dan mulai membuka diri. Sampailah pada satu titik kesepakatan damai. Legaaaa....rasanya. Bukan hanya saya sebagai mediator yang lega, tapi pihak-pihak yang bersengketa juga lega. Pada saat kesepakatan perdamaian ditandatangani, mereka semua menangis dan menyadari bahwa "perebutan harta" bukan segala-galanya. Yang mereka jaga adalah silaturrahmi dan rasa kasih sayang yang pernah terbina.

Jika sudah sampai pada kesepakatan seperti di atas, disinilah yang saya istilahkan muncul perasaan kepuasan bagi seorang mediator, kepuasan "orgasme mediasi". Kita betul-betul lega, karena kerja keras yang dilakukan membawakan hasil. Hasil kesepakatan ini sifatnya final, dan nyaris tanpa eksekusi. Mereka bisa menerima dengan damai, dengan senyum dan tentu ini disebabkan karena terlepas beban yang ada.

Tentu sebagai mediator, menginginkan setiap mediasi yang dilakukan akan sampai pada tahap perdamaian, dan dinyatakan mediasi berhasil. Ini bukan hanya disebabkan janji PERMA No 1 Tahun 2008 bahwa setiap hakim yang berhasil akan mendapat reward, tetapi tentu juga karena kepuasan pihak-pihak yang damai adalah reward yang tak ternilai bagi seorang hakim mediator.

Semoga setiap mediasi yang kami lakukan bisa mencapai titik perdamaian, sehingga bisa merasakan "orgasme" dalam bermediasi dan tentunya kepuasan ketika melihat pihak-pihak berdamai. Indah dan damai rasanya!!!

Kamis, 25 Juni 2009

Sudah meninggal bu.....!

Dalam salah satu persidangan hakim menanyakan identitas saksi:
Hakim: "Nama saudara?"
Saksi: " Budiono bu"
Hakim: "Budiono bin siapa? Nama orang tua pak Budiono?"
Saksi: "Sudah meninggal bu, sudah lama"
Hakim: "Gak apa-apa pak...Yang penting namanya yang kami perlukan"
Saksi: "Sungguh bu...sudah meninggal, jadi gak bisa dijadikan saksi"
Hakim: " Tentu pak, kami takkan menghadirkan yang sudah meninggal pak.
Saksi: " O.....dikirain ibu mau menghadirkan orang tua saya sebagai saksi"
Hakim: "Pak...siapa juga yang mau menghadirkan mayat sebagai saksi?"

Senin, 22 Juni 2009

SATU PERGURUAN, DUA BAHASA

Biasanya, murid-murid satu perguruan, punya kecendrungan untuk melahirkan satu pemahaman. Kalaupun melenceng atau berbeda, "selisihnya" gak banyak-banyak amat.
Tapi ini berbeda antara saya dan Fatra saat menengok istri salah satu teman kami yang istrinya menjalani operasi pengangkatan rahim.

Teman kami ini sudah menikah selama 10 tahun, dan belum dikaruniai anak. Ternyata cobaan Allah bukan hanya sampai disitu, beberapa waktu lalu, dideteksi dalam rahim istrinya banyak miom yang sudah besar dan harus segera diangkat. Yang diangkat bukan hanya miomnya, tapi juga rahimnya. Maka pudarlah harapan pasangan ini untuk memiliki anak kandung.

Kecemasan yang umum melanda wanita adalah kekhawatiran jika kelak suaminya menikah lagi. Dan ini terjadi pada istri teman saya.Yang terbayang adalah, walau suaminya PNS, tapi jika jelas-jelas istrinya tidak bisa memberikan keturunan, maka "sudah pasti" suami akan melakukan poligami. Ini tentu mengakibatkan dirinya merasa termarginalkan sebagai istri yang gabuk, yang gak bisa punya anak.

Oleh Fatra (saat saya belum datang) dihibur dengan kalimat-kalimat yang membumbung. Bahwa alumni-alumni Pabelan adalah lelaki yang setia. Jadi jangan kuatir kalau kelak teman kami ini akan menikah lagi. Dan tentunya banyak kalimat-kalimat yang membuat istri teman kami ini terhibur.

Saya yang datang kemudian, dan tidak tahu apa yang telah diucapkan Fatra, tapi tetap saja "diwaduli" istri teman tadi. Ya....tentu berbeda dengan Fatra yang bisa "ngegombal". Saya cenderung apa adanya. Apalagi jika dilihat profesi istri teman tadi yang guru, tentu lebih nyaman kita bicara fakta, bicara logika daripada bicara rasa yang bisa terbang hanya ditiup angin.Hehe..

Saya akhirnya mengatakan, bahwa dalam UU,seorang suami yang istrinya tidak bisa melahirkan, memang dimungkinkan untuk poligami. Ekstrimnya anggaplah ini sebagai "Hak" dari suami ini. Tapi apakah semua hak pasti kita ambil??? Sebagai contohnya, kita di kantor dapat makan siang sebagai hak kita. Tapi apakah semua pegawai harus makan siang yang telah dijatahkan?? Tentu tidak, karena kita masih punya kebebasan untuk makan atau tidak makan siang jatah kantor tersebut.

Demikian juga "hak" poligami bagi laki-laki yang istrinya tidak bisa melahirkan anak. Bisa saja diambil atau bisa diabaikan. Makanya, sekarang tinggal tugas kita, bagaimana suami itu tidak melakukan poligami. Sebagaimana jika seorang pegawai tidak harus makan siang dengan jatah akan siang di kantornya.

Sahabat teman saya itu seperti masih terpaku pada "hak" laki-laki untuk berpoligami jika istrinya tak bisa melahirkan keturunan. Ah....rasanya saya harus bermain angka. Maka saya akhirnya berbicara tentang angka poligami. Saya hanya katakan kalau dari 10 perkara poligami yang saya tangani, maka hanya 2 orang yang beralasan ketiadaan turunan. Selebihnya nyaris karena memang faktor "nafsu" karena mempunyai hubungan dengan wanita lain.

Artinya hanya sedikit sekali alasan ketiadaan punya anak sebagai alasan perceraian. Bahkan sebenarnya angka 10 tadi terlalu besar. Mungkin hanya 5% perkara poligami yang diajukan di Pengadilan Agama dengan alasan ketiadaan turunan.

Cerita kedua sepertinya sudah lebih melegakan istri teman saya. Dan untuk lebih melegakan, maka saya menambah cerita tentang kasus "penetapan anak" (adopsi) yang baru sehari sebelumnya saya sidangkan. Saya ceritakan bahwa seorang laki-laki yang sejak awal menikah dengan wanita dimana wanita itu tidak ada harapan sama sekali akan melahirkan anak, karena memang ada kelainan dimana wanita ini tidak pernah haid selama hidupnya. Apakah ketika laki-laki ini akan menikah sudah terpikir baginya untuk berpoligami. Tentu tidak.

Saya menyadari betul, bahwa saya bukanlah tipe yang bisa "bermain kata", membuai dengan kalimat-kalimat yang melambung. Saya terbiasa realistis, saya tak ingin orang hanya terbuai dalam kalimat-kalimat yang terucap, tapi kemudian terhempas dalam realitas kemudian hari. Biarlah sejak awal kita mendidik orang untuk bisa menerima fakta, bahwa apa yang ada semua adalah keniscayaan. Tinggal bagaimana kita berusaha, sehingga keniscayaan yang kita hadapi adalah keniscayaan yang membahagiakan kita.

Saya tak bisa seperti Fatra yang dengan entengnya menjanjikan bahwa "lelaki Pabelan itu setia-setia". Saya tak berani berkata demikian, karena setia dan tidak setianya lelaki itu bukan karena Pabelan. Dan saya juga tahu diantara sekian lelaki Pabelan yang setia masih banyak yang juga berhianat. Inilah perbedaan saya dengan Fatra, walau kami dari satu "perguruan"tapi punya du bahasa untuk satu tujuan.

(ocehan setelah menengok istri sahabat kami Mantep Miharso di RS Sardjito. Semoga mbak Nurani tabah menghadapi ini semua, memiliki rahim bukanlah segala-galanya. Masih banyak yang bisa kita perbuat yang punya manfaat. Semoga cepat sembuh dan bisa menjadi ibu dari sekian ratus anak didik di Mts Wonogiri. Salut saya atas perjuangan mbak....)

BALADA WANITA "PESELINGKUH ULUNG"

Wanita setengah baya itu hanya bisa meneteskan airmata setiap bertutur. Tetesan-tetesan airmata ketakberdayaan. Tetesan yang diharapan melulurkan beban yang begitu menyesakkan dadanya, beban yang menghimpit jiwa raganya, beban yang rasanya tak mampu diembannya.

Wanita itu, Suprapti berusia 42 tahun, dengan 3 anak yang beranjak remaja, bersuamikan seorang Suprapto yang telah menyuntingnya 17 tahun silam. Wanita itu merasa selama ini Suprapto telah menyakiti jiwa raganya, menyakiti hatinya, menyakiti perasaannya, tapi semua itu tetap dipertahankan demi tiga anaknya yang menjadi permata hatinya.

Suprapti bukanlah wanita yang hanya berpangku tangan,yang setiap harinya merias diri demi kecantikan yang ada dalam dirinya. Suprapti bukanlah wanita gedongan yang dikelilingi para emban yang dengan setia melayani keperluannya, tapi Suprapti adalah wanita tangguh yang mempunyai tanggung jawab menghidupi ketiga anaknya, dan mengusahakan semua kebutuhan anaknya tercukupi dan terpenuhi tanpa kurang, hanya satu keinginan Suprapti: anak-anaknya bahagia dan senang.

Lalu apa wujud tanggung jawab Suprapto dalam rumah tangga? Ya...Suprapto adalah lelaki yang bekerja, yang tiap hari keluar rumah untuk bekerja, tapi Suprapti selama ini tak merasa diberi nafkah oleh Suprapto. Karena Suprapto memang tak pernah memberi nafkah dalam bentuk uang secara riil pada Suprapto. Bagi Suprapto, dengan membayar uang sekolah anak sudah merupakan bentuk tanggung jawab seorang bapak bagi anaknya. Suprapto tak pernah berpikir bahwa anak juga perlu makan agar bisa sekolah. Tapi sudahlah...Suprapti tak memasalahkan itu semua.

Bagi Suprapti, tetesan-tetesan keringatnya begitu diikhlaskan buat anak-anaknya. Baginya selama anak-anaknya masih menyunggingkan sedikit senyum baginya sudahlah nilai yang tak terhingga, kebahagiaan yang tak terbayarkan oleh apapun. Suprapti akan berbuat apapun demi anak-anaknya, karena anak baginya adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijaga dan dirawatnya dengan baik.

Airmata Suprapti semakin mengucur deras, jika melihat dan menerima sikap Suprapto padanya. SIkap-sikap yang begitu arogan, sikap keangkuhan dari seorang laki-laki. Sikap sok suci,sok bertanggung jawab dan sok religius. Betul-betul arogansi dari seorang suami kepada istrinya. Yang lebih menyakitkan adalah setiap terjadi gesekan komunikasi, maka sumpah serapah akan keluar dari mulut Suprapto, dan tak pernah lupa adalah:"Kamu peselingkuh ulung".

Jika Suprapto marah, selalu dan selalu mengatakan "kamu peselingkuh ulung", Suprapti hanya bisa diam, hanya (lagi-lagi) tetes airmata yang bisa mewakilkan rasa sakit hati Suprapti. "Betulkah aku selingkuh?" itu yang ada dalam hati Suprapti. Ya.....aku memang mencintai dan menyayangi mantan kekasih ketika SMA. Kekasih yang memberi cinta dan kasih sayang. Tapi apakah memendam rasa cinta itu sebuah perselingkuhan?

Yang Suprapti tahu, bahwa perselingkuhan itu jika antara wanita dan pria itu pergi jalan-jalan, bergandengan mesra, berpelukan, berciuman seperti yang biasa Suprapti saksikan di sinetron-sinetron televisi. Tapi apa yang dilakukan Suprapti dengan Suparto mantan pacarnya dulu? Ya....mereka hanya saling sms. Sms dari hp butut pemberian teman Suprapti. Itupun harus banyak membatasi, karena Suprapti berpikir dengan pulsa yang harus dibeli jika keasyikan sms.

Tapi kenapa Suparto begitu berang dengan sms Suprapti kepada Suparto? "Kenapa mas Suprapto begitu emosi jika marah dan menghujat perselingkuhanku dengan mas Suparto?"pertanyaan yang tak butuh jawaban, karena hanya keluar dari hati yang begitu tersakiti.

Suprapti mengakui, kadang bahasa-bahasa smsnya dengan Suparto memang ada kemesraan, ada cinta yang terpendam, ada cinta yang masih berharap dipersatukan, tapi itu semua hanya dalam bahasa sms. Dirinya dan Suparto tak bisa leluasa bertemu. Jarak antara mereka begitu jauh, dan rasanya tak mungkin dijangkau oleh motor butut Suprapti yang sering kering karena kehabisan bensin. "Ah.......kami hanya punya cinta dalam hati, tapi kami tak pernah selingkuh raga", demikian tutur Suprapti.

Suprapto tak perdulikan itu semua, kata-kata peselingkuh ulung masih kerap keluar dari bibir Suprapto yang tak pernah punya senyum untuk Suprapti, dan lagi-lagi Suprapti hanya bisa meneteskan airmata, dan menguatkan hati:"ikhlaskan apa yang dikatakan Suprapto, ikhlaskan....karena yang benar akan tetap benar, yang salah akan muncul sebagai sebuah kesalahan".

Bagi Suprapti, hidupnya hanya untuk anak-anaknya....dia berjuang demi ketiga buah hatinya yang begitu menyemangati hidupnya, karena baginya ketiga anaknya adalah jiwa yang menghantarkan dirinya untuk masih punya keinginan menghirup nafas kehidupan. Kekerasan fisik baginya bukanlah hal yang tak pernah terjadi. Berulangkali Suprapto telah mengusir dari rumah yang dibeli dari tetesan-tetesan keringat Suprapti. Suprapti lagi-lagi hanya bisa diam, karena sesungguhnya Suprapti mampu untuk beranjak dari rumah yang dibangun dari kerja kerasnya. Bagi Suprapti, dengan sedikit kerja keras lagi, dia bisa mendapatkan rumah yang bisa dihuninya lagi. Tapi itu semua tidak dilakukan, karena baginya anak-anaknya adalah segalanya. Dia tidak mampu meninggalkan anak-anaknya, dia tidak tega melihat anaknya tak terawat, karena dia yakin Suprapto tak mampu memberi makan seperti diirinya memberi makan pada anak-anaknya. Penghasilan Suprapto tak mampu untuk memberi "nilai lebih" pada sebuah suguhan.

Suprapti bukan tak punya reaksi, apalagi seluruh keluarganya telah meminta dirinya memikirkan kembali kelanjutan rumah tangganya. Artinya, seluruh keluarganya akan menyokong dirinya untuk berpisah dengan Suprapto. Keluarga Suprapti murka atas perlakuan-perlakuan yang telah diterima Suprapti selama ini. Bagi mereka Suprapto sudah tidak layak untuk menjadi seorang suami. Suprapti bukan juga tidak memikirkan kemarahan keluarganya, tapi lagi-lagi benturan dengan kebahagiaan ketiga anaknya adalah hal utama baginya.

Begitu juga sahabat-sahabat Suprapti. Semua geram dengan perlakuan Suprapto padanya, semua telah meminta Suprapti untuk hanya satu kata: bercerai!!! Tapi Suprapti tak punya keberanian untuk melangkah. Paling-paling hanya airmata yang bisa menetes deras jika dirinya diultimatun sahabat-sahabatnya.

Bagi Suprapti, kata "Peselingkuh ulung" bukanlah kata yang nyaman untuk didengar, tapi Suprapti hanya bisa menarik nafas panjang dan beristigfar jika itu terucapdan terucap dari mulut Suprapto. Ah....andai saja Suprapti wanita yag pintar, tentu Suprapti juga bisa berkata yang sama bagi Suprapto. Karena sebenarnya saat Suprapti dibiarkan dan tidak disentuh sebagai istri oleh Suprapto, justru Suprapto kena penyakit GO. Penyakit kelamin pada seorang laki-laki yang ditularkan wanita. Andai Suprapti itu wanitanya, ternyata Suprapti adalah wanita bersih, yang tak pernah punya peyakit kelamin. Apalagi itu terjadi saat Suprapti tak disentuh lama oleh Suprapto.

Suprapti tak ingin memperpanjang masalah ini, baginya biarlah itu tanggung jawab Suprapto. Dirinya hanya ingin hidp demi anak-anaknya. Biarlah Suprapto tetap menyatakan dirinya peselingkuh ulung. Baginya saat ini adalah menghantarkan anak-anaknya menjadi manusia yang mempunyai masa depan bahagia, tidak seperti dirinya. Biarlah kata-kata dan hujatan peselingkuh ulung tetap terucap dari mulut Suprapto, dan lagi-lagi hanya airmata yang bisa sedikit menentramkan hatinya, yang penting dirinya bisa melihat anak-anaknya tersenyum.

Entah sampai kapan airmata Suprapti tak terbendung, selama kata-kata peselingkuh ulung, rasa-rasanya airmata itu tetap akan mangelir. Duh Suprapti....nasibmu begitu memelas....

Minggu, 14 Juni 2009

KALA CAYSA SELESAI MANDI

Semalam saya iseng-iseng mencoba merekam step by step pola Caysa setelah mandi. Dan seperti biasanya Caysa juga cuek, walau ada mamanya di kamar, Caysa tetap saja santai, tak perduli sudah berbusana atau belum. Mamanya yang memotret malah dibiarkan mengambil gambar-gambarnya. Dan inilah sedikit gambaran Caysa setelah mandi:

Rambut belum kering, tapi sudah mau pake baju



Menyisir rambut yang lebat, wajahnya meringis menahan sakit
karena kusutnya rambut


Haha....ini wajah gondruwo ma!!.....



Disisir ke belakang dulu ah....

Rambut sudah mulai rapi


Bedakan dulu ah.......


Dan inilah hasil akhirnya.... (wkwkwkwkw)