Sabtu, 28 Februari 2009

OJEK GAYA YOGYA

Ini cerita beberapa waktu lalu. Biasanya saya ke kantor bawa kendaraan sendiri, entah motor atau mobil. Maklum jarak kantor ke rumah hanya 10 km (dibanding sebelumnya yang 58 km), jadi paling praktis bawa kendaraan sendiri.

Tapi kemarin, entah karena gak nyaman, dan muncul rasa malas, akhirnya minta keponakan antar ke kantor. Toh rasanya hari itu tidak ada acara keluar. Nanti pulangnya, minta dijemput lagi.
Tiba saat pulang, keponakan yang diharapkan bisa jemput masih tertidur. Alamaaak....kapan sampai ke kantornya??? Belum mandinya, belum siap-siap. Padahal hari itu ada janjian mau ketemu dengan teman plus mau belikan oleh-oleh saudara yang akan kembali ke Jakarta.

Waktu sangat mepet, karena yang mau dibeli sekeranjang besar salak pondoh, jika telat bisa-bisa pasar grosirnya tutup. Dan kalau beli eceran pasti lebih mahal. Belum lagi janjian teman yang hanya sesaat di Yogya.

Keluar kantor, jalan ke perempatan jalan nyari ojek. Ini pilihan satu-satunya. Dan harus "memilih" ojek yang agak gesit, biar bisa cepat sampai rumah. Ealah......ternyata "stok" ojek habis, tinggallah satu-satunya bapak-bapak tua sekitar 60 tahun. Yang ada di pikiran, hanyalah: yang ini atau nunggu yang akan datang. Tapi kapan ada ojek lagi, sementara waktu rasanya mepet banget.

Ya....udahlah, ini aja. Moga-moga tuanya bapak ini di bidang perojeka, jadi pasti lincah di jalan. Langsung tanya ongkos plus syarat: "harus cepat ya pak....". Dengan mantap si bapak jawab: "o...ngiiih".

Maka naiklah di ojek, tarikan pertama saya sudah tarik nafas. Masya Alllah.........pelan amat!!!! Tapi masih sabar-sabarin ati. Moga-moga nanti di jalan yang agak sepi,bisa lumayan cepat.
Aduuuh.............ternyata sama aja. Ojeknya teramat pelaaaan....pelaaaan....... Ada celah nyalip aja gak dipakai. Wah....rasanya saya pingin ambil alih motornya, biar bapak ini jadi penumpang deh. Tapi saya masih nyoba sabar..... Sambil sms teman dan saudara kalau saya masih dalam perjalanan pulang kantor.

Tapi rasanya bapak ojek ini sifatnya sangat sabar banget deh!!! Beda dengan ojek-ojek yang lain yang main slap-slip. Saya sudah sangat gelisah, nahan sabar karena khusus yang ini betul-betul di batas kesabaran saya. Biasanya kita yang ingatkan ojek untuk ngebut, khusus yang ini,kita yang ingin ngojeknya ngebut. Tapi kegelisahan saya tidak "terbaca" oleh si bapak.

Akhirnya gak tahan juga, saya langsung bilang dengan sedikit menggerutu (kalau sejak awal gak mampu ngebut, ya jangan mau waktu syarat pertama saya ajukan): "Pak....agak cepat dong.....saya keburu-buru nih". Ealah.....bukannya bapaknya tancap gas malah jawab: "Sabar bu......wong saya saja gak apa-apa tetap sabar kok!!!".

Wah....saya pingin marah, tapi hanya bisa senyum sendiri: Inilah ojek ala Yogya, alon-alon waton kelakon!!! hehe.... Sampai rumah, hanya masuk ambil kunci mobil trus byurrrrrr ngebuttttt, menggantikan waktu ojek yang pelan-pelan tadi; "Iya pak....bapak sih sabar dan gak apa-apa, tapi saya.....harus ngebut biar bisa selesai semua urusan" batin saya setelah saya di mobil. Dan jelas si bapak gak tahu karena sudah balik ke pangkalan ojek lagi.

Rabu, 25 Februari 2009

"SEMUA SUDAH TERLAMBAT"

Sering sekali dalam persidangan perceraian, seorang wanita menunjukkan sikap yang patah arang. Dimana suami masih menunjukkan keinginan untuk memperbaiki rumah tangga tapi si istri sudah sangat tidak menginginkannya. Dengan hanya satu kalimat: "Semua sudah terlambat".

Seperti satu kasus yang saya hadapi, dimana pada tahun 2006 si suami (Suprapto) mempunyai hubungan dengan wanita lain. Hubungan ini diketahui si istri (Suprapti) pada tahun 2007. Kemudian istri menyelesaikannya lewat pimpinan kantor dimana Suprapto bekerja. Yang hasilnya Suprapto akan meninggalkan wanita tersebut dan kembali dengan Suprapti.

Tunggu punya tunggu, sejak 2007 sampai perkara diajukan, tak ada niat yang sungguh-sungguh dari Suprapto untuk membangun rumah tangga yang nyaris ambruk. Akhirnya Suprapti mengajukan perkara ini ke pengadilan. Mengetahui dirinya digugat cerai, barulah Suprapto "blingsatan" mencari dan ingin berbicara dengan Suprapti. Tapi bagi Suprapti, semua sudah terlambat. Waktu 2 tahun yang diberikan hanya terbuang percuma.

Kisah Suprapti yang patah arang ini dan Suprapto yang kesiangan ini,bukanlah satu-satunya kisah rumah tangga yang berujung ke perceraian karena si suami "mengentengkan" masalah rumah tangga yang melilit. Ketika istri dengan keberanian yang ada mengajukan perceraian, barulah suami tadi blingsatan. Seakan-akan lembaga peradilan adalah suatu ancaman.

Lembaga Peradilan Bukan Satu Ancaman
Sikap istri mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tentulah bukan sikap yang asal-asalan. Semua tentu didasari oleh catatan perjalanan panjang persoalan yang melilit rumah tangganya. Dan ini sangat tergantung dengan kemampuan istri untuk bertahan di tengah lilitan persoalan yang membelenggu kehidupan rumah tangganya.

Ada istri yang berpuluh tahun membiarkan hubungan yang terpisah (sebagaimana Suprapto dan Suprapti di atas) selama puluhan tahun. Bagi istri seakan-akan tak ada pengaruh, walau masih dalam ikatan yang sah tapi hidup terpisah dan tanpa penyelesaian yang nyata. Tetapi ada juga yang hanya berbilang bulan bahkan hari, ketika merasa rumah tangganya sudah tak mungkin dipersatukan kembali langsung mnegajukan gugatan cerai di pengadilan.

Masalah muncul, ketika di detik-detik istri mengajukan gugatan cerai. Perasaan suami tentu beragam, jika perceraian ini diinginkan, tentu suami akan bersyukur. Dan jika tidak atau masih ragu, maka banyak reaksi yang muncul. Salah satunya adalah mendekati kembali si istri, walau biasanya reaksi awal adalah penolakan istri seperti di atas: "semua sudah terlambat".

Bagi para Suprapto yang menghadapi hal seperti ini, tak perlu kuatir. Lembaga peradilan bukanlah lembaga ketok palu dan langsung mengijinkan keinginan istri. Hakim tentu akan mendengarkan jawaban yang akan diberikan si suami. Jika si suami masih menginginkan keutuhan rumah tangga, maka ungkapkanlah kesungguhan itu. Yakinkan pada hakim bahwa suami masih menginginkan keutuhan rumah tangga, minta waktu pada hakim untuk melalui proses rekonsiliasi tersebut.

Libatkan keluarga,kerabat terdekat. Jika memang dalam proses rekonsiliasi ini suami menemui hambatan jika ingin mendekati istri, maka libatkanlah kerabat terdekat atau orang-orang yang berpengaruh. Minta bantuan mereka untuk mengadakan pendekatan pada istri.

Biasanya dengan pendekatan kekeluargaan seperti ini akan membuahkan hasil yang memuaskan.Hal ini dikarenakan rasa sungkan istri dan sikap kerabat yang mengadakan pendekatan bisa meyakinkan istri atas niat baik suami.

Dan yang terpenting disini adalah si suami haruslah betul-betul melakukan tindakan-tindakan yang menuju perbaikan, dan bukan hanya punya keinginan yang terpendam di hati.Tanpa implementasi apa-apa yang membuat istri semakin mantap mengajukan perceraian.

Ini semua hanyalah upaya-upaya yang dilakukan suami jika istri sudah merasa:"Semua Sudah Terlambat". Tentu yang terbaik adalah, selesaikanlah masalah rumah tangga sesegera mungkin, jangan biarkan berlarut-larut hinggga semua menjadi terlambat........

(Yk, 25 Pebruari 2009, jam 2 dinihari kala mata tak bisa terlelap)

Senin, 23 Februari 2009

DUA "HIBURAN" DARI ABIL DI SENIN PAGI

Sampai hari ini pembantu rumah tangga kami belum datang, otomatis semua pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan sendiri. Jangan ditanya rasa capenya, karena biasanya hari Sabtu dan Minggu dipergunakan untuk sedikit istirahat, untuk minggu kali ini gak ada jadwal istirahat deh.

Termasuk pagi Senin ini, harus bangun pagi-pagi sebelum subuh.Yang biasanya sholat malamnya bisa lebih longgar, ini harus segera masuk dapur, biar saat subuh semua sarapan dan bekal sekolah anak-anak sudah siap. Pokoknya.....berjibaku antara dapur dan sarapan anak-anak. Maklum walau sudah bisa makan sendiri, tapi kalau yang namanya sarapan, harus disuapin. Karena mereka sarapan masih dengan mata setengah tertutup.

Jam 05.30 kloter pertama (Vansa dan Caysa) berangkat sekolah diantar mas Hudi, tinggallah di rumah Abil yang masih leha-leha. Ngantuk karena semalam sahur dan biasanya berangkat jam 06.30. Sementara Abil tidur, saya beres-beres rumah, bersihkan dapur, cuci piring. Tiba-tiba terdengar suara Abil dari kamar mandi: "Mama.....tolong handuknya dong....kan sudah lama kakak gak minta tolong ambilkan handuk".

Ealah.....anakku, "kebiasaan" ini kok gak hilang-hilang. Tapi semuanya saya ambil sebagai hiburan aja. Karena kalau hal-hal yang seperti ini diributkan, sayang energi yang keluar. Toh sebenarnya Abil sudah tahu, bahwa ini adalah "kekhilafan" yang berulang-ulang. Dan kalau saya marah, rasanya eman-eman energi kita. Ya.....anggaplah ini hiburan di antara kelelahan saya bekerja.

Belum sampai distu suguhan hiburan Abil. Waktu saya nengok kamar saya, masya Allah...tempat tidur yang sudah rapi, acak-acakan lagi. Siapa lagi kalau bukan jejaka yang satu ini. Bukan hanya acak-acakan, ada lagi ketambahan bantal buntutnya. Heeeeemmmmm...... anakku...anakku. Kamu rindu dikelonin mama ya. Padahal mama masih di dapur??? Itu aja yang ada di hati saya. Karena kalau diambil "negatifnya", kita bisa marah karena merasa lelah tempat tidur yang baru saja dirapikan sudah amburadul dengan kehadiran Abil.
Kalau yang ini, saya juga tak "menegur Abil", dan saya biarkan juga bantal buntutnya tetap di kamar. Paling nanti malam Abil akan datang lagi dan lendotan lagi.

Inilah sedikit hiburan dari Abil di Senin pagi ini. Entah apalagi hiburan yang akan diberikan besok pagi..... "Abil.....abil!!!"

Kamis, 19 Februari 2009

RAGAM BAHASA DALAM PERSIDANGAN

"BERBAHASA SATU BAHASA INDONESIA", ini kalimat yang menjadi bagian dari sumpah pemuda tahun lebih seratus tahun yang lalu. Belum lagi UUD 1945 menegaskan tentang Bahasa negara adalah Bahasa Indonesia. Tapi apa mau dikata, kita hidup beragam, dengan keragaman bahasa yang menyertai. Andai kita semua bisa berbahasa Indonesia, tentu mudah dalam berkomunikasi. Jika tidak, maka tentu ini menjadi kendala, termasuk hakim ketika memeriksa perkara.

Dalam aturan, jika dalam proses berperkara ada bahasa yang bukan bahasa Indonesia, seyogyanya dipergunakan penerjemah. Mungkin ada beberapa sidang yag pernah kita ikuti, dimana terdakwanya/pihak-pihak yang tidak bisa berbahasa Indonesia, maka akan didampingi oleh peneramah. Ini umumnya jika pihak-pihak adalah WNA. Tapi sangat jarang kita temui jika pihaknya hanya mampu bahasa daerah dan hakimnya tidak bisa bahasa daerah tersebut,kemudian menggunakan penerjemah. Jika ini terjadi, maka kadang muncul hal-hal yang "menggelitik" jika diingat kembali hanya membuat tersenyum. Ini ada beberapa kejadian yang masih "nyantel" yang bisa jadi bahan ocehan.

1. Pernah dalam satu perkara penetapan nikah, dimana pernikahan tersebut terjadi pada tahun 1933 (76 tahun yang lalu). Yang mengajukan (Pemohonnya) adalah anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Maka saat di panggil masuk persidangan, Pemohon (anak-anak dari perkawinan tersebut) yang rata-rata sudah berumur di atas 70 tahun dengan jalan yang sudah tertatih-tatih. Bisa diduga, kemampuan bahasa Indonesia nyaris tak ada, belum lagi pendengaran yang kurang. "Waaah...gak enak juga mau ngomong Jawa yang belepotan dengan suara harus teriak. Bisa jadi kacau balau deh.". Akhirnya kami menyerahkan pemeriksaan pada teman yang orang Jawa asli: "Monggo pak...jenengan mawon seng merikso,kulo leren mawon"

2. Pihak yang berperkara bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, kemudian setelah dewasa menjadi TKW di Malaysia. Maka "keahlian" bahasanya adalah bahasa Jawa plus bahasa Melayu. Dan ketika hakim bertanya dengan bahasa Indonesia, yang ditanya akhirnya menjawab dengan bahasa Indonesia "aksen" Melayu.
"Bagaimana keadaan rumah tangga saudara?"
"Awak tuh tak pernah diberi nafkah bu hakim.Sakit hati awak nih..."pihak yang ditanya "nyerocos" bahasa Indonesia dengan aksenMelayu.
Dan hakimpun hanya tersenyum sejenak....

3. Logat hakim tentu berbeda-beda. Walau sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, tetap saja sulit menghilangkan aksen bahasa ibu. Dan mungkin ini juga diamati oleh pihak-pihak yang berperkara.
Salah satu Ketua Majelis saya adalah orang Riau, walau sudah puluhan tahun tinggalkan Natuna, tapi tetap saja aksen Melayunya tak luntur.
"Siapa yang akan saudara ajukan sebagai saksi?" tanya pak Jas yang orang Riau.
"Adik mak, pak hakim" Jawab Penggugat "mengikuti" bahasa hakimnya, yang orang Melayu.
Mendengar jawaban Penggugat, majelis hanya senyum-senyum. "Wah....mereka tahu kalau yang nanya bukan orang Jawa. Maka dia tidak menjawab" Bulek saya pak hakim".

Ternyata ragam bahasa di persidangan sangat macam-macam. Dan ini bisa menjadikan "hiburan" bagi hakim di tengah penatnya memeriksa perkara. Hidup Bahasa Indonesia, Hidup Bahasa Daerah!!!

Rabu, 18 Februari 2009

KOK HANYA SEKALI, BISA HAMIL YA? (Gak niat membawa masalah)

Bingung juga ketika saya ingin memulai menulis judul ocehan ini. Apakah "Gak sengaja membawa sengsara", atau "Gak niat membawa masalah". Karena semua bermula dari ketidaksengajaan, ketidakmauan dan mungkin juga ketidaktahuan. (Setelah selesai menulis, baru kemudian menempatkan judul seperti di atas)

Adalah seorang gadis berusia 16 tahun, yang sedang ranum-ranumnya. Gadis cantik,tubuh semampai dan sorot wajah yang cukup matang, kita sebut Fulanah.
Fulanah kita ini,, dihadirkan dalam sidang, karena hendak dinikahi oleh si Fulan yang masih berumur 18 tahun 2 bulan.Perkaranya apalagi kalau bukan dispensasi kawin. Alasan yang melatabelakangi adalah karena si Fulanah ini telah hamil 5 bulan.

Ketika hakim mulai memeriksa Fulanah sebagai calon istri, tidak tampak rona kebahagiaan di wajahnya.
"Fulanah, apakah benar saudari hendak menikah dengan Fulan?", tanya hakim.
"Betul", jawaban singkat seakan tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya ditopang dengan anggukan kepala.
"Saudara tahu kenapa saudara diajukan ke persidangan?"
Fulanah hanya terdiam.
"Saudara siap untuk menjadi ibu?"
Lagi-lagi Fulanah hanya terdiam, dan memalingkan wajah seakan-akan tak ingin dilihat oleh Fulan maupun orang tua Fulan. Hanya tetesan airmata yang membasahi pipi Fulanah.
"Saudara mencintai Fulan?"
Fulanah hanya menggeleng lemah.
"Betul saudara saat ini hamil"
Fulanah hanya menganggukkan kepala sambil memalingkan wajah, seperti tidak ingin dilihat matanya.
Hakim mulai merasakan ada yang berbeda dengan perkara ini. Ada sesuatu yang seakan terpaksa dan dipaksakan. Dan itu semua terkuak ketika tanya jawab berakhir.

Alkisah, Fulan dan Fulanah memang pernah saling menyukai. Kemudian di satu saat pada bulan Agustus lalu, antara Fulan dan Fulanah melakukan hubungan suami istri. Fulanah tak tahu, apakah ini keterpaksaan atau bukan. Jika keterpaksaan, tentu sejak awal menolak. Tetapi jika mau sama mau, saat itu mereka bukan berstatus pacaran.

Hubungan yang hanya sekali tadi, entah karena coba-coba, entah karena penasaran, tak dinyana menyebabkan Fulanah hamil. Semua geger!!! Jangankan keluarga yang panik,Fulanahpun terkesima;"Kok hanya sekali, bisa hamil ya?". Tapi apa hendak dikata, semua terjadi.Di rahim Fulanah telah bersemayam jabang bayi dari hubungan yang hanya sekali tadi.

Kegelisahanpun muncul, karena pada dasarnya Fulanah tidak mencintai Fulan. Hubungan badan yang pernah dilakukan (entah sengaja, entah suka) ternyata berbuah hasil. Jika tidak menikah dengan Fulan, bagaimana dengan jabang bayi ini? Jika menikah, hati Fulanah sangat gusar karena tidak mencintai Fulan sepenuhnya.

"Kalau disuruh memilih, maka saya tidak memilih Fulan sebagai suami saya"
"Kalau tidak hamil, maka orang tua saya tidak setuju saya menikah dengan Fulan ini", ini adalah kata-kata penutup yang mendasar yang keluar dari mulut Fulanah yang sejak awal banyak diam.

Banyak poin yang bisa kita ambil dari masalah Fulan-Fulanah di atas, selain karena pemahaman agama, pengawasan orang tua, lingkungan dan yang terpenting pengetahuan tentang reproduksi yang tidak memadai.Mungkin baik Fulan maupun Fulanah tidak menyadari bahwa biar hanya sekali berhubungan badan, bisa menyebabkan hamil.Sehingga pertanyaan:"Kok hanya sekali bisa hamil ya?" takkan keluar dari mulut Fulanah yang masih menginginkan melewati masa remaja denganteman-teman, bukan dengan suami yang tidak dicintai karena kehamilan yang tidak diinginkan.

Saya tak ingin meramal terlalu jelek terhadap kelanjutan perkawinan mereka ini. Hanya sikap acuh tak acuh antara Fulan dan Fulanah tatapan yang jauh dari kebahagiaan dan kemesraan, bisa menjadi petunjuk awal arah perkawinan ini. Kita boleh berharap baik, tapi tentu jika didasari oleh hal-hal yang baik. Tapi masihkah kita bisa berharap baik pada Fulan dan Fulanah kita ini?

Kita sebagai orang di luar Fulanah tadi hanya bisa prihatin. Kita bisa membayangkan bagaimana kegusaran keluarga Fulanah. Bagaikan simalakama. Jika tidak menikahkan, maka kasihan nasib bayi yang ada di rahim Fulanah. Jika dinikahkan, tanpa dasar cinta, maka sudah bisa dibayangkan nasib perjalanan rumah tangga ini. Semoga kita bisa belajar dari pelajaran yang diberikan Fuan-Fulanah kita ini.Mungkin saatnya kita bisa terbuka pada anak-anak kita, kita beri pelajaran tentang reproduksi, sesuai usia dan kematangan anak-anak kita.

Senin, 16 Februari 2009

PENGOTAKKAN TERHADAP ALASAN KDRT



Begitu ragam alasan tindakan KDRT yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Bahkan beberapa hari yang lalu, saya membaca di sebuah berita di Tapanuli ada seorang suami yang menganiaya istrinya hanya karena tidak dibuatkan teh sepulang bekerja. Miris sekali rasanya, betapa nilai seorang istri kalah dibanding nilai segelas teh. Setelah perilaku ini dilaporkan di kepolisian, barulah suami menyadari kesalahannya.

Tetapi beberapa hari yang lalu pula, saya menyidangkan sebuah perkara seorang Suprapto yang menganiaya istrinya Suprapti sampai babak belur dikarenakan Suprapto menuduh istrinya mempunyai hubungan dengan laki-laki lain. Oleh istrinya perlakuan KDRT tersebut dilaporkan polisi dan setelah proses di persidangan Suprapto harus mendekam di LP selama 60 hari.

"Saya tak menyesal dipenjara, walau saya tak salah. Toh apa yang saya tuduhkan pada istri saya adalah benar. Sebulan yang lalu istri saya melahirkan, dan itu bukan anak saya".
Sengaja kalimat "walau saya tak salah", saya pertebal, karena ini yang menarik bagi kita untuk menjadi ocehan. Bagaimana seorang suami yang telah menganiaya istrinya sampai babak belur tapi tak pernah merasa bersalah karena tuduhan zina kepada istrinya di kemudian hari benar adanya.

Entah "legal standing" apa yang ada di benak Suprapto untuk menganiaya istrinya, apakah berdasar Islam, budaya atau sebenarnya faktor pribadi Suprapto yang ringan tangan.
Dalam pemahaman Suprapto, Islam memperbolehkan suami untuk mendidik istri dengan tangan, kemudian lisan dan dengan hati, dan ini adalah selemah-lemahnya.

Saya tak ingin memperdebatkan apa yang ada dalam keyakinan Suprapto tadi,hanya saya ingin mencoba mengurai "tafsir pribadi" saya, bahwa mendidik dengan tangan bukanlah diartikan semata-mata dengan pemukulan dan kekerasan. Kita menuntun orang untuk berjalan dengan benar, tidak terjatuh, dan tidak belok-belok juga menggunakan tangan. Begitu juga jika kita menunjuk sesuatu, maka tentulah kita menunjuk dengan tangan.

Artinya, janganlah pemahaman mendidik dengan tangan, diartikan mendidik dengan memukul. Didiklah dengan tangan untuk membimbing dan menunjukan mana yang semestinya dilakukan dan mana yang semestinya dijauhi oleh istri. Raih tangan istri untuk berjalan bersama, bukan tangan kita yang kita arahkan untuk memukul fisiknya.

Suprapto juga memahami, bahwa hukuman bagi wanita dan laki-laki yang berzina adalah dirajam sampai mati. Andai Suprapto adalah murid saya, akan saya ajarkan padanya bahwa hukuman itu berlaku pada masa dan tempat tertentu. Saat ini kitapun mempunyai hukum tersendiri. Dan sadarilah, bahwa pada zaman hukum rajam diberlakukan, sang "eksekutor" bukanlah si suami sendiri. Maka andaipun Suprapti telah terbukti berzina, maka bukan Suprapto yang mengeksekusi dengan mebabakbelurkan fisik Suprapti. Serahkan itu pada negera, biarkan negara yang akan memeriksa. Hal inipun terjadi pada masa nabi dan khalifah, sebagai eksekutor adalah dari negara , bukan si suami.

Lagi-lagi budaya patriarkhi menjadi "alasan pembenar" seorang suami menganiaya istrinya. Laki-laki merasa pemimpin, merasa pahlawan, merasa penyelamat, dan merasa hal-hal yang bersifat heroik sehingga apapun yang dilakukan kepada istri semua benar adanya.
Maka ketika Suprapto melakukan penganiayaan terhadap Suprapti, seakan-akan dibenarkan oleh budaya patriarkhi tadi.

Saya tak ingin membahas secara panjang lebar,karena ini masih terjadi polemik dalam masyarakat, yang sebagian masih menempatkan laki-laki mempunyai posisi di atas wanita. Laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga,dan wanita harus patuh dan taat.Bukan melihat ada kesamaan keduanya dalam hak dan kesempatan, kecuali yang memang secara kodrati yang membedakan, yaitu melahirkan dan menyusui.

Lepas dari alasan budaya patriarkhi, saya masih ingat orang tua saya mengajarkan budaya mereka (budaya Bugis) yaitu budaya "masirri", hal ini sangat berkaitan dengan harga diri. Jika yang diserang adalah keluarga dan harta, maka ini semua adalah pelanggaran harga diri,dan nyawa adalah bayaran yang paling tepat. Dan jika Suprapto tadi orang Bugis, maka Suprapto akan membunuh pasangan Suprapti tadi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Suprapto adalah sebagai lelaki pengecut.

Kedua alasan budaya tadi, hanya sebagai gambaran betapa budaya begitu kuat, sehingga mempengaruhi perilaku seseorang dalam berbuat sesuatu, termasuk perlakuan suami terhadap seorang istri.
Selain kedua alasan tadi, ada juga peyebab yang lain adalah faktor emosi dari masing-masing pelaku. Dalam kasus yang sama, respon yag dilakukan seorang suami mungin sama dan tak jarang juga berbeda. Dan Suprapto dalamkasus ini merupakan suami yang cukup emosional dan menyelesaikannya dengan cara membogem istri.
Mungkin di kasus yang lain, suami-suami yang penyabar, menyelesaikannya lebih penuh kesabaran, tanpa harus dengan kekerasan fisik. Yang justru bisa berakibat suami harus menjalani penjara karena melakukan pelanggaran KDRT. Bagi suami penyabar, kekerasan bukanlah peyelesaian.

Dua kasus ini sengaja saya angkat, sebagai gambaran bagaimana para suami dan( mungkin juga ) kita semua masih memberlakukan pengkotakan terhadap KDRT yang dilakukan suami terhadap istri. Jika alasan si istri tidak membuat teh dan suami marah dan melakukan KDRT akan kita semua akan ramai-ramai menghujat si suami. Tetapi jika KDRT disebabkan karena istri berzina, maka banyak alasan pembenar, sehingga jangankan kita, si suamipun tak pernah merasa bersalah dengan KDRT yang dilakukan.

Sudah saatnya tidak ada pengkotakkan terhadap alasan KDRT. Apapun alasannya, KDRT harus tak ada di sekitar kita.

(Gambar:http://azhar76.files.wordpress.com/2008/10/kdrt.jpg)

Sabtu, 14 Februari 2009

MAMA SANG "eksekutor" GIGI SUSU

"Mama pulang jam berapa? Gigi adek sudah goyangnih, mau minta segera dicabut mama" suara Caysa lewat telpon.
"Nanti jam 5 sayang, sebentar lagi. Sampai rumah nanti mama segera cabut" jawab saya.
"Cepat ya ma, biar adek cepat dapat uang. Hehe......"

Ini jadi "kebiasaan" anak-anak, jika gigi susunya goyang karena mau diganti gigi baru, maka mamanya yag menjadi "eksekutor"gigi. Tapi berbeda dengan praktek dokter gigi, yang dapat imbalan dokter giginya, tapi di rumah yang dapat imbalan justru yang giginya di cabut.

Walau sudah sangat goyang, dan tak perlu waktu lama untuk mencabut, mungkin juga tidak ada rasa sakit, tapi tetap aja Caysa nangis. Sedihnya Caysa tak menjadi kesedihan kami, karena yang melihat hanya tersenyum-senyum. Hehe...jelas gak sakit kok ya nangis!!!


Setelah nangis bersembul senyum karena pasien telah dibayar
atas gigi yang telah "dieksekusi" mama.

Wajah asli Caysa dengan senyum sebelum gigi dieksekusi

Kamis, 12 Februari 2009

SAYA YANG KALAH SUARA KETIKA MEMUTUS PERKARA DISPENSASI KAWIN

"Gimana pendapat ibu?" Demikian kalimat dari Ketua Majelis ketika menanyakan pendapat saya saat kami musyawarah majelis tentang sebuah perkara dispensasi kawin yang sedang kami tangani.
"Kalau saya, ini kita tolak saja. Karena tinggal 3 bulan lagi si Fulan yang berumur 18 tahun 9 bulan ini mencapai batas umur minimal bagi seorang laki-laki. Selain itu juga tak ada alasan yang "mendesak" seperti Fulanah hamil yang menyebabkan kita harus segera menikahkan mereka.

Sambil setengah bercanda teman saya mengatakan:"Bu Lily, selama ini di Bantul, baru ada 2 perkara dispensasi kawin yang ditolak, dan semua majelis hakimnya ada ibu".
Kami kemudian berdebat cukup panjang dengan berbagai argumen dimana teman saya berbeda pendapat dengan saya.

Inilah sebagai "gambaran sumir" bagaimana suatu putusan perkara dispensasi kawin harus melewati jalan yang cukup alot jika saya sebagai majelis. Saya tidak bisa menggambarkan secara rinci, karena sifat musyawarah majelis tertutup dan rahasia.

Kenapa saya lebih berhati-hati dalam memutus perkara dispensasi kawin?Karena hakim sebagai salah satu penegak undang-undang atau peraturan.Dengan putusan hakim, maka undang-undang itu bisa dilaksanakan. Siapa lagi garda terdepan suatu UU itu bisa efektif berlaku jika bukan hakim.

Saya tidak punya massa dan lembaga agar bisa "action" membuat satu gerakan menikah di usia matang,( minimal sesuai yang diamanatkan UU). Hanya dengan keputusan yang kami keluarkan yang bisa menjadi distribusi nyata agar UU tersebut bisa terlaksana.

Peran hakim, bukan sebagaimana (maaf) pejabat kelurahan yang mengeluarkan surat keterangan sebagaimana gambaran teman saya. Hakim punya peran strategis meredam laju pernikahan dini melalui putusan yang dikeluarkan. Dengan memeriksa secara seksama, dan tidak mudah memberi izin kecuali benar-benar keadaan sudah terpaksa, maka hakim bisa memberangus stigma di masyarakat bahwa:"tak ada permohonan dispensasi kawin yang ditolak oleh pengadilan".

Tapi bukan juga hakim akan "sok gagah-gagahan" menjungkir balikkan stigma tadi dengan banyak menolak perkara dispensasi yag diajukan. Untuk perkara-perkara yang mendesak, dimana lebih banyak mudhorat daripada manfaat jika ditolak, maka seharusnya hakim dengan bijak mengabulkan permohonan dispensasi kawin yang diajukan.

Ada beberapa pertimbangan saya yang sangat berhati-hati (lebih ketat) dalam mengabulkan suatu permohonan dispensasi kawin, dan sebagai hakim hanyalah dengan putusan hakim, kita bisa meredam laju semakin maraknya pernikahan dini. Seharusnya semua pihak, baik hakim maupun para pihak yang mengajukan permohonan dispensasi kawin melihat lembaga peradilan:

1. Bukan sebagai lembaga administratif, sehingga permohonan yang diajukan punya kecendrungan untuk selalu dikabulkan. Sebagaimanapun besar keinginan pemohon untuk menikahkan anaknya, pengadilan masih harus memeriksa secara teliti, apakah patut permohonan pemohonan sebagai orang tua dari Fulan maupun Fulanah yang masih di bawah umur dikabulkan.

Hakim betul-betul harus memeriksa kesiapan mental dari Fulan maupun Fulanah untuk menikah. Dengan melihat dan bertanya di dalam persidangan, tentu hakim dapat menilai sampai dimana kedewasaan Fulan maupun Fulanah tadi memasuki jenjang pernikahan. Karena kematangan seseorang bukan hanya ditilik dari usia.

Dalam pemeriksaan, hakim bisa mendapatkan gambaran sampai dimana kematangan tersebut telah dimiliki, sehingga hakim bisa mengambil sikap untuk menerima atau menolak permohonan dispensasi kawin ini. Jangan sampai jika hakim mengabulkan dispensasi kawin ini, ternyata di kemudian hari perkawinan tersebut banyak menimbulkan masalah yang kemudian hari berujung pada perceraian.

2. Putusan hakim sebagai penegak UU. Sebagaimana telah diurai di atas, hakim sebagai penegak suatu UU dilaksanakan. Bagaimana UU itu bisa dilaksanakan dengan teguh, jika banyak hakim agak permisif dengan UU.

Hakim bisa menggunakan kekuasaannya lewat putusan yang dihasilkan sebagai rem lajunya suatu pernikahan di bawah umur. Tentu dalam putusan hakim itu harus mengandung 3 asas suatu putusan, yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Khusus dalam hal ini, jika memang keadaan sangat tidak mendesak, maka sebaiknya lebih berhati-hati mempertimbangkan putusan ini.

Manfaat dari sikap tidak mudah mengabulkan, maka kita bisa menciptakan generasi yang matang menikah, bukan menikah seadanya. Dengan semakin "mempersulit" izin, maka ke depannya akan timbul pemahaman di masyarakat, bahwa tidak mudah mengajukan dispensasi kawin dan tidak semua perkara dispensasi kawin akan dikabulkan sebagaimana stigma yang telah berkembang. Ini akan berdampak anak-anak kita akan semakin hati-hati dalam pergaulan.

Hal di atas, adalah bagian kecil dari yang bisa kita lakukan sebagai hakim, sebagai bagian dari masyarakat yang mengidamkan generasi kemudian lebih baik dari generasi kini. Tapi ini tidak mudah, karena saya bukan hanya berhadapan dengan ribuan orang, dengan 2 teman hakim pun saya masih kalah suara.

Selasa, 10 Februari 2009

SUARA WANITA YANG DIMADU

Suamiku,
Hari ini ijab kabul pernikahan itu terucap kembali
Bukan untukku
Tapi untuk wanita yang kau cintai

Aku melihat
Binar kebahagiaan di raut wajahmu yang sumringah
Walau hatiku pedih dan penat
Menahan sedih dan gelisah

Aku menganggukkan kepala
Saat engkau meminta ridhoku agar kau menikah lagi
Karena aku tak mampu berucap kata
Untuk menyatakan apa kata hati

Aku tahu kasihku
Engkau tetap mencintaiku
Karena aku juga sangat mencintaimu
Tanpa lekang oleh waktu

Tapi cintamu saat ini terbagi
Bagiku dan bagi wanita yang saat ini bersama kita
Wanita itu hadir dalam baiti janati
Yang telah lama kita bina bersama

Izinkan aku menangis,cintaku
Bukan untuk meratap pernikahanmu
Tapi untuk melepas beban yang ada
Karena ternyata poligami itu nyata

Aku tak ingin menguruimu
Tentang perasaanku saat ini
Perasaan wanita yang dimadu
Karena aku tahu kau tahu luka hati

Suamiku,
Andai hari ini kebahagiaan bersamamu
Bagilah itu kepada kami
Kepada anak dan istri yang selalu menanti

Kami ingin kebahagiaan itu selalu ada
Walau tak setiap saat selalu bersama
Berilah kebahagiaan itu
Padanya dan padaku

Aku tak menuntut semua sama
Sebagaimana membagi roti dibelah dua
Tapi yang kupinta
Berilah kasih yang sama pada kami berdua

Ketika rasa adil ada dalam hati
Kebahagiaan akan selalu menyelimuti
Dan tak akan ada rasa sesal di hati
Pada anggukan kepala saat izinkan engkau berpoligami

(suara "imaginer" dari wanita yang beberapa hari lalu mengizinkan suaminya menikah lagi)

Sabtu, 07 Februari 2009

BUAT MOCHAMMAD, (ttg wali adhol)

Mochammad mengatakan...

Saya, ingin menikahi kekasih saya..namun kekasih saya ingin menggunakan wali adhol yang dikarenakan orang tuanya sangat amat tidak setuju jika anaknya saya nikahi, tapi saya takut pengadilan dibeli oleh org tua dia, karena mereka org kaya dan akan melakukan apa saja untuk menghalangi pernikahan kita, bagai mana solusinya. thx

Pertama-tama, terima kasih atas atensinya terhadap blog ini, walau pada awalnya tujuannya sebagai ajang komunikasi antar sahabat, ternyata ada beberapa juga "sahabat baru" yang sempat membaca "ocehan Lily" ini.
Sengaja ini saya khususkan, karena jika dibalas dalam komentar, membuat formatnya tidak nyaman untuk dibaca.

Tentang wali adhol, yang harus ditegaskan, bahwa anak tak bisa memilih "wali adhol" sebagaimana kekasih mas Mochamammad inginkan. Wali adhol ada, ketika orang tua memang enggan untuk menikahkan. Dan untuk mengetahui keengganan orang tua untuk menikahkan, maka proses menuju pernikahan itu harus dilakukan. Dalam hal ini proses di Kantor Urusan Agama.

Saran saya, lakukan urut-urutan proses menuju perikahan tersebut, al:
1. Peminangan/Lamaran.
Jika memang sudah mantap untuk menikah, segera lakukan lamaran. Walau sebenarnya mas Mochammmad tahu peminangan ini akan ditolak, tapi ini tetap harus dilakukan. Karena jika memang masalah ini akan sampai ke pengadilan, maka hakim pasti akan mempertimbangkan pernah atau belum pernah melakukan lamaran, termasuk alasan calon wali menolak lamaran ini.

Akan sangat tidak etis jika kita sudah menganggap orang tua calon istri enggan untuk menikahkan dan segera mengajukan "permohonan wali adhol" sementara kita belum pernah melakukan peminangan.

Tentu dalam peminangan kita berharap lamaran akan dikabulkan, dan kalaupun ternyata ditolak sementara kita mantap untuk melaju ke jenjang pernikahan, maka lakukan proses pendaftaran pernikahan di KUA.Ini dengan syarat usia sudah mencukupi. Karena jika belum,maka harus terlebih dahulu dilakukan permohonan dispensasi kawin di pengadilan,

2. Pendaftaran di Kantor Urusan Agama.
Ada beberapa syarat formil yang harus dipenuhi, al: usia yang telah mencukupi (wanita 16 tahun dan laki-laki 19 tahun), surat keterangan keluarahan, dll. Termasuk beberapa form surat dari KUA yang harus diisi, termasuk surat "KESEDIAAN MENJADI WALI" dari orang tua calon istri.

Biasanya, jika lamarannya ditolak, otomatis wali tersebut tidak bersedia untuk menjadi wali. Karena yang berhak menjadi wali tidak bersedia menikahkan, maka KUA pun tidak berani menikahkan saudara dengan calon istri tanpa izin pengadilan.KUA kemudian akan mengeluarkan surat penolakan menikahkan dengan alasan wali tidak bersedia menikahkan. Maka langkah ketiga harus ditempuh yaitu mengajukan izin ke pengadilan.

3. Permohonan wali adhol di Pengadilan Agama.
Dengan berbekal surat dari KUA yang menolak menikahkan karena orang tua enggan menikahkan, maka kekasih mas Mochammad mengajukan permohonan wali adhol di Pengadilan Agama.

Pengadilan akan memanggil calon wali tadi untuk didengar keterangannya serta alasan-alasan penolakan untuk menjadi wali.
Jika alasan-alasan wali tadi menolak memang cukup mendasar, yaitu kaitannya dengan akidah dan syari'ah (misalnya berbeda keyakinan,masih mempunyai hubungan nasab,masih terikat denga perkawinan yang lain atau perilaku yang buruk), maka kemunginan permohonan wali adhol dari kekasih saudara akan ditolak. Sehingga KUA pun
tidak akan menikahkan.

Demikian juga sebaliknya, jika alasan penolakan dari wali menurut majelis hakim adalah tidak mendasar (bukan karena alasan aqidah dan syari'ah) hanya berdasar sentimen, gengsi dan semacamnya, maka tentu majelis akan mengabulkan permohonan wali adhol tersebut. KUA dengan berdasarkan putusan pengadilan yang menetapkan wali dari istri adalah wali adhol, akan menikahkan mas Mochammad dengan calon istri dengan menggunakan wali hakim.

Bagaimana jika orang tua/ wali tidak mau hadir dalam persidangan walau telah dipanggil untuk menghadap?
Terhadap hal seperti ini,maka majelis menganggap wali tersebut telah melepaskan hak-haknya untuk memberi jawaban. Majelis cukup memeriksa saksi-saksi dari pemohon.
Saksi yang biasanya diminta untuk dihadirkan dalam persidangan adalah saksi-saksi yang terlibat langsung dalam proses pernikahan ini. Antara lain, pihak-pihak yang pernah mendatangi wali untuk lamaran, atau juga kerabat terdekat yang tahu alasan-alasan wali menolak menikahkan anaknya.

Tak lupa juga majelis akan menghadirkan calon suami. Disini majelis selain menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan nasab, perilaku, juga kesiapan dan tanggung jawab secara ekonomis jika permohonan wali adhol ini dikabulkan. Ini semua sebagai sikap kehati-hatian majelis.Dan sebagai dasar pertimbangan majelis dalam memutus perkara ini.

Tentang kekhawatiran mas Mochammad bahwa "pengadilan akan dibeli oleh orang tua kekasih". Tanpa maksud membela diri karena saya berkecimpung di lembaga ini, marilah kita sama-sama memandang positif lebih dahulu institusi peradilan. Tak perlu kuatir jika kekasih saudara mengajukan permohonan wali adhol, akan "kalah" karena orang tuanya akan "membeli" Pengadilan. Kalaupun memang ternyata dalam proses di pengadilan, kemudian menemukan indikasi ada hal-hal yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan, mas Mochammad bisa melaporkan hal ini pada Komisi Yudisial. Dan yakinlah bahwa laporan saudara jika memang benar, tak akan disia-siakan.

Terakhir tetapi yang utama adalah, jika persoalan ini memang benar terjadi, utamakan jalan kekeluargaan. Jika mas Mochammad tidak mampu, libatkan orang lain yang sekiranya mampu menaklukkan hati orang tua calon istri. Karena perkawinan adalah lembaga keluarga, maka sebaiknya kita membangun lembaga ini atas pilar restu orang tua, bukan menghancurkan kekerabatan anak dan orang tuanya.
Proses ke pengadilan adalah proses akhir dan terpaksa, jika memang berbagai upaya kekeluargaan sudah tidak menemui hasil.

Terima kasih, dan semoga semua bisa terselesaikan dengan baik dan damai.

PERJALANAN SELAMA 15 TAHUN (medio 30 Januari1994-30 Januari 2009)


Tak terasa hari ini, genap 15 tahun bahtera rumah tangga kami biduk bersama.
Perkawinan yang diniati dengan tekad hendak membangun rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah. Walau rasanya itu masih jauh dari harapan, tapi tentu kaki harus melangkah menuju cita.

Jauh dari harapan, jika barometernya adalah tak ada riak ombak sedikitpun, karena tak ada bahtera yang selamanya mulus,pasti ada riak yang mengolengkan bahtera itu.Kadang riak itu kecil, dan tak sedikit pula kami harus hadapi ombak yang sangat besar yang rasanya tak mampu untuk dilewati. Ternyata ombak itu tak selamanya besar dan menggulung bahtera.

Dan jika bisa lolos dari terjangan ombak, rasanya ada kepuasan dan kebahagiaan. Dengan harapan kelak tak ada lagi ombak yang dapat mengguncangkan bahtera ini.
Harapan serta optimisme itu harus ada, apalagi di bahtera ini telah diberi amanah oleh Allah dengan 3 hamba Nya. Sebuah Amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan.

3 Amanah ini menjadi sugesti yang kuat ketika ombak itu datang. "Kami harus menyelamatkan bahtera ini demi 3 amanah ini", ini adalah sugesti yang begitu mujarab. Jenis apapun badainya, seberapa besar pun ombak yang ada, sugesti ini begitu melekat. Dan meluruhkan segala keraguan atas ketidakmampuan untuk menghadapi badai.

Jangan tanya, siapa yang menjadi nakoda. Karena ini adalah bahtera dengan sinergi 2 nakoda. Semua punya andil, semua punya peran dan semua punya kebijakan, yang tentu kadang ada gesekan. Hanya toleransi yang besar yang bisa mengharmonikan 2 sinergi yang kadang berlawanan arus. Tapi itulah hidup, perbedaan akhirnya melahirkan kompromi.

Ketika kompromi itu ada, seakan tak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Apalah kebiasaan suami atau istri yang kadang menjengkelkan, dibanding dengan perhatian yang diberikan begitu besar. Kejengkelan itu akhirnya menjadi dirubah menjadi "lelucon" sebagai trade merk suami-istri. "Bukan suamiku jika rajin mengganti lampu yang mati". Dan mungkin juga suamiku mengatakan "Bukan istriku kalau wanita pendiam". Yang ada di hadapan saya adalah suami yang sering acuh dengan dengan lampu yang mati, septic tank cucian piring yang lama gak dibetulkan, telpon yang rusak tapi gak pernah diganti, dan segudang hal yang menjadi "ciri khas" suami kita. Itulah suamiku, itulah yang ditakdirkan Allah pada kita.

Begitu juga suamiku, menghadapi kebawelan istrinya. Apa-apa maunya segera dilakukan, sesaat seketika. Kalau tidak, maka akan dihadiahi dengan muka cemberut dan lisan yang mengomel. Dan atas kebawelan ini, suamiku (mungkin) berkata juga: Inilah istriku, istri yang telah ditakdirkan Allah padaku. Dan kebawelannya merupakan ciri khas yang melekat padanya.

Menginjak 15 tahun perkawinan, jika sebuah perjalanan mengarungi samudera, sudah lepas cukup jauh dari dermaga, tapi masih sangat jauh ke pelabuhan tujuan. Selain ombak dan badai, juga tentu juga mengarungi samudera dengan tenang. Sehinga arung samudera bisa dinikmati dan disyukuri.

Suami yang serta merta mengurus anak, penuh kasih terhadap keluarga semua itu kenikmatan yang tak tertandingi. Ini semua menjadi perjalanan mengarungi samudera menjadi menyenangkan. Dan semakin menjadi beragam jika ditambah dengan kebiasaaan yang menjengkelkan tetapi telah dirubah menjadi "lelucon". Keragaman ini menjadikan kami tidak merasa telah 15 tahun mengarungi bahtera ini untuk mengarungi samudera yang tak berbatas.

Semoga kami akan sampai pada pelabuhan akhir dengan penuh kebahagiaan. Amien............

(Foto: Kado Ulang Tahun Perkawinan dari anak-anak)

---------------------------------------------------------------------------------
Salah satu yang menjadi "ciri khas" saya yang gak mau repot di dapur, maka untuk "syukuran" atas telah sampai 15 tahun perjalanan bahtera ini, kami harus "mengungsi" di luar. Terima kasih mas Hudi yang telah menerima semuanya apa adanya. Terima kasih papa.....


Kamis, 05 Februari 2009

15 MENIT YANG MENEGANGKAN


"Mama, kak Abil kecelakaan, sangat parah. Mama ke RS Sardjito ya? Jangan nyopir sendiri, minta disopiri teman saja" Ini kalimat mas Hudi dengan penuh kecemasan.
Saya langsung berdiri dari duduk, membereskan secukupnya berkas-berkas perkara yang ada di meja.
"Bagaimana pa?" hanya itu yang bisa keluar dari mulut saya.
"Kakak ditabrak, sangat parah. Harus segera dioperasi, menurut dokternya waktu kakak hanya 10 menit, kepala kakak pecah.Papa ini menuju ke apotek, mencarikan obat yang diperlukan. Yang penting mama segera ke Sardjito"

Rasanya dunia berputar, segera saya berlari ke ruang wakil ketua, pamit dari ujung pintu, melewati teman-teman hakim yang terbengong-bengong dengan sikap saya yang sangat panik. Segera telpon mami, mohon dukungan doa. Ah.......saya tak mampu apa-apa.Berlari ke parkiran, menyalakan mobil. Tapi ternyata saya tak punya kekuatan apa-apa lagi.

Sesaat saya berteriak, menangis dan menangis!!!
Terbayang anak lelakiku, yang tadi pagi masih pamit sambil mencium tangan. Dan saya sempat ingatkan lagi, apa yang tertinggal. Dan benar saja, hp nya tertinggal.
Terbayang sekarang terbujur tak sadarkan diri. Menunggu mukjizat Allah.
Saya berteriak dan menangis lagi...
"Ya Allah....apakah semalam, sebagai saat terakhir anakku menjadi imam sholat bagi kami? Jangan ya Allah..... Kami membutuhkannya, karena walau sekecil itu, Abil telah bisa menjadi imam bagi kami, menggantikan papanya ketika papanya berhalangan. Anakku harapanku ya Allah....bagian dari jiwa dan raga hamba ya Allah...."

Terbayang anakku yang lagi melawan maut sendirian, karena kami orang tua masih jauh.
Tersadar, saya harus segera ke Sardjito. Saya ingin bisikkan kalimat-kalimat thoyibah di telinganya, untuk membantu Abil melawan maut, melawan rasa sakit yang dideritanya.
Ternyata kaki saya tak kuat, walau hanya untuk menginjak pedal gas.

Teman-teman kantor yang berkerubung di mobil memaksa saya menyerahkan setir kepada mas Hani sopir kantor.
"Jangan buat korban lagi!!" demikian kata singkat yang bisa saya dengar.
Akhirnya saya turun dari kursi sopir dan pindah ke samping sopir.
Segera bu Ulil Uswah masuk mobil saya. Entah apa maksudnya saya tak tahu, mungkin ingin menemani saya, walau saya rasanya tak melihatnya.

Hati ini masih tak tenang, mencoba zikir, tapi dada masih terasa sesak. Saya ingin segera menemui anak saya. Saya ingin semua berdoa. Kemudian masuk telpon Enny."Tolong segera sholat, doakan Abil......" hanya itu suara yang keluar di balik tangis dan kepasrahan saya.

Aduh....dada masih sesak, tak mampu menahan beban berat.
"Ya Allah....tolong anak saya. Sayangi dia, izinkan Abil masih bersama kami"
"Ya Allah....hamba pasrah.....Hamba mohon ampun kalau selama ini hamba pernah memarahi titipan Mu ya Allah"

-Apalah kamar yang setiap hari harus hamba ingatkan pada Abil untuk dibersihkan.
-Apalah lemari pakaian, yang kerapiannya tidak pernah sampai seminggu.
-Apalah hp yang selalu hilang, sehingga tak pernah meminta lagi, tapi hamba tak pernah tega untuk tak menggantikannya.
-Apalah kacamata yang sering patah dengan berbagai alasan penyebanya.
-Apalah yang setiap pagi harus teriak: "Mbak Rusi, tolong ambilkan ini...."
-Apalah suara hamba yang tiap malam memintanya untuk membuka pelajaran daripada inet, walau papanya mengatakan :"Abil banyak mendapat ilmu dari hasil komunikasi dengan teman-temannya di dunia maya"
-Apalah sikap sembrono Abil yang sering memecahkan sesuatu, yang awalnya membuat marah, tapi kemudian hanya saya anggap hal ini adalah naturalitas Abil.
-Apalah sikap Abil yang tidak mesra, tapi kala tertentu akan datang memeluk mamanya manja.
-Apalah sikap Abil yang rasanya tak pernah "ngemong" (mengayomi;Jawa) adik-adiknya, sampai harus hamba plototi. Walau di kala lain, mereka bisa gelut dan ketawa riang.
Banyak ya Allah...banyak hal-hal yang kadang membuat hamba marah, maafkan hamba ya Allah...tapi hamba masih meyayanginya. Biarlah makhluk Mu ini bersama hamba..... Izinkan hamba selalu bersamanya.....

Tangisan saya belum henti......
"Aba...tolong doakan Abil......kondisinya parah Aba, tolong aba...." saya mencoba meredam perasaan yang semakin tak terkendali dengan menelpon aba Sofyan Alwie Lahilote di Manado.
"Tenang Li, yang ikhlas...pasrah...." hanya ini yang bisa saya dengar dari aba, kemudian saya mulai zikir.

Saya pasrah.....
Jika memang waktu anakku tinggal 10 menit, jelas dalam hal wajar,kami takkan sampai.Paling tidak kami memerlukan waktu 30-45 menit untuk sampai ke RS Sardjito.
Segera saya raih tasbih,"Ya Salim.......Ya Salim.....Ya Allah maha menyelamatkan, selamatkan anakku", hanya itu kata bisa keluar dari lidahku yang tak mampu berucap banyak.

Telpon dari daeng Didi, tak banyak saya jawab. Saya hanya minta mereka untuk berdoa untuk Abil."Tolong doanya daeng!!! Minta semua berdoa untuk Abil". Itu saja yang bisa keluar dari kata-kata saya. Karena saya tak tahu perkembangan Abil, saya masih di jalan menuju rumah sakit.

Dalam zikir, terbayang keseharian Abil, menjelang subuh, gemericik wudhunya akan membangunkan kami semua untuk sholat malam. Ya... Insya Allah tiap malam Abil menyempatkan untuk sholat malam. Dan kami akan mengikuti sholat malam sendiri-sendiri.

Jika Senin-Kamis, Abil akan bangun lebih awal, untuk menyempatkan sahur. Tanpa meminta menu tertentu. Apa yang ada, itu yang di makan. Adanya roti, ya makan roti, adanya ayam, ya itu yang disantap. Puasa Senin-Kamisnya Abil tanpa memberatkan kami.

Kesenangannya dengan IT pun, tak pernah meminta uang khusus. Abil menyimpan dari uang bulanan, dan uang-uang pemberian oma, hadiah ulang tahun atau dari om dan tantenya. Abil selalu berusaha mengup-grade komputernya tanpa membebani orang lain. Jika kurangnya tinggal sedikit,maka jurus rayuan akan dibombardir ke mamanya. Datang dengan memeluk, mencium dan akhirnya keluar maksudnya. Ah....Abil...Abil anak laki-lakiku!!

Soal sholat, rasanya saya tak perlu mengingatkan. Justru Abil yang sering "marah" jika kami dalam perjalanan, tapi belum sholat sementara waktu sholat akan segera berakhir. "Ayo pa, cari mesjid terdekat, waktu sholat hampir habis"Ini kalimat yang sering kami dengar, dan Abil berkata dengan wajah bersengut. Hal yang kadang menyadarkan kami, untuk segera mencari mesjid terdekat untuk sholat.

Ah......banyak sekali nilai positif dari anakku.....Banyak ya Allah...dan biarlah Abil bersama kami. Selamatkan anak hamba ini ya Allah.... Air mata tak pernah berhenti menetes. Saya ingin segera bertemu Abil, apapun keadaannya.

Ya Allah....Ya Salim.....Ya Allah.....selamatkan anakku....

Tiba-tiba telpon berdering.
"Mama, alhamdulillah. Abil tidak apa-apa. Tadi itu hanya upaya penipuan" di ujung telpon mas Hudi memberitahu, walau masih dengan suara bergetar peuh kecemasan.
"Alhamdulillahhirabbil alamien....... Kenapa bisa begini?"Jawabku dengan sedikit tidak percaya.

'Tadi itu papa ditelpon "polisi", yang mengabarkan bahwa Abil kecelakaan. Ditabrak oleh orang Cina. Si Penabrak telah diamankan, dan telah menyerahkan uang 250 juta sebagai jaminan dan biaya pengobatan Abil.Tapi kondisi Abil sangat parah, maka memerlukan obat yang tidak ada di Sardjito. Untuk lebih jelasnya papa diminta menghubungi dokter yang menangani kakak. Kemudian polisi tadi memberi no telpon "dokter Heru" yang menangani kakak"

Setali tiga uang, info dari "dokter" yang menangani juga sama. Bahasa-bahasa standar dokter keluar. "Kami akan mencoba maksimal menangani anak bapak, kami berharap bapak bantu dengan doa". Membuat mas Hudi semakin yakin. Hanya info dari "dokter Heru" sudah lebih "komersial" karena kami harus menebus obat atau alat yang harganya 17 juta rupiah.

Sebenarnya menurut "dokter Heru" ada uang dari penabrak, tapi tentunya mereka tak punya hak untuk mencairkan. Mas Hudi diminta menghubungi "apoteker" di apotik Kimia Farma. Mas Hudi lagi-lagi diberi nomer "apoteker" tersebut. Dan tentunya masih dengan nada yang sama. Mas Hudi meminta agar obat itu dikirim ke Sardjito, dan mas Hudi akan segera ke apotik tersebut. Atau jika tidak, akan meminta utusan temannya yang akan segera kesana.

Tiba-tiba telpon dari "polisi" lagi yang menanyakan no Abil. Kebetulan Abil termasuk yang sering gonta-ganti nomer, sehingga tak ada seorangpun dari kami yang hafal dengan no Abil. "Kami ingin mengamankan hp anak bapak", demikian kata "polisi" tadi. Justru kalimat ini yang menyadarkan mas Hudi, kenapa polisi ini lebih perduli nomer Abil daripada nyawa lagi.

Telpon dari "dokter" yang terus mendesak, telpon dari "apoteker" yang tak henti, meminta segera ditransfer, tanpa mau menerima orang yang diutus, (karena mas Hudi berpikir akan beralih ke apotek lain saja di dekat UGM daripada apotek Kimia Farma yang di jalan Malioboro) semakin "menyadarkan" mas Hudi akan praktek penipuan.

Langsung dengan hati berdebar, mas Hudi mencoba menelpon Abil. Tetapi sangat sulit masuk, karena "trio penipu" ini selalu mencoba masuk ke no mas Hudi. Tapi atas pertolongan Allah, telpon tersambung ke Abil dan di angkat. Di ujuang telpon suara Abil, membuat kelegaan yang menyentak. "Alhamdulillah anakku" Kemudian mas Hudi mencoba menceritakan ke Abil kejadian yang menegangkan selama 15 menit.

"ah...gak apa-apa pa". itulah jawaban Abil yang memang sifatnya agak "acuh". "kakak gak apa-apa kok. Kakak di sekolah dan lagi makan siang". Walau sudah mendengar suara Abil, mas Hudi harus melihat sosoknya.Sehingga kemudian mas Hudi mendatangi SMP 5. Dari kejauhan mas Hudi melihat sosok Abil yang utuh, yang masih seperti kemarin. Penuh dengan kesibukan dan aktifitas, sehingga kami sekeluarga kadang harus meminta waktu padanya.

Kelegaan kami adalah penyesalan dari "trio penipu". Mas Hudi masih ditelpon terus, dan mas Hudi masih selalu menjawab; "Kami akan segera mentrasfer". Tetapi lama kelamaan terasa terganggu juga, dan mas Hudi hanya menutup dengan kalimat: "kalian penipu!!"

Selasa, 03 Februari 2009

SULITNYA MENANYAKAN "APAKAH PENGGUGAT DAN TERGUGAT SUDAH "BERCINTA"?'


Bagi sementara orang, tentu mudah memahami pertanyaan hakim. Tetapi tidak bagi sebagian yang lain. Apalagi hal-hal yang bersifat pribadi, khususnya masalah hubungan badan suami istri. Kadang karena pengetahuan yang rendah, atau hal ini dianggap tabu, maka sulit sekali mereka memahami pertanyaan hakim tentang sudah atau belum pernah melakukan hubungan badan sebagaimana layaknya suami istri.

Hakim saja untuk menerangkan hubungan ini, perlu beberapa kata: "Hubungan-badan-layaknya-suami-istri". Perlu 5 kata!!! untuk hanya satu makna: "bercinta", atau "making love".
Tapi coba kata bercinta ini kita pakai dalam bentuk pertanyaan, dimana yang kita tanyakan adalah orang yang berpendidikan rendah.
"Apakah saudara Penggugat/Tergugat pernah bercinta?".
Rasanya pertanyaan ini tidak akan terjawab kecuali mata kosong tanda tak faham.
Apalagi kalau bercinta tadi diganti dengan making love.
"Apakah saudara Penggugat/Tergugat pernah making love?
Jangan-jangan Penggugat tadi akan balik bertanya: "Making love itu apa bu/pak hakim?"

Pertanyaan ini, harus ada dalam beberapa perkara, misalnya perceraian, dispensasi kawin, itsbat nikah, poligami, dll. Karena belum atau pernah "bercinta" ini punya konsekuensi hukum. Contohnya, jika satu perkawinan, belum pernah melakukan hubungan layaknya suami istri, maka mereka tak perlu melewati masa idah. Contoh lain, seorang suami bisa menuntut setengah mahar yang pernah diberikan, jika dalam perkawinan tersebut belum melakukan hubungan suami istri.

Bukan hanya hakim yang sulit menanyakan hal ini, tapi dalam gugatan maupun berita acara pemeriksaan dan putusan, hakim selalu menggunakan bahasa yang panjang juga (hubungan layaknya suami istri) untuk menggambarkan telah terjadinya making love tadi. Dan tak pernah saya menemui dalam gugatan, BAP maupun putusan,ungkapan tadi diganti dengan bercinta.Misalnya: "Bahwa dalam perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat telah melakukan hubungan layaknya suami istri, dan telah dikaruniai anak...". Tidak pernah saya temui kalimat tadi diganti dengan:" Bahwa dalam perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat telah bercinta, dan telah dikaruniai anak..."

Berikut ini ada beberapa ungkapan, istilah, yang dipergunakan hakim, jika pertanyaan apakah saudara telah melakukan hubungan layaknya suami istri tidak difahami. Karena saya bertugas di PA Bantul, mungkin ini banyak istilah jawa. Mungkin seiringnya waktu, ungkapan-ungkapan ini akan bertambah lagi.

1. Menopo Penggugat- Tergugat sampun "becik"? (Jawa)
Apa Penggugat dan Tergugat sudah becik? Becik disini secara harfiah bermakna baik. Sehingga pertanyaan hakim tadi bermaksud menanyakan hubungan suami-isri atau laki-laki dan perempuan ini sudah sampai pada tahap hubungan baik yang bisa diartikan hubungan kelamin?

Jika para pihak faham, tentu akan dijawab apa adanya. Tetapi kadangkala pihak yang ditanyakan memahami pertanyaan hakim tadi bahwa mereka sudah tinggal satu rumah, dan hidup rukun.Sehingga hakim harus mencari kosa kata yang lain, sehingga pihak yang ditanya tadi mengerti akan pertanyaan hakim.

2. Ne carane klambi, napa klambine sampeyan sampun tau dingeni?
Makna dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya: "Kalau ini ibarat pakaian, apakah pakaian saudara sudah pernah dipakai?"

Biasanya ungkapan-ungkapan ini akan mudah dipahami. Karena lebih spesifik dari pertanyaan becik di atas. Sehingga pihak yang ditanyakan akan menjawab seperti apa adanya. Selain istilah pakain, ada beberapa istilah juga misalnya: "kalau ibarat makanan, apakah saudara pernah memakan punyanya?"

Hal yang lucu pernah terjadi, atas pertanyaan hakim ini, pihak yang ditanya menjawab. "saya tadi tidak makan". Maka hakim harus mengganti kalimat pertanyaan lagi. Dan setelah hakim bertanya; "Ibarat lubang, apakah lubang anda pernah dimasuki?". Ternyata dengan pertanyaan ini pihak yang ditanya baru faham.

3. Apakah saudara pernah tidur bersama?
Ini pertanyaan tidak mengarah betul. Tetapi kadang bisa dimaknai telah melakukan hubungan suami istri. Dan jika pertanyaan ini belum terjawab sepenuhnya, maka hakim mencoba melanjutkan lagi dengan pertanyaan."Apakah saudara sudah kelon-kelonan gawe anak?". Kalau sudah sampai disini, biasanya yang ditanyakan sudah faham atas pertanyaan hakim.

4. Selain lewat pertanyaan-pertanyaan verbal, kadang hakim mencoba mengungkapkan dengan "alat praga" tangan hakim. Misalnya dengan mengatupkan kedua tangan dan menggerakkan jari-jari. Sebagian orang akan faham, dengan maksud hakim, tetapi hal ini sangat jarang. Banyak orang lebih memahami pertanyaan-pertanyaan verbal daripada menggunakan alat peraga seadanya.

Saya sendiri cenderung lebih menyukai menggunakan pertanyaan verbal, lebih jelas maknanya dan tak perlu memaksa pihak yang ditanyakan untuk "berimajinasi" dengan "alat peraga" hakim tadi.Kita bisa mencari beberapa kreasi pertanyaan, yang akhirnya para pihak yang ditanya faham kemana arah pertanyaan hakim.

Ini semua adalah sebagai bagian daripada teknik komunikasi hakim dalam memeriksa perkara. Dimana pertanyaan hakim harus jelas, pihak yang ditanya faham akan pertanyaan hakim sehingga terungkap fakta hukum dalam perkara tersebut.

Semua hakim memahami hal ini, sehingga banyak sekali varian pertanyaan hakim, yang tujuannya hanya satu: Bagaimana menjawab pertanyaan '"melakukan hubungan layaknya suami istri". Mungkin ke depannya ada kosa kata baru, yang lebih ringkas, padat, jelas sebagaimana 5 kata tadi diganti satu kata: "bercinta".
(gambar:http://bowespersonaledge.com/images/art-mkg-lv.jpg)








Senin, 02 Februari 2009

SELAMAT JALAN ACO....


Malam ini, kabar duka disampaikan mami, Aco suaminya Atty meninggal dunia. Tapi karena mami sendiri tidak jelas beritanya, hanya di ujung telpon mengabarkan "menantu mami Hanggi meninggal".
Setelah mendengar berita dari mami, saya kemudian mencoba menelpon ke Atty, yang angkat Ody adiknya Atty, yang membenarkan kabar tersebut. "Kak Aco baru meninggal 15 menit yang lalu, kata Ody".

Di ujung telpon terdengar jelas suara tangisan, mungkin itu tangisan Atty, Tia dan Idep, orang-orang yang sangat mencintai Aco.Saya rasanya tak tega mendengarnya, dan hanya mendengar cerita Ody saja. "Kak Aco tadi kritis hanya 5 menit, kemudian meninggal", sepertinya itu inti kalimat Ody.Saya kemudian ingin segera mengakhiri pembicaraan tanpa ingin berbicara dengan Aty, biarlah Atty menumpahkan segala kesedihannya tanpa harus terganggu dengan telpon, biarlah Atty tetap bersama dengan jasad dan ruh yang telah terpisah dari suaminya di saat-saat akhir.

Setelah tutup telpon, dan setelah selesai mengabarkan berita ini kepada teman-teman yang sekiranya mengenal Atty, terbayang persahabatan kami, persahabatan yang sangat rekat, sehingga kami seperti saudara. Persaudaraan yang terbina setelah Atty masuk Pabelan (tahun 82)setelah saya mendahului setahun. Sejak itu kekerabatan kami bina.

Hadirnya Aco dalam kehidupan Atty, menambah semarak persaudaraan kami. Kami sering bertemu, entah di Gowok tempat kos Atty dan Wati atau di Timoho. Sampai kemudian saya dan Wati punya "gawe" menikahkan Atty dan Aco di Timoho, di sela-sela waktu KKN saya (Juli 1991).

Setelah itu kami masih tetap bersama, dan masih teringat waktu Atty melahirkan Fia,dimana Wati yang sangat sibuk.Ditambah lagi Atty sudah pindah ke Maguwo, semuanya itu menambah "warna" dalam persaudaraan kami. Senang karena ada si kecil, tetapi kadang "mengeluh" betapa jauhnya jarak rumah kita.

Setelah saya menikah, dan sesekali ke Yogya, pasti yang dituju adalah rumah Aty dan Aco yang saat itu sudah pindah di Babadan. Setiap "kelelahan" pasti mampir di Babadan. Dan Aco akan menyambut dengan ramah, walau dengan keterbatasan kata yang memang menjadi keseharian Aco.

Sayangnya, setelah Aco mendapat pekerjaan di Samarinda, kita harus berpisah dengan jarak. Tetapi komunikasi itu tetap berjalan. Dan saya semakin kagum atas tanggungjawab Aco sebagai kepala rumah tangga. Bagaimana Aco dan Atty membangun rumah tangga yang adil antara orang tua yang di Luwuk dan di Manado. Walau sebenarnya hanya Aco yang mencari nafkah, tapi Aco tak pernah membedakan mana mami di Manado, dan mana ina di Luwuk. Semua merasakan sama-sama memiliki Aco dan Atty.

Mas Hudi terakhir bertemu dengan Aco dan Atty saat di Samarinda beberapa tahun yang lalu. Dengan keramahan Aty dan kesahajaan Aco, membuat persaudaraan kami tak pernah luntur. Rasanya Aco dan Atty bukan hanya sekedar teman, tetapi juga saudara.

Sampai 2 hari yang lau, ada berita dari mami kalau Aco dirawat di RS Manado, dan mami ingin menengok. Sorenya saya mencoba menelpon Atty. Jawaban-jawaban Atty sangat melegakan, dan yang ada di benak saya adalah, Aco hanyalah perlu istirahat, mungkin selama ini terlalu lelah. "Kak Aco sudah baik, sekarang sudah mulai latihan duduk. Saudara-saudara kak Aco sudah mau pulang dan mengabarkan di Luwuk kalau saat ini kak Aco sidah baik". Itu kalimat Atty yang masih sangat jelas.

Tapi semua menjadi permenungan saya dengan kalimat Ody: "Kak Aco sudah pergi dengan tenang". Ya.... Aco telah dipanggil untuk beristirahat panjang. Selamat jalan Aco, selamat jalan Bachtiar Saida saudaraku, semoga amal ibadah yang selama ini menghiasi hidupmu, menjadi nilai bagi Allah untuk menghantarkan dirimu di sisi Nya, amien............

ULTAH VANSA KE 11 TAHUN


Mbak Aya,
Hari ini tepat mbak Aya berulang tahun ke 11 tahun
Mbak Aya sekarang sudah tambah besar, tumbuh menjadi gadis remaja.
Kami semua bangga atas prestasi yang mbak Aya bangun

Hanya ada yang satu mama pinta
Di luar sana,
Banyak orang, banyak ragam
Yang tidak semua mau memahami mbak Aya
Seperti kami semua memahami mbak Aya
Mereka juga minta mbak Aya memahami mereka
Hingga tercipta harmoni, antara mbak Aya dengan mereka.

Ada juga mbak,
Hidup ini bukan hanya berwarna hitam-putih
Ada diantara keduanya, yaitu remang-remang
Dan butuh keikhlasan kita untuk menerima remang-remang tadi.
Karena ternyata remang-remang bukan juga hal yang harus ditolak.

Ohya jeng...
Adek itu emang usil
Bukan untuk menyakiti mbak Aya,tapi ingin mendekat dengan mbak Aya
Atau juga "cemburu" dengan mbak Aya karena merasa kuatir.
Tapi mama yakin mbak Aya sangat bijak menghadapi adek,karena tanpa adek kita terasa sepi.

Mbak, ada yang mama inginkan lagi (boleh kan?)
Mbak Aya tambah tekun ibadahnya
Karena sebentar lagi mbak Aya akan menjadi gadis remaja
Yang semuanya sudah menjadi tanggung jawab mbak Aya.
Ok mbak? kita sepakat untuk ini?

Terakhir,
Doa dan harap mama untuk mbak Aya
Semoga mba Aya tumbuh menjadi gadis remaja yang bertanggung jawab
Menjadi remaja yang penuh kasih bagi sesama. Amien.....

Love
Mama

(yK, 31 Januari 2009)