Jumat, 26 Juni 2009

"Orgasme" Mediasi

Di blog lama saya, saya sempat menulis tentang "Orgasme Putusan", dimana ada kepuasan dari hakim (khususnya saya pribadi) jika suatu perkara yang sudah lama dan berlalut-larut dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi kemudian bisa diterima pihak-pihak yang berperkara dengan tidak mengajukan banding. Tentu ini perkara-perkara perdata.

Ternyata ada lagi rasa "orgasme" dari putusan, yaitu orgasme mediasi, dimana seorang mediator bisa menyelesaikan sengketa pihak-pihak, dimana kemudian sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan win-win solution hingga mediasi tersebut dinyatakan berhasil.
Jika ditilik dari rasa puasnya menjalankan tugas, tentu mediasi jauh lebih mencapai kepuasan tertinggi dibanding lputusan. Maksudnya, jika kita bisa menyelesaikan suatu sengketa dengan mediasi kemudian tercapai satu perdamaian, maka perasaan "puas" tadi melebihi rasa puas saat kita menjatuhkan putusan, dimana pihak-pihak bisa menerima putusan kita.

Mengapa demikian? Karena dalam mediasi, alternatif penyelesaian sengketa bukan ada di tangan mediator. Mediator hanya menjadi fasilitator demi tercapainya kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa. Mediator disini sama sekali tidak mempunyai kewenangan memutus sengketa. Beda dengan proses persidangan (litigasi) dimana penyelesaian sengketa adalah otoritas sepenuhnya oleh hakim. Orgasme kepuasan akan muncul saat pihak-pihak bisa menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum apapun.

Mengapa mediator merasa sangat puas dengan hasil mediasi yang dilakukan? Tentu...karena proses mediasi juga bukanlah proses yang mudah. Tahapan-tahapan yang dilalui cukup panjang diawali dengan sidang dimana pihak-pihak hadir dalam persidangan, kemudian kesepakatan memilih seorang mediator. Ini masih tidak terlalu menyita waktu dan pikiran, sampai pada tahapan awal mediasi yaitu perkenalan, membuat aturan tentang proses mediasi dan tahapan mengemukakan masalah.

Jika sudah selesai tahap awal, masuk pada perumusan masalah, ini baru mulai pada perasaan "mediasi yang sesungguhnya", karena sebagai mediator harus mengupayakan semaksimal mungkin akan tercapainya kesepakatan. Disini akan temui hal-hal yang bersifat emosional, kemarahan, caci maki, kegeraman, keegoan, kesombongan, akan banyak kita temui. Kalau seorang mediator tidak bisa mengolah emosi baik emosi diri sendiri, maupun emosi para pihak, maka tentu akan sulit mencapai titik temu.

Pada tahap ini, selain kemampuan komunikasi yang baik dari seorang mediator diperlukan, juga kemampuan komunikasi secara personal betul-betul harus dikuasai. Tetapi ini jangan sampai timbul kecurigaan pihak lawan akan adanya keberpihakan.Karena bisa-bisa dikira kita memihak pada pihak lawan, atau sebaliknya.

Selama ini saya juga merasa, bahwa kaukus (bertemu salah satu pihak) merupakan salah satu cara yang jitu jika menghadapi deadlock. Karena nyaris setiap mediasi, awalnya akan muncul seakan-akan perkara ini deadlock.Ini tentu sangat dimaklumi, karena nyaris setiap orang akan bertahan pada pendapatnya, akan bertahan pada posisinya. Dan dengan kaukus, sangat bisa membantu kita untuk mencairkan perkara yang seakan-akan tak bisa terselesaikan.

Betul kata teori mediasi yang saya dapatkan, bahwa kaukus bisa mengungkap kepentingan yang tersembunyi dari pihak-pihak. Dalam kaukus, sering muncul hal-hal yang belum terungkap pada saat joint meeting. Ini mungkin karena pihak-pihak merasa dalam kaukus, hubungannya dengan mediator bisa sangat persoanal, maka mereka cenderung lebih terbuka.

Ada salah satu perkara yang saya hadapi, ketika mediasi bersama-sama, semua "ngotot-ngototan", bertahan pada pendirian masing-masing, keukeuh tak mau berubah. Tapi ketika kaukus, emosi lebih lumer, bicara lebih santai dan mau sedikit membuka jalan kompromi.

Kemarin ada satu kasus harta bersama (gono-gini), entah bisa dikatakan mediasi berhasil atau tidak, tapi yang jelas mereka sama-sama menerima putusan hakim, tapi membuat kesepakatan damai, di luar putusan hakim. Lho kok bisa begitu??? Singkat cerita, ada satu perkara gono-gini, diajukan oleh mantan istri kedua kepada suami dan istri pertama. Dalam sidang pertama, majelis sudah meminta mediasi, tapi ternyata tidak ada kata kata damai, sehingga perkara tetap dilanjutkan. Dalam persidangan semua sama-sama keras, dan majelis akhirnya menjatuhkan putusan.

Setelah putusan dijatuhkan, pihak-pihak yang bersengketa baru menyadari bahwa ini tentu akan merugikan semua pihak. Akhirnya mereka sepakat untuk dilakukan mediasi sebelum perkara ini berkekuatan hukum tetap, sehingga jika mediasi gagal, para pihak bisa mengajukan banding yang waktunya hanya 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Akhirnya saya sebagai mediator harus kerja keras, setia hari nyaris mediasi. Pada tahap awal, nyaris seperti sebelum perkara ini dilanjutkan. Hari demi hari ada kemajuan dari mediasi. Pihak-pihak sudah mulai melumer, dan mulai membuka diri. Sampailah pada satu titik kesepakatan damai. Legaaaa....rasanya. Bukan hanya saya sebagai mediator yang lega, tapi pihak-pihak yang bersengketa juga lega. Pada saat kesepakatan perdamaian ditandatangani, mereka semua menangis dan menyadari bahwa "perebutan harta" bukan segala-galanya. Yang mereka jaga adalah silaturrahmi dan rasa kasih sayang yang pernah terbina.

Jika sudah sampai pada kesepakatan seperti di atas, disinilah yang saya istilahkan muncul perasaan kepuasan bagi seorang mediator, kepuasan "orgasme mediasi". Kita betul-betul lega, karena kerja keras yang dilakukan membawakan hasil. Hasil kesepakatan ini sifatnya final, dan nyaris tanpa eksekusi. Mereka bisa menerima dengan damai, dengan senyum dan tentu ini disebabkan karena terlepas beban yang ada.

Tentu sebagai mediator, menginginkan setiap mediasi yang dilakukan akan sampai pada tahap perdamaian, dan dinyatakan mediasi berhasil. Ini bukan hanya disebabkan janji PERMA No 1 Tahun 2008 bahwa setiap hakim yang berhasil akan mendapat reward, tetapi tentu juga karena kepuasan pihak-pihak yang damai adalah reward yang tak ternilai bagi seorang hakim mediator.

Semoga setiap mediasi yang kami lakukan bisa mencapai titik perdamaian, sehingga bisa merasakan "orgasme" dalam bermediasi dan tentunya kepuasan ketika melihat pihak-pihak berdamai. Indah dan damai rasanya!!!

Kamis, 25 Juni 2009

Sudah meninggal bu.....!

Dalam salah satu persidangan hakim menanyakan identitas saksi:
Hakim: "Nama saudara?"
Saksi: " Budiono bu"
Hakim: "Budiono bin siapa? Nama orang tua pak Budiono?"
Saksi: "Sudah meninggal bu, sudah lama"
Hakim: "Gak apa-apa pak...Yang penting namanya yang kami perlukan"
Saksi: "Sungguh bu...sudah meninggal, jadi gak bisa dijadikan saksi"
Hakim: " Tentu pak, kami takkan menghadirkan yang sudah meninggal pak.
Saksi: " O.....dikirain ibu mau menghadirkan orang tua saya sebagai saksi"
Hakim: "Pak...siapa juga yang mau menghadirkan mayat sebagai saksi?"

Senin, 22 Juni 2009

SATU PERGURUAN, DUA BAHASA

Biasanya, murid-murid satu perguruan, punya kecendrungan untuk melahirkan satu pemahaman. Kalaupun melenceng atau berbeda, "selisihnya" gak banyak-banyak amat.
Tapi ini berbeda antara saya dan Fatra saat menengok istri salah satu teman kami yang istrinya menjalani operasi pengangkatan rahim.

Teman kami ini sudah menikah selama 10 tahun, dan belum dikaruniai anak. Ternyata cobaan Allah bukan hanya sampai disitu, beberapa waktu lalu, dideteksi dalam rahim istrinya banyak miom yang sudah besar dan harus segera diangkat. Yang diangkat bukan hanya miomnya, tapi juga rahimnya. Maka pudarlah harapan pasangan ini untuk memiliki anak kandung.

Kecemasan yang umum melanda wanita adalah kekhawatiran jika kelak suaminya menikah lagi. Dan ini terjadi pada istri teman saya.Yang terbayang adalah, walau suaminya PNS, tapi jika jelas-jelas istrinya tidak bisa memberikan keturunan, maka "sudah pasti" suami akan melakukan poligami. Ini tentu mengakibatkan dirinya merasa termarginalkan sebagai istri yang gabuk, yang gak bisa punya anak.

Oleh Fatra (saat saya belum datang) dihibur dengan kalimat-kalimat yang membumbung. Bahwa alumni-alumni Pabelan adalah lelaki yang setia. Jadi jangan kuatir kalau kelak teman kami ini akan menikah lagi. Dan tentunya banyak kalimat-kalimat yang membuat istri teman kami ini terhibur.

Saya yang datang kemudian, dan tidak tahu apa yang telah diucapkan Fatra, tapi tetap saja "diwaduli" istri teman tadi. Ya....tentu berbeda dengan Fatra yang bisa "ngegombal". Saya cenderung apa adanya. Apalagi jika dilihat profesi istri teman tadi yang guru, tentu lebih nyaman kita bicara fakta, bicara logika daripada bicara rasa yang bisa terbang hanya ditiup angin.Hehe..

Saya akhirnya mengatakan, bahwa dalam UU,seorang suami yang istrinya tidak bisa melahirkan, memang dimungkinkan untuk poligami. Ekstrimnya anggaplah ini sebagai "Hak" dari suami ini. Tapi apakah semua hak pasti kita ambil??? Sebagai contohnya, kita di kantor dapat makan siang sebagai hak kita. Tapi apakah semua pegawai harus makan siang yang telah dijatahkan?? Tentu tidak, karena kita masih punya kebebasan untuk makan atau tidak makan siang jatah kantor tersebut.

Demikian juga "hak" poligami bagi laki-laki yang istrinya tidak bisa melahirkan anak. Bisa saja diambil atau bisa diabaikan. Makanya, sekarang tinggal tugas kita, bagaimana suami itu tidak melakukan poligami. Sebagaimana jika seorang pegawai tidak harus makan siang dengan jatah akan siang di kantornya.

Sahabat teman saya itu seperti masih terpaku pada "hak" laki-laki untuk berpoligami jika istrinya tak bisa melahirkan keturunan. Ah....rasanya saya harus bermain angka. Maka saya akhirnya berbicara tentang angka poligami. Saya hanya katakan kalau dari 10 perkara poligami yang saya tangani, maka hanya 2 orang yang beralasan ketiadaan turunan. Selebihnya nyaris karena memang faktor "nafsu" karena mempunyai hubungan dengan wanita lain.

Artinya hanya sedikit sekali alasan ketiadaan punya anak sebagai alasan perceraian. Bahkan sebenarnya angka 10 tadi terlalu besar. Mungkin hanya 5% perkara poligami yang diajukan di Pengadilan Agama dengan alasan ketiadaan turunan.

Cerita kedua sepertinya sudah lebih melegakan istri teman saya. Dan untuk lebih melegakan, maka saya menambah cerita tentang kasus "penetapan anak" (adopsi) yang baru sehari sebelumnya saya sidangkan. Saya ceritakan bahwa seorang laki-laki yang sejak awal menikah dengan wanita dimana wanita itu tidak ada harapan sama sekali akan melahirkan anak, karena memang ada kelainan dimana wanita ini tidak pernah haid selama hidupnya. Apakah ketika laki-laki ini akan menikah sudah terpikir baginya untuk berpoligami. Tentu tidak.

Saya menyadari betul, bahwa saya bukanlah tipe yang bisa "bermain kata", membuai dengan kalimat-kalimat yang melambung. Saya terbiasa realistis, saya tak ingin orang hanya terbuai dalam kalimat-kalimat yang terucap, tapi kemudian terhempas dalam realitas kemudian hari. Biarlah sejak awal kita mendidik orang untuk bisa menerima fakta, bahwa apa yang ada semua adalah keniscayaan. Tinggal bagaimana kita berusaha, sehingga keniscayaan yang kita hadapi adalah keniscayaan yang membahagiakan kita.

Saya tak bisa seperti Fatra yang dengan entengnya menjanjikan bahwa "lelaki Pabelan itu setia-setia". Saya tak berani berkata demikian, karena setia dan tidak setianya lelaki itu bukan karena Pabelan. Dan saya juga tahu diantara sekian lelaki Pabelan yang setia masih banyak yang juga berhianat. Inilah perbedaan saya dengan Fatra, walau kami dari satu "perguruan"tapi punya du bahasa untuk satu tujuan.

(ocehan setelah menengok istri sahabat kami Mantep Miharso di RS Sardjito. Semoga mbak Nurani tabah menghadapi ini semua, memiliki rahim bukanlah segala-galanya. Masih banyak yang bisa kita perbuat yang punya manfaat. Semoga cepat sembuh dan bisa menjadi ibu dari sekian ratus anak didik di Mts Wonogiri. Salut saya atas perjuangan mbak....)

BALADA WANITA "PESELINGKUH ULUNG"

Wanita setengah baya itu hanya bisa meneteskan airmata setiap bertutur. Tetesan-tetesan airmata ketakberdayaan. Tetesan yang diharapan melulurkan beban yang begitu menyesakkan dadanya, beban yang menghimpit jiwa raganya, beban yang rasanya tak mampu diembannya.

Wanita itu, Suprapti berusia 42 tahun, dengan 3 anak yang beranjak remaja, bersuamikan seorang Suprapto yang telah menyuntingnya 17 tahun silam. Wanita itu merasa selama ini Suprapto telah menyakiti jiwa raganya, menyakiti hatinya, menyakiti perasaannya, tapi semua itu tetap dipertahankan demi tiga anaknya yang menjadi permata hatinya.

Suprapti bukanlah wanita yang hanya berpangku tangan,yang setiap harinya merias diri demi kecantikan yang ada dalam dirinya. Suprapti bukanlah wanita gedongan yang dikelilingi para emban yang dengan setia melayani keperluannya, tapi Suprapti adalah wanita tangguh yang mempunyai tanggung jawab menghidupi ketiga anaknya, dan mengusahakan semua kebutuhan anaknya tercukupi dan terpenuhi tanpa kurang, hanya satu keinginan Suprapti: anak-anaknya bahagia dan senang.

Lalu apa wujud tanggung jawab Suprapto dalam rumah tangga? Ya...Suprapto adalah lelaki yang bekerja, yang tiap hari keluar rumah untuk bekerja, tapi Suprapti selama ini tak merasa diberi nafkah oleh Suprapto. Karena Suprapto memang tak pernah memberi nafkah dalam bentuk uang secara riil pada Suprapto. Bagi Suprapto, dengan membayar uang sekolah anak sudah merupakan bentuk tanggung jawab seorang bapak bagi anaknya. Suprapto tak pernah berpikir bahwa anak juga perlu makan agar bisa sekolah. Tapi sudahlah...Suprapti tak memasalahkan itu semua.

Bagi Suprapti, tetesan-tetesan keringatnya begitu diikhlaskan buat anak-anaknya. Baginya selama anak-anaknya masih menyunggingkan sedikit senyum baginya sudahlah nilai yang tak terhingga, kebahagiaan yang tak terbayarkan oleh apapun. Suprapti akan berbuat apapun demi anak-anaknya, karena anak baginya adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijaga dan dirawatnya dengan baik.

Airmata Suprapti semakin mengucur deras, jika melihat dan menerima sikap Suprapto padanya. SIkap-sikap yang begitu arogan, sikap keangkuhan dari seorang laki-laki. Sikap sok suci,sok bertanggung jawab dan sok religius. Betul-betul arogansi dari seorang suami kepada istrinya. Yang lebih menyakitkan adalah setiap terjadi gesekan komunikasi, maka sumpah serapah akan keluar dari mulut Suprapto, dan tak pernah lupa adalah:"Kamu peselingkuh ulung".

Jika Suprapto marah, selalu dan selalu mengatakan "kamu peselingkuh ulung", Suprapti hanya bisa diam, hanya (lagi-lagi) tetes airmata yang bisa mewakilkan rasa sakit hati Suprapti. "Betulkah aku selingkuh?" itu yang ada dalam hati Suprapti. Ya.....aku memang mencintai dan menyayangi mantan kekasih ketika SMA. Kekasih yang memberi cinta dan kasih sayang. Tapi apakah memendam rasa cinta itu sebuah perselingkuhan?

Yang Suprapti tahu, bahwa perselingkuhan itu jika antara wanita dan pria itu pergi jalan-jalan, bergandengan mesra, berpelukan, berciuman seperti yang biasa Suprapti saksikan di sinetron-sinetron televisi. Tapi apa yang dilakukan Suprapti dengan Suparto mantan pacarnya dulu? Ya....mereka hanya saling sms. Sms dari hp butut pemberian teman Suprapti. Itupun harus banyak membatasi, karena Suprapti berpikir dengan pulsa yang harus dibeli jika keasyikan sms.

Tapi kenapa Suparto begitu berang dengan sms Suprapti kepada Suparto? "Kenapa mas Suprapto begitu emosi jika marah dan menghujat perselingkuhanku dengan mas Suparto?"pertanyaan yang tak butuh jawaban, karena hanya keluar dari hati yang begitu tersakiti.

Suprapti mengakui, kadang bahasa-bahasa smsnya dengan Suparto memang ada kemesraan, ada cinta yang terpendam, ada cinta yang masih berharap dipersatukan, tapi itu semua hanya dalam bahasa sms. Dirinya dan Suparto tak bisa leluasa bertemu. Jarak antara mereka begitu jauh, dan rasanya tak mungkin dijangkau oleh motor butut Suprapti yang sering kering karena kehabisan bensin. "Ah.......kami hanya punya cinta dalam hati, tapi kami tak pernah selingkuh raga", demikian tutur Suprapti.

Suprapto tak perdulikan itu semua, kata-kata peselingkuh ulung masih kerap keluar dari bibir Suprapto yang tak pernah punya senyum untuk Suprapti, dan lagi-lagi Suprapti hanya bisa meneteskan airmata, dan menguatkan hati:"ikhlaskan apa yang dikatakan Suprapto, ikhlaskan....karena yang benar akan tetap benar, yang salah akan muncul sebagai sebuah kesalahan".

Bagi Suprapti, hidupnya hanya untuk anak-anaknya....dia berjuang demi ketiga buah hatinya yang begitu menyemangati hidupnya, karena baginya ketiga anaknya adalah jiwa yang menghantarkan dirinya untuk masih punya keinginan menghirup nafas kehidupan. Kekerasan fisik baginya bukanlah hal yang tak pernah terjadi. Berulangkali Suprapto telah mengusir dari rumah yang dibeli dari tetesan-tetesan keringat Suprapti. Suprapti lagi-lagi hanya bisa diam, karena sesungguhnya Suprapti mampu untuk beranjak dari rumah yang dibangun dari kerja kerasnya. Bagi Suprapti, dengan sedikit kerja keras lagi, dia bisa mendapatkan rumah yang bisa dihuninya lagi. Tapi itu semua tidak dilakukan, karena baginya anak-anaknya adalah segalanya. Dia tidak mampu meninggalkan anak-anaknya, dia tidak tega melihat anaknya tak terawat, karena dia yakin Suprapto tak mampu memberi makan seperti diirinya memberi makan pada anak-anaknya. Penghasilan Suprapto tak mampu untuk memberi "nilai lebih" pada sebuah suguhan.

Suprapti bukan tak punya reaksi, apalagi seluruh keluarganya telah meminta dirinya memikirkan kembali kelanjutan rumah tangganya. Artinya, seluruh keluarganya akan menyokong dirinya untuk berpisah dengan Suprapto. Keluarga Suprapti murka atas perlakuan-perlakuan yang telah diterima Suprapti selama ini. Bagi mereka Suprapto sudah tidak layak untuk menjadi seorang suami. Suprapti bukan juga tidak memikirkan kemarahan keluarganya, tapi lagi-lagi benturan dengan kebahagiaan ketiga anaknya adalah hal utama baginya.

Begitu juga sahabat-sahabat Suprapti. Semua geram dengan perlakuan Suprapto padanya, semua telah meminta Suprapti untuk hanya satu kata: bercerai!!! Tapi Suprapti tak punya keberanian untuk melangkah. Paling-paling hanya airmata yang bisa menetes deras jika dirinya diultimatun sahabat-sahabatnya.

Bagi Suprapti, kata "Peselingkuh ulung" bukanlah kata yang nyaman untuk didengar, tapi Suprapti hanya bisa menarik nafas panjang dan beristigfar jika itu terucapdan terucap dari mulut Suprapto. Ah....andai saja Suprapti wanita yag pintar, tentu Suprapti juga bisa berkata yang sama bagi Suprapto. Karena sebenarnya saat Suprapti dibiarkan dan tidak disentuh sebagai istri oleh Suprapto, justru Suprapto kena penyakit GO. Penyakit kelamin pada seorang laki-laki yang ditularkan wanita. Andai Suprapti itu wanitanya, ternyata Suprapti adalah wanita bersih, yang tak pernah punya peyakit kelamin. Apalagi itu terjadi saat Suprapti tak disentuh lama oleh Suprapto.

Suprapti tak ingin memperpanjang masalah ini, baginya biarlah itu tanggung jawab Suprapto. Dirinya hanya ingin hidp demi anak-anaknya. Biarlah Suprapto tetap menyatakan dirinya peselingkuh ulung. Baginya saat ini adalah menghantarkan anak-anaknya menjadi manusia yang mempunyai masa depan bahagia, tidak seperti dirinya. Biarlah kata-kata dan hujatan peselingkuh ulung tetap terucap dari mulut Suprapto, dan lagi-lagi hanya airmata yang bisa sedikit menentramkan hatinya, yang penting dirinya bisa melihat anak-anaknya tersenyum.

Entah sampai kapan airmata Suprapti tak terbendung, selama kata-kata peselingkuh ulung, rasa-rasanya airmata itu tetap akan mangelir. Duh Suprapti....nasibmu begitu memelas....

Minggu, 14 Juni 2009

KALA CAYSA SELESAI MANDI

Semalam saya iseng-iseng mencoba merekam step by step pola Caysa setelah mandi. Dan seperti biasanya Caysa juga cuek, walau ada mamanya di kamar, Caysa tetap saja santai, tak perduli sudah berbusana atau belum. Mamanya yang memotret malah dibiarkan mengambil gambar-gambarnya. Dan inilah sedikit gambaran Caysa setelah mandi:

Rambut belum kering, tapi sudah mau pake baju



Menyisir rambut yang lebat, wajahnya meringis menahan sakit
karena kusutnya rambut


Haha....ini wajah gondruwo ma!!.....



Disisir ke belakang dulu ah....

Rambut sudah mulai rapi


Bedakan dulu ah.......


Dan inilah hasil akhirnya.... (wkwkwkwkw)

HAKIM TAK BOLEH MARAH

Di beberapa meja kerja kami, terpampang nasehat mulia Umar Bin Khatab tentang hal-hal yang menjadi pedoman hakim, al: HAKIM TAK BOLEH MARAH. Sepertinya mudah dipahami, tapi sulit untuk dijalankan. Apalagi untuk hal-hal yang bagi kami sebenarnya sudah ceto welo-welo (istilah teman saya) bahwa orang ini mengungkapkan kebohongan, atau menutupi hal yang sebenarnya dengan jam terbang sebagai hakim, ini semua adalah mengada-ngada.

Menghadapi hal seperti ini, kadang dengan pendekatan yang menyentuh apalagi diingatkan dengan sumpah yang telah diucapkan,maka dengan serta merta akan merubah keterangannya dan akan berkata apa adanya. Dan ini bagi hakim selesai karena duduk perkaranya jelas dan logis.

Tapi saya pernah rasanya ingin marah (heeemmmmmm) ketika menghadapi 2 perkara dispensasi kawin, dimana sang bapak yang anak gadisnya akan menikah dini, dengan lantang dan mantapnya berujar: "Bu, saya akan bertanggung jawab apapun yang akan terjadi pada anak gadis saya jika menikah dini". Saya balik bertanya (dengan datar walau hati geram). "Apakah bapak akan bertanggung jawab jika di kemudian hari anak bapak ini kena kanker serviks?".

Yah....ternyata sangat tidak mudah menyadarkan masyarakat akan bahayanya pernikahan dini, khususnya kemungkinan terserang kanker serviks bagi wanita-wanita yang menikah di bawah 29 tahun. Belum lagi resiko-resiko sosial jika anak-anak ini menikah pada usia belum matang. Umumnya anak-anak ini mengaeungi rumah tangga selalu diwarnai perselisihan dan pertengkaran, yang ujung-ujungnya akan bermuara ke perceraian.

Umumnya para orang tua tidak memahami bahwa tugas mereka adalah untuk mencegah terjadinya pernikahan dini sebagaimana yang diamanatkan UU Perlindungan Anak, bukan akan turut bertanggung jawab jika anaknya menikah dini. Ini yang seharusnya para orang tua menyadari, sehingga tidak akan muncul pernyataan di atas.

DAlam minggy ini juga pernyataan yang sama saya dengar, dari seorang ibu yang profesinya ahli gigi. Karena kesibukannya sering meninggalkan rumah, sedangkan suami sudah meninggal, maka di rumah anak-anak berperilaku bebas, termasuk bebas melakukan hubungan seks. Hingga suatu hari anak perilaku ini digrebek masyarakat, sehingga masyarakat meminta anak-anak ini untuk segera dinikahkan.

Lagi-lagi ibu ini berkata seperti bapak di atas:Bu, saya akan bertanggung jawab apapun yang akan terjadi pada anak gadis saya jika menikah dini". Saya balik bertanyayang sama juga dan dengan datar walau hati geram juga. "Apakah ibu akan bertanggung jawab jika di kemudian hari anak bapak ini kena kanker serviks?". Ibu ini hanya terdiam tanpa mampu menjawab apa-apa.

Ibu ini merasa, dengan melibatkan calon menantunya dalam kiprah bisnisnya sebagai ahli pasang gigi, sudah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dirinya sebagai orang tua. Tanpa sedikitpun pernah berpikir bahwa sesungguhnya anak gadisnya adalah anak di bawah umur, yang masih perlu bimbingan,masih perlu perawatan dirinya sebagaiorang tua. Tapi saat ini harus dipertaruhkan merawat suami yang nyaris masih sama-sama belia.

Bapak dan ibu ini mungkin tidak pernah berhitung, bahwa sekitar 25 tahun lagi, saat dirinya sudah tidak mampu apa-apa karena sudah berusia senja, saat rawan-rawannya usia wanita diserang kanker serviks, apa yang masih mereka perbuat buat anak-anak mereka. Tentu saya tidak ingin mereka terkena penyakit ini, tapi kalau pada akhirnya ini akan kena, apakah mereka masih ingat kegeraman saya, yang mungkin kemarin itu mereka merasakan kemarahan saya terhadap sikap mereka sebagai orang tua? Wallahu'alam.

Inilah beratnya tugas hakim, apalagi jika mengingat pesan khalifah Umar Bin Khatab, tentu takkan sehelaan nafaspun niat untuk marah. Tapi izinkan kami (khususnya saya) untuk sedikit geram (saja) menghadapi sikap-sikap masa bodo seperti kedua orang tua di atas. Bagi saya moga-moga kegeraman ini menyadarkan diri saya maupun orang tua yang lain untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur, sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak.

Jadi.....boleh kan hakim geram??? Ini bukan marah ya....khalifah Umar. Kami hanya ingin yang terbaik bagi anak cucu kami.

Lesehan di Bantul


Lesehan itu bukan hanya ada di Yogya, di Bantul juga sudah bertebaran lesehan-lesehan yang menjanjikan rasa yang ueenaaak.
Di Bantul ada beberapa yang sudah lumayan kondang, antara lain lesehan emper hijau, tapi bukan hanya itu aja, di utara emper hijau dan selatan BRI Bantul ada sederet lesehan yang setiap malam ramai dikunjungi.Salah satunya lesehan Eyang Sum.

Keuntungan lesehan ini, letaknya berderet-deret dengan lesehan yang lain, sehingga kita tidak terpaku dengan satu menu. Eyang Sum sendiri menyediakan menu ayam bakar, ayam goreng kremes serta lel bakar dan lele kremes. Sedangkan utaranya eyang sum menyediakan chines food, dan selatannya menyediakan aneka bebek. Sehingga sekeluarga bisa makan yang berbeda-beda, ibaratnya komunitas lesehan ini sebagai pujasera nya Bantul.

Soal rasa, sebenarnya tak terlalu berbeda dengan lesehan-lesehan yang lain, tapi yang istimewa dari lesehan eyang sum ini adalah sambelnya yang menggugah selera. Sangat khas, karena walau sambel terasi, tapi tetap punya rasa berbeda dengan sambel terasi yang lain (sayang gak sempat difoto, maklum kalau sudah melahap sambelnya, sudah lupa dengan foto-fotoan deh, hehe...)

Kami berlima, dengan 5 selera juga. Capcay, lele kremes, ayam bakar dan ayam kremes membuat makan jadi heboh. Karena semua asyik dengan menu masing-masing. Dan yang pasti, sambel eyang sum ini menjadi ludes disantap, karena memang menggugah selera.

Jadi, jika kita enggan untuk makan di Yogya karena macet dan padatnya kendaraan, tak ada salahnya tujuan kita arahkan ke kota Bantul, disini juga banyak lesehan yang menggugah selera, salah satunya komunitas lesehan depan kecamatan Bantul ini. Cukup yummy kok!!!

Sabtu, 13 Juni 2009

MARI KITA BELAJAR DARI KISAH INI (anak laki-laki menikah muda karena telah menghamili seorang wanita, yang ternyata wanita ini hamil dg orang lain)

Usia ibu Suprapti ini baru 35 tahun, tapi harus menanggung beban yang cukup berat, yaitu anak lelakinya si Fulan yang baru berusia 17 tahun telah menghamili anak gadis Fulanah berusia 18 tahun. Otomatis si Fulan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan karena Fulan masih di bawah umur, maka harus mengajukan dispensasi kawin lewat pengadilan.

Tapi ternyata tak semudah itu....... dalam persidangan hakim memeriksa perkara ini cukup detil, termasuk menanyakan kepada Fulan, kapan hubungan seks itu dilakukan dan telah berapa kali. Dan dengan tegas Fulan mengaku bahwa itu dilakukan pada tanggal 24 Mei 2009, setelah ujian sekolah, dan hanya dilakukan sekali. Tetapi kemudian Fulan meralat bahwa yang benar 24 April 2009 dengan jumlah yang hanya sekali. Sedangkan usia kehamilan Fulanah, menurut Fulan sekitar 2 bulan.

Pada Fulanah hakim juga menanyakan hal yang sama. Dan dijawab juga dengan jawaban yang sama. Ketika ditanya berapa usia kehamilannya, dijawab oleh Fulanah, menurut dokter di puskesmas, kehamilan Fulanah adalah 4 bulan.

Hakim berkali-kali mencoba meminta pada Fulan maupun Fulanah untuk berkata jujur. Tapi semua tak bergeming dengan jawaban di atas. Padahal sebenarnya feeling hakim, bahwa Fulanah bukan hanya hamil 4 bulan, tapi lebih, karena melihat perut Fulanah yang sudah cukup besar. Tapi Fulanah tetap bersikukuh bahwa hanya melakukan hubungan seks dengan Fulan, itupun sekali, dan terakhir Fulanah menstruasi pada bulan April.

Akhirnya sidang diskors, majelis meminta pada Fulanah untuk melakukan usg di rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari pengadilan.
Betapa tercengangnya majelis ketika hasil usg diterima, ternyata kehamilan Fulanah sudah 24 minggu 3 hari. Dan diperkirakan bayinya lahir pada tanggal 28 September 2009.

Saat sidang dibuka kembali, hasil usg dibacakan, Fulanah masih masih "keukeuh" dengan usia kehamilannya, hubungan seksnya dan haid terakhirnya, majelis kemudian meminta Fulanah untuk berkata jujur karena jika Fulanah memberi keterangan palsu, maka ini mempunyai konsekuensi hukum.

Si Fulan, mendengar kemungkinan bahwa kehamilan Fulanah bukan dengannya, menjadi ragu dan tertunduk pasrah. Fulan tak menyangka sama sekali bahwa Fulanah sebenarnya telah hamil dengan laki-laki lain, baru melakukan hubungan seks dengannya.
Fulan rupanya cukup percaya dengan Fulanah, walau hanya berbekal hasil test kehamilan yang disodorkan Fulanah.

Setelah mendengarkan konsekuensi dari keterangan palsu yang diucapkan di pengadilan, Fulanah mulai luluh dan mau berkata jujur. Bahwa memang benar Fulanah hamil bukan dengan Fulan, tapi dengan 4 laki-laki lain, dan itu dilakukan sekitar bulan Januari lalu.

Baik orang tua Fulanah maupun Fulan tertunduk..... Mereka dalam keadaan sangat-sangat bingung. Akhirnya bapak Fulanah mengucap kata: "Saya pasrah..... apapun keputusan majelis hakim maupun keluarga Fulan".

Mendengar pernyataan ayah Fulanah, ibu Fulan menjawab: "Biarlah majelis hakim.... anak saya tetap saya mohon ijin untuk menikah dengan Fulanah, walau Fulanah hamil dengan orang lain". Fulan juga menambahkan: "Majelis hakim...tak apa-apa saya menikah dengan Fulanah, daripada masalah ini menjadi panjang",

Tentu majelis menolak keinginan Fulan,Fulanah maupun orang tua masing-masing. Karena agama melarang seorang laki-laki melarang menikahi wanita hamil. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, jelas jelas menyatakan bahwa seorang wanita hamil hanya boleh mengawini laki-laki yang menghamilinya. Sedangkan kasus kita kali ini, jelas-jelas Fulanah hamil dengan orang lain, bukan dengan Fulanah.

Majelis hanya menyarankan, jika niat baik Fulan itu untuk mengawini Fulanah, lakukanlah setelah Fulanah melahirkan. Ini tentu sudah tak ada larangan perkawinan. Jika sekarang, tentu tak boleh walaupun semua sama-sama ikhlas.

Saya teringat beberapa waktu lalu, dalam sebuah forum diskusi dengan pihak KUA, ternyata KUA sekarang ini memperlakukan "khusus" perkawinan-perkawinan yang disebabkan kehamilan. Menurut pihak KUA kecendrungan perkawinan karena kehamilan trend nya semakin naik. Tapi itu tidak menyurutkan tingkat kehati-hatian pihak KUA untuk membuktikan bahwa kehamilan ini memang akibat dengan lak-laki yang akan menjadi calon suaminya. Jika tidak maka KUA tidak segan-segan menolak permohonan pelaksanaan pernikahan tersebut.

Ocehan di atas, hanya sekedar refleksi bahwa walaupun perkara yang diajukan adalah dispensasi kawin untuk menikah dini (di bawah umur), tapi majelis juga harus cermat untuk memeriksa bahwa betulkah kehamilan itu dengan calon pasangannya. Dan ini rasanya bukan melampaui kewenangan pengadilan, karena tentunya ketika kita memutuskan mengijinkan perkawinan itu dilaksanakan, majelis juga harus yakin bahwa calon pasangannya adalah halal untuk dinikahkan.