Minggu, 22 November 2009

MEMASUKKAN UUPKDRT DALAM KONSIDERAN PUTUSAN SEBAGAI SUMBANGSIH HAKIM PA TERHADAP TINGGINYA ANGKA KDRT

UUP KDRT: “Assalamu’alaikum bu…”
Hakim : “Waalaikum salam…”
UUPKDRT: “Perkenalkan nama saya UUP KDRT bu, ingin sedikit berbincang tentang hubungan kami dengan korps hakim ibu.
Hakim : “Boleh-boleh…selama saya mampu menjawab dan sesuai bidang saya”.
UUP KDRT: “Alhamdulillah…. Saya sengaja memilih ibu, karena dengan kapasitas ibu sebagai hakim dan dosen, ibu tentu lebih obyektif, transparan, dalam melihat persoalan.
Hakim : “Ahh…. Jangan gitu, saya jadi malu” (sambil tersenyum simpul).
UUP KDRT: “Maaf bu, agak sedikit narsis, dan berbeda dengan wawancara pada umumnya. Pertanyaan pertama saya, sampai sejauh mana ibu mengenal saya?
Hakim : “Betul juga…. Biasanya orang bertanya untuk mengetahui informasi tentang yang ditanya, sekarang saya ditanya untuk mengetahui informasi penanya. Heeem….Saya mengetahui anda sejak anda diundangkan, karena kalau tak salah proses sampai diundangkannya memakan waktu yang lama. Secara jujur, saat proses pembahasan UU ini,saya hanya melihat bahwa UU ini dimaksudkan untuk meminimalisir kekerasan yang dominan dialami ibu dan anak dalam rumah tangga. Dan dengan adanya UU ini maka angka KDRT akan menurun, sehingga akan tercipta keluarga-keluarga harmonis.Dan ini tentu bukan kewenangan kami”
UUP KDRT: “Saya senang mendengarnya bu. Ini artinya ibu ada perhatian terhadap kehadiran kami dalam ranah sejuta UU di negeri tercinta ini.Tapi gimana UUPKDRT dalam tugas ibu,apakah ibu menggunakan dalam putusan-putusan ibu??
Hakim (menyela): “Ah….untuk apa kita punya sejuta UU tapi tak diimplementasikan”(rupanya hakim ini teringat akan humor gus Dur tentang “hinaan “ seorang duta besar terhadap Indonesia yang tak ada gunanya memiliki Mentri Hukum dan Per UUngan, jika UU tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya.
UUP KDRT: “Sepakat bu…..”. Tapi bagaimana dengan ibu sendiri sebagai hakim PA? Apakah ibu juga menggunakannya sebagai konsideran dalam memutus perkara yang diajukan kepada ibu? (UUPKDRT mencoba mengulang pertanyaan yang lupa dijawab)
Hakim : (Terdiam cukup lama) “Ya…kadang-kadang kami menggunakannya tapi tak jarang pula hal ini terabaikan”. Maklum walau kami sudah mengetahui, tapi kamu tak terlalu akrab. Apalagi pemahaman kami, kamu bukan bagian yang terintegrasi dengan peradilan agama, tapi terkait dengan peradilan umum. Karena rasanya ruh yang muncul jika terjadi KDRT, adalah merupakan ranah peradilan umum. Sebagian dari kami menganggap bahwa UU Perkawinan, PP 9 Tahun 1975 serta KHI sudah cukup bisa menaungi hal-hal sebagaimana termaktub dalam UUPKDRT. Misalnya kekerasan fisik dan ekonomi, termasuk juga kekerasan psikis.
UUP KDRT: “Ooh… begitu bu. Tapi jika saya memohon diri untuk bergabung dengan aturan-aturan yang telah ibu pergunakan. Saya berharap, jika ibu memasukkan saya dalam konsideran, maka angka KDRT akan menurun. Please bu……
Hakim : “heeeeeemmmmmmmmm”(mantuk-mantuk……)

Dialog di atas walaupun imaginer, tapi ini merupakan gambaran umum bagaimana interaksi antara UUP KDRT dengan hakim PA. Sepintas kita sudah bisa membayangkan bagaimana hubungan hakim PA dengan UUPKDRT.
1. INILAH KAMI….
Hakim Pengadilan Agama dengan kewenangan tugas yang diamanatkan kepadanya sebagaimana yang telah ditetapkan UU, antara lain : perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,ekonomi syari’ah..Dari sekian kewenangan tugas yang diberikan, didominasi oleh perkara-perkara perceraian, baik cerai talak, cerai gugat. Data tahun 2008, dari 245.023 perkara, 221.520 perkara adalah perkara cerai talak dan cerai gugat.
Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan bahwa pada tahun 2007 pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga dari berbagai lembaga layanan di seluruh Indonesia berjumlah 17.772 kasus, jika dikomparasi dengan data yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag, bahwa perkara yang masuk pada tahun 2007 adalah 251.170 dimana jumlah cerai gugat, cerai talak berjumlah 196.848 (90%). Dari data tersebut menempatkan meninggalkan kewajiban , di urutan teratas dengan 77.528 kasus, di sususl perselisihan (65.818) dan menyakiti jasmani 1.845 perkara.
Dari data-data tersebut, cukup mencengangkan, karena 3 penyebab utama terbesar perceraian nyaris dapat dikatakan adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersentuhan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Disini menunjukkan bahwa dalam keseharian tugasnya, hakim-hakim peradilan agama bersentuhan langsung dengan masalah-masalah KDRT.
Ini belum jika kita analisa fakta bahwa yang melaporkan adanya KDRT (17.772 kasus) jauh lebih sedikit dibanding 3 penyebab perceraian yang masuk domain “pelanggaran” UUP KDRT (145.191 perkara). Dengan angka ini, bisa juga diartikan bahwa para korban KDRT cenderung menyelesaikan persoalannya dengan perceraian, bukan dengan menyelesaikan kekerasan yang dialami dan membina kembali rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Hakim ketika diserahkan perkara perceraian, diwajibkan mengupayakan perdamaian. Apalagi dengan terbitnya PERMA No 1 Tahun 2008, maka setiap diajukannya gugatan,selalu mengupayakan mediasi. DIharapkan dengan mediasi, persoalan akan selesai, dan para pihak akan mencabut perkaranya. Ini tanpa melihat apakah penyebabnya dikarenakan ada kekerasan fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran rumah tangga. Jika upaya mediasi tidak selesai maka perkara dilajutkan dalam persidangan.
Saya sebagai mediator hakim, kadang memanfaatkan proses mediasi untuk memperjuangkan hak-hak istri maupun suami, baik yang korban KDRT maupun tidak. Pada awalnya tentu upaya damai, dengan harapan para pihak mencabut perkaranya. Tapi jika baik pelaku maupun korban KDRT sudah tidak ingin lagi melanjutkan hidup berumah tangga, maka hak-hak istri (jika istri tersebut menjadi korban) diupayakan diminta kepada suaminya. Demikian juga kepada suami, harus disadarkan bahwa penelantaran yang telah dilakukan telah melalaikan kewajibannya, sehingga pada saat perceraian, kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan, harus dibayarkan. Biasanya dalam mediasi, kewajiban-kewajiban tadi diwujudkan dalam pembayaran uang.


2. HAKIM PA DAN UUPKDRT.
UUPKDRT tentu bukanlah hal yang baru bagi sebagian hakim PA. Dengan berbagai seminar dan lokakarya serta kajian-kajian hukum,bacaan dan pemberitaan media masa, nyaris dapat dikatakan bahwa semua hakim telah mengetahui adanya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini.
Tetapi dalam prakteknya, tidak semua hakim mengintegrasikan atau memasukkannya ke dalam konsideran putusannya. Padahal sesuai data di atas, setiap tahun dari kurang lebih 3000 hakim peradilan agama di Indonesia, mengadili tidak kurang dari 200 ribu perkara perceraian.
Walaupun demikian, tentu masih ada juga hakim PA yang memasukkan UUPKDRT ini dalam konsiderannya. Secara pribadi, saya juga pernah memasukkan UUPKDRT dalam putusan saya, selain saya melihat bahwa UU ini tidak hanya diciptakan untuk peradilan umum, tapi juga peradilan agama. Tetapi hal yang mendasar, adalah dengan memasukkan dalam konsideran, maka sebagai bentuk sumbangsih hakim menekan laju angka KDRT.
Kelihatannya sepele dan terlalu idealis, tetapi ketika putusan hakim tersebut dibaca, minimal oleh para pihak, maka telah ada 2 orang yang kita sosialisasikan UUPKDRT tersebut termasuk akibatnya, yaitu perceraian. Jika kedua keluarga juga membaca putusan, maka minimal sosialisasi UUPKDRT telah kita berikan pada 10 orang. Jika setiap tahunnya ada 200 ribu putusan yang menuangkan UUKDRT dalam putusan, maka hakim tersebut telah mensosialisasikan UU tersebut kepada 2 juta orang. Angka yang cukup fantastis untuk sebuah sosialisasi UU, apalagi jika semuanya kemudian menyadari bahwa KDRT harus dihindari, maka laju pertambahan laporan KDRT akan menyusut, hanya dengan sebuah putusan hakim yang mencantumkan dalam konsiderannya UUPKDRT.

3. ALASAN HAKIM TIDAK MEMASUKKAN DALAM KONSIDERAN
Tentu tidak semua hakim mempunyai keyakinan yang sama, ada beberapa alasan yang menyebabkan beberapa hakim enggan memasukkan UUPKDRT dalam konsideran putusan.
Alasan-alasan yang diungkapkan adalah hasil diskusi terbatas, sehingga tak perlu kita perdebatkan. Ini semua adalah hak masing-masing untuk ungkapkan pendapat yang harus kita hormati. Bahkan justru dari ini kita bisa mencari solusi.
a. Alasan hukum yang ada sudah cukup.
Alasan ini yang mendominasi mengapa sebagian besar hakim-hakim PA Agama enggan memasukkan UUP KDRT dalam konsideran putusan yang dihasilkan.
Bagi sebagian hakim, alasan-alasan sebagaimana yang diatur oleh pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam sudah cukup memadai untuk sebuah konsideran putusan. Sehingga dicantumkan atau tidak dicantumkannya UUP KDRT dalam sebuah konsideran putusan tidak punya nilai yang berarti.

b. Pemahaman terhadap UUPKDRT.
Bagi sebagian hakim peradilan agama isi dari UUPKDRT justru tentang pencegahan terhadap perceraian. Artinya isi dari UU ini adalah upaya-upaya terhadap pencegahan perceraian, bagaimana agar rumah tangga yang telah terbina bisa menjadi rumah tangga yang harmonis. Ini berbeda dengan bidang tugas hakim PA yang justru memisahkan sebuah perkawinan, setelah diupayakan berbagai cara untuk mendamaikan tidak berhasil.
Menurut yang memahami ini, sangat kontradiktif jika dimasukkan alasan perceraian sebagaimana yang disebutkan PP No 9 Tahun 1975 disandingkan dengan UUPKDRT yang pasal 4 ayat (d) berbunyi bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

c. Bukan “domain” Peradilan Agama.
Alasan ini didasarkan pada pemikiran bahwa UUPKDRT ini merupakan domain peradilan umum, karena yang diatur adalah masalah pidana. Dan peradilan agama tidak punya kompetensi apapun jika terjadi pelanggaran terhadap pelanggaran UU ini.

Kalaupun telah terjadi pelanggaran UUPKDRT, dan kemudian dijadikan penyebab perceraian, maka hakim peradilan agama hanya menjadikan salinan putusan peradilan umum tadi sebagai alat bukti yang menguatkan dalil-dalil telah terjadi penganiayaan. Artinya, sinergi yang muncul adalah sinergi pada alat bukti saja. Dimana putusan yang dikeluarkan oleh peradilam umum, oleh peradilan agama dijadikan sebagai alat bukti.

d. Bandingpun tak pernah dibatalkan.
Ketika mendengar alasan ini, saya tersenyum membenarkan. Yang ada di benak saya adalah satu pernyataan:”Benar juga ya??”.
Dalam teorinya, jika pihak-pihak yang berperkara tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat pertama,maka kepadanya dibenarkan untuk mengajukan banding. Oleh hakim tingkat banding, putusan tingkat pertama akan diujiulang, apakah penerapan hukum telah benar atau tidak tepat. Jika telah benar, hakim banding akan menguatkan putusan hakim tingkat pertama, dan jika salah, maka hakim akan memeriksa dan memutus perkara banding tersebut.

Dalam prakteknya,saya memang belum mendapatkan putusan banding yang membatalkan putusan hakim tingkat pertama karena tidak memasukkan UUPKDRT dalam konsiderannya, walau nyata-nyata telah terbukti adanya penganiyaan serta kekerasan dalam rumah tangga tersebut.



4. KONDISI IDEAL:
Jika kita ingin mengembangkan rasa sensifitas terhadap pencegahan KDRT, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat secara luas, tentu pemahaman terhadap pencegahan KDRT harus kita tumbuh sebarkan. Dan khusus bagi hakim, dengan produk putusan yang sensifitas terhadap KDRT harus dilakukan.
a. Memulai dari diri sendiri.
Menumbuhkan sensifitas-sensifitas terhadap KDRT memang sulit. Apalagi masih banyak pola pikir kita yang menganggap bahwa KDRT adalah semata-mata kekerasan fisik. Otak kita belum bisa secara otomatis “menilai” jika ada perselisihan dan pertengkaran dimana seorang suami yang menelantarkan istri, mengancam, menekan perasaan istri, adalah bagian dari KDRT.
Jika ada hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan fisik, otak kita langsung mengarahkan pada pelanggaran Pasal 19 huruf (d) PP No 9 tahun 1975 atau pelanggaran ta’lik talak angka 3.
Kita masih serta merta mengartikan bahwa adanya pelanggaran KDRT jika si istri, anak, atau anggota keluarga sudah babak belur. Hakim pun demikian, ketika memeriksa perkara, tidak serta merta mengartikan pelanggaran-pelanggaran non fisik sebagai pelanggaran n terhadap UUPKDRT. Lebih parahnya lagi,jika seorang istri karena telah menderita tekanan batin, kemudian meninggalkan suaminya, justru diartikan sebagai istri tersebut telah nuzus.
Perlu kebiasaan yang terus menerus untuk memunculkan sensifitas ini. Pertama adalah dengan kemunculkan Kesadaran itu kita munculkan dari diri kita sendiri, dari teman-teman satu majelis, dari teman-teman sekantor.Ini berkembang menjadi teman-teman sewilayah Pengadilan Tinggi Agama, dstnya. Marilah kita melihat, bahwa sumbangsih kita yang kecil ini, ke depannya dapat mencegah lajunya angka KDRT. Mungkin ini di luar bayangan kita, tapi yakinlah dari pertimbangan-pertimbangan kita dapat membuat masyarakat lebih sadar hukum.
Ada baiknya kita mengingat pesan ulama AA Gym, bahwa sesuatu itu mulai dari diri sendiri, ulai dari yang terkecil dan mulai dari sekarang. Jika nasehat ini kita lakukan, lama kelamaan kesadaran serta kebiasaan otak kita juga akan mengarahkan pada adanya pelanggaran terhadap KDRT.

b. Menjadikan slogan: “Ingat perselisihan ingat UUPKDRT”.
Andai saja sen sifitas PKDRT sudah melekat dalam benak hakim, maka tentu tiap tahun ada minimal 200 ribu putusan yang mencantumkan UUPKDRT dalam konsiderannya. Dan ini tentu mempunyai dampak yang besar.
Mungkin kita tidak menyadari betul,bahwa ketika seorang hakim berbicara tentang adanya pelanggaran terhadap UU, maka masyarakat akan lebih mengenal terhadap pelanggaran UU tersebut. Contoh kecil, betapa banyak masyarakat yang mengetahui bahwa: suami mempunyai kewajiban member nafkah, dan jika melalaikan selama 3 bulan berturut-turut, maka istri dapat mengajukan perceraian. Ini sesungguhnya dimulai dari putusan hakim tentang pelanggaran ta’lik talak. Dan ini tentu kebiasaan yang berulang dari puutusan hakim ini telah mencerdaskan masyarakat akan hak dan kewajiban suami dan istri.
Mengutip slogan sebuah iklan: maka rasanya slogan: “ Ingat perselisihan ingat UUPKDRT” bisa digiatkan. Karena nyaris setiap alasan perceraian bersinggungan dengan PKDRT, maka jika slogan ini sudah menempel dalam benak,maka otomatis setiap putusan yang dihasilkan yang ada unsur KDRT, serta merta hakimakanmemasukkannya dalam konsideran.

5. SOLUSI:
Dari fakta-fakta yang ada dimana masih begitu banyak alasan hakim belum memasukkannya ke dalam konsideran putusannya, dan untuk mencapai kondisi ideal yang kita harapkan,maka ada beberapa alternatif solusi yang bisa membantu tercapainya kondisi ideal tersebut:
1. Tumbuhkan sensifitas PKDRT sejak tes masuk menjadi hakim PA.
Selama ini, soal-soal yang ditanyakan saat tes masuk hakim peradilan agama, hanya berkaitan UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU Peradilan Agama.Tidak ada sama sekali kaitannya dengan UUPKDRT. Jika dalam soal ada sedikit memuat tentang UUPKDRT, tentu ini akan memicu peserta tes untuk mempelajari UUPKDRT lebih dalam.
Dan jika yang bersangkutan kemudian lulus menjadi cakim, maka paling tidak sudah ada satu sosok calon hakim yang sudah memahami UUPKDRT.

Dengan demikian, wacana tentang UU PDKRT ini sudah ada sejak awal dan berniat menjadi hakim di lingkungan peradilan agama. Dan ini merupakan waktu yang tepat, karena idealism-idealisme sebagai hakim sedang memasuki masa puncaknya pada saat mendaftarkan diri menjadi hakim.

2. Memasukkan materi ini dalam pendidikan cakim.
Menciptakan hakim yang punya sensifitas KDRT tidak hanya sebatas saat tes masuk saja. Ini harus dilanjutkan pada saat menempuh pendidikan cakim. Pada masa pendidikan, selain sensifitas Perlindungan KDRT yang semakin ditumbuhkan, juga secara teknis mengajarkan pada cakim-cakim teknis pembuatan putusan yang memasukkan UUPKDRT sebagai konsiderannya.

Idealisme yang berada pada puncaknya, diisi dengan hal-hal positif, sehingga sikap mental seorang hakim akan tumbuh dan berkembang baik.
3. Sosialisasi lebih intensif kepada hakim dan pimpinan pengadilan.
Ternyata mengetahui saja tidak cukup. Diperlukan penyadran-penyadaran individual maupun kesadaran bersama untuk mengintegrasikan UUPKDRT ini terhadap putusan

Sosialisasi sebaiknya tidak sebatas seminar dan lokakarya, tetapi para hakim yang telah mengikuti seminar dan lokakarya diikuti perkembangannya. Selain itu mengadakan diskusi-diskusi intensif antar hakim, sehngga dapat berbagi pengalaman. Dari sinilah kita dapat melihat seberapa jauh perkembangan yang dilakukan hakim tersebut. Apakah setelah mengikuti seminar yang dilanjutkan FGD, sensifitas PKDRTnya semakin baik.Tentu yang diharapkan adalah ada perkembangan positif setelah berbagai kegiatan diikuti.

Kedepannya, akan lahir hakim-hakim peradilan agama yang sensitive terhadap masalah-masalah KDRT. Amien……

Bantul 13 Nopember 2009
Lily Ahmad