Selasa, 26 April 2011

ANDAI KARTINI MENJADI HAKIM


Hari ini tepat usia Kartini 132 tahun, dilahirkan di desa Mayong dari seorang bapak RMAA Sosroningrat dan ibu MA Ngasirah.Dilahirdari kota kecil, tapi Kartini berharap dari kota kecil ini ada perubahan, termasuk untuk kaumnya . Bahasa kerennye: “Dari Mayong untuk Perubahan Wanita Indonesia”.

Dan itu rasanya tidak berlebihan, karena ternyata apa yang dilakukan Kartini, kemudian dijadikan momen sebuah perjuangan emansipasi oleh dunia, walau tentu ini di luar dugaannya. Lihatlah, hari ini hampir semua sekolah merayakan hari kelahiran Kartini dengan berdandan konon “ala” Kartini, memakai kebaya dan bersanggul, sungguh menggemaskan!!! Tentu Kartini akan tersenyum bahagia melihat keceriaan anak-anak itu, bahagia karena menjadi tokoh anak-anak itu dan bahagia bahwa perjuangannya memperjuangkan emansipasi wanita semakin menunjukkan hasil.

Lebih bahagia lagi jika kemudian Kartini berkunjung ke beberapa intansi , dan beberapa perbankan yang semuanya memperingati hari lahirnya 21 April ini dengan berbusana kebaya dan bersanggul. “Ah....moga-moga mereka tidak memperingati hari lahirku hanya dengan berbusana ala Kartini, seperti demam lady Di, tapi memperingati perjuangan wanita secara substantif”, kata Kartini

Maka mulailah Kartini ini berpetualang melihat berbagai kemajuan di Indonesia, kemajuan wanitanya, kemajuan kaumnya. Kali ini Kartini menjadi hakim, mewakili ribuan hakim perempuan Indonesia. Sayup-sayup dalam perjalanan imaginer ini terdengar lahu Ibu Kita kartini..Putri Sejati...Putri Indonesia...harum namanya...

Kartini, yang berpendidikan : E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar, kali ini menjelma menjadi hakim, kali ini Kartini ditetapkan oleh Ketua Pengadilan untuk menyidangkan kasus Gayus Tambunan. Tentu dengan senang hati, Kartini menerima amanah yang memang telah menjadi tugas Kartini sehari-hari. Bagi Kartini, ini tak menjadi masalah, karena toh selama ini Kartini menjadi hakim yang sangat bersih, selama berkarir, tak pernah sekalipun Kartini menerima uang dan pemberian dalam bentuk apapun. Sehingga menyidangkan kasus Gayus, baginya justru menjadi tantangan, karena konon Gayus itu rajanya penyuap-penyuap ulung.

Maka mulailah Kartini bersidang,kali ini teman satu majelis adalah Albertina Ho, hakim wanita yang tegas dan anti suap. Tentu Kartini senang masuk dalam majelis ini, tak ada keraguan sedikitpun bagi Kartini dengan kredibilitas Albertina Ho, wanita Maluku Tenggara yang lahir tanggal 1 januari 1960 ini. Melihat kredibilitas hakim yang memeriksa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, hati Kartini semakin mantap dan yakin, bahwa Gayus tak bakal membobol keteguhan majelis hakim, seperti Gayus yang (konon) telah membobol pertahanan hakim Muhtadi Asnun, sehingga hakim tersebut mau menerima uang 50 juta dari Gayu. Akibatnya saat ini Muhtadi Asnun harus menertima hukuman, menjadi hakim non palu.

Ketika persidangan telah berjalan, Kartini mulai lebih banyak mengetahui sepak terjang Gayus Tambunan, termasuk juga istrinya Milana Anggraeni. Orang banyak menghujat Milana Anggraeni, apalagi saat Milana Angraeni terlibat saat Gayus plesiran ke Bali, Macau dan Kualalumpur. Hujatan padanya tak henti-hentinya, bahkan akhirnya Milana Angraeni kemudian diperiksa atas keterlibatannya bisa mengeluarkan Gayus dari tahanan Brimob Klapa Dua. Terbukti bahwa Gayus bisa leluasa plesir di luar tahanan setelah menyuap komandan Brimob.

Kartini memejamkan mata, membayangkan andai dia menjadi istri Gayus, apakah tidak mungkin hal yang sama dilakukannya juga. Bagaimana kegalauan serta kerinduan seorang istri pada suami yang ditahan. Milana mungkin tak berpikir bahwa suap itu merupakan pidana, bagi Milana memberi uang bagi komandan Brimob agar suaminya bisa leluasa keluar tahanan merupakan uang jasa, merupakan barter, merupakan jaminan, dan apapun namanya, yang penting suaminya bisa bertemu dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, yang masih merindukan rengkuhan dan pelukan seorang bapak. Pasti yang dipikiirkan Milana, biarlah semua orang di luar sana mencerca, tapi sebagai ibu saya bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anakku bertemu dan bercengkrama dengan bapaknya.

Sampailah menjelang akhir proses persidangan, saat membaca pledoi, dengan gagahnya Gayus membacakannya (yang konon pledoinya diketikkan istrinya), tetapi saat pledoi menjelang akhir, saat Gayus membacakan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga dan anak-anaknya, airmata Gayus tumpah ruah tak tertahankan. Sebagai hakim yang hampir tiap hari mendengar pledoi dari para terdakwa, Kartini tak bergeming dengan airmata Gayus, karena sudah merupakan menu keseharian sebagai hakim menyaksikan tetesan airmata bila terdakwa berbicara tentang diri dan keluarganya, umumnya airmata terdakwa tak terbendung.

Menurut pengamatan Kartini, yang jarang meneteskan airmata, adalah pledoi yang diucapkan oleh para “pejuang” jihad, yang umumnya disebut teroris. Mereka justru berkobar, dan rela dihukum. Berbeda dengan Gayus, mendengar tuntutan JPU yang 20 tahun, sudah membuat Gayus yang selama ini menebar senyum dan yakin dirinya tak bersalah, harus ‘menghiba” untuk dibebaskan, demi anak dan keluarga.Akhirnya Kartini dan hakim Albertina menjatuhkan vonis 7 tahun bagi Gayus, vonis yang bagi sementara orang terlalu ringan melihat begitu tingginya angka korup yang diembat Gayus, tapi vonis yang begitu berat bagi Gayus, mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Di luar yang tertuang dalam putusan, dan di luar Gayus Tambunan sebagai terdakwa, dalam benak Kartini, perasaan campur aduk dengan apa yang dilakukan Milana. Bagi Kartini, seharusnya Milana menjadi istri yang bukan hanya surga nunut dan neraka katut pada Gayus, tapi menjadi penyeimbang, menjadi polisi bagi suami. Milana harus bisa menyatakan pada Gayus, bahwa praktek-praktek yang dilakukan Gayus selama ini adalah praktek haram, yang bisa berakibat fatal. Milana bukan wanita bodoh, sarjana komunikasi Universitas Indonesia ini tentu mengetahui, bahwa apa yang dilakukan Gayus adalah menggali lubang kedholiman bagi keluarganya, dan akhirnya semua harus terjerumus ke dalamnya, termasuk dirinya dan anak-anak yang sangat dicintai. Lalu...apa artinya cinta dan kasih sayang jika Milana dan anak-anak juga harus terseret arus kedholiman yang dilakukan Gayus.

Rasanya Kartini ingin membisikkan pada Milana:”Jadilah seorang istri yang tegar, didik anak-anak untuk menjadi anak-anak yang mandiri. Belajar dari apa yang dilakukan seorang suami, biarlah hidup dengan sederhana, tapi kebahagiaan melingkupi hari-hari yang penuh kebersamaan”.

Beranjak dari kasus Gayus, Kartini kemudian disodori kasus Antasari Azhar. Kasus yang menurut mas media adalah kasus pembunuhan yang bermuatan politik. Memang sebelum kasus ini masuk di meja kartini, isu bahwa di balik pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, ada intrik cinta segitiga, antara korban, terdakwa dan seorang perempuan yang bernama Rani.

Sebagai hakim yang bijak, Kartini tak mau pikirannya ‘digiring” oleh media massa. Kartini masih mempertahankan independensinya. Kartini sudah merasakan bagaimana dahsyatnya mas media membuat opini, dan jika tidak kuat, maka bisa saja Kartini ikut hanyut derasnya arus opini yang dibuat media. Padahal, saat ini media sudah banyak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi. Maka untuk menjaga independensi, Kartini selalu menyadarkan pikirannya, bahwa apa yang diberitakan oleh media, belum tentu sepenuhnya benar. Sehingga jika Kartini membaca media, selalu berusaha dalam posisi netral. Walau demikian, tentu Kartini juga tak akan meninggalkan media, karena bisa-bisa Kartini yang ketinggalan info.

Maka, sampailah kasus Antasari pada tahapan pembuktian. Jaksa kemudian menghadirkan Rani, yang selama ini keberadaannya disembunyikan. Konon karena semenjak kematian Nasrudin Zulkarnaen, Rani dan keluarganya selalu menerima ancaman dan teror, hal ini membuat Rani harus bersembunyi. Tapi mau gak mau Rani harus dihadirkan di persidangan.

Saat Rani dihadirkan di persidangan, pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Yang ada hanyalah majelis hakim, JPU, pengacara terdakwa, terdakwa dan saksi. Rani dengan panjang lebar menceritakan kejadian di hotel Mahakam, tentang hubungannya dengan terdakwa dan korban, tentang sms terdakwa, tentang perkawinannya dengan korban, dan segala-galanya.

Kartini sebagai hakim menyimak dengan serius apa yang diutarakan saksi, yang ada di benak Kartini sebagai hakim adalah: “Ah...Rani...kamu wanita, seharusnya kamu jangan mau dijadikan istri siri korban, karena nantinya kelak kamu hanya menjadi korban”. Rani mungkin terlalu muda untuk bisa mengerti bagaimana istri pertama, dan istri kedua korban mendapati suaminya ternyata memiliki istri lain yang tidak ‘terdaftar” di negara. Jangan-jangan korban masih memiliki istri-istri yang lain, yang juga tidak “terdaftar”.

Sebelum kasus ini berakhir dengan ketokan palu yang menghukum Antasari, Kartini sebagai hakim hanya bisa bergumam:”Ah...ternyata di balik kasus pembunuhan yang bermuatan politispun ada perempuan di antara carut marutnya perkara tersebut. Betapa kaumku selalu menjadi “alat” yang akhirnya menjadi korban”

Kartini ingin segera beranjak dari hakim di peradilan umum, dan ingin menjelma menjadi hakim di peradilan agama. Karena Kartini yakin, di peradilan agama juga membutuhkan hakim-hakim perempuan yang berdedikasi. Karena di peradilan agama, banyak kasus yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga.

Tapi belum lagi Kartini beringsut dari tempat duduknya, koran di mejanya sudah ada berita 2 perempuan yang siap-siap akan memasuki ranah persidangan, kedua perempuan adalah Selly Yustiawati dan Melinda Dee, kedua harus mengorbankan “kekartinian” mereka untuk sebuah ambisi ujar Kartini cepat-cepat, karena harus pergi ke pengadilan agama untuk bersidang beberapa kasus.

Sesaat sampai di pengadilan agama, kartini dikejutkan dengan perkara Bambang Trihatmojo yang harus rela mengajukan perceraian kepada istrinya yang cantik jelita, Halimah Agustina. Bambang tega-teganya mengajukan ijin cerai talak , karena telah menikah siri dengan penyanyi Mayangsari. Yang gak masuk di akal Kartini, kenapa ini harus terjadi?? Bukankah dengan Halimah, Bambang telah memiliki anak-anak yang telah dewasa, bahkan telah memberinya cucu.” Ah... Bambang..Bambang... jika hanya kecantikan.... Mayang itu tak ada apa-apanya dengan Halimah. Jauuuuh..kecantikan Halimah melebihi paras wajah Mayang yang “huugggh”, gumam Kartini.

Akhirnya, teman sejawat Kartini sebagai hakim yang memeriksa perkara tersebut mengabulkan permohonan tersebut. Sebenarnya Kartini sudah siap dengan dissenting opinion terhadap putusan tersebut, menurut Kartini, tak seharusnya majelis hakim mengabulkan permohonan perceraian Bambang terhadap Halimah. Majelis seyogyanya tidak hanya memikirkan bahwa perkawinan telah sampai pada ‘broken married”, karena jika pertimbangan ini yang dipakai, akan menjadi presenden buruk terhadap pasangan-pasangan yang hendak mempertahankan perkawinan. Perceraian seyogyanya harus mengikuti ruh dari UU Perkawinan, yaitu mempersulit suatu upaya perceraian. Bukan semua perkara yang diajukan ke pengadilan, harus dikabulkan. Tidak!!!! Tegas Kartini geram.

Kartini sebenarnya sangat prihatin dengan keadaan ini, kenapa sesama perempuan harus saling menyakiti. Kita sebaiknya dilahirkan untuk memberi kesejahteraan bagi orang lain, bagaiman posisi perempuan bisa kuat, jika yang menyakiti perempuan adalah perempuan juga.

Beranjak dari kasus perceraian yang akhirnya berakhir dengandiucapkannya ikrar talak Bambang pada Halimah pada tanggal 31 Maret lalu, Kartini kemudian dihadapkan dengan kasus perceraian dai kondang aa Gym yang mengajukan perceraian ke istri yang telah memberinya 6 orang anak, teh Ninih. Perceraian yang didahului dengan poligami yang menghebohkan, poligami yang menyebabkan jemaah aa Gym di pesantren Daruttauhid berkurang drastis. Kasus ini baru memasuki tahap mediasi, sebagai hakim Kartini hanya berharap jika perkara ini akan sampai pada kesepakatan perdamaian, sehingga aa Gym akan mencabut perkaranya. Bukankah aa Gym mengetahui bahwa sesuatu hal yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah perceraian??

Aa Gym harus membuktikan pada khalayak ramai, bahwa poligami tak harus berujung pada perceraian. Berpoligami memang bukanlah hal mudah, tapi juga jika sudah menjadi pilihan, seyogyanya poligami bisa dilaksanakan tanpa saling menyakiti. Kartini juga merasakan kehidupan poligami, tetapi toh tidak berakhir dengan perceraian.

Bukan hanya itu, Kartini juga harus menyidangkan begitu banyak perkara dispensassi kawin, dimana orang tua wali harus mengajukan iziin di pengadilan karena anak-anak yang hendak menikah, semua masih di bawah umur, untuk laki-laki, masih di bawah 19 tahun dan untuk perempuan masih di bawah 16 tahun. Ini adalah perkara yang paling pelik yang harus dihadapi Kartini, karena Kartini tahu, bagaimana resiko yang dihadapi perempuan jika hamil dalam usia muda, resiko sangat tinggi. Salah satu resiko yang sudah teruji adalah kemungkinan kelak mengidap kanker serviks, karena menurut penelitian salah satu penyebab terjadinya kanker serviks adalah hamil dan melahirkan di bawah usia 20 tahun.

Kartini juga merupakan salah satu wanita yang meninggal karena melahirkan. Angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi di Indonesia, walau dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, tapi masih jauh dibanding negara-negara maju lainnya.

Setiap memeriksa perkara dispensasi kawin, Kartini selalu berusaha untuk memberi perhatian secara khusus. Memberi waktu yang cukup untuk memberikan “pencerahan” baik bagi calon pengantin yang masih muda belia, termasuk juga kepada orang tua yang anaknya hendak menikah. Umumnya Kartini melihat, anak-anak yang masih berbau kencur itu belum siap baik secara mental untuk melangsungkan pernikahan. Keadaanlah (hamil sebelum menikah) yang menyebabkan mereka harus segera dinikahkan.

Kartini ingin berteriak, agar suaranya didengar bahwa keluarga, pemerintah dan masyarakat harus segera turun tangan menghalau semakin tingginya angka pernikahan dini (pernikahan di bawah ini), kalau tidak, maka kita akan menghadapi satu generasi dimana anak-anak itu akan dididik oleh orang tua yang belum siap menjadi orang tua yang dewasa. Apa jadinya generasi tersebut jika dididik oleh orang tua yang masih kekanak-kanakan??.

Beranjak dari kasus dispensasi perkawinan dimana anak-anak tersebut dinikahkan di bawah umur, Karini dihadapkan tingginya angka perceraian yang disebabkan karena terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT ini tidak hanya diartikan sebagai kekerasan fisik semata, tapi begitu banyaknya kekerasan non fisik, utamanya penelantaran ekonomis. Para suami tidak memberikan nafkah yang layak atau bahkan sama sekali tidak memberi nafkah kepada istri dan anak-anak.

Dahulu, menghadapi kondisi seperti ini para istri hanya pasrah, dan menerima sampai maut memisahkan . Saat ini (dengan alasan emansipasi) banyak perempuan yang mengajukan perceraian dibanding laki-laki yang mengajukan. Apakah ini dampak dari emansipasi yang Kartini perjuangkan???

Rasanya Kartini mulai kelelahan, betapa sulitnya menjadi hakim bagi seorang wanita. Karena nyaris segala lini perkara ada unsur-unsur perempuan yang menjadi pelaku maupun korban dari pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut..

Kartini ingin segera berlalu, dan berharap semoga saat ini, setelah 97 tahun kematiannya. Ada Kartini lain yang memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, sehingga tidak menjadi pelaku maupun korban dari pelanggaran-pelanggaran hukum, demikian juga Kartini berharap ada Kartini-Kartini lain yang menjdi hakim, sehingga punya kepekaan terhadap kaumnya. Biarlah buku Door duistermis tox licht itu sebagai tonggak kebangkitan wanita Indonesia. Jangan seperti sekarang, Kartini membaca plesetannya: “Sehabis gelap timbullah tangisan”.

Bantul,

132 tahun kelahiran kartini,

Lily Ahmad.

Jumat, 04 Februari 2011

10 Pertanyaan Mengenai Mediasi di Pengadilan Agama:



Pengantar:

Dengan semakin berjalannya waktu, banyak pihak yang menyadari betapa pentingnya mediasi itu dilakukan. Bukan saja karena hasilnya yang merupakan kesepakatan bersama, juga karena dengan bermediasi, mata rantai pembuktian yang panjang dan berbelit-belit dapat dipersingkat atau bahkan tidak diperlukan sama sekali.

Di samping itu, dalam proses mediasi yang selama ini berjalan di pengadilan agama, yang didominasi perkara perceraian, maka manfaat medaisi begitu besar. Banyak hak-hak istri dan anak yang bisa dituangkan dalam kesepakatan mediasi. Ini tentu menguntungkan pihak istri, karena bisa mendapatkan haknya tanpa proses panjang. Demikian juga pihak suami dapat memberikan nafkah atau kewajiban-kewajiban yang lain sesuai kemampuannya.

Dalam beberapa kesempatan, banyak pertanyaan tentang mediasi. Dari sekian pertanyaan-pertanyaan, penulis mencoba merangkumnya menjadi 10 pertanyaan yang sering diajukan dalam proses mediasi di pengadilan agama.

1. Apa pentingnya dan Dasar Mediasi.

Sejak diterbitkannya Perma No 1 Tahun 2008 maka mediasi merupakan suatu kewajiban dalam proses gugatan di pengadilan. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi juga diwajibkan, karena dengan tidak dilaksanakannya mediasi, maka perkara tersebut batal demi hukum. (pasal 2 ayat (3) Perma No 1 Tahun 2008)


2. Siapa saja yang bisa menjadi mediator?

Menurut pasal 8 Perma No 1 Tahun 2010 yang bisa menjadi mediator adalah:
a.Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
b.Advokat atau akademisi hokum;
c.Profesi bukan hokum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
d.Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, aau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.

Tetapi sampai saat ini setelah 2 tahun berlakunya perma ini, pihak-pihak yang berperkara di pengadilan lebih banyak menggunakan mediator hakim. Kemungkinan disebabkan karena mediator hakim tidak dibayar, sedangkan mediator non hakim harus dibayar.

Bagi hakim sendiri, tambahan tugas ini tentu semakin menambah beban kerja pokoknya. Sebenarnya,jika mediasi bias sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak non hakim, maka hakim-hakim akan lebih berkosentrasi menghadapi perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

3. Berapa lama waktunya mediasi

Berdasar pasal 13 angka (3) Perma No 1 Tahun 2008 ini, mediasi dapat dilaksanakan selama 40 hari kerja .Waktu ini dan dapat diperpanjang lagi selama 14 (empat belas hari) . Tentu dengan diberikannya waktu yang cukup longgar, baik mediator maupun para pihak yang bermediasi mempunyai waktu yang lama, sehingga bias tercapai kesepakatan damai sebagaimna yang diinginkan.

4.Apa manfaatnya mediasi??

Banyak sekali yang bisa diambil manfaat dari mediasi, yang paling pokok adalah hasil mediasi merupakan hasil kesepakatan pihak-phak yang bersengketa, dimana diharapkan kesepakatan damai tersebut kemudian oleh majelis dapat dituangkan dalam amar putusan.

5..Kriteria Keberhasilan Mediasi dalam perkara percerian?
Selama ini persepsi mediasi dalam perkara perceraian adalah dicabutnya perkara, dimana antara suami istri tersebut hidup rukun kembali.

Saya pribadi kurang sepakat dengan pendapat tersebut, karena substansi dari mediasi adalah bagaimana suatu putusan itu bias menjadi kesepakatan para pihak, sehingga dapat meminimalir penumpukan perkara baik di tingkat banding maupun kasasi.

Sehingga seyogyanya, jika dalam mediasi kemudian terdapat kesepakatan-kesepakatan pasca pasca perceraian (misalnya nafkah iddah, mut’ah, hak asuh anak, dll), maka seharusnya mediasi yang demikian ini dapat dikatakan sebagai mediasi yang berhasil karena para pihak terikat dalam kesepakatan mediasi yang kemudian akan dituangkan dalam amar putusan

6. Apakah mediator hakim dibayar??

Jika ada yang menggunakan jasa mediator hakim, maka tidak dibebankan lagi biaya. Hanya, mediator hakim hanya bisa memediasi perkara-perkara di tempat tugasnya. Berbeda dengan mediator non hakim, mereka mempunyai kesempatan untuk memediasi perkara-perkara baik di pengadilan agama atau pengadilan negeri manapun, asal terlebih dahulu mendaftar dan masuk sebagai mediator di pengadilan tersebut.

7. Siapakah yang membayar honorarium mediator?

Honorarium mediator non hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Misalnya siapa yang menerima bagian terbanyak, maka dialah yang membayar honorarium mediator.


8.Bolehkah para pihak mundur dari proses mediasi?

Pada dasarnya, setiap mediasi harus dengan itikad baik. Jika salah satu pihak merasakan atau melihat tidak adanya itikad baik dari pihak lawan, maka pihak yang merasa dirugikan, dapat menyatakan mundur dari proses mediasi.

9. Bolehkah proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan?

Mediasi bisa dilaksanakan di salah satu ruang pengadilan atau jika pengadilan tersebut telah memiliki ruang mediasi, maka dapat dilaksanakan di ruang mediasi. Artinya walau mediatornya bukan mediator hakim, proses mediasi dapat mempergunakan fasilitas ruang mediasi pengadilan.

Tetapi, khusus mediator hakim, maka proses mediasi hanya boleh bermediasi di ruang pengadilan. Hal ini tentu dimaksud agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, antara mediator hakim dengan pihak-pihak. Ini semua karena peran ganda yang menempel pada mediator hakim. Salah satu sisi sebagai mediator hakim, di sisi yang lain juga adalah hakim yang harus menjaga citra dan wibawa pengadilan.

10. Apakah setiap kesepakatan perdamaian di luar pengadilan itu dapat dikuatkan hakim menjadi akta perdamaian?
Tidak semua akta perdamaian dapat dikuatkan hakim dalam akta perdamaian. Syarat-syarat kesepakatan perdamaian yang dapat dituangkan dalam akta perdamaian adalah sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hokum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi;
e. dengan itikad baik.

Salam.,
Lily Ahmad
Bantul 4 Pebruari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

CARUT MARUT HARTA GONO-GINI


CARUT MARUT HARTA GONO-GINI
Membaca judulnya, kesannya kok ya mendramatir judul, gono-gini seperti merupakan bagian dari ekonomi global.Padahal senyatanya gono-gini hanya merupakan ekonomi keluarga. Sama sekali tak ada maksud seperti itu. Hanya ingin menyatakan bahwa walaupun gono-gini merupakan bagian ekonomi rumah tangga, tapi ternyata jika terjadi masalah, maka masalah gono-gini yang kesannya sepele, ternyata merupakan masalah besar. Karena bukan saja menyangkut antara suami istri, tapi juga orang-orang sekitar suami istri tersebut. Ini bisa didapatkan, misalnya dalam perkawinan, ada keluarga yang meminjam uang dari harta bersama tersebut, yang sampai di akhir perkawinan, piutang tersebut belum dikembalikan. Akhirnya, masalah bukan hanya antara suami dan istri, tapi juga kepada yang mempunyai hutang pada suami istri tersebut.

DEFINISI GONO-GINI.

Dalam hukum kita, tidak ada istilah harta gono-gini. Jika kita mencari di situs Asiamaya harta gono gini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. (Inggris : gono-gini is property acquired jointly, especially during marriage, and which is divided equally in event of divorce).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, dalam pasal 1 huruf (f) menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dari kedua definisi tersebut dapat sedikit kita simpulkan bahwa harta gono-gini Artinya, harta apapun yang didapat pada masa perkawinan, merupakan harta bersama, tanpa melihat atas nama siapa benda tersebut dan dari penghasilan siapa benda tersebut dibeli.
Lebih lanjut dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam juga mengatur, bahwa bagian harta gono-gini antara suami istri, masing-masing mendapat bagian setengah. Suami mendapat setengah, demikian juga istri mendapat setengah dari harta gono-gini tersebut.
Menurut saya, aturan tersebut adalah bukan aturan yang kaku, dimana semua harta gono-gini harus dibagi sama rata. Yang lebih utama adalah kesepakatan antara suami istri tentang pembagian gono-gini tersebut. Aturan ini terpakai, jika kesepakatan kedua suami istri tidak ada. Sama seperti saya mengartikan pembagian warisan. Yang lebih utama dari bagian warisan adalah kesepakatan para ahli waris tentang bagian masing-masing, jika kesepakatan menemui jalan buntu, maka aturan hukum tentang warisan baru dipergunakan. Artinya keikhlasan membagi dan terbagi merupakan kunci dari semuanya.
Dalam beberapa praktek mediasi yang saya lakukan, banyak pembagian harta gono-gini antara suami istri tidak mendapat bagian setengah-setengah. Bahkan pernah seorang istri mendapatkan semua bagian dari harta gono-gini. Prinsipnya, selama keikhlasan itu ada, dan dituangkan dalam kesepakatan perdamaian, maka itu menjadi undang-undang bagi keduanya. Dengan demikian, ketentuan pembagian setengah-setengah dapat dikesampingkan.

BEBERAPA MASALAH YANG MUNCUL DALAM PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI:

Walau aturan tentang harta gono-gini sudah cukup jelas, tapi dalam prakteknya, masih banyak hal-hal yang muncul dalam persoalan pembagian harta tersebut. Hal ini mungkin karena UU belum mengatur, atau pemahaman masyarakat terhadap UU tersebut yang berbeda.
Beberapa persoalan yang muncul dalam pembagian harta gono-gini antara lain:

1. Hadiah pada saat resepsi perkawinan;
Seperti yang kita ketahui yang merupakan harta gono gini, adalah harta yang didapat dalam masa perkawinan, tanpa melihat bahwa siapa yang membeli dan terdaftar atas nama siapa benda tersebut. Dan yang bukan menjadi harta gono gini antara lain harta yang sudah dimiliki oleh suami atau isteri sebelum menikah, demikian pula mahar bagi isteri, warisan, hadiah, dan hibah milik isteri atau suami.

Bagaimana dengan hadiah yang diberikan relasi suami-istri atau relasi orang tua suami-istri pada saat perkawinan dilangsungkan atau pada saat resepsi?

Kasus ini muncul,ketika seorang mantan istri mengajukan gugatan gono gini terhadap kado-kado perkawinan.Menurut sang istri, kado-kado tersebut adalah hadiah bersama, karena diberikan untuk suami dan istri. Pemberi kado yang kebetuan merupakan relasi suami dan istri tersebut member untuk keduanya, bukan hanya untuk suami atau istri. Sedangkan pemberi yang merupakan sahabat suaminya, juga memberi karena perkawinan. Jika tidak ada perkawinan dengan istri tersebut, maka sahabat suaminya tentu tak akan memberikan hadiah perkawinan.

Dari pemahaman hadiah perkawinan sebagai hadiah bersama, kemudian istri menyatakan bahwa itu merupakan bagian dari gono-gini,sehingga harta-harta tersebut harus dibagi antara suami-istri.
Kasus ini kemudian kita analogikan, bahwa kado perkawinan merupakan hadiah bersama, sehingga merupakan bagian dari suami dan istri tersebut. Sehingga ini menjadi harta gono gini.

2. Membangun rumah di atas tanah milik orang tua salah satu pihak;

Selama ini, pemahaman kepemilikan harta tentang rumah dan tanah berdiri sendiri-sendiri. Tidak semua pemilik tanah, juga merupakan pemilik rumah di atasnya.
Hal ini berawal dari hukum agraria kita yang memisahkan keduanya,karena dahulu, rumah banyak terbuat dari kayu, sehingga mudah dipindah-pindah.

Tapi zaman telah berubah, rumah berbentuk kayu telah berubah menjadi tembok yang tak mungkin dipindah, kecuali dihancurkan. Dan jika sudah dihancurkan maka rumah tersebut menjadi tak bernilai ekonomis lagi.

Saat ini banyak orang tua memberi kepada anak-anak ada yang berupa tanah yang telah berdiri rumah di atasnya. Atau masih berupa tanah kosong, yang kelak di kemudian hari di atas tanah tersebut dibangun rumah untuk kehidupan suami istri. Pada saat membangun, tentu tak terpikir jika kelak kemudian terjadi perceraian. Apalagi kemudian dari pihak besan membantu dalam bentuk uang atau kusen pintu , daun pintu dan lain-lain. Artinya dalam pembangunan rumah tersebut telah saling campur: tanah milik orang tua perempuan, rumah dibangun atas upaya suami istri, kemudian orang tua suami juga membantu memberi kusen, daun pintu, batu bata, atau bentuk uang.

Persoalan muncul setelah terjadi gugatan harta gono-gini. Bagaimana kepemilikannya??
Dari kasus ini, yang paling “diuntungkan” adalah yang memiliki tanah yang nilai ekonomisnya tetap atau bahkan mungkin lebih tinggi. Bagaimana dengan hasiah yang berbetuk kusen, daun pintu, batu-bata? Mungkin saja si suami yang memiliki tanah warisan mengatakan, silahkan apa yang pernah diberikan diambil kembali.

Tentu perkataan itu bukan merupakan perkataan yang bijak. Karena untukmembongkar kusen pintu, jendela, batu-bata ,dan lain-lain, bukan merupakan pekerjaan yang mudah, selain membutuhkan biaya, juga tidak lagi mempunyai nilai ekonomis.

Jika hal ini terjadi, maka perlu sikap bijak bagi hakim untuk membagi harta gono-gini tersebut, atau juga sikap dari mediator untuk membantu mencarikan solusi, sehingga antara suami dan istri tersebut tercapai win-win solution, bukan win-lost solution;

3.Gono-Gini dalam Poligami;

Menjalankan poligami memang buknlah hal yng mudah. Banyak hal yang akan muncul, termasuk masalah gono-gini.Walau sebelumnya sudh diantisipasi, pada saat mengajukan izin poligami, sudah harus menyertakan kepemilikan harta, dengan harapan kelak tak akan muncul persoalan gono-gini antara istri-istri dan suami sebagai pelaku poligami.

Harapan tinggal harapan, dalam kenyataan, tentu tidak mudah. Karena tentu perlakuan adil tidaklah mudah, termasuk adil secara ekonomis. Umumnya istri muda mendapat bagian harta-harta yang lebih yang sulit “terdeteksi”, misalnya uang, dan perhiasan. Sehingga harta-harta terselubung ini menjadi gono-gini yang sulit dibuktikan.

Contohnya, pada saat saya mahasiswa, saya mendengar rumor ini terjadi pada satu petinggi Negara. Dimana petinggi tersebut mempunyai istri keempat yang menguasai harta termasuk emas-emas yang dimiliki oleh sang petinggi. Kelak saat petinggi tersebut meninggal, istri keempat tersebut yang menguasai paling banyak harta dari sang petinggi, padahal mereka tidak dikaruniai anak. Sementara istri pertama, kedua dan ketiga serta anak-anak mereka tidak mendapatkan sebanyak apa yang dimiliki istri keempat.

Masih banyak masalah-masalah yang muncul dalam persoalan harta gono-gini. Tapi ketiga masalah di atas merupakan masalah yang sering muncul dan harus segera diberikan regulasi yang jelas, sehingga masalah-masalah tersebut mempunyai dasar hukum untuk penyelesaiannya.


BIJAKLAH TERHADAP HARTA GONO GINI
Mungkin inilah sebagai kata kunci untuk melerai carut marut persoalan harta gono-gini. Penyelesaian dari semua adalah, bagaimana ikhlas untuk membagi dan terbagi. Karena tentu kita saat membangun sebuah mahligai rumah tangga, menginginkan rumah tangga terbangun secara utuh dan selamanya. Tapi dalam beberapa hal, keinginan tersebut menjadi hanya harapan. Oleh karena itu, jika kemudian muncul, maka sekali lagi: bersikap ikhlas untuk membagi dan terbagi merupakan kata kunci.

Salam,
Lily Ahmad
Bantul 21 Januari 2011.

Rabu, 19 Januari 2011

“SAYA POKOKNYA INGIN CERAI” (UNGKAPAN-UNGKAPAN KEINGINAN UNTUK BERCERAI)


Kata orang, jika mau menikah atau masih dalam masa pacaran, semua keluar kata-kata yang manis. Mulai yang berbau puitis,rayuan hingga seakan-akan bahasa gombal. Bahkan banyak orang yang menyatakan bahwa kreatifitas muncul pada saat hati berbunga-bunga.
Banyak puisi cinta dan lagu yang muncul saat hati bersemi. Banyak puisi yang lahir dari hati yang berbunga . Kita yang mendengarnya juga kadang terbuai dengan puisi dan lagu cinta tersebut, hanyut dalam untaian syair dan lagu. Cobalah dengar lagu Ruth Sahanaya “Kaulah Segalanya”dari judulnya saja kita sudah bisa memahami betapa kekasih itu sangat berarti. Salah satu bait lirik lagunya:
“Kaulah segalanya untukku
Kaulah curahan hati ini
Tak mungkinku melupakan mu
Tiada lagi yang ku harap
Hanya kau seorang”
Wow…. Kita akan hanyut dan terbuai. Tapi kira-kira apa gerangan yang terjadi jika kemudian cinta itu berbalik arah. Kebencian dan kegeraman muncul dalam kata-kata. Lagu-lagu tentang rasa sakit hati itu juga ada, tapi kita tak usah menuangkannya dalam tulisan ini. Karena saya ingin membagi kebencian, kemarahan itu dalam bentuk lain, yaitu kalimat atau kata-kata yang muncul ketika perceraian itu sudah di depan mata dan sudah dalam proses perceraian;
Dalam setiap persidangan perceraian, tentu ada interaksi hakim dengan para pihak. Dan dalam setiap persidangan, baik kedua suami istri hadir atau hanya salah satu pihak, majelis harus berupaya secara maksimal mendamaikan keduanya. Dalam proses upaya damai ini, banyak kata-kata yang muncul yang kesemuanya sebagai ekspresi keinginan untuk bercerai.
1. “Saya pokoknya ingin cerai”.
Kata ini paling sering muncul, seperti seorang anak yang meminta sesuatu tanpa alasan. “Pokoknya cerai”, suatu kata yang tegas dan jelas. Walau kadang hakim mencoba ingin meminta kejelasan tentang pokok masalahnya. Seakan-akan tak mendengar kalimat hakm, pihak Penggugat hanya menjawab kalimat di atas.

Alkisah, Suprapti telah menikah cukup lama dengan Suprapto hingga telah berbilang tahun dan telah melahirkan dua orang anak. Tetapi dalam perjalanan waktu Suprapto kemudian selingkuh, menyebabkan Suprapti sakit hati dan ingin bercerai. Yang menyebabkan Suprapti sakit hati, karena perselingkuhan Suprapto bukan hanya sekali ini aja, sudah berkali-kali, dan setiap ketahuan, selalu bertobat dan meminta untuk rukun kembali.

Untuk yang kali ini pun demikian, Suprapto mencoba untuk meluruhkan hati Suprapti, tapi Suprapti sudah tidak bergeming. Tetap ingin bercerai. Upaya damai yang dilakukan oleh hakim hanya dijawab oleh Suprapti: “Saya pokoknya ingin cerai”.

2. “Kami sepakat untuk bercerai”.
Ini biasanya muncul pada pasangan suami istri yang sudah meyakini bahwa perkawinan mereka sudah tidak mungkin sudah dirukunkan. Akhirnya perceraian merupakan pilihan bersama, dan perceraian satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.

Kisah lain, Suprapto dan Suprapti telah mengikrarkan perkawinan sejak 5 tahun yang lalu. Selama ini perkawinan mereka terlihat adem ayem, tak ada perselisihan dan pertengkaran yang sampai mencuat di permukaan.Tapi siapa sangka, jika ternyata ada api dalam sekam. Ketidakhadiran keturunan menyebabkan rumah tangga mereka menjadi hampa. Apalagi keterlibatan orang tua Suprapto yang selalu berkata terus terang bahwa mereka segera menginginkan keturunan, karena usia mereka sudah tua dan Suprapto adalah anak tunggal. Mereka menganggap bahwa yang kurang subur adalah Suprapti.

Hal ini yang membuat Suprapti sakit hati dan meminta suaminya untuk bercerai. Suprapto yang pada posisi dilematis,akhirnya mengabulkan keinginan Suprapti yang juga merupakan pilihan penyelesaian.

Bagi Suprapto dan Suprapti,siapapun yang mengajukan perceraian di pengadilan tidak menjadi masalah, karena prinsip Suprapto dan Suprapti perceraian merupakan pilihan bersama.

3. “Sekarang bukan istri saya, besok juga bukan istri saya”.
Jelas terbaca bahwa kalimat di atas adalah kata-kata yang keluar dari Suprapto sebagai seorang suami. Ungkapan yang muncul emosi yang sudah tidak tertahankan, amarah yang menginginkan segera adanya perceraian.

Ada beberapa orang suami, yang masih bisa menahan diri untuk berkata tanpa emosi untuk bercerai dengan istri. Tapi tidak sedikit pula yang tak mampu menahan diri, seakan-akan kalimat “Sekarang bukan istri saya, besok juga bukan istri saya” merupakan kalimat puncak dari keinginan untuk bercerai.

Suprapto memang belum lama menikah , masih seumur jagung untuk istilah orang. Tapi perbuatan Suprapti yang menghianati Suprapto membuat dia sakit hati yang tertandingi.Berulang kali Suprapto menasehati Suprapti untuk merubah sikap dan kembali membina rumah tangga. Tapi harapan dan nasehat Suprapto seakan-akan hanya angin lalu bagi Suprapti. Dia masih asyik dengan dunianya, dunia gemerlap, dunia dugem, dan dunia hingar bingar.

Apa mau dikata, beban Suprpato menanggung perilaku Suprapto sudah sampai ujung kesabaran. Walau sekarang Suprapti bersujud di hadapan Suprapto untuk rukun kembali, Suprapto sudah tak tergoyakan, prinsip Suprapto sekarang adalah: “Sekarang bukan istri saya, besok juga bukan istri saya”.

4. “Jika suamiku itu bagaikan baju sebagai pelindung, sekarang sudah tidak bisa saya pakai lagi’.
Banyak wanita yang menggantungkan harapan masa depannya pada suami. Dia bersandar pada suami, mengharapkan hidup harmonis dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Banyak wanita bisa menggapai apa-apa yang diharapkan dari perkawinannya,membina rumah tangga menjadi rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah, tapi tak sedikit pula harapan itu hanya harapan hampa, yang sama sekali tak berwujud. Jangankan sebagai pelindung, bahkan kadang justru sang istri mendapat kekerasan fisik dari sang suami.

Konon Suprapti mengenal Suprapto ketika msih mahasiswa. Mereka tak perlu berpacaran lama, karena orang tua Suprapti tidakmenginginkan mereka terlalu sering jalan bersama, hingga melewati batas dan melanggar norma agama. Mereka mengharapkan segera dilangsungkan perkawinan, apalagi Suprapto saat itu sudah bekerja dan mempunyai kehidupan yang mapan.

Berjalannya waktu, perilaku Suprapto berubah. Pertengkaran semakin sering terjadi, bahkan sering Suprapto melayangkan bogem mentah untuk Suprapti. Suprapti masih bertahan, demi anak-anak. Tapia apa mau dikata, pilihan yang terbaik bagi Suprapti adalah perceraian, karena kekerasan fisik semakin sering terjadi. Suprapto yang diharapkan member perlindungan, justru sekarang menjadi ancaman.

5. “Pokoknya saya sudah mantap bercerai”.
Pokoknya saya sudah mantap, kalimat yang keluar dari pasangan yang menginginkan perceraian. Kalimat yang keluaf, semantap hati yang menginginkan perpisahan. Kalimat ini biasanya muncul selesai hakim mengupayakan perdamaian.

Suprapti sudah lama ditinggal Suprapto, hingga sekarang sudah menginjak tahun ke 10. Keberadaan Suprapto pun sudah sulit dilacak. Suprapti telah berusaha mencari-cari keberadaan Suprapto, baik ke rumah orng tuanya, kerabat dan sahabatnya. Pada awalnya Suprapti masih berharap keberadaan Suprapto masih bisa dilacak. Apalagi Suprapti masih emnginginkan anak buah perkawinannya masih memiliki orang tua.

Sayangnya, keberadaan Suprapto semakin tak terdengar, Suprapti telah menjadi wanita yang mandiri, bisa menghidupi anak dengan kehidupan yang layak. Harapan agar Suprapto kembali sudah semakin tak mungkin, akhirnya Suprapti mantap untuk mengajukan gugatan cerai lewat pengadilan.

Masih banyak kalimat-kalimat yang muncul ketika ingin bercerai, semua bermuara pada satu kata yaitu ingin berpisah. Ini semua menjadi pelajaran bagi kita, dan semoga kalimat ini tidak akan pernah keluar dari lisan-lisan kita. Amien…
Salam,
Lily Ahmad
Bantul 19 Januari 2011

(Catatan: Tokoh Suprapto dan Suprapti adalah penokohan semata, bukan nama yang sbenarnya.)

Rabu, 12 Januari 2011

PERLUKAH PERJANJIAN PERKAWINAN?



Dengan semakin meningkat angka perceraian, maka ini menunjukkan semakin banyaknya persoalan yang dihadapi suami-istri, sehingga harus mengakhiri perkawinan tersebut dengan perceraian. Tentang sebab perceraian, begitu banyak hal bisa menjadi penyebab, bisa karena ekonomi yang kurang, hubungan dengan pihak ketiga, atau hal-hal yang lain yang tentunya sebanyak jumlah perceraian.
Dampak yang muncul akibat perceraian, selain anak, ada juga masalah harta bersama (gono-gini) yang didapatkan pada masa perkawinan. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika sebelum melangsungsungkan perkawinan diadakan perjanjian perkawinan. Pertanyaan yang muncul kemudian, perlukah perjanjian perkawinan itu?
Perjanjian perkawinan atau istilah lainnya adalah pre-nuptial agreement, adalah perjanjian yang dilaksanakan sebelum terjadinya perkawinan. Undang-undang perkawinan kita (UU No 1 Tahun 1974) mengatur hal tersebut dalam pasal 29. Dalam membuat perjanjian perkawinan , tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, hukum dan agama.
Perjanjian ini dibuat sebelum pelaksanaan perkawinan dan harus disahkan oleh pejabat pencatat nikah. Perjanjian ini menurut KUH Perdata, tidak bisa dirubah selama perkawinan tetapi menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan ini bisa dirubah selama perkawinan bisa dirubah selama tidak merugikan pihak ketiga.
PERJANJIAN PRA NIKAH BUKANLAH HAL YANG TABU.
Selama ini walau UU Perkawinan sudah berusia puluhan tahun, tapi masih sedikit calon-calon pengantin yang melakukan perjajian tersebut. Stigma yang ada, bahwa kesan yang muncul adalah jika melakukan perjanjian perkawinan, adalah materialis, belum membina rumah tangga, sudah berpikir tentang harta.
Dengan kesan yang muncul ini, menyebabkan banyak yang tidak melakukannya, padahal kelak di kemudian hari begitu banyak perkara gugatan harta gono-gini yang ada di persidangan. Ini menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya komitmen tentang cinta, tetapi juga komitmen financial .
Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena selama ini jika memang perjanjian pra perkawinan banyak yang memuat hanya masalah pemisahan pendapatan atau harta. Padahal bukan hanya itu saja, banyak hal yang bisa dituangkan dalam perjanjian perkawinan.
HAL-HAL YANG UMUMNYA DIMASUKKAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN:
Pemisahan harta.
Inilah yang paling banyak dimuat dalam pejanjian perkawinan. Dalam perjanjian tersebut, dibuat perjanjian apa-apa saja yang menjadi harta suami dan apa-apa yang menjadi harta istri. Dengan demikian,suami atau istri mempunyai hak dan kewajiban mengelola masing-masing harta .

Dalam perjanjian tersebut, selain disebutkan harta yang sudah dimiliki sebelum perkawinan, juga disebutkan bahwa harta-harta yang dimiliki oleh suami atau istri yang didapatkan dari penghasilan masing-masing adalah milik suamiistri sendiri-sendiri.

Pemisahan Penghasilan.
Sesuai undang-undang, pendapatan yang didapat dalam perkawinan adalah merupakan harta bersama. Tetapi jika dilakukan perjanjian, maka harta atau pendapat yang dihasilkan dalam perkawinan merupakan hak milik sendiri. Pendapatan suami adalah milik suami, pendapat istri menjadi milikistri.

Dengan perjanjian ini, maka ikatan perkawina tidak akan menghasilkan harta gono-gini. Semua pembelian harta, kepemilikannya sesuai dengan siapa pembelinya. Misalnya jika tanah dibeli oleh suami, maka kepemilikan tanah tersebut atas nama suami. Demikian sebaliknya. Ini berbeda jika tidak ada perjanjian perkawinan, maka walau harta tersebut dibeli oleh suami, istri tetap memiliki harta tersebut, demikian juga, walau harta tersebut diatasnamakan istri, tetapi kepemilikannya adalah milik suami.

Kewajiban-kewajiban dalam perkawinan;
Umumnya, jika tidak terjadi perjanjian perkawinan, maka harta antara suami dan istri menjadi harta bersama dimana penggunaannya untuk kepentingan bersama kelauarga. Tetapi jika memang menginginkan perjanjian perkawinan, maka bisa dirumuskan bahwa kewajiban suami misalnya untuk keperluan pendidikan asuransi, kesehatan dan pendidikan serta rekreasi. Sedangkan kewajiban istri untuk mencukupi kebutuhan makan dan pakaian anggota keluarga.

Pencegahan terhadap KDRT.
Penanggulangan KDRT ternyata bisa masuk dalam perjanjian pra nikah. Dalam perjanjian ini, suami istri sepakat untuk tidak melakukan tindak pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagai telah diatur dalam UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga inti maupun terhadap orang – orang yang bekerja dalam rumah yang merupakan tempat kediaman dan/atau tinggal dari kedua belah pihak;

Azas Monogami.
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, maka dalam perjanjian perkawinan juga dapat disebutkan komitmen untuk tidak melakukan poligami bagi suami. Atau bisa diperjanjikan, misalnya dalam kurun waktu tertentu jika perkawinan belum menghasilkan keturunan yang disebabkan oleh ketidakmampuan isri, maka istri akan mengijinkan suami untuk berisitri lagi dengan sarat tertentu.

Masih banyak lagi yang bisa dimasukkan dalam perjanjian perkawinan, bukan hanya semata masalah kebendaan. Selama perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar kepentingan umum, kesusilaan, hokum dan agama sebagaimana dimaksud pasal 29 UU No 1 Tahun 1974 ttg Perkawinan.


MANFAAT PERJANJIAN PERKAWINAN.
Karena persepsi masyarakat kita masih menabukan perjanjian perkawinan, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan kebendaan, kuatir dikira bersifat matrealis.maka kesempatan untuk membuat perjanjian pra nikah diabaikan. Masyarakat belum melihat manfaat bahwa dengan membuat perjanjian perkawinan, bisa meminimalisir konflik yang mungkin terjadi antara suami istri.

Bukan hanya itu dalam hal-hal keperdataan, misalnya suami hendak mengajukan kredit, maka istri tidak oleh pihak bank tidak akan dilibatkan, karena sesuai dengan perjanjian perkawinan, penghasilan suami tersebut adalah merupakan milik suami. Sehingga baik hutang maupun piutang yang dimiliki suami, merupakan hak sepenuhnya suami.

Selama ini, banyak perjanjian perkawinan, hanya dilakukan oleh orang-orang kaya atau seorang duda yang memiliki harta dan anak dengan janda atau gadis yang memiliki anak. Dunda dan janda tersebut kuatir akan relasi anak-anak bawaan serta harta bawaan mereka kelak bermasalah, maka sebelum melangsungkan perkawinan, antara mereka dibuatlah perjanjian perkawinan.

Dari uraian di atas, kembali kepada kita, apakah perjanjian pranikah merupakan pilihan yang sebaiknya dilakukan, atau tak perlu dilakukan. Yang terpenting bahwa kita harus mulai menghapus anggapan bahwa perjanjian perkawinan hanya berisi tentang masalah harta dan kebendaan, tapi juga bisa masalah yang lain. Semua berpulang pada kita untuk memilih yang mana, karena hidup merupakan pilihan.

Salam,
Bantul 12 Januari 2011
Lily Ahmad

Selasa, 11 Januari 2011

ANDAI PASANGAN SUAMI-ISTRI HARUS MENDEKAM DI BALIK TERALI BESI.


Beberapa waktu lalu kita melihat bahwa eksekusi terhadap mantan Ketua KPK Antasari Azhar dilaksanakan. Beliau akhirnya harus mendekam dibalik terali besi selama 18 tahun sesuai keputusan MA. 18 tahun bukanlah waktu yang singkat. Jika saat ini Antasari Azhar mempunyai anak yang baru lahir, maka dia akan bertemu kembali anaknya saat anaknya sudah menyelesaikan pendidikan SMA.
Berat memang menjadi terpidana, karena banyak kebebasan-kebebasan yang terbelenggu saat menjalani masa hukuman. Walau dalam pasal 14 UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan , seorang narapidana masih mempunyai sederet hak , antara lain hak melakukan ibadah, hak mendapat perawatan, mendapat pendidikan dan pengajaran, hak menyampaikan keluhan, dll. Bahkan ada beberapa kasus kita membaca beberapa narapidana melakukan pernikahan saat di penjara.
Walau ada sederet hak yang diberikan, tapi sebenarnya jika menjalani hukuman lebih dari 5 tahun, maka ada hal lain yang mengancam keutuhan rumah tangga narapidana tersebut yaitu akan diceraikan pasangannya.
Kembali ke kasus di atas, dan tanpa niat memprokasi, jika istri Antasari Azhar mau, maka dengan modal putusan MA, ibu Ida Laksmiwati sebagai istri Antasari Azhar, dapat mengajukan perceraian ke pengadilan agama. Sekali lagi, ini bukan untuk memprovokasi, tapi sebagai gambaran saja, bahwa betapa tidak enaknya menjadi terpidana dan karena selain menjalani masa hukuman, terpidana itu juga kemungkinan dicerai oleh pasangannya.
PERCERAIAN KARENA DIPIDANA.
Berbagai alasan yang bisa menyebabkan suatu perkawinan diakhiri dengan perceraian,antara lain Pasal Pasal 19 huruf (c) pp No 9 Tahun 1975
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:(c ). Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Memang kesannya betapa tidak manusiawinya seorang isri jika suaminya dipenjara, kemudian si istri mengajukan perceraian, ibarat kata pepatah, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Tapi tentu harus juga diingat bahwa selama mendeka di penjara, suami atau istri juga tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya, seperti seorang suami yang tidak bisa member nafkah bagi istrinya.
Tapi tentu juga di sadari, yang berada di luar penjara juga bebannya tidak lebih ringan, karena harus menanggung beban social, juga menanggung beban ekonomis. Kalau suami yang dipenjara sebelum mendiami bilik penjara telah meninggalkan harta yang cukup untuk menghidupi keluarganya saat dia dipenjara, tentu tak masalah. Tapi jika keadaan sebaliknya, tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi harus menunggu waktu yang tidak sedikit.
Dalam prakteknya, kita bisa melihat bahwa kasus-kasus dipidananya para petinggi serta selebrities tidak diikuti oleh perceraian. Tapi jika kita menengok ke bawah, bahwa banyak istri yang suaminya dipenjara, akhirnya harus memutus untuk bercerai, karena tidak kuat menanggung beban ekonomis. Bahkan perceraian diajukan, walau suami dipidana kurang dari 5 tahun, sehingga bukan pasal di atas yang menjadi alasan, tetapi alasan bahwa rumah tangga sering terjadiperselisihan dan pertengkaran yang sudah sulit diharapkan untuk rukun kembali sebagai suami istri.
PERCERAIAN TIDAK SERTA MERTA.
Dari beberapa gambaran di atas, bahwa tidak serta merta seorang suami atau seorang istri yang pasangannya mendapat hukuman 5 tahun atau lebih, langsung dalam status cerai. Artinya peraturan ini member pilihan, jika memang terjadi, maka pasangannya bisa mengajukan perceraian, jika tidak juga tidak msalah. Perkawinan dapat tetap dibina walau dari ruang yang berbeda, satu di balik terali besi yang satu dari rumah kediaman bersama.
Andai memang pasangannya sudah tidak bisa mempertahankan rumah tangga, baik karena tidak mampu menanggung beban ekonomi atau penyebab yang lain, maka jika ingin mengajukan perceraian ke pengadilan,tetap dengan prosedur seperti mengajukan perceraian dengan alasan yang lain, hanya dalam posita gugatannya disebutkan tentang suami-istri telah mendapat hukuman penjara sekian tahun dimana putusan tersebut sudah berkekuatan hokum tetap. Jangan lupa juga melampirkan salinan putusan sebagai alat bukti.
Dalam pemeriksaan pun, hakim sudah tidak memerlukan saksi lagi, karena cukup dengan alat bukti salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tadi, sudah cukup bagi hakim bahwa alasan perceraian sebagaimana yang dimaksud pasal 19 huruf (c) sudah terpenuhi.
ALASAN YANG HARUS DITINJAU KEMBALI.
Dengan perkembangan zaman, dan dengan semakin sempurnanya Undang-Undang tentang Pemasyarakatan (UU No 12 Tahun 1995), rasanya alasan ini perlu ditinjau kembali. Karena jangan sampai mereka yang berada di balik terali besi harus menanggung beban baru lagi,jika pasangannya mengajukan perceraian.
Melihat Undang-Undang ini, sebenarnya, alasan ini perlu ditinjau, karena seorang narapidana pun mempunyai hak cuti untuk mengunjungi keluarga (pasal 14 ayat (1) huruf j), sehingga kebutuhan biologis (jika memang bisa disebutkan begitu) dapat terpenuhi, juga masalah ekonomi, seorang narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat ditinggal mendekam di balik penjara.
Menurut saya, undang-undang ini memang masih cukup efektif, jika masalah pidana umum, dimana korbannya adalah kerabat istri atau suami. Sehingga ada rasa sakit hati yang dalam, sehingga untuk meneruskan rumah tangga adalah hal yang sulit. Hal ini bisa kita kiaskan dalam hokum Islam, dimana seorang ahli waris tidak berhak mendapat warisan dari pewaris, jika ahli waris tersebut membunuh pewaris.

Selasa, 04 Januari 2011

PERAWAN DAN PERKAWINAN

Dengan tersedu-sedu Suprapti menangis, “Bu, saya sudah tak mampu melanjutkan perkawinan dengan Supprapto”, suaranya begitu lirih seakan-akan tak kuat menahan beban yang sudah sekian lama dihimpitnya.
“Saya masih menyayangi suami saya, tapi saya tak kuat dengan perilakunya yang menginginkan berhubungan sex dangan cara tak lazim. Sakiiiit bu….”. Ungkap Suprapti lanjut dengan airmata yang tetap menetes. Dia bercerita bahwa Suprapto yang bertubuh besar, jika melakukan hubungan seksual, selalu meminta anal sex. Padahal ukuran tubuh Suprapti sangat kecil dan tak bisa melakukan pemberontakan jika Suprapto sudah menginginkan hal tersebut.

Sedang versi Suprapto lain lagi. Suprapto memang mengakui apa yang dituduhkan Suprapti padanya. Dengan rasa menyesal, Suprapto juga menyatakan bahwa itu dilakukan di luar sadarnya, dan jika syahwatnya sudah di ubun-ubun.
Yang lebih menghentakkan lagi, menurut Suprapto, bahwa itu dilakukan karena rasa dendam yang muncul di bawah sadarnya, karena Suprapti sebelum menikah dengannya sudah tidak perawan lagi.

Sebagai perempuan, tentu saya marah dengan kepicikan Suprapto ini. Apakah layak, ketidakperawanan Suprapti harus dibalas dengan hubungan seks yang menyimpang?? Toh Suprapto sebelum menikah dengan Suprapti telah mengetahui kondisi Suprapti yang sebenarnya, walau Suprapto tidak mengetahui siapa yang menyebabkan ini semua.

Kalau secara hukum, tentu keinginan Suprapti untuk berpisah dengan Suprapto dengan alasan rumah tangga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan masalah seksual yang menyimpang dimana telah diakui oleh Suprapto, akan segera dikabulkan oleh hakim. Tapi saya tidak bicara itu. Saya ingin melihat sampai dimana keperawanan seorang perempuan mempengaruhi bahtera rumah tangga.

Keperawanan dan Selaput Dara.
Keperawanan dan selaput dara adalah 2 hal yang berbeda, tetapi mempunyai kaitan. Keperawanan banyak dikaitkan dengan pernah melakukan hubungan seksual pra nikah, sedangkan selaput dara S atau yang sering dikenal dengan sebutan hymen adalah suatu lipatan selaput lendir yang menutupi pintu liang senggama (introitus vagina), bentuknya biasanya bulat sebagaimana bentuk liang vagina, tetapi ada juga yang seperti bulan sabit (Bentuk semilunar), bahkan ada yang mempunyai Septum (pemisah). Konsistensi selaput dara pun berbeda-beda ada yang kaku sampai yang lunak sekali, letaknya hanya sekitas 1-2 CM dari bibir vagina lubang selaput dara yang masih utuh umumnya hanya dilalui oleh jari kelingking.

Terkoyaknya atau hilangnya selaput dara, tidak selalu dengan hubungan seksual. Ada beberapa penyebab lain yang menyebabkan seorang gadis kehilangan selaput dara, antara lain olahraga seperti senam, benturan karena jatuh, penggunaan tampon saat menstruasi juga dapat menyebabkan selaput dara robek.

Kesimpulannya, bahwa tidak semua gadis yang tidak memiliki selaput dari juga sudah tidak perawan. Bahkan sebaliknya, mungkin saja seorang gadis yang tidak perawan tetapi masih memilik selaput dara, karena dengan kondisi selaput dara yang berbeda-beda, bisa saja seorang gadis masih mempunyai selaput dara, walau telah melakukan hubungan seksual. Hal ini juga diperparah dengan telah adanya suatu operasi plastik untuk mengembalikan selaput dara seorang perempuan.

Perkawinan, Keperawanan dan Selaput Dara.
Saya pernah membaca dari sebuah iklan penjualan selaput dara http://www.selaputdarabuatan.com (saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala membaca isi iklan tersebut), dimana menurut iklan tersebut 84% laki-laki menginginkan istrinya dalam keadaan virgin saat menikah.

Saya tak tahu, angka tersebut diambil dari mana, tapi okelah jika angka itu benar. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah 84% laki-laki yang menginginkan keperawanan calon istrinya juga dapat memberikan “keperjakaan” kepada calon istrinya??

Bahasa saya ini bukan berarti saya menyepelekan keperawanan seorang perempuan. Saya sangat menjunjung tinggi kesucian pra perkawinan. Saya hanya ingin mengatakan kepada laki-laki bahwa janganlah menuntut hal yang dirinya saja tidak bisa memenuhinya. Andai seorang laki-laki perjaka tulen, tentu sangat wajar dia menuntut hal yang sama kepada calon istrinya. Tapi jika dirinya sendiri sudah tidak perjaka, maka sebaiknya juga tidak menuntut hal yang sama. Karena seseorang itu menikah dengan yang “sederajat”. Seorang pezinah perempuan akan menikah dengan pezinah laki-laki…. Demikian salah satu yang tersurat dalam Al-quran.

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)

Kita sudah banyak mengetahui bahwa modal dasar sebuah perkawinan adalah cinta kasih antara suami istri tersebut. Inilah yang menjadi landasan yang paling kokoh dalam membina suatu mahligai rumah tangga.

Tapi bukan hanya itu saja, sebuah rumah tangga juga dibutuhkan suatu kejujuran. Seorang calon suami dan istri harus membuka dirinya apa adanya, sehingga calon suami maupun calon istri mengenal betul keadaan calonnya, termasuk di antaranya dengan keperawanan dan keperjakaan seorang calon suami atau istri.

Lebih baik kita membuka apa adanya sekarang, daripada kondisi tersebut diketahui pasca perkawinan yang bisa menghancurkan mahligai yang sudah dibina.
Kita yang menerima pengakuan juga harus siap, jika memang calon suami atau calon istri kita sudah tidak perawan atau perjaka, apakah rencana perkawinan akan tetap dilanjutkan atau diakhiri. Semua punya konsekuensi yang berbeda-beda.
Jangan sama seperti kasus Suprapto di atas, sebelum menikah dia mengetahui kondisi Suprapti istrinya yang sudah tidak perawan dan mau menerimanya. Tetapi di alam bawah sadarnya ada pemberontakan yang menyebabkan ada ungkapan-ungkapan lain yang akhirnya meruntuhkan rumah tangganya.

Kejujuran disini adalah benar-benar kejujuran murni. Jangan karena dengan mudahnya mengembalikan selaput dara seperti iklan di atas yang bisa tanpa operasi, seorang perempuan menutupi keberadaan dirinya apa adanya.

Saya tidak setuju dengan iklan tersebut, tapi andai memang ini menjadi pilihan sebagai sebuah sensasional malam perkawinan antara suami istri, hal ini bisa saja dilakukan, dengan sarat ini sebagai keingina dan sepengetahuan bersama. Sebagaimana adanya operasi-operasi penyempitan vagina bagi wanita-wanita yang sudah berumur. Tentu operasi yang dilakukan atas izin dan sepengetahuan suami, karena tujuannya adalah kebaikan.

Kesimpulan:
1. Keperawanan seseorang tidak bisa dilihat dari masih ada tidaknya selaput dara seseorang. Keperawanan ditentukan oleh pernah atau belum pernah melakukan hubungan kelamin.
2. Kejujuran di atas segalanya. Jika memang sudah tidak perawan atau tidak perjaka, maka katakanlah hal tersebut pra pernikahan, sehingga tidak menjadi penyesalan di kemudian hari.
3. Keperawanan bukan segalanya, jika memang pernah berbuat salah, segera bertobat, semoga dengan tobat tersebut menghantarkan kepada kebaikan dan ketaqwaan.
4. Yang terpenting dari semuanya adalah: Jagalah kesucian pra pernikahan, karena ini modal utama yang membantu untuk menggapai rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.