Selasa, 26 April 2011

ANDAI KARTINI MENJADI HAKIM


Hari ini tepat usia Kartini 132 tahun, dilahirkan di desa Mayong dari seorang bapak RMAA Sosroningrat dan ibu MA Ngasirah.Dilahirdari kota kecil, tapi Kartini berharap dari kota kecil ini ada perubahan, termasuk untuk kaumnya . Bahasa kerennye: “Dari Mayong untuk Perubahan Wanita Indonesia”.

Dan itu rasanya tidak berlebihan, karena ternyata apa yang dilakukan Kartini, kemudian dijadikan momen sebuah perjuangan emansipasi oleh dunia, walau tentu ini di luar dugaannya. Lihatlah, hari ini hampir semua sekolah merayakan hari kelahiran Kartini dengan berdandan konon “ala” Kartini, memakai kebaya dan bersanggul, sungguh menggemaskan!!! Tentu Kartini akan tersenyum bahagia melihat keceriaan anak-anak itu, bahagia karena menjadi tokoh anak-anak itu dan bahagia bahwa perjuangannya memperjuangkan emansipasi wanita semakin menunjukkan hasil.

Lebih bahagia lagi jika kemudian Kartini berkunjung ke beberapa intansi , dan beberapa perbankan yang semuanya memperingati hari lahirnya 21 April ini dengan berbusana kebaya dan bersanggul. “Ah....moga-moga mereka tidak memperingati hari lahirku hanya dengan berbusana ala Kartini, seperti demam lady Di, tapi memperingati perjuangan wanita secara substantif”, kata Kartini

Maka mulailah Kartini ini berpetualang melihat berbagai kemajuan di Indonesia, kemajuan wanitanya, kemajuan kaumnya. Kali ini Kartini menjadi hakim, mewakili ribuan hakim perempuan Indonesia. Sayup-sayup dalam perjalanan imaginer ini terdengar lahu Ibu Kita kartini..Putri Sejati...Putri Indonesia...harum namanya...

Kartini, yang berpendidikan : E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar, kali ini menjelma menjadi hakim, kali ini Kartini ditetapkan oleh Ketua Pengadilan untuk menyidangkan kasus Gayus Tambunan. Tentu dengan senang hati, Kartini menerima amanah yang memang telah menjadi tugas Kartini sehari-hari. Bagi Kartini, ini tak menjadi masalah, karena toh selama ini Kartini menjadi hakim yang sangat bersih, selama berkarir, tak pernah sekalipun Kartini menerima uang dan pemberian dalam bentuk apapun. Sehingga menyidangkan kasus Gayus, baginya justru menjadi tantangan, karena konon Gayus itu rajanya penyuap-penyuap ulung.

Maka mulailah Kartini bersidang,kali ini teman satu majelis adalah Albertina Ho, hakim wanita yang tegas dan anti suap. Tentu Kartini senang masuk dalam majelis ini, tak ada keraguan sedikitpun bagi Kartini dengan kredibilitas Albertina Ho, wanita Maluku Tenggara yang lahir tanggal 1 januari 1960 ini. Melihat kredibilitas hakim yang memeriksa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, hati Kartini semakin mantap dan yakin, bahwa Gayus tak bakal membobol keteguhan majelis hakim, seperti Gayus yang (konon) telah membobol pertahanan hakim Muhtadi Asnun, sehingga hakim tersebut mau menerima uang 50 juta dari Gayu. Akibatnya saat ini Muhtadi Asnun harus menertima hukuman, menjadi hakim non palu.

Ketika persidangan telah berjalan, Kartini mulai lebih banyak mengetahui sepak terjang Gayus Tambunan, termasuk juga istrinya Milana Anggraeni. Orang banyak menghujat Milana Anggraeni, apalagi saat Milana Angraeni terlibat saat Gayus plesiran ke Bali, Macau dan Kualalumpur. Hujatan padanya tak henti-hentinya, bahkan akhirnya Milana Angraeni kemudian diperiksa atas keterlibatannya bisa mengeluarkan Gayus dari tahanan Brimob Klapa Dua. Terbukti bahwa Gayus bisa leluasa plesir di luar tahanan setelah menyuap komandan Brimob.

Kartini memejamkan mata, membayangkan andai dia menjadi istri Gayus, apakah tidak mungkin hal yang sama dilakukannya juga. Bagaimana kegalauan serta kerinduan seorang istri pada suami yang ditahan. Milana mungkin tak berpikir bahwa suap itu merupakan pidana, bagi Milana memberi uang bagi komandan Brimob agar suaminya bisa leluasa keluar tahanan merupakan uang jasa, merupakan barter, merupakan jaminan, dan apapun namanya, yang penting suaminya bisa bertemu dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, yang masih merindukan rengkuhan dan pelukan seorang bapak. Pasti yang dipikiirkan Milana, biarlah semua orang di luar sana mencerca, tapi sebagai ibu saya bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anakku bertemu dan bercengkrama dengan bapaknya.

Sampailah menjelang akhir proses persidangan, saat membaca pledoi, dengan gagahnya Gayus membacakannya (yang konon pledoinya diketikkan istrinya), tetapi saat pledoi menjelang akhir, saat Gayus membacakan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga dan anak-anaknya, airmata Gayus tumpah ruah tak tertahankan. Sebagai hakim yang hampir tiap hari mendengar pledoi dari para terdakwa, Kartini tak bergeming dengan airmata Gayus, karena sudah merupakan menu keseharian sebagai hakim menyaksikan tetesan airmata bila terdakwa berbicara tentang diri dan keluarganya, umumnya airmata terdakwa tak terbendung.

Menurut pengamatan Kartini, yang jarang meneteskan airmata, adalah pledoi yang diucapkan oleh para “pejuang” jihad, yang umumnya disebut teroris. Mereka justru berkobar, dan rela dihukum. Berbeda dengan Gayus, mendengar tuntutan JPU yang 20 tahun, sudah membuat Gayus yang selama ini menebar senyum dan yakin dirinya tak bersalah, harus ‘menghiba” untuk dibebaskan, demi anak dan keluarga.Akhirnya Kartini dan hakim Albertina menjatuhkan vonis 7 tahun bagi Gayus, vonis yang bagi sementara orang terlalu ringan melihat begitu tingginya angka korup yang diembat Gayus, tapi vonis yang begitu berat bagi Gayus, mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Di luar yang tertuang dalam putusan, dan di luar Gayus Tambunan sebagai terdakwa, dalam benak Kartini, perasaan campur aduk dengan apa yang dilakukan Milana. Bagi Kartini, seharusnya Milana menjadi istri yang bukan hanya surga nunut dan neraka katut pada Gayus, tapi menjadi penyeimbang, menjadi polisi bagi suami. Milana harus bisa menyatakan pada Gayus, bahwa praktek-praktek yang dilakukan Gayus selama ini adalah praktek haram, yang bisa berakibat fatal. Milana bukan wanita bodoh, sarjana komunikasi Universitas Indonesia ini tentu mengetahui, bahwa apa yang dilakukan Gayus adalah menggali lubang kedholiman bagi keluarganya, dan akhirnya semua harus terjerumus ke dalamnya, termasuk dirinya dan anak-anak yang sangat dicintai. Lalu...apa artinya cinta dan kasih sayang jika Milana dan anak-anak juga harus terseret arus kedholiman yang dilakukan Gayus.

Rasanya Kartini ingin membisikkan pada Milana:”Jadilah seorang istri yang tegar, didik anak-anak untuk menjadi anak-anak yang mandiri. Belajar dari apa yang dilakukan seorang suami, biarlah hidup dengan sederhana, tapi kebahagiaan melingkupi hari-hari yang penuh kebersamaan”.

Beranjak dari kasus Gayus, Kartini kemudian disodori kasus Antasari Azhar. Kasus yang menurut mas media adalah kasus pembunuhan yang bermuatan politik. Memang sebelum kasus ini masuk di meja kartini, isu bahwa di balik pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, ada intrik cinta segitiga, antara korban, terdakwa dan seorang perempuan yang bernama Rani.

Sebagai hakim yang bijak, Kartini tak mau pikirannya ‘digiring” oleh media massa. Kartini masih mempertahankan independensinya. Kartini sudah merasakan bagaimana dahsyatnya mas media membuat opini, dan jika tidak kuat, maka bisa saja Kartini ikut hanyut derasnya arus opini yang dibuat media. Padahal, saat ini media sudah banyak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi. Maka untuk menjaga independensi, Kartini selalu menyadarkan pikirannya, bahwa apa yang diberitakan oleh media, belum tentu sepenuhnya benar. Sehingga jika Kartini membaca media, selalu berusaha dalam posisi netral. Walau demikian, tentu Kartini juga tak akan meninggalkan media, karena bisa-bisa Kartini yang ketinggalan info.

Maka, sampailah kasus Antasari pada tahapan pembuktian. Jaksa kemudian menghadirkan Rani, yang selama ini keberadaannya disembunyikan. Konon karena semenjak kematian Nasrudin Zulkarnaen, Rani dan keluarganya selalu menerima ancaman dan teror, hal ini membuat Rani harus bersembunyi. Tapi mau gak mau Rani harus dihadirkan di persidangan.

Saat Rani dihadirkan di persidangan, pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Yang ada hanyalah majelis hakim, JPU, pengacara terdakwa, terdakwa dan saksi. Rani dengan panjang lebar menceritakan kejadian di hotel Mahakam, tentang hubungannya dengan terdakwa dan korban, tentang sms terdakwa, tentang perkawinannya dengan korban, dan segala-galanya.

Kartini sebagai hakim menyimak dengan serius apa yang diutarakan saksi, yang ada di benak Kartini sebagai hakim adalah: “Ah...Rani...kamu wanita, seharusnya kamu jangan mau dijadikan istri siri korban, karena nantinya kelak kamu hanya menjadi korban”. Rani mungkin terlalu muda untuk bisa mengerti bagaimana istri pertama, dan istri kedua korban mendapati suaminya ternyata memiliki istri lain yang tidak ‘terdaftar” di negara. Jangan-jangan korban masih memiliki istri-istri yang lain, yang juga tidak “terdaftar”.

Sebelum kasus ini berakhir dengan ketokan palu yang menghukum Antasari, Kartini sebagai hakim hanya bisa bergumam:”Ah...ternyata di balik kasus pembunuhan yang bermuatan politispun ada perempuan di antara carut marutnya perkara tersebut. Betapa kaumku selalu menjadi “alat” yang akhirnya menjadi korban”

Kartini ingin segera beranjak dari hakim di peradilan umum, dan ingin menjelma menjadi hakim di peradilan agama. Karena Kartini yakin, di peradilan agama juga membutuhkan hakim-hakim perempuan yang berdedikasi. Karena di peradilan agama, banyak kasus yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga.

Tapi belum lagi Kartini beringsut dari tempat duduknya, koran di mejanya sudah ada berita 2 perempuan yang siap-siap akan memasuki ranah persidangan, kedua perempuan adalah Selly Yustiawati dan Melinda Dee, kedua harus mengorbankan “kekartinian” mereka untuk sebuah ambisi ujar Kartini cepat-cepat, karena harus pergi ke pengadilan agama untuk bersidang beberapa kasus.

Sesaat sampai di pengadilan agama, kartini dikejutkan dengan perkara Bambang Trihatmojo yang harus rela mengajukan perceraian kepada istrinya yang cantik jelita, Halimah Agustina. Bambang tega-teganya mengajukan ijin cerai talak , karena telah menikah siri dengan penyanyi Mayangsari. Yang gak masuk di akal Kartini, kenapa ini harus terjadi?? Bukankah dengan Halimah, Bambang telah memiliki anak-anak yang telah dewasa, bahkan telah memberinya cucu.” Ah... Bambang..Bambang... jika hanya kecantikan.... Mayang itu tak ada apa-apanya dengan Halimah. Jauuuuh..kecantikan Halimah melebihi paras wajah Mayang yang “huugggh”, gumam Kartini.

Akhirnya, teman sejawat Kartini sebagai hakim yang memeriksa perkara tersebut mengabulkan permohonan tersebut. Sebenarnya Kartini sudah siap dengan dissenting opinion terhadap putusan tersebut, menurut Kartini, tak seharusnya majelis hakim mengabulkan permohonan perceraian Bambang terhadap Halimah. Majelis seyogyanya tidak hanya memikirkan bahwa perkawinan telah sampai pada ‘broken married”, karena jika pertimbangan ini yang dipakai, akan menjadi presenden buruk terhadap pasangan-pasangan yang hendak mempertahankan perkawinan. Perceraian seyogyanya harus mengikuti ruh dari UU Perkawinan, yaitu mempersulit suatu upaya perceraian. Bukan semua perkara yang diajukan ke pengadilan, harus dikabulkan. Tidak!!!! Tegas Kartini geram.

Kartini sebenarnya sangat prihatin dengan keadaan ini, kenapa sesama perempuan harus saling menyakiti. Kita sebaiknya dilahirkan untuk memberi kesejahteraan bagi orang lain, bagaiman posisi perempuan bisa kuat, jika yang menyakiti perempuan adalah perempuan juga.

Beranjak dari kasus perceraian yang akhirnya berakhir dengandiucapkannya ikrar talak Bambang pada Halimah pada tanggal 31 Maret lalu, Kartini kemudian dihadapkan dengan kasus perceraian dai kondang aa Gym yang mengajukan perceraian ke istri yang telah memberinya 6 orang anak, teh Ninih. Perceraian yang didahului dengan poligami yang menghebohkan, poligami yang menyebabkan jemaah aa Gym di pesantren Daruttauhid berkurang drastis. Kasus ini baru memasuki tahap mediasi, sebagai hakim Kartini hanya berharap jika perkara ini akan sampai pada kesepakatan perdamaian, sehingga aa Gym akan mencabut perkaranya. Bukankah aa Gym mengetahui bahwa sesuatu hal yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah perceraian??

Aa Gym harus membuktikan pada khalayak ramai, bahwa poligami tak harus berujung pada perceraian. Berpoligami memang bukanlah hal mudah, tapi juga jika sudah menjadi pilihan, seyogyanya poligami bisa dilaksanakan tanpa saling menyakiti. Kartini juga merasakan kehidupan poligami, tetapi toh tidak berakhir dengan perceraian.

Bukan hanya itu, Kartini juga harus menyidangkan begitu banyak perkara dispensassi kawin, dimana orang tua wali harus mengajukan iziin di pengadilan karena anak-anak yang hendak menikah, semua masih di bawah umur, untuk laki-laki, masih di bawah 19 tahun dan untuk perempuan masih di bawah 16 tahun. Ini adalah perkara yang paling pelik yang harus dihadapi Kartini, karena Kartini tahu, bagaimana resiko yang dihadapi perempuan jika hamil dalam usia muda, resiko sangat tinggi. Salah satu resiko yang sudah teruji adalah kemungkinan kelak mengidap kanker serviks, karena menurut penelitian salah satu penyebab terjadinya kanker serviks adalah hamil dan melahirkan di bawah usia 20 tahun.

Kartini juga merupakan salah satu wanita yang meninggal karena melahirkan. Angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi di Indonesia, walau dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, tapi masih jauh dibanding negara-negara maju lainnya.

Setiap memeriksa perkara dispensasi kawin, Kartini selalu berusaha untuk memberi perhatian secara khusus. Memberi waktu yang cukup untuk memberikan “pencerahan” baik bagi calon pengantin yang masih muda belia, termasuk juga kepada orang tua yang anaknya hendak menikah. Umumnya Kartini melihat, anak-anak yang masih berbau kencur itu belum siap baik secara mental untuk melangsungkan pernikahan. Keadaanlah (hamil sebelum menikah) yang menyebabkan mereka harus segera dinikahkan.

Kartini ingin berteriak, agar suaranya didengar bahwa keluarga, pemerintah dan masyarakat harus segera turun tangan menghalau semakin tingginya angka pernikahan dini (pernikahan di bawah ini), kalau tidak, maka kita akan menghadapi satu generasi dimana anak-anak itu akan dididik oleh orang tua yang belum siap menjadi orang tua yang dewasa. Apa jadinya generasi tersebut jika dididik oleh orang tua yang masih kekanak-kanakan??.

Beranjak dari kasus dispensasi perkawinan dimana anak-anak tersebut dinikahkan di bawah umur, Karini dihadapkan tingginya angka perceraian yang disebabkan karena terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT ini tidak hanya diartikan sebagai kekerasan fisik semata, tapi begitu banyaknya kekerasan non fisik, utamanya penelantaran ekonomis. Para suami tidak memberikan nafkah yang layak atau bahkan sama sekali tidak memberi nafkah kepada istri dan anak-anak.

Dahulu, menghadapi kondisi seperti ini para istri hanya pasrah, dan menerima sampai maut memisahkan . Saat ini (dengan alasan emansipasi) banyak perempuan yang mengajukan perceraian dibanding laki-laki yang mengajukan. Apakah ini dampak dari emansipasi yang Kartini perjuangkan???

Rasanya Kartini mulai kelelahan, betapa sulitnya menjadi hakim bagi seorang wanita. Karena nyaris segala lini perkara ada unsur-unsur perempuan yang menjadi pelaku maupun korban dari pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut..

Kartini ingin segera berlalu, dan berharap semoga saat ini, setelah 97 tahun kematiannya. Ada Kartini lain yang memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, sehingga tidak menjadi pelaku maupun korban dari pelanggaran-pelanggaran hukum, demikian juga Kartini berharap ada Kartini-Kartini lain yang menjdi hakim, sehingga punya kepekaan terhadap kaumnya. Biarlah buku Door duistermis tox licht itu sebagai tonggak kebangkitan wanita Indonesia. Jangan seperti sekarang, Kartini membaca plesetannya: “Sehabis gelap timbullah tangisan”.

Bantul,

132 tahun kelahiran kartini,

Lily Ahmad.