Rabu, 15 Februari 2012

DARI WORKSHOP DAN KONSULTASI UU No 16 Tahun 2011 yang diselenggarakan World Bank justice for the poor (Bagian 1)1


Tanggal 30 Desember tiba-tiba saya menerima undangan sosialisasi UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dari  World Bank bekerjasama dengan mitra lokal. Untuk wilayah tengah (Jateng,DIY,Jatim,Bali dan Kalimantan) dipusatkan di hotel grand hyatt Yogya.
Jika menerima undangan-undangan seperti itu, biasanya yang langsung saya  cek, apakah  undangan tersebut harinya bersamaan dengan jadwal sidang. Jika tidak, maka tentu bukan masalah. Apalagi hal ini tentu bermanfaat bagi  bidang tugas saya. Kebetulan waktunya tgl 9-10 Pebruari, yang jatuhnya di hari Kamis-Jum’at, hari dimana hari Kamis nya saya tidak ada sidang, dan Jum’at memang bukan hari sidang.
Besoknya, setelah ijin lisan dengan pimpinan,saya langsung konfirmasi dengan event organizernya (Eksponen), bahwa saya bersedia. Tapi tolong kirimkan kembali faxnya, karena fax yang diterima tidak lengkap, dimana saya harus mempelajari TOR  serta materi acaranya Pimpinan berpesan, selama tidak meninggalkan tugas pokok, baginya tidak masalah. Memang, jika dibandingkan dengan teman-teman, saya termasuk paling sering mendapat undangan dari luar, entah LSM atau komunitas-komunitas masyarakat lain. Sehingga mungkin saja timbul kecemburuan dari teman-teman.
Sebelum hari H, saat sholat istighosah untuk memohon keridhoan Allah demi kelancaran pemilihan Ketua MA, saya mencoba menanyakan teman-teman, jika ada yang mendapat undangan di acara tersebut. Ternyata tak ada teman yang menerima undangan, dalam hati saya, lagi-lagi saya sendiri yang harus berhadapan dengan beberapa komunitas yang pasti hadir di perhelatan tersebut.
Tiba hari H, setengah jam sebelum acara dimulai, saya sudah sampai. Memang peserta dari Yogya, tidak mendapatkan kamar untuk menginap. Jadi saya harus bolak balik dari rumah-kantor dan hotel. Tapi tak apalah, tentu dengan mengikuti workshop ini akan banyak hal  yang saya dapatkan. Apalagi jika lihat penyelenggaranya adalah justice for the poor.  Benar saja, sampai di tempat registrasi, saya disapa oleh seseorang yang kemudian saya tahu namanya mbak Christine dari Percik (suatu LSM Persemaian Cinta Kasih dari Salatiga), rupanya beliau mendapatkan nama saya dari pak Waryono, direktur PSW Sunan Kalijaga Yogyakarta.  Saya baru teringat beberapa waktu lalu, saya memang pernah dibisiki pak Waryono bahwa saya direkomendasikan untuk mengikuti kegiatan tersebut.  Awalnya saya menolak, karena pada dasarnya saya  betul-betul tidak menguasai POSBAKUM, karena ketika saya masuk PA Yogyakarta, kegiatan POSBAKUM sudah berakhir. Tapi pak Yon (panggilan akrab pak Waryono) tetap meyakinkan saya. Saya pikir, ini tak berlanjut, toh masih ususlan. Kalau diterima ok, kalau tidak berarti saya tak akan dipanggil.
Beragam Peserta.
Sambil kenalan dengan mbak Christine, saya tanyakan peserta workshopnya darimana saja, dijawab oleh mbak Christine, bahwa selain hakim ada juga kepolisian dan jaksa serta beberapa organisasi bantuan hukum. Betul saja, ketika memasuki ruangan, terasa betul bahwa hawa “aktifis-aktifis LSM” yang mendominasi. Ada yang berambut gondrong yang kemudian memperkenalkan diri  sebagai Yusuf dari LPH .... Solo, kemudian ada yang tidak terlalu gondrong yang bernama Aa.
Saya kemudian mengambil tempat di pojok kanan, berdampingan dengan ibu-ibu seusia saya dan seorang bapak yang kelihatannya sangat rapi dan kemudian ternyata wakil dari POLDA Semarang . bapak ini kemudian memperkenalkan diri bernama Hartono, sedangkan ibu disamping saya bernama Wiwit dari Kementrian Hukum dan HAM Jawa Timur, sedangkan disamping kiri saya, seorang ibu yang sudah cukup tua (sekitar 60 tahun) bernama Suarni dari PEKKA (perempuan Kepala Keluarga) Tegal. Dalam basa-basi ibu Suarni ini bercerita bagaimana kiprahnya di Pekka, antara lain beliau sudah bisa memberikan lebih dari seratus akte kelahiran, beberapa perkara perceraian dan yang terakhir lagi mengupayakan proses waris.
Belum selesai kita bersay hello, panitia sudah membuka acara. Pembawa acara yang  mbak Lisa dari world bank dengan suara empuknya cukup memukai. Penilaian yang mungkin tidak keliru, karena terlihat jelas, bagaimana lincahnya mbak Lisa memandu acara. Dia bisa memandu acara dengan santai, tapi serius.
Acara dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya, kemudian  oleh pak Budi L sebagai perwakilan Percik Salatiga, hal yang normatif di awal sambutannya, tapi kemudian pak Budi dengan gaya kalemnya meminta kita semua mengkritisi UU No 16 Tahun 2011, sehingga ke depannya UU ini bisa tepat sasaran. Pak Budi meminta ada hasil yang didapat dari workshop ini yang bisa menjadi catatan bagi pemerintah dalam persiapan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah.
Setelah pak budi, sambutan beralih ke Sonya Litz sebagai direktur world bank Indonesia. Sonya yang belum lancar berbahasa Indonesia harus didampingi seorang transleter. Sonya mencoba berbicara singkat, tapi dalam sambutan singkatnya Sonya sempat menyampaikan bahwa sudah 46 Pengadilan Agama se Indonesia yang menyelenggarakan POSBAKUM dengan hasil yang mengagunkam. Sebagai orang pengadilan agama, tentu saya bangga hal ini  disebutkan secara khusus. Sonya juga mengharapkan kita bisa menuangkan mimpi  kita tentang Posbakum. Seperti dirinya bermimpi bahwa di setiap desa di Indonesia ada paralegal yang bisa menjadi acuan pertama masyarakat ketika menghadapi masalah hukum.
Setelah Sonya mengakhiri sambutan, mbak Lisa kemudian memandu peserta untuk membagi 5 kelompok secara acak profesi. Saya  ternyata menjadi bagian dari kelompok satu yang teman-teman saya adalah bu Hanny  seorang dosen dar Fakultas Hukum  Universitas Muhammaddiyah Magelang, Darsono seorang pegiat Coruption Watch dari Jember dan sebagai pegiat sekolah bagi masyarakat miskin, Rifki seorang dosen fakultas Hukum dari Universitas Lambung Mangkurat (yang ternyata satu almamater FH UII dengan saya), kemudian bapak Yunan Hilmi, dari Kementrian Hukum dan HAM Kalimantan Selatan. Selain itu ada juga yang masih muda,  Riski perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum UII Yogyakarta, Kelik dari LBH Kalimantan serta Ketut dari Bali.  Beragam profesi ini kemudian menjadi satu dalam kelompok yang kuat.




Tapi seperti kata orang, jika para "aktifis" berkumpul, maka yang akan terjadi kericuhan. oooh.... (bersambung)