Rabu, 15 Februari 2012

DARI WORKSHOP DAN KONSULTASI UU No 16 Tahun 2011 yang diselenggarakan World Bank justice for the poor (Bagian 1)1


Tanggal 30 Desember tiba-tiba saya menerima undangan sosialisasi UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dari  World Bank bekerjasama dengan mitra lokal. Untuk wilayah tengah (Jateng,DIY,Jatim,Bali dan Kalimantan) dipusatkan di hotel grand hyatt Yogya.
Jika menerima undangan-undangan seperti itu, biasanya yang langsung saya  cek, apakah  undangan tersebut harinya bersamaan dengan jadwal sidang. Jika tidak, maka tentu bukan masalah. Apalagi hal ini tentu bermanfaat bagi  bidang tugas saya. Kebetulan waktunya tgl 9-10 Pebruari, yang jatuhnya di hari Kamis-Jum’at, hari dimana hari Kamis nya saya tidak ada sidang, dan Jum’at memang bukan hari sidang.
Besoknya, setelah ijin lisan dengan pimpinan,saya langsung konfirmasi dengan event organizernya (Eksponen), bahwa saya bersedia. Tapi tolong kirimkan kembali faxnya, karena fax yang diterima tidak lengkap, dimana saya harus mempelajari TOR  serta materi acaranya Pimpinan berpesan, selama tidak meninggalkan tugas pokok, baginya tidak masalah. Memang, jika dibandingkan dengan teman-teman, saya termasuk paling sering mendapat undangan dari luar, entah LSM atau komunitas-komunitas masyarakat lain. Sehingga mungkin saja timbul kecemburuan dari teman-teman.
Sebelum hari H, saat sholat istighosah untuk memohon keridhoan Allah demi kelancaran pemilihan Ketua MA, saya mencoba menanyakan teman-teman, jika ada yang mendapat undangan di acara tersebut. Ternyata tak ada teman yang menerima undangan, dalam hati saya, lagi-lagi saya sendiri yang harus berhadapan dengan beberapa komunitas yang pasti hadir di perhelatan tersebut.
Tiba hari H, setengah jam sebelum acara dimulai, saya sudah sampai. Memang peserta dari Yogya, tidak mendapatkan kamar untuk menginap. Jadi saya harus bolak balik dari rumah-kantor dan hotel. Tapi tak apalah, tentu dengan mengikuti workshop ini akan banyak hal  yang saya dapatkan. Apalagi jika lihat penyelenggaranya adalah justice for the poor.  Benar saja, sampai di tempat registrasi, saya disapa oleh seseorang yang kemudian saya tahu namanya mbak Christine dari Percik (suatu LSM Persemaian Cinta Kasih dari Salatiga), rupanya beliau mendapatkan nama saya dari pak Waryono, direktur PSW Sunan Kalijaga Yogyakarta.  Saya baru teringat beberapa waktu lalu, saya memang pernah dibisiki pak Waryono bahwa saya direkomendasikan untuk mengikuti kegiatan tersebut.  Awalnya saya menolak, karena pada dasarnya saya  betul-betul tidak menguasai POSBAKUM, karena ketika saya masuk PA Yogyakarta, kegiatan POSBAKUM sudah berakhir. Tapi pak Yon (panggilan akrab pak Waryono) tetap meyakinkan saya. Saya pikir, ini tak berlanjut, toh masih ususlan. Kalau diterima ok, kalau tidak berarti saya tak akan dipanggil.
Beragam Peserta.
Sambil kenalan dengan mbak Christine, saya tanyakan peserta workshopnya darimana saja, dijawab oleh mbak Christine, bahwa selain hakim ada juga kepolisian dan jaksa serta beberapa organisasi bantuan hukum. Betul saja, ketika memasuki ruangan, terasa betul bahwa hawa “aktifis-aktifis LSM” yang mendominasi. Ada yang berambut gondrong yang kemudian memperkenalkan diri  sebagai Yusuf dari LPH .... Solo, kemudian ada yang tidak terlalu gondrong yang bernama Aa.
Saya kemudian mengambil tempat di pojok kanan, berdampingan dengan ibu-ibu seusia saya dan seorang bapak yang kelihatannya sangat rapi dan kemudian ternyata wakil dari POLDA Semarang . bapak ini kemudian memperkenalkan diri bernama Hartono, sedangkan ibu disamping saya bernama Wiwit dari Kementrian Hukum dan HAM Jawa Timur, sedangkan disamping kiri saya, seorang ibu yang sudah cukup tua (sekitar 60 tahun) bernama Suarni dari PEKKA (perempuan Kepala Keluarga) Tegal. Dalam basa-basi ibu Suarni ini bercerita bagaimana kiprahnya di Pekka, antara lain beliau sudah bisa memberikan lebih dari seratus akte kelahiran, beberapa perkara perceraian dan yang terakhir lagi mengupayakan proses waris.
Belum selesai kita bersay hello, panitia sudah membuka acara. Pembawa acara yang  mbak Lisa dari world bank dengan suara empuknya cukup memukai. Penilaian yang mungkin tidak keliru, karena terlihat jelas, bagaimana lincahnya mbak Lisa memandu acara. Dia bisa memandu acara dengan santai, tapi serius.
Acara dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya, kemudian  oleh pak Budi L sebagai perwakilan Percik Salatiga, hal yang normatif di awal sambutannya, tapi kemudian pak Budi dengan gaya kalemnya meminta kita semua mengkritisi UU No 16 Tahun 2011, sehingga ke depannya UU ini bisa tepat sasaran. Pak Budi meminta ada hasil yang didapat dari workshop ini yang bisa menjadi catatan bagi pemerintah dalam persiapan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah.
Setelah pak budi, sambutan beralih ke Sonya Litz sebagai direktur world bank Indonesia. Sonya yang belum lancar berbahasa Indonesia harus didampingi seorang transleter. Sonya mencoba berbicara singkat, tapi dalam sambutan singkatnya Sonya sempat menyampaikan bahwa sudah 46 Pengadilan Agama se Indonesia yang menyelenggarakan POSBAKUM dengan hasil yang mengagunkam. Sebagai orang pengadilan agama, tentu saya bangga hal ini  disebutkan secara khusus. Sonya juga mengharapkan kita bisa menuangkan mimpi  kita tentang Posbakum. Seperti dirinya bermimpi bahwa di setiap desa di Indonesia ada paralegal yang bisa menjadi acuan pertama masyarakat ketika menghadapi masalah hukum.
Setelah Sonya mengakhiri sambutan, mbak Lisa kemudian memandu peserta untuk membagi 5 kelompok secara acak profesi. Saya  ternyata menjadi bagian dari kelompok satu yang teman-teman saya adalah bu Hanny  seorang dosen dar Fakultas Hukum  Universitas Muhammaddiyah Magelang, Darsono seorang pegiat Coruption Watch dari Jember dan sebagai pegiat sekolah bagi masyarakat miskin, Rifki seorang dosen fakultas Hukum dari Universitas Lambung Mangkurat (yang ternyata satu almamater FH UII dengan saya), kemudian bapak Yunan Hilmi, dari Kementrian Hukum dan HAM Kalimantan Selatan. Selain itu ada juga yang masih muda,  Riski perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum UII Yogyakarta, Kelik dari LBH Kalimantan serta Ketut dari Bali.  Beragam profesi ini kemudian menjadi satu dalam kelompok yang kuat.




Tapi seperti kata orang, jika para "aktifis" berkumpul, maka yang akan terjadi kericuhan. oooh.... (bersambung)

Selasa, 26 April 2011

ANDAI KARTINI MENJADI HAKIM


Hari ini tepat usia Kartini 132 tahun, dilahirkan di desa Mayong dari seorang bapak RMAA Sosroningrat dan ibu MA Ngasirah.Dilahirdari kota kecil, tapi Kartini berharap dari kota kecil ini ada perubahan, termasuk untuk kaumnya . Bahasa kerennye: “Dari Mayong untuk Perubahan Wanita Indonesia”.

Dan itu rasanya tidak berlebihan, karena ternyata apa yang dilakukan Kartini, kemudian dijadikan momen sebuah perjuangan emansipasi oleh dunia, walau tentu ini di luar dugaannya. Lihatlah, hari ini hampir semua sekolah merayakan hari kelahiran Kartini dengan berdandan konon “ala” Kartini, memakai kebaya dan bersanggul, sungguh menggemaskan!!! Tentu Kartini akan tersenyum bahagia melihat keceriaan anak-anak itu, bahagia karena menjadi tokoh anak-anak itu dan bahagia bahwa perjuangannya memperjuangkan emansipasi wanita semakin menunjukkan hasil.

Lebih bahagia lagi jika kemudian Kartini berkunjung ke beberapa intansi , dan beberapa perbankan yang semuanya memperingati hari lahirnya 21 April ini dengan berbusana kebaya dan bersanggul. “Ah....moga-moga mereka tidak memperingati hari lahirku hanya dengan berbusana ala Kartini, seperti demam lady Di, tapi memperingati perjuangan wanita secara substantif”, kata Kartini

Maka mulailah Kartini ini berpetualang melihat berbagai kemajuan di Indonesia, kemajuan wanitanya, kemajuan kaumnya. Kali ini Kartini menjadi hakim, mewakili ribuan hakim perempuan Indonesia. Sayup-sayup dalam perjalanan imaginer ini terdengar lahu Ibu Kita kartini..Putri Sejati...Putri Indonesia...harum namanya...

Kartini, yang berpendidikan : E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar, kali ini menjelma menjadi hakim, kali ini Kartini ditetapkan oleh Ketua Pengadilan untuk menyidangkan kasus Gayus Tambunan. Tentu dengan senang hati, Kartini menerima amanah yang memang telah menjadi tugas Kartini sehari-hari. Bagi Kartini, ini tak menjadi masalah, karena toh selama ini Kartini menjadi hakim yang sangat bersih, selama berkarir, tak pernah sekalipun Kartini menerima uang dan pemberian dalam bentuk apapun. Sehingga menyidangkan kasus Gayus, baginya justru menjadi tantangan, karena konon Gayus itu rajanya penyuap-penyuap ulung.

Maka mulailah Kartini bersidang,kali ini teman satu majelis adalah Albertina Ho, hakim wanita yang tegas dan anti suap. Tentu Kartini senang masuk dalam majelis ini, tak ada keraguan sedikitpun bagi Kartini dengan kredibilitas Albertina Ho, wanita Maluku Tenggara yang lahir tanggal 1 januari 1960 ini. Melihat kredibilitas hakim yang memeriksa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, hati Kartini semakin mantap dan yakin, bahwa Gayus tak bakal membobol keteguhan majelis hakim, seperti Gayus yang (konon) telah membobol pertahanan hakim Muhtadi Asnun, sehingga hakim tersebut mau menerima uang 50 juta dari Gayu. Akibatnya saat ini Muhtadi Asnun harus menertima hukuman, menjadi hakim non palu.

Ketika persidangan telah berjalan, Kartini mulai lebih banyak mengetahui sepak terjang Gayus Tambunan, termasuk juga istrinya Milana Anggraeni. Orang banyak menghujat Milana Anggraeni, apalagi saat Milana Angraeni terlibat saat Gayus plesiran ke Bali, Macau dan Kualalumpur. Hujatan padanya tak henti-hentinya, bahkan akhirnya Milana Angraeni kemudian diperiksa atas keterlibatannya bisa mengeluarkan Gayus dari tahanan Brimob Klapa Dua. Terbukti bahwa Gayus bisa leluasa plesir di luar tahanan setelah menyuap komandan Brimob.

Kartini memejamkan mata, membayangkan andai dia menjadi istri Gayus, apakah tidak mungkin hal yang sama dilakukannya juga. Bagaimana kegalauan serta kerinduan seorang istri pada suami yang ditahan. Milana mungkin tak berpikir bahwa suap itu merupakan pidana, bagi Milana memberi uang bagi komandan Brimob agar suaminya bisa leluasa keluar tahanan merupakan uang jasa, merupakan barter, merupakan jaminan, dan apapun namanya, yang penting suaminya bisa bertemu dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, yang masih merindukan rengkuhan dan pelukan seorang bapak. Pasti yang dipikiirkan Milana, biarlah semua orang di luar sana mencerca, tapi sebagai ibu saya bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anakku bertemu dan bercengkrama dengan bapaknya.

Sampailah menjelang akhir proses persidangan, saat membaca pledoi, dengan gagahnya Gayus membacakannya (yang konon pledoinya diketikkan istrinya), tetapi saat pledoi menjelang akhir, saat Gayus membacakan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga dan anak-anaknya, airmata Gayus tumpah ruah tak tertahankan. Sebagai hakim yang hampir tiap hari mendengar pledoi dari para terdakwa, Kartini tak bergeming dengan airmata Gayus, karena sudah merupakan menu keseharian sebagai hakim menyaksikan tetesan airmata bila terdakwa berbicara tentang diri dan keluarganya, umumnya airmata terdakwa tak terbendung.

Menurut pengamatan Kartini, yang jarang meneteskan airmata, adalah pledoi yang diucapkan oleh para “pejuang” jihad, yang umumnya disebut teroris. Mereka justru berkobar, dan rela dihukum. Berbeda dengan Gayus, mendengar tuntutan JPU yang 20 tahun, sudah membuat Gayus yang selama ini menebar senyum dan yakin dirinya tak bersalah, harus ‘menghiba” untuk dibebaskan, demi anak dan keluarga.Akhirnya Kartini dan hakim Albertina menjatuhkan vonis 7 tahun bagi Gayus, vonis yang bagi sementara orang terlalu ringan melihat begitu tingginya angka korup yang diembat Gayus, tapi vonis yang begitu berat bagi Gayus, mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Di luar yang tertuang dalam putusan, dan di luar Gayus Tambunan sebagai terdakwa, dalam benak Kartini, perasaan campur aduk dengan apa yang dilakukan Milana. Bagi Kartini, seharusnya Milana menjadi istri yang bukan hanya surga nunut dan neraka katut pada Gayus, tapi menjadi penyeimbang, menjadi polisi bagi suami. Milana harus bisa menyatakan pada Gayus, bahwa praktek-praktek yang dilakukan Gayus selama ini adalah praktek haram, yang bisa berakibat fatal. Milana bukan wanita bodoh, sarjana komunikasi Universitas Indonesia ini tentu mengetahui, bahwa apa yang dilakukan Gayus adalah menggali lubang kedholiman bagi keluarganya, dan akhirnya semua harus terjerumus ke dalamnya, termasuk dirinya dan anak-anak yang sangat dicintai. Lalu...apa artinya cinta dan kasih sayang jika Milana dan anak-anak juga harus terseret arus kedholiman yang dilakukan Gayus.

Rasanya Kartini ingin membisikkan pada Milana:”Jadilah seorang istri yang tegar, didik anak-anak untuk menjadi anak-anak yang mandiri. Belajar dari apa yang dilakukan seorang suami, biarlah hidup dengan sederhana, tapi kebahagiaan melingkupi hari-hari yang penuh kebersamaan”.

Beranjak dari kasus Gayus, Kartini kemudian disodori kasus Antasari Azhar. Kasus yang menurut mas media adalah kasus pembunuhan yang bermuatan politik. Memang sebelum kasus ini masuk di meja kartini, isu bahwa di balik pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, ada intrik cinta segitiga, antara korban, terdakwa dan seorang perempuan yang bernama Rani.

Sebagai hakim yang bijak, Kartini tak mau pikirannya ‘digiring” oleh media massa. Kartini masih mempertahankan independensinya. Kartini sudah merasakan bagaimana dahsyatnya mas media membuat opini, dan jika tidak kuat, maka bisa saja Kartini ikut hanyut derasnya arus opini yang dibuat media. Padahal, saat ini media sudah banyak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi. Maka untuk menjaga independensi, Kartini selalu menyadarkan pikirannya, bahwa apa yang diberitakan oleh media, belum tentu sepenuhnya benar. Sehingga jika Kartini membaca media, selalu berusaha dalam posisi netral. Walau demikian, tentu Kartini juga tak akan meninggalkan media, karena bisa-bisa Kartini yang ketinggalan info.

Maka, sampailah kasus Antasari pada tahapan pembuktian. Jaksa kemudian menghadirkan Rani, yang selama ini keberadaannya disembunyikan. Konon karena semenjak kematian Nasrudin Zulkarnaen, Rani dan keluarganya selalu menerima ancaman dan teror, hal ini membuat Rani harus bersembunyi. Tapi mau gak mau Rani harus dihadirkan di persidangan.

Saat Rani dihadirkan di persidangan, pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Yang ada hanyalah majelis hakim, JPU, pengacara terdakwa, terdakwa dan saksi. Rani dengan panjang lebar menceritakan kejadian di hotel Mahakam, tentang hubungannya dengan terdakwa dan korban, tentang sms terdakwa, tentang perkawinannya dengan korban, dan segala-galanya.

Kartini sebagai hakim menyimak dengan serius apa yang diutarakan saksi, yang ada di benak Kartini sebagai hakim adalah: “Ah...Rani...kamu wanita, seharusnya kamu jangan mau dijadikan istri siri korban, karena nantinya kelak kamu hanya menjadi korban”. Rani mungkin terlalu muda untuk bisa mengerti bagaimana istri pertama, dan istri kedua korban mendapati suaminya ternyata memiliki istri lain yang tidak ‘terdaftar” di negara. Jangan-jangan korban masih memiliki istri-istri yang lain, yang juga tidak “terdaftar”.

Sebelum kasus ini berakhir dengan ketokan palu yang menghukum Antasari, Kartini sebagai hakim hanya bisa bergumam:”Ah...ternyata di balik kasus pembunuhan yang bermuatan politispun ada perempuan di antara carut marutnya perkara tersebut. Betapa kaumku selalu menjadi “alat” yang akhirnya menjadi korban”

Kartini ingin segera beranjak dari hakim di peradilan umum, dan ingin menjelma menjadi hakim di peradilan agama. Karena Kartini yakin, di peradilan agama juga membutuhkan hakim-hakim perempuan yang berdedikasi. Karena di peradilan agama, banyak kasus yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga.

Tapi belum lagi Kartini beringsut dari tempat duduknya, koran di mejanya sudah ada berita 2 perempuan yang siap-siap akan memasuki ranah persidangan, kedua perempuan adalah Selly Yustiawati dan Melinda Dee, kedua harus mengorbankan “kekartinian” mereka untuk sebuah ambisi ujar Kartini cepat-cepat, karena harus pergi ke pengadilan agama untuk bersidang beberapa kasus.

Sesaat sampai di pengadilan agama, kartini dikejutkan dengan perkara Bambang Trihatmojo yang harus rela mengajukan perceraian kepada istrinya yang cantik jelita, Halimah Agustina. Bambang tega-teganya mengajukan ijin cerai talak , karena telah menikah siri dengan penyanyi Mayangsari. Yang gak masuk di akal Kartini, kenapa ini harus terjadi?? Bukankah dengan Halimah, Bambang telah memiliki anak-anak yang telah dewasa, bahkan telah memberinya cucu.” Ah... Bambang..Bambang... jika hanya kecantikan.... Mayang itu tak ada apa-apanya dengan Halimah. Jauuuuh..kecantikan Halimah melebihi paras wajah Mayang yang “huugggh”, gumam Kartini.

Akhirnya, teman sejawat Kartini sebagai hakim yang memeriksa perkara tersebut mengabulkan permohonan tersebut. Sebenarnya Kartini sudah siap dengan dissenting opinion terhadap putusan tersebut, menurut Kartini, tak seharusnya majelis hakim mengabulkan permohonan perceraian Bambang terhadap Halimah. Majelis seyogyanya tidak hanya memikirkan bahwa perkawinan telah sampai pada ‘broken married”, karena jika pertimbangan ini yang dipakai, akan menjadi presenden buruk terhadap pasangan-pasangan yang hendak mempertahankan perkawinan. Perceraian seyogyanya harus mengikuti ruh dari UU Perkawinan, yaitu mempersulit suatu upaya perceraian. Bukan semua perkara yang diajukan ke pengadilan, harus dikabulkan. Tidak!!!! Tegas Kartini geram.

Kartini sebenarnya sangat prihatin dengan keadaan ini, kenapa sesama perempuan harus saling menyakiti. Kita sebaiknya dilahirkan untuk memberi kesejahteraan bagi orang lain, bagaiman posisi perempuan bisa kuat, jika yang menyakiti perempuan adalah perempuan juga.

Beranjak dari kasus perceraian yang akhirnya berakhir dengandiucapkannya ikrar talak Bambang pada Halimah pada tanggal 31 Maret lalu, Kartini kemudian dihadapkan dengan kasus perceraian dai kondang aa Gym yang mengajukan perceraian ke istri yang telah memberinya 6 orang anak, teh Ninih. Perceraian yang didahului dengan poligami yang menghebohkan, poligami yang menyebabkan jemaah aa Gym di pesantren Daruttauhid berkurang drastis. Kasus ini baru memasuki tahap mediasi, sebagai hakim Kartini hanya berharap jika perkara ini akan sampai pada kesepakatan perdamaian, sehingga aa Gym akan mencabut perkaranya. Bukankah aa Gym mengetahui bahwa sesuatu hal yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah perceraian??

Aa Gym harus membuktikan pada khalayak ramai, bahwa poligami tak harus berujung pada perceraian. Berpoligami memang bukanlah hal mudah, tapi juga jika sudah menjadi pilihan, seyogyanya poligami bisa dilaksanakan tanpa saling menyakiti. Kartini juga merasakan kehidupan poligami, tetapi toh tidak berakhir dengan perceraian.

Bukan hanya itu, Kartini juga harus menyidangkan begitu banyak perkara dispensassi kawin, dimana orang tua wali harus mengajukan iziin di pengadilan karena anak-anak yang hendak menikah, semua masih di bawah umur, untuk laki-laki, masih di bawah 19 tahun dan untuk perempuan masih di bawah 16 tahun. Ini adalah perkara yang paling pelik yang harus dihadapi Kartini, karena Kartini tahu, bagaimana resiko yang dihadapi perempuan jika hamil dalam usia muda, resiko sangat tinggi. Salah satu resiko yang sudah teruji adalah kemungkinan kelak mengidap kanker serviks, karena menurut penelitian salah satu penyebab terjadinya kanker serviks adalah hamil dan melahirkan di bawah usia 20 tahun.

Kartini juga merupakan salah satu wanita yang meninggal karena melahirkan. Angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi di Indonesia, walau dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, tapi masih jauh dibanding negara-negara maju lainnya.

Setiap memeriksa perkara dispensasi kawin, Kartini selalu berusaha untuk memberi perhatian secara khusus. Memberi waktu yang cukup untuk memberikan “pencerahan” baik bagi calon pengantin yang masih muda belia, termasuk juga kepada orang tua yang anaknya hendak menikah. Umumnya Kartini melihat, anak-anak yang masih berbau kencur itu belum siap baik secara mental untuk melangsungkan pernikahan. Keadaanlah (hamil sebelum menikah) yang menyebabkan mereka harus segera dinikahkan.

Kartini ingin berteriak, agar suaranya didengar bahwa keluarga, pemerintah dan masyarakat harus segera turun tangan menghalau semakin tingginya angka pernikahan dini (pernikahan di bawah ini), kalau tidak, maka kita akan menghadapi satu generasi dimana anak-anak itu akan dididik oleh orang tua yang belum siap menjadi orang tua yang dewasa. Apa jadinya generasi tersebut jika dididik oleh orang tua yang masih kekanak-kanakan??.

Beranjak dari kasus dispensasi perkawinan dimana anak-anak tersebut dinikahkan di bawah umur, Karini dihadapkan tingginya angka perceraian yang disebabkan karena terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT ini tidak hanya diartikan sebagai kekerasan fisik semata, tapi begitu banyaknya kekerasan non fisik, utamanya penelantaran ekonomis. Para suami tidak memberikan nafkah yang layak atau bahkan sama sekali tidak memberi nafkah kepada istri dan anak-anak.

Dahulu, menghadapi kondisi seperti ini para istri hanya pasrah, dan menerima sampai maut memisahkan . Saat ini (dengan alasan emansipasi) banyak perempuan yang mengajukan perceraian dibanding laki-laki yang mengajukan. Apakah ini dampak dari emansipasi yang Kartini perjuangkan???

Rasanya Kartini mulai kelelahan, betapa sulitnya menjadi hakim bagi seorang wanita. Karena nyaris segala lini perkara ada unsur-unsur perempuan yang menjadi pelaku maupun korban dari pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut..

Kartini ingin segera berlalu, dan berharap semoga saat ini, setelah 97 tahun kematiannya. Ada Kartini lain yang memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, sehingga tidak menjadi pelaku maupun korban dari pelanggaran-pelanggaran hukum, demikian juga Kartini berharap ada Kartini-Kartini lain yang menjdi hakim, sehingga punya kepekaan terhadap kaumnya. Biarlah buku Door duistermis tox licht itu sebagai tonggak kebangkitan wanita Indonesia. Jangan seperti sekarang, Kartini membaca plesetannya: “Sehabis gelap timbullah tangisan”.

Bantul,

132 tahun kelahiran kartini,

Lily Ahmad.

Jumat, 04 Februari 2011

10 Pertanyaan Mengenai Mediasi di Pengadilan Agama:



Pengantar:

Dengan semakin berjalannya waktu, banyak pihak yang menyadari betapa pentingnya mediasi itu dilakukan. Bukan saja karena hasilnya yang merupakan kesepakatan bersama, juga karena dengan bermediasi, mata rantai pembuktian yang panjang dan berbelit-belit dapat dipersingkat atau bahkan tidak diperlukan sama sekali.

Di samping itu, dalam proses mediasi yang selama ini berjalan di pengadilan agama, yang didominasi perkara perceraian, maka manfaat medaisi begitu besar. Banyak hak-hak istri dan anak yang bisa dituangkan dalam kesepakatan mediasi. Ini tentu menguntungkan pihak istri, karena bisa mendapatkan haknya tanpa proses panjang. Demikian juga pihak suami dapat memberikan nafkah atau kewajiban-kewajiban yang lain sesuai kemampuannya.

Dalam beberapa kesempatan, banyak pertanyaan tentang mediasi. Dari sekian pertanyaan-pertanyaan, penulis mencoba merangkumnya menjadi 10 pertanyaan yang sering diajukan dalam proses mediasi di pengadilan agama.

1. Apa pentingnya dan Dasar Mediasi.

Sejak diterbitkannya Perma No 1 Tahun 2008 maka mediasi merupakan suatu kewajiban dalam proses gugatan di pengadilan. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi juga diwajibkan, karena dengan tidak dilaksanakannya mediasi, maka perkara tersebut batal demi hukum. (pasal 2 ayat (3) Perma No 1 Tahun 2008)


2. Siapa saja yang bisa menjadi mediator?

Menurut pasal 8 Perma No 1 Tahun 2010 yang bisa menjadi mediator adalah:
a.Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
b.Advokat atau akademisi hokum;
c.Profesi bukan hokum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
d.Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, aau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.

Tetapi sampai saat ini setelah 2 tahun berlakunya perma ini, pihak-pihak yang berperkara di pengadilan lebih banyak menggunakan mediator hakim. Kemungkinan disebabkan karena mediator hakim tidak dibayar, sedangkan mediator non hakim harus dibayar.

Bagi hakim sendiri, tambahan tugas ini tentu semakin menambah beban kerja pokoknya. Sebenarnya,jika mediasi bias sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak non hakim, maka hakim-hakim akan lebih berkosentrasi menghadapi perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

3. Berapa lama waktunya mediasi

Berdasar pasal 13 angka (3) Perma No 1 Tahun 2008 ini, mediasi dapat dilaksanakan selama 40 hari kerja .Waktu ini dan dapat diperpanjang lagi selama 14 (empat belas hari) . Tentu dengan diberikannya waktu yang cukup longgar, baik mediator maupun para pihak yang bermediasi mempunyai waktu yang lama, sehingga bias tercapai kesepakatan damai sebagaimna yang diinginkan.

4.Apa manfaatnya mediasi??

Banyak sekali yang bisa diambil manfaat dari mediasi, yang paling pokok adalah hasil mediasi merupakan hasil kesepakatan pihak-phak yang bersengketa, dimana diharapkan kesepakatan damai tersebut kemudian oleh majelis dapat dituangkan dalam amar putusan.

5..Kriteria Keberhasilan Mediasi dalam perkara percerian?
Selama ini persepsi mediasi dalam perkara perceraian adalah dicabutnya perkara, dimana antara suami istri tersebut hidup rukun kembali.

Saya pribadi kurang sepakat dengan pendapat tersebut, karena substansi dari mediasi adalah bagaimana suatu putusan itu bias menjadi kesepakatan para pihak, sehingga dapat meminimalir penumpukan perkara baik di tingkat banding maupun kasasi.

Sehingga seyogyanya, jika dalam mediasi kemudian terdapat kesepakatan-kesepakatan pasca pasca perceraian (misalnya nafkah iddah, mut’ah, hak asuh anak, dll), maka seharusnya mediasi yang demikian ini dapat dikatakan sebagai mediasi yang berhasil karena para pihak terikat dalam kesepakatan mediasi yang kemudian akan dituangkan dalam amar putusan

6. Apakah mediator hakim dibayar??

Jika ada yang menggunakan jasa mediator hakim, maka tidak dibebankan lagi biaya. Hanya, mediator hakim hanya bisa memediasi perkara-perkara di tempat tugasnya. Berbeda dengan mediator non hakim, mereka mempunyai kesempatan untuk memediasi perkara-perkara baik di pengadilan agama atau pengadilan negeri manapun, asal terlebih dahulu mendaftar dan masuk sebagai mediator di pengadilan tersebut.

7. Siapakah yang membayar honorarium mediator?

Honorarium mediator non hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Misalnya siapa yang menerima bagian terbanyak, maka dialah yang membayar honorarium mediator.


8.Bolehkah para pihak mundur dari proses mediasi?

Pada dasarnya, setiap mediasi harus dengan itikad baik. Jika salah satu pihak merasakan atau melihat tidak adanya itikad baik dari pihak lawan, maka pihak yang merasa dirugikan, dapat menyatakan mundur dari proses mediasi.

9. Bolehkah proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan?

Mediasi bisa dilaksanakan di salah satu ruang pengadilan atau jika pengadilan tersebut telah memiliki ruang mediasi, maka dapat dilaksanakan di ruang mediasi. Artinya walau mediatornya bukan mediator hakim, proses mediasi dapat mempergunakan fasilitas ruang mediasi pengadilan.

Tetapi, khusus mediator hakim, maka proses mediasi hanya boleh bermediasi di ruang pengadilan. Hal ini tentu dimaksud agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, antara mediator hakim dengan pihak-pihak. Ini semua karena peran ganda yang menempel pada mediator hakim. Salah satu sisi sebagai mediator hakim, di sisi yang lain juga adalah hakim yang harus menjaga citra dan wibawa pengadilan.

10. Apakah setiap kesepakatan perdamaian di luar pengadilan itu dapat dikuatkan hakim menjadi akta perdamaian?
Tidak semua akta perdamaian dapat dikuatkan hakim dalam akta perdamaian. Syarat-syarat kesepakatan perdamaian yang dapat dituangkan dalam akta perdamaian adalah sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hokum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi;
e. dengan itikad baik.

Salam.,
Lily Ahmad
Bantul 4 Pebruari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

CARUT MARUT HARTA GONO-GINI


CARUT MARUT HARTA GONO-GINI
Membaca judulnya, kesannya kok ya mendramatir judul, gono-gini seperti merupakan bagian dari ekonomi global.Padahal senyatanya gono-gini hanya merupakan ekonomi keluarga. Sama sekali tak ada maksud seperti itu. Hanya ingin menyatakan bahwa walaupun gono-gini merupakan bagian ekonomi rumah tangga, tapi ternyata jika terjadi masalah, maka masalah gono-gini yang kesannya sepele, ternyata merupakan masalah besar. Karena bukan saja menyangkut antara suami istri, tapi juga orang-orang sekitar suami istri tersebut. Ini bisa didapatkan, misalnya dalam perkawinan, ada keluarga yang meminjam uang dari harta bersama tersebut, yang sampai di akhir perkawinan, piutang tersebut belum dikembalikan. Akhirnya, masalah bukan hanya antara suami dan istri, tapi juga kepada yang mempunyai hutang pada suami istri tersebut.

DEFINISI GONO-GINI.

Dalam hukum kita, tidak ada istilah harta gono-gini. Jika kita mencari di situs Asiamaya harta gono gini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. (Inggris : gono-gini is property acquired jointly, especially during marriage, and which is divided equally in event of divorce).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, dalam pasal 1 huruf (f) menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dari kedua definisi tersebut dapat sedikit kita simpulkan bahwa harta gono-gini Artinya, harta apapun yang didapat pada masa perkawinan, merupakan harta bersama, tanpa melihat atas nama siapa benda tersebut dan dari penghasilan siapa benda tersebut dibeli.
Lebih lanjut dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam juga mengatur, bahwa bagian harta gono-gini antara suami istri, masing-masing mendapat bagian setengah. Suami mendapat setengah, demikian juga istri mendapat setengah dari harta gono-gini tersebut.
Menurut saya, aturan tersebut adalah bukan aturan yang kaku, dimana semua harta gono-gini harus dibagi sama rata. Yang lebih utama adalah kesepakatan antara suami istri tentang pembagian gono-gini tersebut. Aturan ini terpakai, jika kesepakatan kedua suami istri tidak ada. Sama seperti saya mengartikan pembagian warisan. Yang lebih utama dari bagian warisan adalah kesepakatan para ahli waris tentang bagian masing-masing, jika kesepakatan menemui jalan buntu, maka aturan hukum tentang warisan baru dipergunakan. Artinya keikhlasan membagi dan terbagi merupakan kunci dari semuanya.
Dalam beberapa praktek mediasi yang saya lakukan, banyak pembagian harta gono-gini antara suami istri tidak mendapat bagian setengah-setengah. Bahkan pernah seorang istri mendapatkan semua bagian dari harta gono-gini. Prinsipnya, selama keikhlasan itu ada, dan dituangkan dalam kesepakatan perdamaian, maka itu menjadi undang-undang bagi keduanya. Dengan demikian, ketentuan pembagian setengah-setengah dapat dikesampingkan.

BEBERAPA MASALAH YANG MUNCUL DALAM PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI:

Walau aturan tentang harta gono-gini sudah cukup jelas, tapi dalam prakteknya, masih banyak hal-hal yang muncul dalam persoalan pembagian harta tersebut. Hal ini mungkin karena UU belum mengatur, atau pemahaman masyarakat terhadap UU tersebut yang berbeda.
Beberapa persoalan yang muncul dalam pembagian harta gono-gini antara lain:

1. Hadiah pada saat resepsi perkawinan;
Seperti yang kita ketahui yang merupakan harta gono gini, adalah harta yang didapat dalam masa perkawinan, tanpa melihat bahwa siapa yang membeli dan terdaftar atas nama siapa benda tersebut. Dan yang bukan menjadi harta gono gini antara lain harta yang sudah dimiliki oleh suami atau isteri sebelum menikah, demikian pula mahar bagi isteri, warisan, hadiah, dan hibah milik isteri atau suami.

Bagaimana dengan hadiah yang diberikan relasi suami-istri atau relasi orang tua suami-istri pada saat perkawinan dilangsungkan atau pada saat resepsi?

Kasus ini muncul,ketika seorang mantan istri mengajukan gugatan gono gini terhadap kado-kado perkawinan.Menurut sang istri, kado-kado tersebut adalah hadiah bersama, karena diberikan untuk suami dan istri. Pemberi kado yang kebetuan merupakan relasi suami dan istri tersebut member untuk keduanya, bukan hanya untuk suami atau istri. Sedangkan pemberi yang merupakan sahabat suaminya, juga memberi karena perkawinan. Jika tidak ada perkawinan dengan istri tersebut, maka sahabat suaminya tentu tak akan memberikan hadiah perkawinan.

Dari pemahaman hadiah perkawinan sebagai hadiah bersama, kemudian istri menyatakan bahwa itu merupakan bagian dari gono-gini,sehingga harta-harta tersebut harus dibagi antara suami-istri.
Kasus ini kemudian kita analogikan, bahwa kado perkawinan merupakan hadiah bersama, sehingga merupakan bagian dari suami dan istri tersebut. Sehingga ini menjadi harta gono gini.

2. Membangun rumah di atas tanah milik orang tua salah satu pihak;

Selama ini, pemahaman kepemilikan harta tentang rumah dan tanah berdiri sendiri-sendiri. Tidak semua pemilik tanah, juga merupakan pemilik rumah di atasnya.
Hal ini berawal dari hukum agraria kita yang memisahkan keduanya,karena dahulu, rumah banyak terbuat dari kayu, sehingga mudah dipindah-pindah.

Tapi zaman telah berubah, rumah berbentuk kayu telah berubah menjadi tembok yang tak mungkin dipindah, kecuali dihancurkan. Dan jika sudah dihancurkan maka rumah tersebut menjadi tak bernilai ekonomis lagi.

Saat ini banyak orang tua memberi kepada anak-anak ada yang berupa tanah yang telah berdiri rumah di atasnya. Atau masih berupa tanah kosong, yang kelak di kemudian hari di atas tanah tersebut dibangun rumah untuk kehidupan suami istri. Pada saat membangun, tentu tak terpikir jika kelak kemudian terjadi perceraian. Apalagi kemudian dari pihak besan membantu dalam bentuk uang atau kusen pintu , daun pintu dan lain-lain. Artinya dalam pembangunan rumah tersebut telah saling campur: tanah milik orang tua perempuan, rumah dibangun atas upaya suami istri, kemudian orang tua suami juga membantu memberi kusen, daun pintu, batu bata, atau bentuk uang.

Persoalan muncul setelah terjadi gugatan harta gono-gini. Bagaimana kepemilikannya??
Dari kasus ini, yang paling “diuntungkan” adalah yang memiliki tanah yang nilai ekonomisnya tetap atau bahkan mungkin lebih tinggi. Bagaimana dengan hasiah yang berbetuk kusen, daun pintu, batu-bata? Mungkin saja si suami yang memiliki tanah warisan mengatakan, silahkan apa yang pernah diberikan diambil kembali.

Tentu perkataan itu bukan merupakan perkataan yang bijak. Karena untukmembongkar kusen pintu, jendela, batu-bata ,dan lain-lain, bukan merupakan pekerjaan yang mudah, selain membutuhkan biaya, juga tidak lagi mempunyai nilai ekonomis.

Jika hal ini terjadi, maka perlu sikap bijak bagi hakim untuk membagi harta gono-gini tersebut, atau juga sikap dari mediator untuk membantu mencarikan solusi, sehingga antara suami dan istri tersebut tercapai win-win solution, bukan win-lost solution;

3.Gono-Gini dalam Poligami;

Menjalankan poligami memang buknlah hal yng mudah. Banyak hal yang akan muncul, termasuk masalah gono-gini.Walau sebelumnya sudh diantisipasi, pada saat mengajukan izin poligami, sudah harus menyertakan kepemilikan harta, dengan harapan kelak tak akan muncul persoalan gono-gini antara istri-istri dan suami sebagai pelaku poligami.

Harapan tinggal harapan, dalam kenyataan, tentu tidak mudah. Karena tentu perlakuan adil tidaklah mudah, termasuk adil secara ekonomis. Umumnya istri muda mendapat bagian harta-harta yang lebih yang sulit “terdeteksi”, misalnya uang, dan perhiasan. Sehingga harta-harta terselubung ini menjadi gono-gini yang sulit dibuktikan.

Contohnya, pada saat saya mahasiswa, saya mendengar rumor ini terjadi pada satu petinggi Negara. Dimana petinggi tersebut mempunyai istri keempat yang menguasai harta termasuk emas-emas yang dimiliki oleh sang petinggi. Kelak saat petinggi tersebut meninggal, istri keempat tersebut yang menguasai paling banyak harta dari sang petinggi, padahal mereka tidak dikaruniai anak. Sementara istri pertama, kedua dan ketiga serta anak-anak mereka tidak mendapatkan sebanyak apa yang dimiliki istri keempat.

Masih banyak masalah-masalah yang muncul dalam persoalan harta gono-gini. Tapi ketiga masalah di atas merupakan masalah yang sering muncul dan harus segera diberikan regulasi yang jelas, sehingga masalah-masalah tersebut mempunyai dasar hukum untuk penyelesaiannya.


BIJAKLAH TERHADAP HARTA GONO GINI
Mungkin inilah sebagai kata kunci untuk melerai carut marut persoalan harta gono-gini. Penyelesaian dari semua adalah, bagaimana ikhlas untuk membagi dan terbagi. Karena tentu kita saat membangun sebuah mahligai rumah tangga, menginginkan rumah tangga terbangun secara utuh dan selamanya. Tapi dalam beberapa hal, keinginan tersebut menjadi hanya harapan. Oleh karena itu, jika kemudian muncul, maka sekali lagi: bersikap ikhlas untuk membagi dan terbagi merupakan kata kunci.

Salam,
Lily Ahmad
Bantul 21 Januari 2011.