Rabu, 10 Desember 2008

KEKUATAN SURAT PERNYATAAN BERLAKU ADIL BAGI ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Wanita itu, setelah dipanggil berkali-kali untuk masuk ke ruang persidangan, tidak masuk-masuk juga. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan memperkenalkan diri sebagai Suprapto.“Saya Terugat, nama saya Suprapto”, kata si laki-laki.”Lho….Penggugat Suprapti mana?”, hakim bertanya karena sepertinya Suprapto tadi masih agak bingung dan sudah cukup lama hakim menunggu. “Sebentar bu…..lagi jalan menuju kemari” tukas Suprapto

Sejenak kemudian, masuklah seorang wanita yang hakim menduga bernama Suprapti. Tertatih-tatih Suprapti memasuki ruag sidang, tangannya harus memegang sandaran kursi yang berjejer di depan hakim untuk bisa sampai di kursi terdepan, kursi dimana Penggugat duduk. Sampai di kursi terdepan Suprapti menghela nafas panjang untuk beristirahat sejenak setelah menempuh perjalanan sekitar 15 meter dari ruang tunggu sampai ke ruang sidang.

Melihat kondisi seperti ini, semua hakim terdiam dan sabar menunggu. Setelah didahului tarikan nafas, si wanita berkata: “Saya Suprapti pak Hakim, saya menggugat cerai suami saya” katanya singkat. Hakim hanya mengangguk dan membuka persidangan.Dan setelah mencocokkan identitas masing-masing, kemudian hakim mmencoba mengadakan perdamaian antara Suprapti sebagai Penggugat dan Suprapto sebagai Tergugat.

“Sudah tidak bisa bu hakim, saya sudah tidak tahan bersuamikan Suprapto. Setelah saya izinkan dia (Suprapto) untuk menikah lagi, ternyata saya merasa tidak diperlakukan tidak adil oleh suami saya ini. Tak ada gunanya suami saya ini membuat surat pernyataan berlaku adil” Suprapti membeberkan alasannya untuk mengajukan perceraian.

Bagi hakim yang sudah lama bergulat dengan masalah penyebab perceraian, hal ini bukanlah masalah baru. Betapa banyak kasus-kasus perceraian yang disebabkan karena istri pertama mengajukan perceraian karena setelah diijinkan untuk menikah lagi si suami tidak memperlakukan secara adil baginya.

KEKUATAN SURAT BERLAKU ADIL

Setiap seorang suami ingin mengajukan ijin poligami, maka padanya diwajiban utuk menyertai surat pernyataan sanggup berlaku adil, disamping surat-surat lain seperti surat keterangan penghasilan.Dalam surat pernyataan itu, si suami menyatakan bahwa dia akan berlaku adil bagi istri-istrinya dan jika di kemudian hari tidak bisa berlaku adil, maka suami tadi dapat dituntut di muka pengadilan.

Surat pernyataan itu bagi saya sangat dangal, karena tidak dijelaskan lagi apa saja perlakuan adil yang akan diberikan kepada istri-istrinya. Perlakuan adil jatah hari kunjung, perlakuan adil masalah pemenuhan nafkah, atau perlakuan adil yang bagaimana. Alhasil banyak sekali suami-suami yang setelah diijinkan berpoligami. “mengabaikan” surat pernyataan tadi dan hanya mengaanggap itu sebagai bagian dari formalitas sebuah syarat untuk berpoligami. Setelah itu mereka akan bersikap masa bodoh.

Sedangkan bagi istri, menghadapi sikap suami yang demikian hanya bisa pasrah. Proses hukum menuntut agar suami tadi mentaati pernyataan surat pernyataan tadi tidak ada. Kalau masih bisa mempertahankan kondisi rumah tangga, tentu baik. Tapi jika tidak maka jalan terakhir biasa yang dipilih wanita adalah mengajukan perceraian sebagaimana yang dilakukan Suprapti tadi.

PERLAKUAN ADIL DARI SUAMI

Sebenarnya perlakuan adil yang bagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang suami bagi istri-istrinya. Tentu perlakuan berlaku adil yang sekiranya bisa dilihat oleh mata. Artinya selama ini suara-suara kaum feminis bahwa seorang laki-laki yang berpoligami tentu tidak bisa berlaku adil termasuk berlaku adil tentang hati dan perasaan, harus kita abaikan.

Tentu betapa sulitnya kita menilai seorang suami telah berlaku adil atas cintanya terhadap istri-istrinya. Kita sendiri sulit menghitung kadar cinta kita bagi anak-anak kita. Walau tentu kita telah mencoba bersikap adil dan meperlakukan mereka sama, tapi kadang anak-anak kita merasa kita memperlakukan mereka berbeda.Demikian juga tentunya suami terhadap istri-istrinya, pasti ada yang merasa tidak diperlakukan adil.

Seorang suami yang sadar atas pilihannya untuk berpoligami, seharusnya paling tidak harus bersikap adil bagi istri-istrinya dalam hal:

1. Adil Dalam Nafkah

Berikanlah setiap istri nafkah yang adil. Tidak mesti sama, karena setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, dan mungkin jumlah anak yang tidak sama menyebabkan tingkat kebutuhan yang berbeda. Usahakanlah pemberian nafkah setelah melakukan poligami tidak berkurang dibanding setelah melakukan poligami.

2. Adil Dalam Perhatian

Perhatian disini diartikan dalam arti yang luas. Termasuk di dalamnya adalah adil dalam waktu berkunjung. Usahakanlah istri-istri tadi merasa mendapat jatah kebersamaan yang sama. Kebersamaan disini bukan hanya diartikan kebersamaan dalam hal seksual. Tetapi kebersamaan dalam keseharian. Jika istri yang satu mendapat jatah waktu 7 hari, maka istri yang lain juga mendapat jatah yang sama.

Dua hal ini merupakan hal terkecil yang semestinya dilakukan oleh seorang suami jika telah melakukan poligami. Banyak hal-hal lain, yang penting juga yang seharusnya dilakukan seorang suami, tetapi tidak secara signifikan dirasakan sebagai bentuk perlakuan yang adil.

Andai dua hal di atas bisa dipenuhi oleh suami yang perpoligami,maka kita dapat meminimalisir perkara-perkara yang diajukan oleh istri yang disebabkan oleh perlakuan suami yang tidak adil. Ingatlah, bahwa seorang suami bisa berpoligami, tentu disebabkan oleh ijin seorang istri. Jika si istri tidak mengijinkan, tentu hakim akan sulit mengabulkan kehendak poligami dari seorang suami.

UPAYA AGAR SUAMI BERLAKU ADIL

Tidak semua harapan menjadi kenyataan. Demikian juga harapan seorang istri dengan suami yang berpoligami. Tentu pada awalnya si istri berharap suami bisa memperlakukan istri-istri tadi dengan adil,tapi jika hal tersebut tidak didapat, maka sebaiknya para istri menempuh beberapa upaya sebelum mengajukan perceraian:

1. Lakukan pendekatan personal. Bicaralah baik-baik dengan suami kita. Komunikasikan keinginan-keinginan kita, trmasuk juga perasaan bahwa kita merasa suami kurang memberikan perhatian yang sama. Mudah-mudahan dengan bicara yang santun, komunikasi tanpa emosi, dapat menyadarkan suami dengan apa yang kita rasakan.

2. Libatkan orang dekat. Jika cara pertama tidak berhasil, maka ada baiknya kita meminta bantuan orang-orang dekat yang mengenal suami kita dan mengenal kita. Mungkin yang paling baik adalah mertua dan ipar kita. Upayakan tidak banyak yang mengetahui persoalan yang kita hadapi. Dengan demikian si suami tidak merasa malu jika persoalan ini melebar ke banyak kalangan. Jika kita tidak mempunyai keluarga dekat, maka kita bisa meminta bantuan dengan sahabat-sahaat suami. Tentu lebih terbatas yang bisa kita sampaikan, tapi moga-moga ini bisa berhasil.

3. Melaporkan pada pimpinan tempat kerja suami. Ini jika suami bekerja di suatu perusahaan atau instansi.Melaporkan disini bukan untuk membuka aib suami. Tetapi meminta bantuan pimpinan suami agar bisa menasehati suami kita agar bisa berlaku adil. Hal ini bisa berpengaruh, karena biasanya suami agak sungkan dengan pimpinannya. Apalagi tentu sebagai bagian dari masa depannya.

4. Meminta bantuan lembaga advokasi. Ini sudah sebagai jalan terakhir upaya-upaya persuasif. Karena tentu suami mungkin merasa kita telah menabuh gendering perang. Tapi sebenarnya ini kita lakukan setelah berbagai upaya telah dilakukan. Lembaga advokasi biasanya juga pada awalnya hanya membantu membuka komunikasi antara suami dan istri. Diharapkan dengan mediasi yag dilakukan oleh lembaga tadi, si suami bisa berubah sikap dan memperlakukan istri tadi dengan adil.

Jika upaya-upaya telah dilakukan dengan maksimal, maka sepertinya apa yang dilakukan oleh Suprapti di atas memang patut dilakukan. Bagaimanapun istri juga mempunyai hak untuk menetukan nasibnya sendiri. Sudah cukuplah baginya untuk memberikan ijin suami berpoligami. Tetapi jika dibalas dengan tidak berlaku adil, maka satu-satunya cara adalah mengajukan perceraian.

Dan pada pemerintah, sebaiknya buatlah semacam regulasi dimana jika suami ingin melakukan perceraian, maka surat pernyataan berlaku adil tadi bukan hanya sebagai syarat formal saja, tetapi sebagai senjata bagi istri-istri untuk bisa mempertahankan haknya.

Yk 10 Des 2008

Tidak ada komentar: