Saya mencoba memaparkan hasil-hasil semiloka, yang targetnya akan menjadi rekomendasi ke stake holder.Sehingga kedepannya diharapkan kasus KDRT akan menurun, tidak seperti sekarang walaupun UU telah ada tapi kasus KDRT dari tahun ke tahun menunjukkkan trend yang meningkat.
Beberapa peserta memberikan umpan balik yang positif. Artinya ada beberapa hal yang selama ini luput dari pemikiran tim, yang rasanya memang layak untuk diakomodir. Misalnya "hukuman" yang diberikan bukan hanya ganti rugi, tetapi "ta'jir" yang berefek membuat jera. Atau juga ada yang kurang sepakat bahwa UUPKDRT sebagai pemicu perceraian sebagaimana hasil FGD.
Sebagai pemateri, hal itu saya terima sebagai kewajaran, bahwa pro dan kontra adalah hal yang wajar. Dan tentunya semua itu akan menjadi catatan yang akan saya sampaikan dalam diskusi dengan tim perumus.
Sayangnyadi penghujung diskusi, ada tanggapan dari seorang "hakim senior" yang disampaikan dengan bahasa yang kurang santun dan sikap yang layak dicemooh. Kesan yang muncul adalah kepongahan dan kesombongan serta keangkuhan.
Alih-alih mendapat simpati, tetapi justru mendapat cibiran. Karena dia menganggap bahwa yang saya sampaikan di luar etika hakim. Bahwa seharusnya ini disampaikan dalam forum hakim saja. Padahal yang saya sampaikan adalah fakta, bahwa masih banyak hakim yang belum mengetahui UUPKDRT, sehingga tim memasukkan ini sebagai rekomendasi untuk memaksimalkan sosialisasi UUPKDRT pada hakim. Dan ini semua hasil dari semiloka dan UUPKDRT. Dan sarasehan ini betul-betul forum ilmiah dan sangat diharapkan imbal balik. Jika sang hakim senior ini menganggap bahwa ini tidak benar, seharusnya dia mengajukan dalih sebaliknya, bahwa sudah banyak hakim yang tahu tentang UUPKDRT dengan bukti bla...bla...bla...
Dan jika ini bukan forum untuk itu, apa alasannya??? Ini forum ilmiah, bukan forum di pinggir jalan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Hasil semiloka, dan prosesing semiloka mencatat apa yang saya sampaikan.
Ternyata kemarahan belum mereda, selesai sarasehan sang hakim senior yang sangat terhormat menghampiri saya yang lagi berdiskusi dengan teman LSM Mitra keluarga. Sang hakim yang mulia masih menguntap, dan ini membuat saya terkejut. KETIDAKPANTASAN DAN KETIDAKSOPANAN telah dilakukan oleh seorang hakim senior terhadap hakim junior!!!!
Pada posisi sarasehan, hubungan kita bukan antara senior dan junior. Tak pantas apa yang anda lakukan itu pada saya. Okelah saya sebagai hakim junior, tapi ini bukan sarana pembinaan. Ada forum lain yang bisa anda gunakan untuk membina saya, bukan disini tempatnya bung!!! itu yang ada dalam hati saya.
Saat itu saya hanya menjawab bahwa apa yang saya sampaikan adalah hasil dari semiloka dan FGD, bukan hasil rekayasa saya. Dan ini forum ilmiah, buka forum eblek-eblek untuk menyampaikan gagasan.
Sepeninggal hakim senior tadi, peserta yang tersisa nyaris mencemooh perilaku yang tak semestinya. Ada yang komentar, waah....dari pagi saat pendaftaran peserta sudah error, sombong. Ada yang komentar juga bahwa ini kan diskusi, apa hakim senior tadi tidak mengetahui tatakrama diskusi. Belum lagi dari hakim sendiri yang mengatakan bahwa hakim senior ini tidak tahu diri, dikiranya ini forum pembinaan sehingga bersikap demikian. Walaupun dalam hati saya walaupun pembinaan tak selayaknya sikap demikian itu dimunculkan. Dan masih banyak lagi komentar-komentar lainnya, yang terus terang memuat saya malu mempunyai hakim senior yang demikian.
Untuk meredam rasa amarah saya (saya juga boleh marah kan???) saya kemudian mengingat kembali ketika kami sama-sama mengikuti pelatihan mediator. Dimana ada beberapa teman hakim yang bertanya pada tuada udilag tentang mediasi, yang kebetulan pendapat tuada udilag berbeda dengan pemateri yang kebetulan dari peradilan umum. Bagi hakim senior kita ini, pertanyaan tersebut tak semestinya ditanyakan karena seakan-akan mengangkat derajat pemateri dan menjatuhkan tuada udilag.
Saya yang mendengar "grendengan"hakim senior hanya berkata dalam hati. "Lho.... apa yang salah dari penanya. Dia bertanya karena dia belum faham, Dia ingin tak ada dualisme dalam penyelesaian masalah, satu versi tuada udilag, yang satu versi pemateri". Ohya yang jadi persoalan waktu itu adalah, tuada udilag menyatakan bahwa walaupun verstek dan ghoib, tetap wajib mediasi. Sementara pemateri menyatakan bahwa mediasi hanya bisa dilaksanakan jika pihak-pihak hadir dalam persidangan.
Dari kasus di atas, saya hanya menganggap bahwa rasa pembelaan korps dari hakim senior ini sangat berlebihan. Tidak mengetahui bahwa tak semestinya loyalitas kekorp"an" ini berlaku dalam tiap lini. Sampai dalam diskusi terbataspun muncul. Dalam forum ilmiah dan terbatas, tak ada ketabuan-ketabuan, yang ada fakta dan solusi.
Belum sampai disitu kemarahan senior saya, di wall face book saya juga masih muncul dan saya juga menjawab apa adanya. Tapi rasanya say juga boleh marah dong.... (hehehe...) maka saya pun membuat status yang menggambarkan kemarahan saya. Kemudian beberapa teman muncul memberi komentar, ada yang pro dan kontra. Tapi yang banyak sih mencemooh sikap arogansi itu.
Di sisi lain, hakim senior tadi membuat status di wall, yang kurang lebih isinya kontra dengan apa yang saya sampaikan. Eeeee............ sayangnya tak ada yang komentari selain hakim senior lain yang mengikuti sarasehan itu. Inilah hidup jika dalam kepongahan struktural.
Aaah....untuk menghargai teman-teman yang berkomentar, saya ingin memasukkan dalam ocehan ini sebagai kenangan. Dan sebagai hakim junior, kemarahan saya hanya bisa seperti ini. Semoga hakim senior-hakim senior lain bisa menyelami perasaan hakim junior sehingga kepongahan dan kesombongan struktural tak terjadi lagi.
Ini beberapa "dialog" dan komentar dari teman-teman
Lily Ahmad Hari gene masih ada hakim yang tak berkenan untuk dikritik, namanya apa ya???? Hakim orba?? hakim jadul?? hakim jaim??? atau hakim apa????
Kemarin jam 20:30 · ·Antonius Hartono >>Hakim sebuah asma ALLAH....lalu di INDONESIA predikat itu pun dipakai utk tempat mencari keadilan, namun sayang banyak para hakim lupa makna dan lupa hakekat utk apa dia menyandang gelar itu....sdh menjadi rahasia umum jika hakim tempat mempermainkan hukum (tempat salah) walau tidak semuanya demikian, masih ada hakim...2 yg benar, maka di Indonesia ada Hakim Tinggi dan Hakim Agung utk mengoreksi sesuatu yg salah, sekalipun di tangan MA saja pututusan terkadang masih tidak sesuai rasa keadilan, maka diperlukan saling memperbaiki lewat kritik dan saran, kalau hakim tidak mau dikoreksi, suruh saja jadi DIKTATOR....(yg sdh pasti kebenarannya subyektif)
Lihat SelengkapnyaHari ini jam 8:44 · · · · Lihat Antar-DindingLily Ahmad
Betul-betul kata yang mencerahkan. Tks kakanda... Doakan saya dalam menjalankan tugas.
Hari ini jam 14:52 ·
Kurdianto Sh
yang tidak mau dikritik itu berarti tidak punya nurani, ketika seseorang apapun stratanya, apaun prfesinya tidak mau dikritik sebetulnya dia telah kehilang hakekat kemanusiaanya. ha ha ha sok filsuf
9 jam yang lalu ·
Andi Rais Bener Ly..sdh bukan jamannya lagi hakim anti kritik,namanya jg manusia..tdk lepas dari salah dan khilaf "erare humanum est" manusia bukan saja tdk lepas dari salah dan khilaf,justru sumber kedua hal tsb,20 tahun sy berpraktek sbg advokat..kalau sy temui hakim arogan,sy lawan dg argumen yg konstruktif,elegan dan tdk seg...an" sy gebrak meja,karena sejak kecil sy diajarkan kalau salah wajib minta maaf,namun kalau benar"harus dilawan" itu sy ingat" terus,bukankah junjungan kita Rasulullah jg mengatakan "katakan" sekalipun itu pahit demi Kebenaran.kemarin sy sampaikan pd mas Busyro Muqoddas dikampus Ly..bahwa ada beberapa hakim (oknum) berperilaku tdk terpuji...namun sebaliknya scra Fair..sy juga sampaikan ada juga hakim berperilaku terpuji. Sekarang ini sdh era yg lain, jadi kalau ada hakim anti dikririt..amat sangat disayangkan...sudah kuno..sdh enggak jaman..he...he...
Lihat SelengkapnyaKemarin jam 23:53 · · · · Lihat Antar-DindingMuna Agusta
Betul mbk Lily karena Hakim jg manusia biasa bukan malaikat, seharusnya kalau ada yg mau mengkritik itu malah bagus, krn bs interopeksi untuk lbh meningkatkan kinerja spy lbh baik lagi. Sdh tdk jamannya lg org tdk mau dikritik,
Hari ini jam 10:19 ·
Aroma Elmina Martha Tanya ya Bu hakim,kode etik hakim sekarang yang digunakan oleh majelis kehormatan hakim yang diikuti versi mana ya,bikinan KY,atau dari IKAHI atau dari MA atau darimana?setahuku kalau parameter akademisi apa saja dan siapa saja boleh dikritik,entah kalau ada hakim yang menggunakan versi kode etik sendiri,hehehe
Hari ini jam 6:30 · · · · Lihat Antar-DindingLily Ahmad
Hahahahaha.... Ini masalahnya. Ternyata dalam diskusi ilmiah, bahkan untuk mencari solusi pemecahanpun kok lupa melepas kesombongan. hehehehehehe..
Hari ini jam 14:35 ·
Cheeputh JaKal
kesombongan utk sebgian org digunakan sbg "jubah kebesaran"..yg aku kuatirkan jgn2 ni org sdh kna reye sindrom kronis..
5 jam yang lalu ·
@Bang Fakhruddin: Ini bukan kritik terhadap pribadi seseorang. Sebenarnya ini hasil FGD dari hakim dan beberapa LSM di Jkt, yang saya sampaikan dengan teman-teman hakim di Yk. Pisssss deh!!! wkwkwkwkw...
@Anon: Hehehe...... istilah baru ya???? Wahhhh cerita di fb angkatan dong pertemuanmu dengan Esthy, pasti banyak teman yang menantinya.
@Kang Cecep: Hehe...kayak iklan aja. Doakan aku tidak seperti itu ya kang..... Apalagi doa orang baru pulang haji, konon makbul. Amieeennnnnnn
(kpn indonesia jd pinter??org2nya aja sok keminter??)
Ketika aku mencoba ... Lihat Selengkapnyajabatanku untuk latihan berkuasa, malah aku sendiri yang rugi. Masyarakat malah gak hormat padaku. beneeer nich pengalamanku begitu...
Sabaaar ya diajeng...... Semoga Alloh membukakan hidayah kepada kita semua.
1.orang yang tahu kalau dirinya tidak tahu
2.orang yang tahu kalau dirinya tahu
3.orang yang tidak tahu kalau dirinya tahu
4.orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu
tak peduli apapun profesinya.ok say..
@Oni:Aku juga ikut menangis sedih karena sampe detik ini masih banyak yang seperti itu.
@kak Abu: yuuuk....kita sama-sama menyadarkan hakim-hakim yang seperti itu.
@Yuni: Betul say..... Aku mencoba merobah paradigma itu. Bahwa hakim tak mesti berwajah dingin, dengan kepala yang tak menunduk jika bertemu orang. Bahwa kewibawaan dan kesucian hakim ada dalam putusan yang dihasilkan, bukan di interaksi personal, apalagi interaksi struktural. Tks pencerahanmu say...
@Imas: Susyaaah say.... paradigma anti kritik masih merajalela. Yuuuuk kita berangus. hehehehe..
@Bang Zein: hahahaha.... susahnya kalau hakim sambar gledek, jika musim panas, gak ada gledek yang nyambar. wkwkwkwkw........
@mas Hanno: betuuuuuulllllllllllllllll