Pertanyaan ini sulit-sulit mudah dijawab. Karena untuk kuliah di fakultas Hukum (sebagai syarat menjadi hakim) seperti air yang mengalir dan saya hanya mengikuti arus. Ya....setelah saya lulus Madrasah Aliyah, saya diberi kesempatan "bebas tes" untuk msuk Universitas Islam Indonesia. Sudah di depan loket pendaftaran untuk menentukan fakultas yang akan kita pilih, saya belum punya pilihan. Waktu itu karena dari jusrusan sosial, tentu yang paling rasional adalah memilih fakultas hukum atau ekonomi (waktu tahun 1987 UII baru punya dua jurusan sosial). Nah...karena latar belakang saya dari pesantren yang nota benenya minim pelajaran Matematika (bahkan waktu itu kami diajarkan berhitung), maka saya akhirnya memilih fakultas hukum. Waktu itu yang "kebayang" adalah sosok opa Yus sebagai hakim. Bismillah.
Ternyata setelah lulus kuliah, saya kemudian "mudik" untuk bersemedi bersama orang tua di Manado, hitung-hitung "balas dendam" karena selama ini hidup di pesantren dan waktu kuliah hidup di kost-kostan. Rasanya nyaman sekali, bisa berlama-lama dekat dengan orang tua. Sampai kemudian dibuka pendaftaran calon hakim Pengadilan Agama. Atas dorongan papi, maka saya mendaftar juga. Padahal waktu itu ada juga kesempatan masuk di bank bni. Tapi kemudian mami memberi pertimbangan, jika seorang ibu bekerja di bank, maka sangat sedikit waktu bersama anak-anak dan keluarga. Lagi-lagi Bismillah, saya mendaftar dan tes, kemudian diterima.
Jadi kenapa saya memilih menjadi hakim? Mungkin jawaban tepatnya seperti kenapa saya memilih kuliah di fakultas hukum, sebagai air yang mengalir saja. Karena sebetulnya keinginan atau boleh dikata cita-cita saya adalah menjadi psikolog. Tapi karena tidak diterima di UGM (dan belum ada univ swasta yang membuka jurusan itu) maka kemudian saya beralih ke fakultas hukum UII, walau saya juga diterima di fakultas syari'ah IAIN Sunan Kalijaga.
Setelah menjadi hakim, rasanya kemudian memang tidak punya pilihan lain untuk mencintai pekerjaan ini. Dan alhamdulillah saya menikmati, walau kadang ada juga kejenuhan-kejenuhan. Tapi setelah "waktu jenuh" itu berlalu, kita menikmati kembali.Dan saya berusaha menjadi hakim yang punya nilai, dimana kita tidak terkungkung dengan persoalan-persoalan dalam ruang sidang, tapi juga kita perduli dengan masalah di sekitar kita. Maka saya mencoba terlibat di lembaga lain, sebagai "penyeimbang" kegiatan kita dalam ruang sidang.
Andai ada pertanyaan:"apa enaknya jadi hakim?" ini pertanyaan yang tak bisa dijawab hanya dalam hitungan satu paragraf, perlu dibahas sendiri.
Minggu, 21 September 2008
Minggu, 14 September 2008
BERSAMATEMAN-TEMAN MAGISTER HUKUM BISNIS UGM
Gini nih kalau teman-teman sudah pada kumpul, heboh bangeeet!! Semua rame dan semua ceria. Gak pusing mereka anak muda atau sudah tua, semua OK!! Ada Rere,Nita,Vena,Ivana,Dewi,Ima,Pandi,Jufri,Kikis, Pak Arif,Pak Sugeng,Pak Nyong,Sigit, Andi,Pak Juri,Rama,Fatah, Pak Agung, Burhan, Rosefendi dan lain-lain.
Kini kami nyaris jarang bertemu, karena sudah selesai teorinya dan sudah ada yang selesai. Semoga kekerabatan ini tetap terjalin akrab
Kini kami nyaris jarang bertemu, karena sudah selesai teorinya dan sudah ada yang selesai. Semoga kekerabatan ini tetap terjalin akrab
Sabtu, 13 September 2008
TIDAK DIBERI NAFKAH SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN.
Sudah menjadi hal jamak, dimana setiap perkawinan pasti di di dalamnya terjadi perselisihan dan pertengkaran., khususnya masalah ekonomi.Hanya tentu beda kadar pertengkarannya, yangmana salah satu tidak bisa menjadi cerminan bagi yang lain.
Setiap memulai perkawinan, pasti sepasang suami istri ini menginginkan kedamaian, rumah tangga yang tentram dan harmonis, dan jika di dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kemudian terjadi pertengkaran, maka suami dan istri ini dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga bisa kembali pada tujuan perkawinan semula.
Sebagai hakim pengadilan agama (ini bila dilihat prespektif legal), setiap perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang sudah sulit diharapkan untuk rukun sebagai suami istri (demikian bunyi undang-undangnya), maka dimungkinkanlah ini dijadikan salah satu alasan untuk terjadinya perceraian, tentu di dalamnya juga terkandung perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan masalah ekonomi.Tapi nyatanya, tidak semua pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus akhirnya berujung pada perceraian. Kenapa ini bisa terjadi? Saya mencoba mengurainya, bukan dari prespektif hukum, bukan juga dari prespektif sosial (karena saya bukan sosiolog), tapi sebagai wanita yang berada di dalam ruang sidang, yang setiap hari melihat persoalan-persoalan yang ada.
Penyebab pertengkaran yang berujung perceraian maslah ekonomi, bukan saja masalah kekurangan ekonomi, tapi kelebihan ekonomi juga bisa jadi pemicu. Ketidakbertanggung-jawabnya seorang suami terhadap rumah tangga. Pertanyaan kemudian, sampai dimana hal ini bisa ditoleril seorang istri? Ada sebagian istri, bilamana suami 3 bulan saja tidak memberi nafkah, sudah mengajukan perceraian ke pengadilan, tapi tak jarang pulang seorang istri berpuluh-puluh tahun tidak diberi nafkah, masih bisa mempertahankan perkawinannya.
Umumnya, yang mengajukan gugatan perceraian karena tidak diberi nafkah dalam waktu yang relatif singkat (misalnya 3-6 bulan) adalah perkawinan yang masih berusia dini. Ini dijadikan alasan utama. Sedangkan yang tidak diberi nafkah bertahun-tahun (tentu) perkawinannya sudah lama, tetapi alasan tidak diberi nafkah bukanlah menjadi alasan utama. Umumnya mereka sudah "menerima nasib" tidak diberi nafkah, dan yang menjadi alasan utama misalnya si suami mempunyai wanita lain, atau sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk yang terakhir, biasanya si istri mempunyai penghasilan sendiri untuk menghidupi diri dan keluarganya, si suami yang tidak memberi nafkah dianggap sebagai "suratan takdir" yang harus diterima.
Kenapa alasan ekonomi bisa jadi alasan? Ini disebabkan karena stigma di masyarakat bahwa suamilah yang bertanggung-jawab dalam hal menafkahi rumah tangga. Seorang suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri bekerja di rumah mengurus rumah tangga. Maka jika si suami wanprestasi, maka si istri seakan-akan punya alasan untuk mengajukan perceraian di pengadilan.
Sekarang, jika posisi itu dibalik, seorang suami bekerja mengurus rumah tangga, istri yang bekerja di luar, mungkinkah si suami yang bekerja di rumah mengajukan perceraian dengan alasan si istri tidak memberi nafkah?? Ini tak perlu dijawab, tolong direnungkan aja!!
Langganan:
Postingan (Atom)