Sabtu, 13 September 2008

TIDAK DIBERI NAFKAH SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN.


Sudah menjadi hal jamak, dimana setiap perkawinan pasti di di dalamnya terjadi perselisihan dan pertengkaran., khususnya masalah ekonomi.Hanya tentu beda kadar pertengkarannya, yangmana salah satu tidak bisa menjadi cerminan bagi yang lain.
Setiap memulai perkawinan, pasti sepasang suami istri ini menginginkan kedamaian, rumah tangga yang tentram dan harmonis, dan jika di dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kemudian terjadi pertengkaran, maka suami dan istri ini dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga bisa kembali pada tujuan perkawinan semula.

Sebagai hakim pengadilan agama (ini bila dilihat prespektif legal), setiap perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang sudah sulit diharapkan untuk rukun sebagai suami istri (demikian bunyi undang-undangnya), maka dimungkinkanlah ini dijadikan salah satu alasan untuk terjadinya perceraian, tentu di dalamnya juga terkandung perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan masalah ekonomi.Tapi nyatanya, tidak semua pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus akhirnya berujung pada perceraian. Kenapa ini bisa terjadi? Saya mencoba mengurainya, bukan dari prespektif hukum, bukan juga dari prespektif sosial (karena saya bukan sosiolog), tapi sebagai wanita yang berada di dalam ruang sidang, yang setiap hari melihat persoalan-persoalan yang ada.

Penyebab pertengkaran yang berujung perceraian maslah ekonomi, bukan saja masalah kekurangan ekonomi, tapi kelebihan ekonomi juga bisa jadi pemicu. Ketidakbertanggung-jawabnya seorang suami terhadap rumah tangga. Pertanyaan kemudian, sampai dimana hal ini bisa ditoleril seorang istri? Ada sebagian istri, bilamana suami 3 bulan saja tidak memberi nafkah, sudah mengajukan perceraian ke pengadilan, tapi tak jarang pulang seorang istri berpuluh-puluh tahun tidak diberi nafkah, masih bisa mempertahankan perkawinannya.

Umumnya, yang mengajukan gugatan perceraian karena tidak diberi nafkah dalam waktu yang relatif singkat (misalnya 3-6 bulan) adalah perkawinan yang masih berusia dini. Ini dijadikan alasan utama. Sedangkan yang tidak diberi nafkah bertahun-tahun (tentu) perkawinannya sudah lama, tetapi alasan tidak diberi nafkah bukanlah menjadi alasan utama. Umumnya mereka sudah "menerima nasib" tidak diberi nafkah, dan yang menjadi alasan utama misalnya si suami mempunyai wanita lain, atau sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk yang terakhir, biasanya si istri mempunyai penghasilan sendiri untuk menghidupi diri dan keluarganya, si suami yang tidak memberi nafkah dianggap sebagai "suratan takdir" yang harus diterima.

Kenapa alasan ekonomi bisa jadi alasan? Ini disebabkan karena stigma di masyarakat bahwa suamilah yang bertanggung-jawab dalam hal menafkahi rumah tangga. Seorang suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri bekerja di rumah mengurus rumah tangga. Maka jika si suami wanprestasi, maka si istri seakan-akan punya alasan untuk mengajukan perceraian di pengadilan.

Sekarang, jika posisi itu dibalik, seorang suami bekerja mengurus rumah tangga, istri yang bekerja di luar, mungkinkah si suami yang bekerja di rumah mengajukan perceraian dengan alasan si istri tidak memberi nafkah?? Ini tak perlu dijawab, tolong direnungkan aja!!

Tidak ada komentar: