Minggu, 21 September 2008

KENAPA MEMILIH JADI HAKIM?

Pertanyaan ini sulit-sulit mudah dijawab. Karena untuk kuliah di fakultas Hukum (sebagai syarat menjadi hakim) seperti air yang mengalir dan saya hanya mengikuti arus. Ya....setelah saya lulus Madrasah Aliyah, saya diberi kesempatan "bebas tes" untuk msuk Universitas Islam Indonesia. Sudah di depan loket pendaftaran untuk menentukan fakultas yang akan kita pilih, saya belum punya pilihan. Waktu itu karena dari jusrusan sosial, tentu yang paling rasional adalah memilih fakultas hukum atau ekonomi (waktu tahun 1987 UII baru punya dua jurusan sosial). Nah...karena latar belakang saya dari pesantren yang nota benenya minim pelajaran Matematika (bahkan waktu itu kami diajarkan berhitung), maka saya akhirnya memilih fakultas hukum. Waktu itu yang "kebayang" adalah sosok opa Yus sebagai hakim. Bismillah.

Ternyata setelah lulus kuliah, saya kemudian "mudik" untuk bersemedi bersama orang tua di Manado, hitung-hitung "balas dendam" karena selama ini hidup di pesantren dan waktu kuliah hidup di kost-kostan. Rasanya nyaman sekali, bisa berlama-lama dekat dengan orang tua. Sampai kemudian dibuka pendaftaran calon hakim Pengadilan Agama. Atas dorongan papi, maka saya mendaftar juga. Padahal waktu itu ada juga kesempatan masuk di bank bni. Tapi kemudian mami memberi pertimbangan, jika seorang ibu bekerja di bank, maka sangat sedikit waktu bersama anak-anak dan keluarga. Lagi-lagi Bismillah, saya mendaftar dan tes, kemudian diterima.

Jadi kenapa saya memilih menjadi hakim? Mungkin jawaban tepatnya seperti kenapa saya memilih kuliah di fakultas hukum, sebagai air yang mengalir saja. Karena sebetulnya keinginan atau boleh dikata cita-cita saya adalah menjadi psikolog. Tapi karena tidak diterima di UGM (dan belum ada univ swasta yang membuka jurusan itu) maka kemudian saya beralih ke fakultas hukum UII, walau saya juga diterima di fakultas syari'ah IAIN Sunan Kalijaga.

Setelah menjadi hakim, rasanya kemudian memang tidak punya pilihan lain untuk mencintai pekerjaan ini. Dan alhamdulillah saya menikmati, walau kadang ada juga kejenuhan-kejenuhan. Tapi setelah "waktu jenuh" itu berlalu, kita menikmati kembali.Dan saya berusaha menjadi hakim yang punya nilai, dimana kita tidak terkungkung dengan persoalan-persoalan dalam ruang sidang, tapi juga kita perduli dengan masalah di sekitar kita. Maka saya mencoba terlibat di lembaga lain, sebagai "penyeimbang" kegiatan kita dalam ruang sidang.

Andai ada pertanyaan:"apa enaknya jadi hakim?" ini pertanyaan yang tak bisa dijawab hanya dalam hitungan satu paragraf, perlu dibahas sendiri.

Tidak ada komentar: