Selasa, 11 Januari 2011

ANDAI PASANGAN SUAMI-ISTRI HARUS MENDEKAM DI BALIK TERALI BESI.


Beberapa waktu lalu kita melihat bahwa eksekusi terhadap mantan Ketua KPK Antasari Azhar dilaksanakan. Beliau akhirnya harus mendekam dibalik terali besi selama 18 tahun sesuai keputusan MA. 18 tahun bukanlah waktu yang singkat. Jika saat ini Antasari Azhar mempunyai anak yang baru lahir, maka dia akan bertemu kembali anaknya saat anaknya sudah menyelesaikan pendidikan SMA.
Berat memang menjadi terpidana, karena banyak kebebasan-kebebasan yang terbelenggu saat menjalani masa hukuman. Walau dalam pasal 14 UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan , seorang narapidana masih mempunyai sederet hak , antara lain hak melakukan ibadah, hak mendapat perawatan, mendapat pendidikan dan pengajaran, hak menyampaikan keluhan, dll. Bahkan ada beberapa kasus kita membaca beberapa narapidana melakukan pernikahan saat di penjara.
Walau ada sederet hak yang diberikan, tapi sebenarnya jika menjalani hukuman lebih dari 5 tahun, maka ada hal lain yang mengancam keutuhan rumah tangga narapidana tersebut yaitu akan diceraikan pasangannya.
Kembali ke kasus di atas, dan tanpa niat memprokasi, jika istri Antasari Azhar mau, maka dengan modal putusan MA, ibu Ida Laksmiwati sebagai istri Antasari Azhar, dapat mengajukan perceraian ke pengadilan agama. Sekali lagi, ini bukan untuk memprovokasi, tapi sebagai gambaran saja, bahwa betapa tidak enaknya menjadi terpidana dan karena selain menjalani masa hukuman, terpidana itu juga kemungkinan dicerai oleh pasangannya.
PERCERAIAN KARENA DIPIDANA.
Berbagai alasan yang bisa menyebabkan suatu perkawinan diakhiri dengan perceraian,antara lain Pasal Pasal 19 huruf (c) pp No 9 Tahun 1975
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:(c ). Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Memang kesannya betapa tidak manusiawinya seorang isri jika suaminya dipenjara, kemudian si istri mengajukan perceraian, ibarat kata pepatah, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Tapi tentu harus juga diingat bahwa selama mendeka di penjara, suami atau istri juga tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya, seperti seorang suami yang tidak bisa member nafkah bagi istrinya.
Tapi tentu juga di sadari, yang berada di luar penjara juga bebannya tidak lebih ringan, karena harus menanggung beban social, juga menanggung beban ekonomis. Kalau suami yang dipenjara sebelum mendiami bilik penjara telah meninggalkan harta yang cukup untuk menghidupi keluarganya saat dia dipenjara, tentu tak masalah. Tapi jika keadaan sebaliknya, tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi harus menunggu waktu yang tidak sedikit.
Dalam prakteknya, kita bisa melihat bahwa kasus-kasus dipidananya para petinggi serta selebrities tidak diikuti oleh perceraian. Tapi jika kita menengok ke bawah, bahwa banyak istri yang suaminya dipenjara, akhirnya harus memutus untuk bercerai, karena tidak kuat menanggung beban ekonomis. Bahkan perceraian diajukan, walau suami dipidana kurang dari 5 tahun, sehingga bukan pasal di atas yang menjadi alasan, tetapi alasan bahwa rumah tangga sering terjadiperselisihan dan pertengkaran yang sudah sulit diharapkan untuk rukun kembali sebagai suami istri.
PERCERAIAN TIDAK SERTA MERTA.
Dari beberapa gambaran di atas, bahwa tidak serta merta seorang suami atau seorang istri yang pasangannya mendapat hukuman 5 tahun atau lebih, langsung dalam status cerai. Artinya peraturan ini member pilihan, jika memang terjadi, maka pasangannya bisa mengajukan perceraian, jika tidak juga tidak msalah. Perkawinan dapat tetap dibina walau dari ruang yang berbeda, satu di balik terali besi yang satu dari rumah kediaman bersama.
Andai memang pasangannya sudah tidak bisa mempertahankan rumah tangga, baik karena tidak mampu menanggung beban ekonomi atau penyebab yang lain, maka jika ingin mengajukan perceraian ke pengadilan,tetap dengan prosedur seperti mengajukan perceraian dengan alasan yang lain, hanya dalam posita gugatannya disebutkan tentang suami-istri telah mendapat hukuman penjara sekian tahun dimana putusan tersebut sudah berkekuatan hokum tetap. Jangan lupa juga melampirkan salinan putusan sebagai alat bukti.
Dalam pemeriksaan pun, hakim sudah tidak memerlukan saksi lagi, karena cukup dengan alat bukti salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tadi, sudah cukup bagi hakim bahwa alasan perceraian sebagaimana yang dimaksud pasal 19 huruf (c) sudah terpenuhi.
ALASAN YANG HARUS DITINJAU KEMBALI.
Dengan perkembangan zaman, dan dengan semakin sempurnanya Undang-Undang tentang Pemasyarakatan (UU No 12 Tahun 1995), rasanya alasan ini perlu ditinjau kembali. Karena jangan sampai mereka yang berada di balik terali besi harus menanggung beban baru lagi,jika pasangannya mengajukan perceraian.
Melihat Undang-Undang ini, sebenarnya, alasan ini perlu ditinjau, karena seorang narapidana pun mempunyai hak cuti untuk mengunjungi keluarga (pasal 14 ayat (1) huruf j), sehingga kebutuhan biologis (jika memang bisa disebutkan begitu) dapat terpenuhi, juga masalah ekonomi, seorang narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat ditinggal mendekam di balik penjara.
Menurut saya, undang-undang ini memang masih cukup efektif, jika masalah pidana umum, dimana korbannya adalah kerabat istri atau suami. Sehingga ada rasa sakit hati yang dalam, sehingga untuk meneruskan rumah tangga adalah hal yang sulit. Hal ini bisa kita kiaskan dalam hokum Islam, dimana seorang ahli waris tidak berhak mendapat warisan dari pewaris, jika ahli waris tersebut membunuh pewaris.

Tidak ada komentar: