Rabu, 12 Januari 2011

PERLUKAH PERJANJIAN PERKAWINAN?



Dengan semakin meningkat angka perceraian, maka ini menunjukkan semakin banyaknya persoalan yang dihadapi suami-istri, sehingga harus mengakhiri perkawinan tersebut dengan perceraian. Tentang sebab perceraian, begitu banyak hal bisa menjadi penyebab, bisa karena ekonomi yang kurang, hubungan dengan pihak ketiga, atau hal-hal yang lain yang tentunya sebanyak jumlah perceraian.
Dampak yang muncul akibat perceraian, selain anak, ada juga masalah harta bersama (gono-gini) yang didapatkan pada masa perkawinan. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika sebelum melangsungsungkan perkawinan diadakan perjanjian perkawinan. Pertanyaan yang muncul kemudian, perlukah perjanjian perkawinan itu?
Perjanjian perkawinan atau istilah lainnya adalah pre-nuptial agreement, adalah perjanjian yang dilaksanakan sebelum terjadinya perkawinan. Undang-undang perkawinan kita (UU No 1 Tahun 1974) mengatur hal tersebut dalam pasal 29. Dalam membuat perjanjian perkawinan , tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, hukum dan agama.
Perjanjian ini dibuat sebelum pelaksanaan perkawinan dan harus disahkan oleh pejabat pencatat nikah. Perjanjian ini menurut KUH Perdata, tidak bisa dirubah selama perkawinan tetapi menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan ini bisa dirubah selama perkawinan bisa dirubah selama tidak merugikan pihak ketiga.
PERJANJIAN PRA NIKAH BUKANLAH HAL YANG TABU.
Selama ini walau UU Perkawinan sudah berusia puluhan tahun, tapi masih sedikit calon-calon pengantin yang melakukan perjajian tersebut. Stigma yang ada, bahwa kesan yang muncul adalah jika melakukan perjanjian perkawinan, adalah materialis, belum membina rumah tangga, sudah berpikir tentang harta.
Dengan kesan yang muncul ini, menyebabkan banyak yang tidak melakukannya, padahal kelak di kemudian hari begitu banyak perkara gugatan harta gono-gini yang ada di persidangan. Ini menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya komitmen tentang cinta, tetapi juga komitmen financial .
Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena selama ini jika memang perjanjian pra perkawinan banyak yang memuat hanya masalah pemisahan pendapatan atau harta. Padahal bukan hanya itu saja, banyak hal yang bisa dituangkan dalam perjanjian perkawinan.
HAL-HAL YANG UMUMNYA DIMASUKKAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN:
Pemisahan harta.
Inilah yang paling banyak dimuat dalam pejanjian perkawinan. Dalam perjanjian tersebut, dibuat perjanjian apa-apa saja yang menjadi harta suami dan apa-apa yang menjadi harta istri. Dengan demikian,suami atau istri mempunyai hak dan kewajiban mengelola masing-masing harta .

Dalam perjanjian tersebut, selain disebutkan harta yang sudah dimiliki sebelum perkawinan, juga disebutkan bahwa harta-harta yang dimiliki oleh suami atau istri yang didapatkan dari penghasilan masing-masing adalah milik suamiistri sendiri-sendiri.

Pemisahan Penghasilan.
Sesuai undang-undang, pendapatan yang didapat dalam perkawinan adalah merupakan harta bersama. Tetapi jika dilakukan perjanjian, maka harta atau pendapat yang dihasilkan dalam perkawinan merupakan hak milik sendiri. Pendapatan suami adalah milik suami, pendapat istri menjadi milikistri.

Dengan perjanjian ini, maka ikatan perkawina tidak akan menghasilkan harta gono-gini. Semua pembelian harta, kepemilikannya sesuai dengan siapa pembelinya. Misalnya jika tanah dibeli oleh suami, maka kepemilikan tanah tersebut atas nama suami. Demikian sebaliknya. Ini berbeda jika tidak ada perjanjian perkawinan, maka walau harta tersebut dibeli oleh suami, istri tetap memiliki harta tersebut, demikian juga, walau harta tersebut diatasnamakan istri, tetapi kepemilikannya adalah milik suami.

Kewajiban-kewajiban dalam perkawinan;
Umumnya, jika tidak terjadi perjanjian perkawinan, maka harta antara suami dan istri menjadi harta bersama dimana penggunaannya untuk kepentingan bersama kelauarga. Tetapi jika memang menginginkan perjanjian perkawinan, maka bisa dirumuskan bahwa kewajiban suami misalnya untuk keperluan pendidikan asuransi, kesehatan dan pendidikan serta rekreasi. Sedangkan kewajiban istri untuk mencukupi kebutuhan makan dan pakaian anggota keluarga.

Pencegahan terhadap KDRT.
Penanggulangan KDRT ternyata bisa masuk dalam perjanjian pra nikah. Dalam perjanjian ini, suami istri sepakat untuk tidak melakukan tindak pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagai telah diatur dalam UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga inti maupun terhadap orang – orang yang bekerja dalam rumah yang merupakan tempat kediaman dan/atau tinggal dari kedua belah pihak;

Azas Monogami.
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, maka dalam perjanjian perkawinan juga dapat disebutkan komitmen untuk tidak melakukan poligami bagi suami. Atau bisa diperjanjikan, misalnya dalam kurun waktu tertentu jika perkawinan belum menghasilkan keturunan yang disebabkan oleh ketidakmampuan isri, maka istri akan mengijinkan suami untuk berisitri lagi dengan sarat tertentu.

Masih banyak lagi yang bisa dimasukkan dalam perjanjian perkawinan, bukan hanya semata masalah kebendaan. Selama perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar kepentingan umum, kesusilaan, hokum dan agama sebagaimana dimaksud pasal 29 UU No 1 Tahun 1974 ttg Perkawinan.


MANFAAT PERJANJIAN PERKAWINAN.
Karena persepsi masyarakat kita masih menabukan perjanjian perkawinan, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan kebendaan, kuatir dikira bersifat matrealis.maka kesempatan untuk membuat perjanjian pra nikah diabaikan. Masyarakat belum melihat manfaat bahwa dengan membuat perjanjian perkawinan, bisa meminimalisir konflik yang mungkin terjadi antara suami istri.

Bukan hanya itu dalam hal-hal keperdataan, misalnya suami hendak mengajukan kredit, maka istri tidak oleh pihak bank tidak akan dilibatkan, karena sesuai dengan perjanjian perkawinan, penghasilan suami tersebut adalah merupakan milik suami. Sehingga baik hutang maupun piutang yang dimiliki suami, merupakan hak sepenuhnya suami.

Selama ini, banyak perjanjian perkawinan, hanya dilakukan oleh orang-orang kaya atau seorang duda yang memiliki harta dan anak dengan janda atau gadis yang memiliki anak. Dunda dan janda tersebut kuatir akan relasi anak-anak bawaan serta harta bawaan mereka kelak bermasalah, maka sebelum melangsungkan perkawinan, antara mereka dibuatlah perjanjian perkawinan.

Dari uraian di atas, kembali kepada kita, apakah perjanjian pranikah merupakan pilihan yang sebaiknya dilakukan, atau tak perlu dilakukan. Yang terpenting bahwa kita harus mulai menghapus anggapan bahwa perjanjian perkawinan hanya berisi tentang masalah harta dan kebendaan, tapi juga bisa masalah yang lain. Semua berpulang pada kita untuk memilih yang mana, karena hidup merupakan pilihan.

Salam,
Bantul 12 Januari 2011
Lily Ahmad