Kamis, 30 April 2009

DUA "KARTINI" DIPERDAYA "KARTONO" DI HARI KARTINI

Harusnya hari Kartini ini, kita para wanita berbahagia. Kebebasan untuk berperan sudah sangat terbuka. Kesetaraan gender sudah semakin nyata di hadapan kita. Akses wanita sudah tidak tertutup lagi.

Tapi sayang...tepat di hari Kartini, kita dihadapkan pada kisah dua "Kartini" yang harus menjadi korban atas perilaku Kartono (kita sebut demikian untuk suami Kartini). Kenapa kita sebut "korban"? Yah...karena pada hari Kartini ini, "Kartini" kita ini harus dihadapkan pada pilihan bahwa suaminya mengajukan poligami pada saat usia sudah senja (pensiun).

Ceritanya.... Kartono kita kali ini berusia 61 tahun,(pensiunan PNS) berencana poligami dengan seorang calon istri "Kartini muda" berusia 41 tahun yang sudah berhubungan dengannya selama 9 tahun dan telah dikaruniai anak berusia 7 tahun. Sementara Kartono ini tentu punya istri "Kartini tua" yang berusia 59 tahun, yang juga sudah pensiun dari PNS.

Dengan kasus ini, apakah kita bisa menyatakan bahwa "Kartini muda" kita kali ini berbahagia karena sekian lama menunggu kepastian hubungan mereka? Satu sisi bisa kita katakan "ya" bahwa dalam penantian selama 9 tahun ini akhirnya akan berujung pada sebuah ikatan resmi. Walau anak yang dihasilkan dari relasi Kartono dan "Kartini Muda" ini sudah berusia 7 tahun. Tapi di sisi lain, pengorbanan yang diberikan oleh "Kartini Muda" kita ini tidaklah kecil.

Andai kita tarik waktu kebelakang, sembilan tahun yang lalu, saat "Kartini Muda" 32 tahun, terjalinlah hubungan tersebut dengan Kartono yang berusia 52 tahun. Hubungan yang rasanya "di luar nalar", seorang wanita yang cukup potensial, harus masuk dalam perangkap laki-laki yang layak menjadi bapaknya. Tanpa membela "Kartini Muda" kita ini, tapi yang pasti ada hal-hal tertentu yang dilakukan oleh Kartono ini sehingga "Kartini Muda" terbujuk rayuan dan masuk dalam perangkap Kartono yang beda usia 20 tahun darinya.

Kita tak ingin menghakimi hubungan mereka, kita hanya coba mengatakan bahwa pada dasarnya "Kartini Muda" kita ini, sadar atau tidak sadar telah menjadi korban dari Kartono. Pengorbanan yang selama ini dilakukan bukanlah pengorbanan yang kecil. Bahkan bukan hanya "Kartini Muda" yang berkorban, tapi anak yang kini berusia 7 tahun ini telah menjadi korban ketiadaan ikatan resmi dari orang tua mereka.

Lalu, gimana dengan "Kartini Tua", apa pengorbanan karena telah diperdaya "Kartono"? Sepertinya kita tak perlu banyak mengulas, karena dengan jelas-jelas kita sudah bisa menyatakan bahwa ketika Kartono baru menjalin hubungan "kartini Muda" Saat itulah Kartini Tua mulai mengalami hal-hal yang sangat tidak menyenangkan dalam hidupnya. (Mungkin) setelah 9 tahun Kartini Tua kita ini mulai merasa lelah dan akhirnya harus mengalah, demi seorang Kartono yang telah memperdayakannya sekian lama.

Toh, di usia senja ini, dengan anak-anak yang beringsut dewasa, "Kartini Tua" ini sudah sampai pada titik toleransi yang tertinggi, yaitu mengizinkan Kartono ini menikah lagi dengan Kartini yang lebih muda.

Ah...Kasihan...pada saat kita memperingati hari Kartini, ternyata masih banyak "Kartini-Kartini" sekarang masih diperdaya "Kartono". Moga-moga tahun denpan, saat kita memperingati hari Kartini, tak ada lagi "Kartini" yang terperdaya... Amien.........

Kamis, 23 April 2009

MAKAN MALAM "PENEBUS DOSA".


Tentu setiap ibu selalu menginginkan kebersamaan dengan anak-anak. Setiap berjalannya waktu, setia menemani mereka dalam tiap gerak langkah. Menemani mereka belajar, ibadah, main dan seluruh aktifitas keseharian anak-anak kita.
Tapi ini tentu akan sangat sulit dilakukan oleh ibu-ibu yang sebagian waktunya untuk bekerja di luar rumah. Walau tentu semua terjadwal, kadang karena pekerjaan yang menumpuk, kita harus melewati batas waktu itu.

Nah jika sudah melewati batas waktu tadi, misalnya pulang rumah biasanya jam 4 sore, tapi kemudian karena kesibukan di kantor menyebabkan lewat waktu, maka yang ada dalam hati adalah kerinduan untuk segera pulang rumah dan berkumpul bersama anak-anak.

Jam kantor saya masuk jam 7.30 dan pulang jam 16.00. Saya tinggalkan rumah jam 7 pagi, saat anak-anak sudah berangkat sekolah, ini jika tidak mengantar mereka ke sekolah. Jika mengantar sekolah, maka tinggalkan rumah 5.30 pagi. Jadipagi masih sempat bersama mereka. Kemudian saat makan siang, saya usahakan pulang rumah. Dan menunggu mereka pulang sekolah. Ini jika bukan jadwal saya menjemput. Jika jadwal menjemput, maka saya dari kantor akan langsung ke sekolah menjemput mereka.

Setelah siang ketemu, entah menunggu di rumah atau sama-sama dalam perjalanana mengantarkan pulang sekolah, saya harus kembali ke kantor untuk mengerjakan tugas. Dan berharap jam 4 sore tugas sudah selesai dan kembali ke rumah bersama anak-anak.Tapi nyatanya, belum tentu setiap hari bisa seperti itu. Kadang pulang melebihi waktu.

Dan jika pulang sudah malam, dan disambut anak-anak dengan wajah loyo dan kusut, apalagi kemudian mereka belum makan malam karena makanan di rumah kurang selera, maka langsung deh saya mengajak mereka makan sesuai dengan keinginan dan selra mereka. Jadilah makan malam ini disebut makan malam penebus dosa. Dosa karena rasa bersalah karena pulang terlalu malam sehingga makan malam anak-anak terlantar.Bagi anak-anak ini tentu menyenangkan, karena mereka bisa memilih apapun yang diinginkan.

Selasa, 21 April 2009

PERKAWINAN DINI ADALAH MASALAH KITA BERSAMA

A. PENDAHULUAN

“Bu, pokoknya saya harus menikah”, kata Fulan di hadapan persidangan.

“Kenapa kamu mau menikah dengan Fulanah yang masih anak-anak?” majelis hakim mencoba menanyakan apa keinginan Fulan menikah dengan anak di bawah umur.

“Saya ingin ke Sumatera, bekerja di perkebunan. Dan saya ingin menikah dengan Fulanah supaya ada yang mengurus kehidupan saya” jawab Fulan atas pertanyaan hakim.

Di atas adalah sekilas tanya jawab antara majelis hakim dengan sebutlah Fulan yang masih di bawah umur untuk menikah dengan Fulanah yang juga masih di bawah umur. Betapa ironisnya karena pernikahan hanya ditujukan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik, dimana justru ada kecendrungan eksploitasi tenaga terhadap anak-anak dibawah umur. Dan pernikahan adalah dijadikan legalitas atas pelanggaran eksploitasi tenaga anak-anak tersebut.

Selain masalah eksploitasi tenaga, sebenarnya pernikahan dini juga mempunyai banyak dimensi yang melatarbelakangi, antara lain pergaulan yang terlalu bebas sehingga menyebabkan perempuannya hamil, pemahaman keagamaan, dan ekonomi sebagaimana kasus akhir-akhir ini banyak ditampilkan di televisi pernikahan syech Puji dan Ulfa.

Kesemua faktor tersebut mempunyai implikasi, baik dalam rentang waktu sesaat bahkan pada waktu yang panjang. Bahkan secara ekstrim kita bisa katakan bahwa pernikahan dini merupakan lingkaran setan yang membuat kita selalu diliputi masalah. Untuk itu kita memerlukan satu terobosan agar kita bisa keluar dari lingkaran setan tersebut dan membangun peradaban yang menjanjikan, sehingga akan lahir generasi-generasi yang

B. PENGERTIAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG.

Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , mendefinisikan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam penjelasan pasal 1 tersebut menyebutkan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohaniaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menyebutkan: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dari kedua definisi tersebut, ada satu kesatuan pemahaman antara perkawinan dan pernikahan. Keduanya menyiratkan bahwa dalam perkawinan bukan hanya ikatan fisik antara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan horisontal. Tetapi perkawinan juga mempunyai dimensi horisontal, sebagai ikatan yang disaksikan bahkan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena perkawinan bukanlah perbuatan yang ringan, maka pelaksanaannyapun bukan hal yang mudah.

C. PERKAWINAN BAGI ANAK DI BAWAH UMUR.

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan:

“Perkawinan hanya diizinkan” jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA):

“Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas, ada “ketidaksepahaman” antara UU Perkawinan dan UU Perindungan Anak, tentang yang dinamakan anak. UU Perkawinan walau tidak secara tegas-tegas mendefinisikan batas usia anak, tetapi UU Perkawinan menyiratkan bahwa usia anak- anak adalah untuk perempuan adalah di bawah 16 tahun, sedangkan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Sedangkan UUPA tanpa membedakan jenis kelamin, menyebut dengan tegas-tegas bahwa anak adalah di bawah usia 18 tahun. Masalah kemudian muncul jika seorang anak laki-laki berusia 18 tahun hendak menikah.Menurut UUPA anak tersebut dikatagorikan dewasa, tetapi UU Perkawinan anak laki-laki yang berusia 18 tahun masih harus mengajukan permohonan dispensasi kawin.

Sampai saat ini, jika ini terjadi, maka khusus di Bantul, pihak KUA tetap memberlakukan UU Perkawinan, dimana anak laki-laki tersebut tetap harus mengajukan permohonan dispensasi kawin.

D. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI

Dari banyak kasus pernikahan dini yang terjadi di Bantul, umumnya disebabkan karena:

1. Faktor Pendidikan.

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.

Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.

Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun (syukur jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun), maka akan punya dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka pernikahan dini.

2. Faktor Pemahaman Agama.

Saya menyebutkan ini sebagai pemahaman agama, karena ini bukanlah sebagai doktrin. Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelishakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak yang saling sms dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.

3. Faktor telah melakukan hubungan biologis.

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua, saya menganggap ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak kita sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.

4. Hamil sebelum menikah

Ini saya pisahkan dari faktor penyebab di atas, karena jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.

Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin.

Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan (baca; kehamilan).

E. DAMPAK DARI PERNIKAHAN DINI.

Dampak dari pernikahan dini bukan hanya dari dampak kesehatan, dimana pernikahan di bawah umur pada anak perempuan mempunyai penyumbang terbesar terhadap kanker serviks. Tetapi punya dampak juga terhadap kelangsungan perkawinan.

Perkawinan yang tidak didasari persiapan yang matang, mempunyai dampak pada terjadinya perceraian. Banyak sekali perkawinan-perkawinan ini harus berakhir kembali ke pengadilan dalam waktu yang tidak lama setelah perkawinan, untuk perkara yang berbeda yaitu perceraian.

Di samping itu, perkawinan ini juga menjadi semacam efek domino, dimana dari pernikahan dini, dimana orang tua tersebut tidak menyadari dampak dari pernikahan dini tersebut, kemudian tidak member pemahaman atau menyalurkan dampak dari pernikahan ini kepada turunannya, akan juga menghasilkan anak-anak yang akhirya juga melaksanakan perkawinan dini.

Kesadaran orang tua itu baru muncul saat anak-anak telah menghadapi masalah,yang kemudian mengharuskan mengajukan perkara sebagamana dirinya juga pernah mengalami. Tapi apa hendak di kata, penyesalan muncul pasti di belakang peristiwa.

Ini mengibaratkan, jika pola ini tidak kita redam, hanya menghaslkan “lingkaran setan”, dimana harus segera kita hentikan dan keluar dari lingkaran tersebut untuk membentuk tatanan yang baru.

F. ANAK ADALAH TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Anak-anak,bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau,tapi bukan dirimu.
Meskipun mereka ada bersamamu,tapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu,tapi bukan pikiranmu.
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka,tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok yang tak dapat engkau kunjungi,


Meskipun dalam mimpi.
Engkau bisa jadi mereka,tapi jangan coba-coba menjadikan mereka,
Seperti engkau.
Karena hidup bukan berjalan mundur.
Dan tidak pula berada di masa lalu.........(KhalilGhibran)

Puisi indah dari Khalil Gibran ini menggambarkan sosok anak.Bahwa anak adalah lahir dari kita tetapi bukan milik kita. Mereka milik masa depan mereka, tapi kita sebagai orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan mereka.

Puisi ini mempunyai pesan yang sama dengan UUPA pasal 26 tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Dan secara khusus pula pasal 26 huruf (c) menyebutkan bahwa: “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.

Tapi kehidupan anak bukan semata hanya di lingkungan keluarga, tapi anak juga punya lingkungan sekolah dan masyarakat. Maka seyogyanya anak-anak menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menghantarkannya ke masa depan yang baik.

Dengan demikian, sudah saatnya kita menyatukan persepsi bahwa bukan hanya orang tua yang berkeajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, tetapi hal tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama.

Dan jika persepsi ini bisa kita bangun bersama, maka optimisme untuk membangun generasi yang cemerlang tentulah sebagai keniscayaan.

G. ANGKA PERMOHONAN DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA BANTUL.

Angka permohonan dispensasi kawin di PA Bantul bisa menjadi barometer angka pernikahan dini di wilayah Bantul. Karena pihak KUA tidak akan menikahkan calon pengantin jika persyaratan uur belum terpenuhi.

Angka-angka permohonan itu dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan.

No

Tahun

Jumlah

%

1

2005

25 perkara

-

2

2006

37 perkara

67.5%

3

2007

52 perkara

71.1%

4

2008

70 perkara

74.2 %

Dan sampai bulan Maret 2009 Perkara Dispensasi Kawin sudah pada 23 perkara. Jika ini kwartal pertama, maka bisa diasumsikan sampai akhir tahun perkara bisa sampai di angka 92 perkara. Hal ini berarti kenaikan menjadi 76 %. Dengan kenaikan sangat tinggi, tak menutup kemungkinan pada tahun 2010 perkara dispensasi kawin akan sampai di angka melebihi 100 anak.

Angka ini jauh melebihi angka perkara dispensasi kawin dari daerah lain. Pengadilan Agama Makassar yang berada di kota besar, angka permohonan dispensasi kawin setiap tahunnya tidak melebihi angka 10 perkara. Begitu juga kabupaten-kabupaten lain, angkatidak setinggi di kabupaten Bantul.

Indikasi dari angka ini bisa menunjukkan bahwa pihak KUA betul-betul taat pada aturan dengan tidak mau “kompromi” dengan umur calon pengantin, maka angka yang kita dapatkan adalah betul-betul angka riil pernikahan dini yang terjadi di masyarakat. Tetapi sebaliknya, jika masih ada pihak KUA yang mau “kompromi”, maka angka yag ada hanyalah sebuah gunung es. Dimana yang terjadi di masyarakat jauh melebihi permohonan dispensasi kawin yang ada di Pengadilan Agama Bantul.

H. HAKIM BUKANLAH PEJABAT PENGETOK PALU.

Sengaja masalah ini saya kemukakan, karena dalam praktek sehari-hari hakim ketika diajukan perkara permohonan dispensasikawin menghadapi masalah yag sangat dilematis.

Satu sisi sebagai lembaga yudikatif,harus menegakkan hukum. Tetapi di sisi lain terbentur dengan fakta: “mau tak mau harus menikah” (baca: hamil terlebih dahulu). Jika ini yang terjadi maka hakim cenderung berpedoman pada adagium: “mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan”.

Konsekuesi dari sikap hakim ini akhirnya cenderung dimanfaatkan sebagian masyarakat, untuk melakukan hubungan biologis yang menyebabkan hamil, dan kemudian mengajukan dispensasi ke pengadilan. Tentu hal ini sangat disayangkan. Tetapi di sisi lain masyarakat juga “mengecap” bahwa proses di pengadilan adalah hanyalah formalitas administratratif. Dan stigma ini tentu tidak benar, karena di kuartal akhir permohonan dispensasi kawin ada 3 perkara yang ditolak oleh pengadilan, salah satunya perkara yang terjadi di awal makalah ini.

I. SOLUSI PENYELESAIAN MASALAH.

Dari uraian-uraian di atas, dengan angka-angka perkawinan dini yang begitu besar, maka sudah selayaknya kita semua berbuat untuk menahan laju peningkatan pernikahan dini di wilayah Bantul.

Ada beberapa alternatif yang paling mudah dan murah, yaitu:

1. Penyuluhan Hukum.

Peyuluhan hukum utamanya ditujukan kepada orang tua dan anak-anak. Dan kepada anak-anak bentuknya bukan seperti seminar yang membosankan, tetapi melalui permainan yang lebih keratif dan komunikatif. Sehingga pesan dari penyuluhan hukum ini bisa sampai.

Dalam penyuluhan hukum, juga menggabungkan dengan aspekaspek kesehatan dan psikologis jika terjadi pernikahan dini. Dengan penyuluhan maka, akan tumbuh kesadaran masyarakat untuk menikah di usia matang.

2. Pemanfaata lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Berkembangnya lembaga kemasyarakatan sebagai kader dan corong pembangunan,tentu bisa juga turut mengembangkan kesadaran hukum khususnya kesadaran masyaraat untuk menikah di usia matang.

Lembaga-lembaga yang selama ini telah berhasil menggiatkan masyarakat dalam berbagai sektor, juga bisa kita minta peran sertanya untuk membangun kesadaran akan pentingnya menikah di usia matang.

Model peran serta lembaga kemasyarakatan tentu harus disiapkan secara matang, lagi-lagi bukan semacam pelajaran di kelas, yang urang bisa berdampak. Tetapi mungkin berbentuk “simulasi”sehingga memudahkan masyarakat memahami dari program tersebut.

3. ” Membuat gerakan bersama: “Menikah di usia matang

Ini hal yang paling sulit jika dilakukan secara bersama. Tetapi menjadi mudah dan ringan jika dimulai dari lingkup terkecil. Dari diri sendiri, dari lingkungan keluarga kecil,dari lingkungan keluarga yang lebih luas hingga tentu meyebar.

Hal ini tentu dimulai dengan rasa tanggung jawab diri, menjadi tanggung jawab bersama, bahwa hal yang besar tentu dimulai dari hal yang kecil. .

Yk, 15 April 2008

Senin, 20 April 2009

Penyuluhan Hukum pada Kartini-Kartini Bantul

Baru sehari masuk kantor, sudah diminta pak Ketua untuk mewakili beliau di acara memperingati hari Kartini yang diselenggarakan Gabungan Organisasi Wanita Bantul.Acara yag diisi dengan penyuluhan hukum mengenai hukum keluarga. Saya mencoba mengelak dengan menyatakan bahwa saya besok ada sidang, tapi tetap pak Ketua meminta saya untuk hadir mewakili beliau dan sidang akan digantikan teman hakim yang lain.

Karena ini perintah dan juga berkaitan dengan tugas pokok hakim, maka tugas ini saya ambil. Dengan harapan bisa menyelami sampai dimana tokoh-tokoh wanita bisa menyerap UU yang berkaitan dengan masalah keluarga. Apalagi yang juga menjadi panelis adalah teman-teman dari Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri.

Di bawah ini, beberapa catatan hal-hal yang paling menarik di perbicangkan ibu-ibu saat

PERNIKAHAN DINI JADI TOPIK MENARIK

Pernikahan syeh Puji dan Ulfa seakan-akan menjadi “maskot” ketika ibu-ibu berbicara tentang masalah pernikahan dini. Semua rata-rata menghujat syeh Puji, orang tua Ulfa dan istri syeh Puji. Hampir semua menuduh di balik pernikahan dini tersebut, tersembul motivasi ekonomi yang sangat kental.

Saya sangat memahami kegeraman ibu-ibu ini. Tapi saya juga mencoba mengalihan kegeraman ibu-ibu dari kegeraman pernikahan dini syeh Puji ke 70 (tujuh puluh) pernikahan dini yang terjadi di tahun 2008 di wilayah Bantul. Ibu-ibu akhirnya tersadar dan terhenyak. Apalagi dari tahun ke tahun angka pernikahan dini di PA Bantul meloncak di sekitar angka 70% setiap tahunnya. Peningkatan yang sangat signifikan.

Sayangnya rata-rata ibu-ibu ini walau banyak tahu penyebabnya, tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan paling-paling jika ini terjadi di sekitar mereka, justru menjadi “gosip” yang menarik untuk diperbincangkan antar tetangga, bukan dicarikan solusi yang terbaik. Dan tentu kita tidak bisa meminta ibu-ibu ini memberikan solusi yang paling baik.

Tetapi ketika saya menawarkan solusi pemberdayaan lembaga perempuan yang sudah merasuk sampai desa, ibu-ibu seakan mengangguk, dan mudah-mudahan anggukan itu adalah tanda setuju. Walau tentu ini menjadi tambahan beban kerja bagi ibu-ibu kader kelembagaan perempuan tersebut.

MONOGAMI YES, POLIGAMI NO.

Ternyata doktrin monogami betul-betul telah merasuk dalam benak perempuan sampai ke ibu-ibu pedesaan. Poligami sudah menjadi semacam momok yang menakutkan, yang semestinya dihindari. Ibu-ibu yang hadir sudah merasa sudah cukup puas dengan syarat-syarat untuk diajukan poligami. Mereka menganggap syarat tersebut sangat sulit untuk bisa meluluskan seorang suami untuk mengajukan ijin poligami di pengadilan.

Andai saya membawa angka jumlah perkara poligami yang terjadi mungkin ibu-ibu ini juga akan sama terhenyaknya dengan ketika angka pernikahan dini disodorkan. Dan tentu jika ibu-ibu ini tahu bahwa banyak sekali ijin poligami dikabulkan hanya cukup dengan alasan fakultatif saja, tanpa satupun alasan alternatif disodorkan, sudah cukup bagi hakim untuk mengijinkan permohonan poligami dari seorang suami. Syukurnya dari peserta tidak ada yang ahli hukum, jika ada tentu ada yang protes dan meminta diadakannya “eksaminasi”atas putusan-putusan hakim yang mengijinkan poligami. (heeem....)

Ratarata mereka menginginkan satu suami, satu istri. Dan jika memang ada poligami, harus diperbolehkan juga poliandri cletukan salah satu peserta yang direspon dengan senyum-senyum penuh makna oleh ibu-ibu yang lain.

PENCEGAHAN – PEMBATALAN PERKAWINAN

Banyak peserta yang tidak mengetahui adanya perkara tentang pencegahan-pembatalan perkawinan. Hal ini berkaitan ketika ada peserta yang menanyakan kasus anak tetangganya yang menikah tanpa seijin orang tuanya. Orang tua melarang tetapi kenyataannya anak tesebut bisa menikah dengan orang yang tidak direstui oeh orang tua tersebut.

Pada dasarnya setiap perkawinan itu mesti seizin orang tua. Jika orang tua tidak mengijinkan kemudian tidak bersedia menjadi wali (khusus anak perempuan), maka anak tersebut bisa mengajukan permohonan wali adhol, dan meminta pengadilan agama menunjuk wali hakim (dalam hal ini KUA). Pada saat pemeriksaan perara ii, orang tua anak gadis tersebut tentu dipanggil untuk didengar kesaksiannya. Tetapi jika orang tua tersebut enggan datang, maka hakim berpendapat bahwa orang tua tersebut melepaskan haknya untuk memberikan jawaban, dstnya. Biasanya jika alasan anak serta bukti yang diajukan sudah cukup mendukung, akan hakim akan mengabulkan permohonan anak wanita tersebut dan menyatakan bahwa wai anak tersebut adhol. Kemudian hakim akan menunjuk wali hakim dari KUA tempat perkawinan tersebut akan dicatatkan. Atas putusan ini, orang tua masih mempunyai upaya hukum lain.

Kasus lain, jika ada perkawinan, dimana orang tua mengetahui anaknya sedang proses pernikahan, dan orang tua anak tersebut tidak menginginkan pernikahan tersebut terjadi, maka orang tua tersebut dapat mengajukan pencegahan perkawinan di pengadilan. Dengan adanya proses perkara ini, maka pihak KUA akan menghentikan sementara proses menuju perkawinan, sampai adanya putusan pengadilan tentang perkara ini. Apakah pencegahan perkawinan tersebut dikabulkan atau ditolak. Jika pencegahan dikabulkan, maka KUA akan menghentikan proses perkawinan, tetapi jika pencegahan ditolak,maka KUA akan melanjutkan proses perkawinan.

Andai pun perkawinan telah dilaksanakan, baru keluarga mengetahui, maka keluarga (orag tua) dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Tentu dengan alasan-alasan telah dilanggarnya syarat-syarat perkawinan.

Dari sekian retetan jenis perkara, “menyadarkan” wanita bahwa hukum perkawinan kita sudah cukup mencakup banyak hal. Bukan hanya usia perkawinan, tapi sapai pada pembatalan perkawinan.

Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang timbul dalam pertanyaan ibu-ibu, yang kesemuanya mencerminkan bahwa walau UU Perkawinan telah berusia 25 tahun, tapi belum semua masyarakat memahaminya. Apalagi UU Perlindungan Anak serta UU Pencegahan KDRT sebenarnya sudah sebagai pengantar, tapi mungkin karena belum banyak yang “ngeh” hingga masih sedikit yag mengangkat masalah-masalah pelanggaran kedua UU tersebut. Ini tentu sebagai cambuk bagi kami para justice bahwa tugas kami membangun kondisi masyarakat melek hukum adaah tugas berat. UU yang telah berusia seperempat abad saja masih tersendat apalagi UU yang masih berusia 5 tahun.

Semoga dengan kondisi pemda Bantul yang sangat mendukung program-program penyadaran hukum pada masyarakat, membuat semakin banyak masyarakat Bantul yang melek hukum. Amien..............

Minggu, 19 April 2009

Dua pertemuan dengan sahabat lama dalam satu minggu

Kita memang tak bisa menyangka apa yang terjadi satu menit kemudian. Apa yag kita rencanakan, bisa gagal, demikian juga apa yang tidak kita rencanakan, ternyata bisa kita alami.
Seperti yang terjadi dalam minggu ini dengan tanpa rencana, Yuni datang, dan kita bertemu, walau hanya sesaat, tapi itu sudah cukup melegakan.

Kika: (Ilham,Yuni,Fatra,Lily dan Caysa)
(makan siang sejenak di jejamuran)

Yang lebih di luar rencana adalah pertemuan dengan teman-teman angkatan '87 UII. Ceritanya, sehari sebelumnya saya mencoba mengabari teman-teman angkatan'87 UII yang ada di Yogya bahwa sahabat kami Afiatin Sholikhah telah berpulang ke rahmatullah karena sakit kanker. Berita saya ini direspon teman-teman, akhirnya timbulah niat kita untuk bertakziyah ke rumah ibunda Afi.

Alhamdulillah, walau hanya lewat tepon, akhirnya kita bisa kumpul. Ada beberapa teman yang ingin gabung, tapi karena acaranya mendadak, mereka kesulitan waktu. Ahasil dari pertemuan ini.kita berharap komunitas kami angkatan"87 bisa terjalin hubungan yang lebih erat.

Ah...ternyata setelah berpisah selama 17 tahun, kami masih seperti dulu, walau sekarang dengan profesi masing-masing. Bravo angk"87 FH UII. Walau kita sekarang berbeda profesi, ada yang menjadi dosen, lawywr, hakim, notaris dan pengusaha, tapi keakraban itu tetap ada.



Foto bersama di kampus


(Mulyadi, Buchary,Lily,Dewi dan Oni)


(Dengan dosen Hukum Perdata, pak Soeyitno yang masih seperti dulu
berlaku sederhana, dengan menggunakan sepeda ontel ke kampus)

(Depan kampus sambil menunggu teman-teman berkumpul)

Senin, 13 April 2009

KAUKUS DALAM MEDIASI

Ini dia......hari pertama langsung ada mediasi!!! Perkara yang dimediasikan adalah perkara waris. Pertama saya baca gugatanya, ah.....rasanya cukup mudah, tidak pelik. Terbetik dalam pikiran saya adalah rasa optimisme, andai ilmu dari megamendung diterapkan, Insya Allah perkara ini bisa selesai dengan ada kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tapi ternyata setelah mediasi dimulai, tak semudah yang dibayangkan, dead lock!!! semua kekeh pada pendirian. Maka saya harus melakukan kaukus.

Apa itu Kaukus?Kaukus adalah pertemuan terpisah antara pihak-pihak dengan mediator. Dengan kaukus, persoalan yang dead lock, diharapkan ada titik temunya. Karena dengan kaukus, pihak-pihak lebih leluasa untuk menyatakan pendapat, karena pada saat "kaukus" pihak lawan tidak hadir dan mendengar pembicaraan. Pada saat kaukus, pihak yang mengadakan pertemuan, juga bisa secara terbuka mengungkapkan "kepentingan yang tersembunyi", sehingga lebih mudah mediator mendorong pihak-pihak untuk menemukan solusi pemecahan dari mereka.

Walaupun demikian,kita tak bisa berharap banyak dengan kaukus sebagai penyelesaian kebuntuan. Karena bisa saja pada saat kaukus, pihak-pihak tetap "kekeh" sebagaimana pendirian yang diungkapkan pada joint meeting. Oleh karena itu, dalam kaukus peran mediator untuk membuka kesadaraan "riil" bahwa penyelesaian lewat hukum bukanlah penyelesaian yang paling adil. Karena dalam putusan hakim, dalam proses peradilan, sering sekali kita mendengar pepatah: kalah jadi arang menang jadi abu". Itu semua karena sangat jarang sebuah keputusan hukum bisa diterima sebagai "putusan yang adil", bagi para pihak. Maka senyatanya suatu putusan yang adil adalah putusan yang datang dari pihak yang bersengketa, dan diterima sebagai putusan atau kesepakatan bersama.

Dan untuk semua itu, diperlukan "kerelaan" masing-masing pihak untuk mengendurkan otot keegoan,sehingga bisa menempuh jalan kompromi. Dan dari kompromi tersebut bisa menghasilkan suatu putusan yang berciri: win win solution. Umumnya jika mediator bisa menghantarkan pihak-pihak pada kesadaran "win-win solution", maka jalannya mediasi akan lebih mudah. Dan kaukus yang dilakukan akan bisa menghasilkan solusi penyelesaian sengketa yang bisa diterima, sehingga pada akhirnya bisa sama-sama sampai pada kesepakatan bersama.

Lalu kelemahan kaukus itu apa? Satu-satunya kelemahan kaukus adalah memerlukan proses waktu yang lebih lama. Tapi ini tentu tak banyak berarti jika dibandingkan putusan yang dihasilkan mengarah pada perdamaian. Selama-lamanya proses kaukus, tentu lebih lama proses litigasi dalam persidangan yang membutuhkan waktu, tenaga yang lebih lama. Karena dalam proses persidangan, masa pembuktian bukanlah masa yang sebentar, tetapi sangat lama.

Alhasil, kaukus memang merupakan salah satu proses yang membantu penyelesaian sengketa. Tetapi kaukus juga tidak bernilai apa-apa, jika kita tidak bisa mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyadari bahwa penyelesaian yang terbaik dalam sengketa itu datangnya dari pihak yang bersengketa.




Minggu, 12 April 2009

Saat Ujian Sertifikasi Mediator



(Kika: Mahmud (hakim tinggi PTA Kupang),Syarkowi (hakim tinggi PTA Banjarmasin),Lily (hakim PA Bantul) Zulekh0 (hakim tinggi PTA Pontianak) Rosliani (hakim PA Padang), Harmala Harahap(hakim PA Medan))


Ternyata belum cukup dengan menggontorkan ilmu-ilmu tentang mediasi, esq, outbond serta rule play, untuk mendapatkan sertifikat mediator kami masih harus diuji dulu. Pengujinya bukan dari Mahkamah Agug, tetapi dari IICT, yang konon tidak kompromi dalam memberi nilai. Semua harus minim bertenger di angka 7.

Maka sehari sebelum ujian, kami betul-betul harus berlatih. Bukan hanya materi yang tentunya sudah banyak dikuasai dengan pelajaran selama berhari-hari. Tapi waktu yang disediakan tidak boleh dilewati. Maka temanpun, dengan "skenario" sengketa yang telah dibagikan, mulai latihan dengan ganti-ganti peran. Sebagai Mediator hakim, sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat.

Kami diberi waktu hanya 15 menit untuk bisa menyelesaiakan simulasi mediator. Mulai dari persiapan sampai pada nota kesepahaman. Nilai tertinggi pada Tahap awal mediasi, dimana seorang mediator harus memulai dengan memperkenalkan diri, kemudian diikuti oleh pihak-pihak. Setelah itu, mediator juga harus menerangkan tentang pengertian mediasi, tentang sifat-sifat mediasi. Mediator juga wajib meneragkan tentang kaukus. Setelah itu mediator akan membuat aturan dalam mediasi, dimana ini semua harus atas kesepakatan pihak-pihak, dll. (Secara teknis, moga-moga di tulisan tersendiri).

Yang pasti kesemua ini harus dipersiapkan,sehingga pada saatnya ujian, kami siap tempur. Tapi namanya ujian, walaupun telah dipersiapkan, tiba saatnya semua sedikit panik. Dan untuk menghilagkan kepanikan, maka diisi dengan foto-foto sebagai kenangan saat pelatihan.

Sabtu, 11 April 2009

SAATNYA WANITA PNS "BOLEH" MENJADI ISTRI KEDUA.


Sejak tulisan tentang wanita PNS menjadi istri kedua pernah saya tulis, ada beberapa email yang masuk ke saya. Rata-rata merasa bahwa ada ketidakadilan dari PP No 45 tahun 1980 tersebut. Ada yang merasa pasrah tapi ada juga yang ingin berontak, tetapi tidak mengetahui harus kemana suara pemberontakan ini diteriakkan.

Pada dasarnya saya juga tidak sepakat dengan PP ini, bukan karena saya mendukung wanita PNS untuk berpoligami, tapi saya melihat ada unsur diskriminasi dan pelanggaran hak azasi pada wanita PNS dengan terbitnya PP ini. Pertanyaan mendasar adalah;"apa bedanya wanita PNS dengan wanita non PNS khususnya hak untuk menikah?"

Sudah saatnya PP ini direvisi kembali. Wanita PNS dan non PNS mempunyai hak yang sama untuk mempunyai keluarga, yang salah satu caranya mungkin menjadi istri kedua. Andai suruh memilih, tentu semua wanita ingin menikah dengan jalan yang lapang, tanpa terelenggu dengan berbagai syarat dan peraturan yang mengikat bahkan cenderung menjerat hak azasi sebagai wanita, yaitu hak menikah dan dinikahi.

Tanpa bermaksud merendahkan wanita yang non PNS, saya ingin mencoba mengulas sosok wanita PNS dibanding Non PNS jika menjadi istri kedua. Ini semua semata-mata hanya ingin menyatakan bahwa betapa "piciknya" PP ini, PP yang telah mengkerdilkan hak seorang wanita PNS untuk menjadi istri kedua.

WANITA PNS MEMPUNYAI GAJI YANG PASTI SETIAP BULAN.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa yang namanya PNS itu (walau konon sedikit) tetapi setiap bulannya pasti menerima gaji. Dan gaji yang diterima PNS ini nyaris tidak pernah dipotong oleh ketidakhadiran si PNS di kantor.

Dengan pendapatan yang pasti,yang diterima wanita PNS, tentu sudah bisa menjamin hidupnya. Sehingga kalaupun si wanita PNS tadi menjadi istri kedua, keberadaan dirinya tidak sepenuhnya menjadi beban bagi calon suaminya. Artinya, hakimpun tidak akan terlalu berpikir terlalu dalam jika seorang suami mengajukan izin poligami dengan calon istri yang PNS.

Dengan pendapatan yang "pasti" tadi, tentu dalam persepsi hakim, wanita PNS ini bisa menghidupi dirinya, walau tentu kewajiban memberi nafkah ada pada suami. Selama ini, setiap ada perkara ijin poligami, hakim cenderung "berhitung" dengan pendapatan suami dengan istri dan anaknya yang ada serta kemungkinan jika menikah lagi. Misalnya seorang suami dengan penghasilan 5 juta setiap bulan, mempunyai 2 orang anak. Kemudian suami tersebut mengajukan poligami, maka hakim akan cenderung berhitung, 5 juta dibagi dengan jumlah keluarga (4 orang), maka tiap bulan rata-rata mendapat 1.250 ribu. Jika kemudian si suami menikah lagi dan mempunyai 1 orang anak lagi, maka rata-rata setiap orang adalah 900 rb.
Cukup dan layakkah setiap orang dengan 900 rb? Ini yang kadang menjadi pertimbangan hakim untuk menolak atau diterimanya permohonan ijin poligami.

Maka jika calon istri keduanya adalah PNS, maka tentu asumsi hakim tadi bahwa wanita PNS ini telah mampu menghidupi diri sendiri.Karena paling tidak gaji terendah seorang PNS adalah sebanding dengan UMR. Sehingga hitung-hitungan tidak sejlimet tadi. Karena tanpa dibiayai calon suamipun si wanita PNS bisa menghidupi diri sendiri.

2. WANITA PNS ADALAH ORANG BERPENDIDIKAN.
Untuk saat ini, menjadi PNS paling tidak ijazah terendah adalah SLTA, bahkan sekarang tak jarang menerima di strata 2. Dan tentu ada juga wanita-wanita PNS ada di dalamnya.

Kita tentu berharap semakin tinggi pendidikan seseorang, berbanding lurus dengan kedewasaan dan kematangannya dalam melihat dan menghadapi persoalan. Termasuk juga menentukan pilihan menjadi istri kedua. Wanita PNS kita ini tentu bukanlah sosok "Siti Nurbaya" yang hanya mengikut kehendak orang tua untuk menikah dengan Datuk Maringgih. Tetapi ketika seorang wanita PNS ini bersedia untuk menjadi istri kedua, semuanya telah dilalui dengan memperimbangkan masak-masak resiko menjadi istri kedua, dsbnya.

Bagi seorang hakim, tingkat pendidikan adalah "alat bantu" untuk menerangkan posisi istri kedua. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin ringan tugas hakim untuk menyadarkan hak dan kewajiban calon istri kedua. Maka jika seorang wanita PNS yang notabenenya berpendidikan, maka justru ini membantu hakim untuk memutus perkara ijin poligami yang diajukan calon suaminya.

Dari dua hal yang rasanya sangat substantif ini, sudah saatnya pemerintah mereview kembali PP 45 tahun 1980. Kembalikan hak wanita PNS kepada hak kodratinya. Sudah saatnya pemerintah melepas belenggu rezim lama dalam penerbitan PP ini. Di alam reformasi ini, kita lepaskan juga peraturan-peraturan yang tidak reformis, bahkan cenderung pelanggaran terhadap hak azasi manusia.

Tulisan ini bukan sebagai wujud dukungan saya terhadap poligami, tetapi semata-mata kegelisahan saya terhadap peraturan yang melanggar hak azasi manusia. Biarlah wanita dengan haknya, biarlah jka wanita PNS ingin menjadi istri kedua. Aturlah syaratnya, tapi jangan langgar hak azasinya.

Mari kita sama-sama mencoba menggemakan hak wanita PNS, bahwa wanita PNS juga punya hak sebagaimana wanita bukan PNS, yaitu hak untuk menikah. Dan kalaupun harus menjadi istri kedua, itu tentu bukan pilihan. Tapi jangan larang jika itu telah menjadi kodrat yang harus dijalani.Ayo wanita PNS, silahkan ajukan judicial review agar PP ini dicabut.

Bertamu di Gang Jambu




Selama ini, yang namanya "rumah hijau gang Jambu", hanya bagian dari komunitas di blog. Walau tentunya penghuninya bukanlah orang asing. Tapi walau dekat di hati, tapi belum juga "terjamah". Maka malam pertama sejak turun dari megamendung, tujuan utamanya adalah gang jambu.

Dengan berbekal kenekatan, dan dengan harapan penghuninya masih ada yang bangun, maka kita bertandang di waktu yang sangat tidak wajar, tentu dengan resiko rumah sudah tertutup rapat. Ah...tak apa-apa, karena yakin banget di gang jambu gak ada tulisan "awas anjing galak". Setelah mengetok rumah melebihi 3 kali yang "ditoleransi" nabi, akhirnya malam itu kita harus berbalik arah meninggalkan pintu pagar gang jambu yang tertutup rapat.

Ternyata, walau harapan tipis untuk bisa bertandang pada kunjungan kali ini, e.......selepas berkunjung ke rumah mama wati di Bekasi, sempat juga mampir di gang jambu. Ini saya katakan mampir, karena saya belum merasakan suguhan nyonya rumah sebagaimana teman-teman yang datang ke gang jambu. Moga-moga besok lain waktu, walau hanya dengan ceplok telur, bisa juga merasakan suguhan nyonya rumah. Ok Yun...terima kasih atas keramahtamahanmu selama ini ya say....

Kamis, 09 April 2009

Out Bond.......!!!! Asyik...asyik.....!!


Persiapan sebelum out bond
"Opung" Lumban yang tetap gagah
Ternyata di antara agenda pelatihan mediator, ada juga out bond. Wah...pasti mengasyikkan!! Maka sejak pagi hari semua peserta sudah siap tempur. Dengan pakaian olahraga, semua siapkan mental dan fisik untuk 'refreshing".

Dan setelah dibagi berbagai "suku", yang terdiri dari berbagai warna (biru,putih,salem,kuning, hijau, dll) saya gabung dengan kelompok coklat. Langsung terpilih ketua regu pak Abdan, dengan pertimbangan pernah menjadi menwa semasa kuliah.

Pak Ma'mur hakim tinggi PTA Malut ini, doa sebelum menjatuhkan diri adalah: "allahmu janibna syaithona....." alaa pak.....!!!! Untung gak jatuh di luar area teman-teman.
Permainan pertama, adalah "menjatuhkan diri" dari ketinggian. Maka pilihan yang menjatuhkan diri adalah pak Ma'mur. Dengan postur tubuh yang kecil dan ringan, tentu sangat tidak memberatkan teman-teman yang akan menerima di bawah.
Maka dengan ikrar: " Saya Ma'mur, akan menjatuhkan diri, apakah teman-teman siap" maka jatuhlah pak Ma'mur yang hakim tinggi PTA Maluku Utara itu.

Sayangnya....jatuh dirinya pak Ma'mur tidak lurus badan, yang membuat permainan ini menjadi lucu. Gimana mau lurus, mau menjatuhkan diri doanya malah" "allahuma janibna syaithona..." ah!!!! macam-macam aja bapak kita ini.hati-hati dong.....awaaaaasssss!!!!! bisa tumpah nih!!!

Beranjak dari permainan ini, kita mencoba permainan "mengisi air" dengan cara berputar-putar. Khusus yang ini, perlu kehati-hatian dan kerjasama yang erat. Karena sekali kita lalai, maka air yang berada di tengah akan tumpah semuanya. Asyiknya permainan ini adalah maju mundurnya. Ketika ambil air sementara air ada de belakang kita, maka kita harus mundur dan teman-teman harus mengikuti dengan hati-hati.

Komentar kang Anang: "waduh....seperti ini ya kalau ibu-ibu hamil", hehe.... kang...kang apa hubungannya ngisi air dengan ibu-ibu hamil. Tapi rupanya kang Anang kita ini membayangkan ibu-ibu yang keberatan membawa kehamilan, seperti pemain outbond yang keberatan menjaga air di hadapannya biar tidak tumpah.



siap-siap ikuti perintah komandan ya!!!!

Main teklek ternyata bukan hanya permainan anak-anak. Termasuk outbond kali ini. Dengan mata yang tertutup gelap, hanya dikomandani seorang maka teman-teman harus melewatiberbagai halang rintang. Lumayan...beberapa halang rintang bisa terlewati dengan mulus

awaas...ada buaya darat...eh...maksudnya buaya fasilitator!!!
sampan-sampan diselamatkan!!
Setelah itu kita beralih ke permainan "River dark". Dimana kita harus menyeberangi air dengan lima lembar sampan. Dimana setiap sampan harus terisi. Karena kalau tidak terisi, maka buaya akan tidak segan-segan merampas sampan kita. Untuk kali ini, yang kena korban adalah pak Jumhari, yang harus membawa sampan ke ujung seberang untuk menjemput teman-teman yang lain. Hehe.....baru terasa capeknya setelah semua tiba di ujung seberang.


Pak Tatang kok senyum-senyum...gak merasakan susahnya
naik-turun, kanan-kiri ya????

Maju lagi.....naik...turun...kanan dikit, kiri lagi....
ah.....!!! gagal maning-gagal maning, hehe.
Kalau permainan 17 agustus-an kita main memasukkan paku sendiri, maka kali ini dengan beberapa orang, kita harus bisa memasukkan ujung paku. Waaah....jangan ditanya betapa sulitnya!!! Pak Abdan sang komandan yang ternyata lemah lembut sulit mengarahkan teman-teman. Nanti saya yang agak keras dengan komando: Naik-Turun-Kanan-Kiri, (hehe...) baru deh paku bisa masuk. Ini semua setelah tinggal beberapa detik waktu yang tersedia hampir habis. Ah...ternyata untuk urusan gol laki-laki masih kalah dengan perempuan ya pak Abdan?


Dengan sabarnya kang Anang menunggu bola bisa masuk, ternyata..
semua gatol!!! alias gagal total.

Itu siapa yang bertapa di ujung????
Hati-hati...obat serumnya bisa kena ranjau dan listrik tegangan tinggi!!!

Pak Jumhari, mejeng atau membantu ya???

Fathurrahman yang selalu tersenyum...
Ayo pak kumis, eh....pak ALi, masukkinnya pelan-pelan,...biar gak salah masuk!!!

Ini nih permainan yang tak kalah seru. Pasukan membawa obat, yang tak boleh kena ranjau. Maka dengan taktik jitu kelompok coklat, maka obat didistribusikan dengan sistem estafet. Alhasil, obat bisa sampai di ujung dengan selamat. Pak Ali Fikri (pak Kumis) yang berada di ujung tombak, dengan lihainya memasukkan kelereng-kelereng kecil itu dengan tepat sasaran. Untuk tembak menembak, rupanya pak Kumis kita ini memang paling jagonya. Lihat kumisnya aja musuh-musuh sudah pada lari semuanya.


Kapan lagi bisa "menggendong" ibu-ibu, kecuali untuk menerobos sarang laba-laba ini. Maka diaturlah taktik, bagaimana ibu-ibu bisa melewati sarang laba-laba, diangkat oleh bapak-bapak tanpa menyentuh daerah terlarang, hehe... Saya yang ukuran big size, memilih menerobos sarang yang paling bawah, sehingga tanpa pertolongan orang lainpun bisa menerobos. Dan ibu-ibu yang ukurannya "melayang" oleh teman-teman dibaringkan, sehingga bapak-bapak kita ini bisa aman dan tidak asal megang (hehe...). Alhamdulillah...sampai selesai permainan menyeberang laba-laba ini tak ada ibu-ibu yang mengadukan"pelecehan seksual" dari bapak-bapak kita ini. Maklum...sambil menggendong, bapak-bapak ini juga berzikir: "la Illaha IllaLLah...la Illaha Illalah"...



ayo dong...masukin airnya...biar bolanya bisa keluar....!!!


Haaaah.......main air???? jebur-jebur..... Sepertinya mudah. Tapi ternyata betapa sulitnya!! Maklum pralonnya penuh lobang!!! Seberapapun air yang masuk, kalah banyak dengan air yang keluar. Alhasil dengan sikap "tawdhu" bapak-bapak kita ini mengakui kekalahan tidak bisa mengeluarkan bola yang ada di dalam pralon. Sepertinya mudah...tapi tenaga yang keluar bukan sedikit, tapi ternyata bola tidak keluar-keluar pralon. Pasraaaaah..............!!!!!