Senin, 20 April 2009

Penyuluhan Hukum pada Kartini-Kartini Bantul

Baru sehari masuk kantor, sudah diminta pak Ketua untuk mewakili beliau di acara memperingati hari Kartini yang diselenggarakan Gabungan Organisasi Wanita Bantul.Acara yag diisi dengan penyuluhan hukum mengenai hukum keluarga. Saya mencoba mengelak dengan menyatakan bahwa saya besok ada sidang, tapi tetap pak Ketua meminta saya untuk hadir mewakili beliau dan sidang akan digantikan teman hakim yang lain.

Karena ini perintah dan juga berkaitan dengan tugas pokok hakim, maka tugas ini saya ambil. Dengan harapan bisa menyelami sampai dimana tokoh-tokoh wanita bisa menyerap UU yang berkaitan dengan masalah keluarga. Apalagi yang juga menjadi panelis adalah teman-teman dari Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri.

Di bawah ini, beberapa catatan hal-hal yang paling menarik di perbicangkan ibu-ibu saat

PERNIKAHAN DINI JADI TOPIK MENARIK

Pernikahan syeh Puji dan Ulfa seakan-akan menjadi “maskot” ketika ibu-ibu berbicara tentang masalah pernikahan dini. Semua rata-rata menghujat syeh Puji, orang tua Ulfa dan istri syeh Puji. Hampir semua menuduh di balik pernikahan dini tersebut, tersembul motivasi ekonomi yang sangat kental.

Saya sangat memahami kegeraman ibu-ibu ini. Tapi saya juga mencoba mengalihan kegeraman ibu-ibu dari kegeraman pernikahan dini syeh Puji ke 70 (tujuh puluh) pernikahan dini yang terjadi di tahun 2008 di wilayah Bantul. Ibu-ibu akhirnya tersadar dan terhenyak. Apalagi dari tahun ke tahun angka pernikahan dini di PA Bantul meloncak di sekitar angka 70% setiap tahunnya. Peningkatan yang sangat signifikan.

Sayangnya rata-rata ibu-ibu ini walau banyak tahu penyebabnya, tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan paling-paling jika ini terjadi di sekitar mereka, justru menjadi “gosip” yang menarik untuk diperbincangkan antar tetangga, bukan dicarikan solusi yang terbaik. Dan tentu kita tidak bisa meminta ibu-ibu ini memberikan solusi yang paling baik.

Tetapi ketika saya menawarkan solusi pemberdayaan lembaga perempuan yang sudah merasuk sampai desa, ibu-ibu seakan mengangguk, dan mudah-mudahan anggukan itu adalah tanda setuju. Walau tentu ini menjadi tambahan beban kerja bagi ibu-ibu kader kelembagaan perempuan tersebut.

MONOGAMI YES, POLIGAMI NO.

Ternyata doktrin monogami betul-betul telah merasuk dalam benak perempuan sampai ke ibu-ibu pedesaan. Poligami sudah menjadi semacam momok yang menakutkan, yang semestinya dihindari. Ibu-ibu yang hadir sudah merasa sudah cukup puas dengan syarat-syarat untuk diajukan poligami. Mereka menganggap syarat tersebut sangat sulit untuk bisa meluluskan seorang suami untuk mengajukan ijin poligami di pengadilan.

Andai saya membawa angka jumlah perkara poligami yang terjadi mungkin ibu-ibu ini juga akan sama terhenyaknya dengan ketika angka pernikahan dini disodorkan. Dan tentu jika ibu-ibu ini tahu bahwa banyak sekali ijin poligami dikabulkan hanya cukup dengan alasan fakultatif saja, tanpa satupun alasan alternatif disodorkan, sudah cukup bagi hakim untuk mengijinkan permohonan poligami dari seorang suami. Syukurnya dari peserta tidak ada yang ahli hukum, jika ada tentu ada yang protes dan meminta diadakannya “eksaminasi”atas putusan-putusan hakim yang mengijinkan poligami. (heeem....)

Ratarata mereka menginginkan satu suami, satu istri. Dan jika memang ada poligami, harus diperbolehkan juga poliandri cletukan salah satu peserta yang direspon dengan senyum-senyum penuh makna oleh ibu-ibu yang lain.

PENCEGAHAN – PEMBATALAN PERKAWINAN

Banyak peserta yang tidak mengetahui adanya perkara tentang pencegahan-pembatalan perkawinan. Hal ini berkaitan ketika ada peserta yang menanyakan kasus anak tetangganya yang menikah tanpa seijin orang tuanya. Orang tua melarang tetapi kenyataannya anak tesebut bisa menikah dengan orang yang tidak direstui oeh orang tua tersebut.

Pada dasarnya setiap perkawinan itu mesti seizin orang tua. Jika orang tua tidak mengijinkan kemudian tidak bersedia menjadi wali (khusus anak perempuan), maka anak tersebut bisa mengajukan permohonan wali adhol, dan meminta pengadilan agama menunjuk wali hakim (dalam hal ini KUA). Pada saat pemeriksaan perara ii, orang tua anak gadis tersebut tentu dipanggil untuk didengar kesaksiannya. Tetapi jika orang tua tersebut enggan datang, maka hakim berpendapat bahwa orang tua tersebut melepaskan haknya untuk memberikan jawaban, dstnya. Biasanya jika alasan anak serta bukti yang diajukan sudah cukup mendukung, akan hakim akan mengabulkan permohonan anak wanita tersebut dan menyatakan bahwa wai anak tersebut adhol. Kemudian hakim akan menunjuk wali hakim dari KUA tempat perkawinan tersebut akan dicatatkan. Atas putusan ini, orang tua masih mempunyai upaya hukum lain.

Kasus lain, jika ada perkawinan, dimana orang tua mengetahui anaknya sedang proses pernikahan, dan orang tua anak tersebut tidak menginginkan pernikahan tersebut terjadi, maka orang tua tersebut dapat mengajukan pencegahan perkawinan di pengadilan. Dengan adanya proses perkara ini, maka pihak KUA akan menghentikan sementara proses menuju perkawinan, sampai adanya putusan pengadilan tentang perkara ini. Apakah pencegahan perkawinan tersebut dikabulkan atau ditolak. Jika pencegahan dikabulkan, maka KUA akan menghentikan proses perkawinan, tetapi jika pencegahan ditolak,maka KUA akan melanjutkan proses perkawinan.

Andai pun perkawinan telah dilaksanakan, baru keluarga mengetahui, maka keluarga (orag tua) dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Tentu dengan alasan-alasan telah dilanggarnya syarat-syarat perkawinan.

Dari sekian retetan jenis perkara, “menyadarkan” wanita bahwa hukum perkawinan kita sudah cukup mencakup banyak hal. Bukan hanya usia perkawinan, tapi sapai pada pembatalan perkawinan.

Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang timbul dalam pertanyaan ibu-ibu, yang kesemuanya mencerminkan bahwa walau UU Perkawinan telah berusia 25 tahun, tapi belum semua masyarakat memahaminya. Apalagi UU Perlindungan Anak serta UU Pencegahan KDRT sebenarnya sudah sebagai pengantar, tapi mungkin karena belum banyak yang “ngeh” hingga masih sedikit yag mengangkat masalah-masalah pelanggaran kedua UU tersebut. Ini tentu sebagai cambuk bagi kami para justice bahwa tugas kami membangun kondisi masyarakat melek hukum adaah tugas berat. UU yang telah berusia seperempat abad saja masih tersendat apalagi UU yang masih berusia 5 tahun.

Semoga dengan kondisi pemda Bantul yang sangat mendukung program-program penyadaran hukum pada masyarakat, membuat semakin banyak masyarakat Bantul yang melek hukum. Amien..............

1 komentar:

Anonim mengatakan...

assalamualaikum bu..
saya ingin bertanya. saya berniat menikah tahun ini dan papa saya sudah meninggal. beliau anak tunggal dan memiliki 6 anak dari istri pertama dan 1 anak (saya) dari istri kedua.
saya sudah googling mengenai wali hakim. dan seharusnya kakak tiri lelaki yg paling tua yang akan menjadi wali di pernikahan saya. namun hubungan keluarga kami tidak baik. dulu sewaktu papa meninggal kakak tiri saya menyebutkan akan menyusahkan hari pernikahan kami. namun saran ibu saya untuk tetap menghubungi kakak saya agar mengabari kalau saya akan menikah. hingga saat ini saya sudah menghubungi kakak saya namun belum mengajukan apakah dia bisa jadi wali saya atau tidak. niat saya adalah meminta persetujuan dia agar menyerahkan tugas wali kepada wali hakim. supaya tidak ada hal buruk terjadi di hari pernikahan mengingat saya sudah booking semuanya dan ingin semuanya berjalan lancar. apakah boleh seperti ini dan bagaimana prosedurnya? surat apa yang harus saya siapkan?

terima kasih banyak
wassalam