Jumat, 26 Juni 2009

"Orgasme" Mediasi

Di blog lama saya, saya sempat menulis tentang "Orgasme Putusan", dimana ada kepuasan dari hakim (khususnya saya pribadi) jika suatu perkara yang sudah lama dan berlalut-larut dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi kemudian bisa diterima pihak-pihak yang berperkara dengan tidak mengajukan banding. Tentu ini perkara-perkara perdata.

Ternyata ada lagi rasa "orgasme" dari putusan, yaitu orgasme mediasi, dimana seorang mediator bisa menyelesaikan sengketa pihak-pihak, dimana kemudian sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan win-win solution hingga mediasi tersebut dinyatakan berhasil.
Jika ditilik dari rasa puasnya menjalankan tugas, tentu mediasi jauh lebih mencapai kepuasan tertinggi dibanding lputusan. Maksudnya, jika kita bisa menyelesaikan suatu sengketa dengan mediasi kemudian tercapai satu perdamaian, maka perasaan "puas" tadi melebihi rasa puas saat kita menjatuhkan putusan, dimana pihak-pihak bisa menerima putusan kita.

Mengapa demikian? Karena dalam mediasi, alternatif penyelesaian sengketa bukan ada di tangan mediator. Mediator hanya menjadi fasilitator demi tercapainya kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa. Mediator disini sama sekali tidak mempunyai kewenangan memutus sengketa. Beda dengan proses persidangan (litigasi) dimana penyelesaian sengketa adalah otoritas sepenuhnya oleh hakim. Orgasme kepuasan akan muncul saat pihak-pihak bisa menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum apapun.

Mengapa mediator merasa sangat puas dengan hasil mediasi yang dilakukan? Tentu...karena proses mediasi juga bukanlah proses yang mudah. Tahapan-tahapan yang dilalui cukup panjang diawali dengan sidang dimana pihak-pihak hadir dalam persidangan, kemudian kesepakatan memilih seorang mediator. Ini masih tidak terlalu menyita waktu dan pikiran, sampai pada tahapan awal mediasi yaitu perkenalan, membuat aturan tentang proses mediasi dan tahapan mengemukakan masalah.

Jika sudah selesai tahap awal, masuk pada perumusan masalah, ini baru mulai pada perasaan "mediasi yang sesungguhnya", karena sebagai mediator harus mengupayakan semaksimal mungkin akan tercapainya kesepakatan. Disini akan temui hal-hal yang bersifat emosional, kemarahan, caci maki, kegeraman, keegoan, kesombongan, akan banyak kita temui. Kalau seorang mediator tidak bisa mengolah emosi baik emosi diri sendiri, maupun emosi para pihak, maka tentu akan sulit mencapai titik temu.

Pada tahap ini, selain kemampuan komunikasi yang baik dari seorang mediator diperlukan, juga kemampuan komunikasi secara personal betul-betul harus dikuasai. Tetapi ini jangan sampai timbul kecurigaan pihak lawan akan adanya keberpihakan.Karena bisa-bisa dikira kita memihak pada pihak lawan, atau sebaliknya.

Selama ini saya juga merasa, bahwa kaukus (bertemu salah satu pihak) merupakan salah satu cara yang jitu jika menghadapi deadlock. Karena nyaris setiap mediasi, awalnya akan muncul seakan-akan perkara ini deadlock.Ini tentu sangat dimaklumi, karena nyaris setiap orang akan bertahan pada pendapatnya, akan bertahan pada posisinya. Dan dengan kaukus, sangat bisa membantu kita untuk mencairkan perkara yang seakan-akan tak bisa terselesaikan.

Betul kata teori mediasi yang saya dapatkan, bahwa kaukus bisa mengungkap kepentingan yang tersembunyi dari pihak-pihak. Dalam kaukus, sering muncul hal-hal yang belum terungkap pada saat joint meeting. Ini mungkin karena pihak-pihak merasa dalam kaukus, hubungannya dengan mediator bisa sangat persoanal, maka mereka cenderung lebih terbuka.

Ada salah satu perkara yang saya hadapi, ketika mediasi bersama-sama, semua "ngotot-ngototan", bertahan pada pendirian masing-masing, keukeuh tak mau berubah. Tapi ketika kaukus, emosi lebih lumer, bicara lebih santai dan mau sedikit membuka jalan kompromi.

Kemarin ada satu kasus harta bersama (gono-gini), entah bisa dikatakan mediasi berhasil atau tidak, tapi yang jelas mereka sama-sama menerima putusan hakim, tapi membuat kesepakatan damai, di luar putusan hakim. Lho kok bisa begitu??? Singkat cerita, ada satu perkara gono-gini, diajukan oleh mantan istri kedua kepada suami dan istri pertama. Dalam sidang pertama, majelis sudah meminta mediasi, tapi ternyata tidak ada kata kata damai, sehingga perkara tetap dilanjutkan. Dalam persidangan semua sama-sama keras, dan majelis akhirnya menjatuhkan putusan.

Setelah putusan dijatuhkan, pihak-pihak yang bersengketa baru menyadari bahwa ini tentu akan merugikan semua pihak. Akhirnya mereka sepakat untuk dilakukan mediasi sebelum perkara ini berkekuatan hukum tetap, sehingga jika mediasi gagal, para pihak bisa mengajukan banding yang waktunya hanya 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Akhirnya saya sebagai mediator harus kerja keras, setia hari nyaris mediasi. Pada tahap awal, nyaris seperti sebelum perkara ini dilanjutkan. Hari demi hari ada kemajuan dari mediasi. Pihak-pihak sudah mulai melumer, dan mulai membuka diri. Sampailah pada satu titik kesepakatan damai. Legaaaa....rasanya. Bukan hanya saya sebagai mediator yang lega, tapi pihak-pihak yang bersengketa juga lega. Pada saat kesepakatan perdamaian ditandatangani, mereka semua menangis dan menyadari bahwa "perebutan harta" bukan segala-galanya. Yang mereka jaga adalah silaturrahmi dan rasa kasih sayang yang pernah terbina.

Jika sudah sampai pada kesepakatan seperti di atas, disinilah yang saya istilahkan muncul perasaan kepuasan bagi seorang mediator, kepuasan "orgasme mediasi". Kita betul-betul lega, karena kerja keras yang dilakukan membawakan hasil. Hasil kesepakatan ini sifatnya final, dan nyaris tanpa eksekusi. Mereka bisa menerima dengan damai, dengan senyum dan tentu ini disebabkan karena terlepas beban yang ada.

Tentu sebagai mediator, menginginkan setiap mediasi yang dilakukan akan sampai pada tahap perdamaian, dan dinyatakan mediasi berhasil. Ini bukan hanya disebabkan janji PERMA No 1 Tahun 2008 bahwa setiap hakim yang berhasil akan mendapat reward, tetapi tentu juga karena kepuasan pihak-pihak yang damai adalah reward yang tak ternilai bagi seorang hakim mediator.

Semoga setiap mediasi yang kami lakukan bisa mencapai titik perdamaian, sehingga bisa merasakan "orgasme" dalam bermediasi dan tentunya kepuasan ketika melihat pihak-pihak berdamai. Indah dan damai rasanya!!!

Tidak ada komentar: