Biasanya, murid-murid satu perguruan, punya kecendrungan untuk melahirkan satu pemahaman. Kalaupun melenceng atau berbeda, "selisihnya" gak banyak-banyak amat.
Tapi ini berbeda antara saya dan Fatra saat menengok istri salah satu teman kami yang istrinya menjalani operasi pengangkatan rahim.
Teman kami ini sudah menikah selama 10 tahun, dan belum dikaruniai anak. Ternyata cobaan Allah bukan hanya sampai disitu, beberapa waktu lalu, dideteksi dalam rahim istrinya banyak miom yang sudah besar dan harus segera diangkat. Yang diangkat bukan hanya miomnya, tapi juga rahimnya. Maka pudarlah harapan pasangan ini untuk memiliki anak kandung.
Kecemasan yang umum melanda wanita adalah kekhawatiran jika kelak suaminya menikah lagi. Dan ini terjadi pada istri teman saya.Yang terbayang adalah, walau suaminya PNS, tapi jika jelas-jelas istrinya tidak bisa memberikan keturunan, maka "sudah pasti" suami akan melakukan poligami. Ini tentu mengakibatkan dirinya merasa termarginalkan sebagai istri yang gabuk, yang gak bisa punya anak.
Oleh Fatra (saat saya belum datang) dihibur dengan kalimat-kalimat yang membumbung. Bahwa alumni-alumni Pabelan adalah lelaki yang setia. Jadi jangan kuatir kalau kelak teman kami ini akan menikah lagi. Dan tentunya banyak kalimat-kalimat yang membuat istri teman kami ini terhibur.
Saya yang datang kemudian, dan tidak tahu apa yang telah diucapkan Fatra, tapi tetap saja "diwaduli" istri teman tadi. Ya....tentu berbeda dengan Fatra yang bisa "ngegombal". Saya cenderung apa adanya. Apalagi jika dilihat profesi istri teman tadi yang guru, tentu lebih nyaman kita bicara fakta, bicara logika daripada bicara rasa yang bisa terbang hanya ditiup angin.Hehe..
Saya akhirnya mengatakan, bahwa dalam UU,seorang suami yang istrinya tidak bisa melahirkan, memang dimungkinkan untuk poligami. Ekstrimnya anggaplah ini sebagai "Hak" dari suami ini. Tapi apakah semua hak pasti kita ambil??? Sebagai contohnya, kita di kantor dapat makan siang sebagai hak kita. Tapi apakah semua pegawai harus makan siang yang telah dijatahkan?? Tentu tidak, karena kita masih punya kebebasan untuk makan atau tidak makan siang jatah kantor tersebut.
Demikian juga "hak" poligami bagi laki-laki yang istrinya tidak bisa melahirkan anak. Bisa saja diambil atau bisa diabaikan. Makanya, sekarang tinggal tugas kita, bagaimana suami itu tidak melakukan poligami. Sebagaimana jika seorang pegawai tidak harus makan siang dengan jatah akan siang di kantornya.
Sahabat teman saya itu seperti masih terpaku pada "hak" laki-laki untuk berpoligami jika istrinya tak bisa melahirkan keturunan. Ah....rasanya saya harus bermain angka. Maka saya akhirnya berbicara tentang angka poligami. Saya hanya katakan kalau dari 10 perkara poligami yang saya tangani, maka hanya 2 orang yang beralasan ketiadaan turunan. Selebihnya nyaris karena memang faktor "nafsu" karena mempunyai hubungan dengan wanita lain.
Artinya hanya sedikit sekali alasan ketiadaan punya anak sebagai alasan perceraian. Bahkan sebenarnya angka 10 tadi terlalu besar. Mungkin hanya 5% perkara poligami yang diajukan di Pengadilan Agama dengan alasan ketiadaan turunan.
Cerita kedua sepertinya sudah lebih melegakan istri teman saya. Dan untuk lebih melegakan, maka saya menambah cerita tentang kasus "penetapan anak" (adopsi) yang baru sehari sebelumnya saya sidangkan. Saya ceritakan bahwa seorang laki-laki yang sejak awal menikah dengan wanita dimana wanita itu tidak ada harapan sama sekali akan melahirkan anak, karena memang ada kelainan dimana wanita ini tidak pernah haid selama hidupnya. Apakah ketika laki-laki ini akan menikah sudah terpikir baginya untuk berpoligami. Tentu tidak.
Saya menyadari betul, bahwa saya bukanlah tipe yang bisa "bermain kata", membuai dengan kalimat-kalimat yang melambung. Saya terbiasa realistis, saya tak ingin orang hanya terbuai dalam kalimat-kalimat yang terucap, tapi kemudian terhempas dalam realitas kemudian hari. Biarlah sejak awal kita mendidik orang untuk bisa menerima fakta, bahwa apa yang ada semua adalah keniscayaan. Tinggal bagaimana kita berusaha, sehingga keniscayaan yang kita hadapi adalah keniscayaan yang membahagiakan kita.
Saya tak bisa seperti Fatra yang dengan entengnya menjanjikan bahwa "lelaki Pabelan itu setia-setia". Saya tak berani berkata demikian, karena setia dan tidak setianya lelaki itu bukan karena Pabelan. Dan saya juga tahu diantara sekian lelaki Pabelan yang setia masih banyak yang juga berhianat. Inilah perbedaan saya dengan Fatra, walau kami dari satu "perguruan"tapi punya du bahasa untuk satu tujuan.
(ocehan setelah menengok istri sahabat kami Mantep Miharso di RS Sardjito. Semoga mbak Nurani tabah menghadapi ini semua, memiliki rahim bukanlah segala-galanya. Masih banyak yang bisa kita perbuat yang punya manfaat. Semoga cepat sembuh dan bisa menjadi ibu dari sekian ratus anak didik di Mts Wonogiri. Salut saya atas perjuangan mbak....)
2 komentar:
Setia...?! apakah setia itu...?! lihatlah dr.Anna episode 17 (WANITA YANG TERDUAKAN)
Setia...?! apakah setia itu...?! lihatlah dr.Anna episode 17 (WANITA YANG TERDUAKAN)
Posting Komentar