Usia ibu Suprapti ini baru 35 tahun, tapi harus menanggung beban yang cukup berat, yaitu anak lelakinya si Fulan yang baru berusia 17 tahun telah menghamili anak gadis Fulanah berusia 18 tahun. Otomatis si Fulan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan karena Fulan masih di bawah umur, maka harus mengajukan dispensasi kawin lewat pengadilan.
Tapi ternyata tak semudah itu....... dalam persidangan hakim memeriksa perkara ini cukup detil, termasuk menanyakan kepada Fulan, kapan hubungan seks itu dilakukan dan telah berapa kali. Dan dengan tegas Fulan mengaku bahwa itu dilakukan pada tanggal 24 Mei 2009, setelah ujian sekolah, dan hanya dilakukan sekali. Tetapi kemudian Fulan meralat bahwa yang benar 24 April 2009 dengan jumlah yang hanya sekali. Sedangkan usia kehamilan Fulanah, menurut Fulan sekitar 2 bulan.
Pada Fulanah hakim juga menanyakan hal yang sama. Dan dijawab juga dengan jawaban yang sama. Ketika ditanya berapa usia kehamilannya, dijawab oleh Fulanah, menurut dokter di puskesmas, kehamilan Fulanah adalah 4 bulan.
Hakim berkali-kali mencoba meminta pada Fulan maupun Fulanah untuk berkata jujur. Tapi semua tak bergeming dengan jawaban di atas. Padahal sebenarnya feeling hakim, bahwa Fulanah bukan hanya hamil 4 bulan, tapi lebih, karena melihat perut Fulanah yang sudah cukup besar. Tapi Fulanah tetap bersikukuh bahwa hanya melakukan hubungan seks dengan Fulan, itupun sekali, dan terakhir Fulanah menstruasi pada bulan April.
Akhirnya sidang diskors, majelis meminta pada Fulanah untuk melakukan usg di rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari pengadilan.
Betapa tercengangnya majelis ketika hasil usg diterima, ternyata kehamilan Fulanah sudah 24 minggu 3 hari. Dan diperkirakan bayinya lahir pada tanggal 28 September 2009.
Saat sidang dibuka kembali, hasil usg dibacakan, Fulanah masih masih "keukeuh" dengan usia kehamilannya, hubungan seksnya dan haid terakhirnya, majelis kemudian meminta Fulanah untuk berkata jujur karena jika Fulanah memberi keterangan palsu, maka ini mempunyai konsekuensi hukum.
Si Fulan, mendengar kemungkinan bahwa kehamilan Fulanah bukan dengannya, menjadi ragu dan tertunduk pasrah. Fulan tak menyangka sama sekali bahwa Fulanah sebenarnya telah hamil dengan laki-laki lain, baru melakukan hubungan seks dengannya.
Fulan rupanya cukup percaya dengan Fulanah, walau hanya berbekal hasil test kehamilan yang disodorkan Fulanah.
Setelah mendengarkan konsekuensi dari keterangan palsu yang diucapkan di pengadilan, Fulanah mulai luluh dan mau berkata jujur. Bahwa memang benar Fulanah hamil bukan dengan Fulan, tapi dengan 4 laki-laki lain, dan itu dilakukan sekitar bulan Januari lalu.
Baik orang tua Fulanah maupun Fulan tertunduk..... Mereka dalam keadaan sangat-sangat bingung. Akhirnya bapak Fulanah mengucap kata: "Saya pasrah..... apapun keputusan majelis hakim maupun keluarga Fulan".
Mendengar pernyataan ayah Fulanah, ibu Fulan menjawab: "Biarlah majelis hakim.... anak saya tetap saya mohon ijin untuk menikah dengan Fulanah, walau Fulanah hamil dengan orang lain". Fulan juga menambahkan: "Majelis hakim...tak apa-apa saya menikah dengan Fulanah, daripada masalah ini menjadi panjang",
Tentu majelis menolak keinginan Fulan,Fulanah maupun orang tua masing-masing. Karena agama melarang seorang laki-laki melarang menikahi wanita hamil. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, jelas jelas menyatakan bahwa seorang wanita hamil hanya boleh mengawini laki-laki yang menghamilinya. Sedangkan kasus kita kali ini, jelas-jelas Fulanah hamil dengan orang lain, bukan dengan Fulanah.
Majelis hanya menyarankan, jika niat baik Fulan itu untuk mengawini Fulanah, lakukanlah setelah Fulanah melahirkan. Ini tentu sudah tak ada larangan perkawinan. Jika sekarang, tentu tak boleh walaupun semua sama-sama ikhlas.
Saya teringat beberapa waktu lalu, dalam sebuah forum diskusi dengan pihak KUA, ternyata KUA sekarang ini memperlakukan "khusus" perkawinan-perkawinan yang disebabkan kehamilan. Menurut pihak KUA kecendrungan perkawinan karena kehamilan trend nya semakin naik. Tapi itu tidak menyurutkan tingkat kehati-hatian pihak KUA untuk membuktikan bahwa kehamilan ini memang akibat dengan lak-laki yang akan menjadi calon suaminya. Jika tidak maka KUA tidak segan-segan menolak permohonan pelaksanaan pernikahan tersebut.
Ocehan di atas, hanya sekedar refleksi bahwa walaupun perkara yang diajukan adalah dispensasi kawin untuk menikah dini (di bawah umur), tapi majelis juga harus cermat untuk memeriksa bahwa betulkah kehamilan itu dengan calon pasangannya. Dan ini rasanya bukan melampaui kewenangan pengadilan, karena tentunya ketika kita memutuskan mengijinkan perkawinan itu dilaksanakan, majelis juga harus yakin bahwa calon pasangannya adalah halal untuk dinikahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar