Kamis, 28 Mei 2009

ORANG KETIGA SEBAGAI "PEMICU" ALASAN PERCERAIAN.

Ini sekedar ocehan, tanpa analisis baik hukum yang memang bidang saya, apalagi analisis non hukumnya yang jauh dari keilmuan serta bidang kerja saya. Tapi semua ini sering saya hadapi, dan sekedar dalam tugas saya. Hanya tentunya ini tak bisa jadi pertimbangan hukum ketika kami memutus perkara, tapi tak bisa dipungkiri ini punya peran ketika semua mengajukan perkara perceraian.

Kenapa judul di atas yang saya ambil? Kenapa bukan: "Orang Ketiga Sebagai Penyebab Perceraian"? Karena posisi orang ketiga bukanlah sebagai penyebab perceraian, tapi orang ketiga tersebut punya andil yang cukup, sehingga keberanian dan kemauan untuk bercerai itu muncul.

Saya ingin angkat 2 kasus yang saya temui dalam minggu ini. Keduanya sangat menarik dan mungkin saja ini hanya sedikit contoh di antara sekian banyak perkara-perkara yang saya hadapi.

KASUS PERTAMA.
Jika dilihat wajahnya, tentu sangat jauh dari wajah bintang film terkenal. Wajah Suprapti kita kali ini betul-betul wajah lugu dan sangat bersahaja. Tak ada polesan pemulas bibir sedikitpun di bibirnya. Walaupun kulitnya sedikit putih, tapi harus dikatakan tidak terawat dan kusam. Hal ini tentu disebabkan karena tak tersentuh perawatan seperti di pusat perawatan kulit,tapi justru dipicu oleh setiap hari harus bekerja keras di tengah teriknya matahari.

Alkisah, dalam perjalanan perkawinannya dengan Suprapto yang sudah berjalan sekian lama tanpa membuahkan keturunan, membuat Suprapto akhirnya memutuskan untuk poligami. Keinginan Suprapto tersebut disetujui oleh Suprapti,sehingga poligamipun segera dilangsungkan.

Seiring berjalannya waktu, perhatian Suprapto terhadap Suprapti semakin berkurang. Pernyataan bahwa akan berlaku adil saat ijin poligami diajukan di Pengadilan seakan hanya angin lalu. Suprapti merasakan perlakuan Suprapto pada dirinya jauh dari nilai keadilan. Apalagi perkawinan Suprapto yang kedua kemudian membuahkan keturunan. Maka nyaris Suprapti merasakan termarginalkan dalam kehidupan Suprapto.

Waktu kunjung yang nyaris terabaikan, nafkah yang tak layak diterima Suprapti saat itu. Suprapto nyaris melalaikan seluruh kewajiban sebagai suami. Sehingga kehidupan mereka nyaris sudah tidak layak disebut sebagai keluarga. Alhasil, Suprapti merasa sendiri dan terabaikan, hal ini membuat Suprapti meminta ijin pada Suprapto untuk ke Sulawesi menjadi buruh. Bak gayung bersambut, Suprapto memberi uang Rp 150 untuk modal Suprapti ke Sulawsi. Jumlah dan sikap yang sangat jauh dari rasa tanggung jawab. Bagaimana perhitungan Suprapto sehingga merasa cukup dengan jumlah yang sangat kecil itu untuk biaya perjalanan ke Sulawesi. Belum lagi mengapa begitu teganya Suprapto mengijinkan istrinya untuk mencari sesuap nasi ke Sulawesi, halmana ini merupakan tanggungjawabnya.

Setelah beberapa tahun di Sulawesi, disana ternyata Suprapti bertemu dengan seorang laki-laki teman sekampungnya. Teman Suprapti ini sebutlah Suparto dapat memahami Suprapti dan menjadi teman berbagi Suprapti. Singkat cerita,dengan Suparto, Suprapti menemukan kedamaian lagi. Suparto telah membangkitkan gairah Suprapti, sehingga Suprapti melihat hari esoknya adalah harapan penuh kecerahan.

Segera setelah kemantapan hati untuk menikah kembali muncul, Suprapti dan Suparto pulang kampung (Bantul) untuk mengurus proses perceraian dengan Suprapto dengan Suprapti.Dengan harapan, Suparto (dalam hal ini orang ketiga) bisa mencerahkan hidup Suprapti kelak. Dan atas perceraian ini, Suprapto justru senang dan merasa berterima kasih pada Suparto, yang walau menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya, tapi justru menjadi pahlawan bagi dirinya maupun Suprapti. Kehadiran Suparto sebagai orang ketiga, telah memicu Suprapti untuk mengajukan perceraian.

KASUS KEDUA.
Kalau yang ini, kelasnya lebih di atas dari kasus pertama tadi. Tersebutlah Suprapti dan Suprapto, keduanya sama-sama dosen di dua perguruan tinggi swasta yang berbeda di Yogyakarta.Suprapti kali ini, berwajah cantik, kulit putih, dan berpenampilan chick. Maklum Suprapti ini adalah dosen di salah satu sekolah design di Yogya. Walau dalam penampilan make up yang tipis, dan tatanan ramput terurai dan sedikit dicat, kesemuanya merupakan penampilan yang sangat sempurna. Dalam usia yang menginjak 33 tahun, dan dengan anting kiri dan kanan yang berbeda, membuat penampilan Suprapti ini begitu menarikdan tak ada kesan mengada-ada.

Supraptonya pun demikian, suara yang berat dengan nada yang teratur serta penampilan yang rapi, menambah kesepurnaan dari sosok Suprapto yang dosen. Tatapan mata Suprapto, bukanlah tatapan mata kosong, dan bukan juga liar. Sehingga rasanya antara Suprapto dan Suprapti adalah pasangan yang sangat serasi.

Itu adalah penilaian kita dari luar, tapi siapa nyana, di dalam bungkus luar penampilan mereka tersimpan suatu persoalan yang berat yang membuat mereka harus datang ke pengadilan untuk meminta pengadilan memutus tali ikatan perkawinan tersebut.

Apa penyebabnya? Ini karena Suprapto telah menjalin hubungan dengan wanita lain, yaitu Suparti yang juga teman dosen satu perguruan Suprapto. Wanita ini yang menyebabkan perkawinan yang telah berusia 9 tahun harus kandas, dengan korban 2 orang anak dari perkawinan Suprapto-Suprapti tersebut.

Alkisah, dalam kurun 7 tahun perkawinan, dan baru dikaruniai seorang anak, Suprapti sudah mensinyalir bahwa Suprapto telah menjalin hubungan dengan Suparti. Hal ini dikarenakan Suprapto sering pulang terlambat, serta Suprapti mendapatkan sms-sms mesra antara Suprapto dan Suparti. Ini membuat masalah dan kemudian Suprapto berjanji untuk mengakhiri hubungan dengan Suparti tersebut.

Sayangnya menurut Suprapto, selang 2 minggu sejak kesepakatan tersebut tercapai, sikap Suprapti tetap saja mencurigai Suparto. Dengan sindiran-sindiran halus maupun ucapan-ucapan lugas dari Suprapti membuat Suparto tidak nyaman. Padahal nyata-nyata Suprapto telah mengakhiri hubungan dengan Suparti tadi. Keadaan diperparah dengan ikut campurnya kakak serta orang tua dari Suprapti.

Kehadiran keluarga justru memperuncing suasana, yang berakibat 3 tahun yang lalu mereka harus berpisah, karena orang tua serta kakak Suprapti menjemput Suprapti dari rumah bersama mereka. Selang seminggu kemudian, saat mereka akan berunding kembali, Suprapti baru menyadari bahwa ternyata Suprapti hamil anak kedua.

Walau Suprapti dalam keadaan hamil dan telah datang baik-baik kepada Suprapto untuk mencari jalan penyelesaian kemelut rumah tangganya, ternyata Suprapto tak bergeming. Suprapto tetap menganggap bahwa keikutserataan keluarga Suprapti yang membuat rumah tangga mereka menjadi hancur berantakan. Tapi di sisi lain, Suprapto pun tetap menjalin hubungan dengan Suparti.

Tak terasa, 3 tahun berlalu. Anak terkecil sudah berusia 2 tahun lebih, mereka masih terpisah. Walau di sela-sela waktu Suprapto masih menengok anak-anak yang diasuh oleh Suprapti, tapi hubungan mereka tidak menjadi lebih baik. Suprapti telah memaafkan Suprapto, Suprapti sudah bisa menerima dan memaafkan hubungan Suprapto dengan Suparti, tapi ternyata Suprapto tetap tak bergeming.

Akhirnya, demi sebuah kepastian, Suprapti mengajukan gugatan perceraian.Dan dengan urai airmata, Suprapti menuturkan, bahwa jika Suprapto ingin kembali, dengan tangan terbuka dan hati yang ikhlas Suprapti bisa menerima ini suami. Suprapti sudah tidak memikirkan Suparti.

Tapi ini pendapat Suprapti, beda dengan Suprapti. Suprapto juga menyadari bahwa sikapnya untuk tidak bisa kembali dengan Suprapti,karena ada kehadiran Suparti. Andai Suparti tidak ada dalam hidupnya, maka langkah untuk lebih mendekati Suprapti akan sangat ringan. Tapi kenyataan berbicara lain, Suparti telah menjadi pemicu baginya untuk mengakhiri perkawinan dengan Suprapti.

Apa yang bisa kita ambil intisari dari kedua kasus tadi, khususnya adanya orang ketiga dalam perkawinan?
1. Kedua kasus,menempatkan orang ketiga sebagai pemicu terjadinya keinginan untu bercerai.
2. Bahwa kasus pertama, orang ketiga sebagai sosok yang positif, baik bagi Suprapti maupun bagi Suprapto. Orang ketiga adalah penyelamat hidup Suprapti, tapi juga sebagai "pahlawan" bagi Suprapto yang telah melalaikan kewajiban Suprapto sebagai suami.
3. Pada kasus kedua, orang ketiga betul-betul menjadi pemicu masalah. Semua berakar daripadanya. Andai dia tak hadir, tentu masalah ini takkan terjadi.

Alhasil,apakah kita akan selalu menghujat kehadiran orang ketiga? Mungkin jika kasus kedua, kita punya kata sepakat untuk itu. Tapi jika kasus pertama, rasanya kita masih bisa saling berbeda pendapat. Tapi mungkin ada yang bisa kita sepakati dari dua kasus di atas, bahwa orang ketiga sebagai pemicu alasan perceraian. Bukan begitu???

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Apa ada pasal dalam KUHP atau RKUHP dan Hukum Islam mengenai ORANG KETIGA yang memicu perceraian dapat di pidanakan?