Minggu ini sepertinya saya dibanjiri oleh perkara poligami. Bukan hanya dalam persidangan, tetapi juga dalam tugas di luar persidangan. Beberapa hari lalu, saya mendapat disposisi dari Ketua PA Bantul untuk membimbing mahasiswa univeritas Janabadra untuk menyusun skripsi. Masalah yang diangkat adalah tentang faktor-faktor ditolaknya permohonan poligami.
Sebenarnya bagi saya, tak ada yang layak diteliti dari penyebab ditolaknya permohonan poligami, karena jawabnnya sangat singkat: karena alasannya tidak sesuai sebagaimana ditentukan oleh UU, titik!! Tapi kami sebagai responden, tentu hanya bisa pasif saja, toh judul serta topik tersebut sudah disetujui oleh dosennya. Walau ketika membaca proposalnya, ada beberapa UU yang menjadi referensi, adalah UU yang sudah kadaluarsa. Sudah ada UU baru yang menggantikan maupun melengkapi dari UU yang sudah kadaluarsa tadi.Misalnya UU Peradilan Agama, masih disebutkan UU No 7 Tahun 1989, padahal seharusnya sudah direbah dengan UU No 3 Tahun 2006.
Kalau saya menjadi mahasiswa tadi, dan menjadi dosen pembimbingnya, maka saya akan mengangkat masalah;"kenapa masih banyak poligami yang diizinkan, sementara alasannya tidak sesuai dengan yang diamanatkan UU". Selama ini begitu banyak perkara poligami yang bisa lolos, sementara alasan yang diajukan hanya "samar-samar" sesuai dengan UU bahkan banyak yang tidak sesuai dengan alasan yang dimaksud oleh UU
Sebagaimana kita ketahui, UU perkawinan kita mengatur alasan-alasan poligami di pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 yaitu:
Pasal 4 ayat (2)
"Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat (1)
"Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus diperoleh syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperlun-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Syarat dalam pasal 4 ayat (1) ini, biasanya disebut dengan syarat alternatif/fakultatif.Artinya, cukup salah satu saja dari pasal-pasal tersebut terpenuhi, sudah cukup bagi hakim untuk mengabulkan izin poligami yang diajukan.
Sedangkan pasal 5 ayat (1) biasa disebut sebagai syarat komulatif, artinya kesemua syarat ii harus terpenuhi, baru bisa diajukan poligami.
Apakah harus syarat alternatif dan fakultatif terpenuhi baru bisa izin poligaminya dikabulkan? Bagaimana jika hanya syarat komuatif saja yang dipenuhi, sementara syarat alternatifnya tidak ada, apakah izin polgaminya bisa dikabulkan?
Padahal ini yang paling sering terjadi, banyak izin poligami yang dikabulkan, hanya dengan terpenuhinya syarat komulatif, walau sama sekali tidak ada syarat alternatif sebagaimana yang tertuang dalam pasal 4 ayat (2) UU perkawinan kita. Umumnya hakim berpendapat bahwa selama istri pertama mengizinkan, maka hal ini sudah cukup bagi hakim untuk mengabulkan keinginan suami bepoligami.
Kenapa ini bisa terjadi? Apakah para hakim yang beragam memahami UU ataukah hakim menilai, UU ini tidak secara tegas mengatur bahwa kedua syarat (alternatif dan komulatif) harus terpenuhi baru izin poligami ini dikabulkan.
Lebih sangat disayangkan lagi, sebenarnya syarat-syarat komulatif ini cenderung bersifat administratif. arena semua "hanyalah" berbentuk surat pernyataan, yang pada akhirnya sering terabaikan. Artinya jika di kemudian hari ada "pelanggaran" di dalam surat pernyataan, maka pihak istri tak bisa berbuat banyak selain pasrah. Dan jika tidak tahan, maka istri cenderung akan mengajukan gugatan perceraian.
Lebih-lebih sangat disayangkan lagi, hakim-hakim juga dalam pemeriksaan syarat fakultatif, cenderung hanya berdasar pernyataan di depan persidangan. Misalnya istri mengakui bahwa tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka jika istri membenarkan, hakim tidak memeriksa lebih lanjut sebab-sebabnya, apakah telah ada upaya untuk mengobati, dan lain-lain. Bahkan untuk alasan tidak mempunyai turunan, hakim sangat jarang meminta pihak-pihak untuk mengajukan alat bukti keterangan medis, bahwa pihak istri yang memang mandul. Hakim hanya mendengarkan pernyataan kedua belah pihak bahwa sudah sekian lama menjalani pernikahan tetapi belum dikaruniai keturunan. Bagaimana jika di kemudian hari justru yang mandul ada di pihak suami?
Dengan fakta-fakta yang ada di atas, sudah saatnya hakim-hakim membenahi kembali prinsip-prinsip yang diyakini dalam memeriksa perkara poligami. Sudah saatnya kita mengacu kembali secara murni pada syarat-syarat poligami sebagaimana yang diamanatkan UU. Seyogyanya hakim mensyaratkan kedua syarat terpenuhi baru keinginan berpoligami dari seorang suami dikabulkan. Demikian juga, dalam memeriksa alasan-alasan alternatif, bukan hanya pernyataan di depan persidangan, tetapi juga keterangan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten. Misalnya kemandulan istri, berdasarkan surat keterangan dari dokter kebidanan dan kandungan.
Jika ini dilaksanakan, maka putusan diizinkannya suami berpoligami akan semakin ketat. Dan azas monogami serta poligami adalah jalan darurat akan dapat terlaksana dengan baik
2 komentar:
Li kayaknya, klo hakim seperti kamu semua, rada susah tuk berpoligami, kalaupun boleh, mungkin keluarnya lama, tapi ga apa2 Li, ini juga tuk pembelajaran bagi yang ingin berpoligami, tul ga Li ? mudah2an mas Hudi baca artikel istrinya ini, jadi bisa berfikir lagi kalau ada niatan tuk itu, Braavo Li ! ditunggu tulisan lainnya ! (AR)
Mbak Lily yang baik..Anda terlalu Idealis dengan pendapat Anda. Mbak Lili lupa ya..kalau dunia ini fana? Dan kenapa Allah sampai menciptakan makhluk jahat yang bernama setan, yang tugasnya mengganggu manusia, dan lebih celaka lagi, si setan ini selama dunia masih berputar mereka tidak akan mati..artinya, tentunya Allah menciptakan ini semua bukan tanpa maksud bukan ? Kembali, ke tulisan Anda, semua orang, khususnya laki2 pada waktu pembacaan taklik nikah, pasti berjanji akan sehidup-semati sampai kaken2-ninen2, tapi Apa Kata Dunia? lakon kehidupan ke depan, tidak ada yang pernah tahu apa yang bakal terjadi. UU Perkawinan hanya buatan manusia, yang masih ada celah, beruntunglah bagi pasangan yang sampai akhir-hayat tetap monogami dan diberi status keluarga yang sakinah-mawadah-warohmah, akan tetapi bagi mereka yang tidak bisa menjaga hubungan yang harmonis, karena suatu sebab yang tidak diinginkan dan tidak bisa dielakkan, tentunya win-win solution-lah yang dicari, bukan pembenaran dalam satu sudut pandang saja...Salam !
Posting Komentar