Jumat, 08 Mei 2009

"HAKIM ITU PEJABAT ADMINISTRATIF DALAM MEMERIKSA DISPENSASI KAWIN" (Dari diskusi kecil dengan hakim tinggi di lap tenis)


"Hakim itu hanya sebagai pejabat administratif ketika memeriksa perkara dispensasi kawin sebagaimana perkara poligami. Jika anak sudah mau kawin, ya diizinkan saja. Begitu juga poligami, jika istri mengizinkan, maka dikabulkan. Ini bukan masalah halal-haram, dan setiap anak yang hendak menikah, pasti itu merupakan keinginan mereka dan sudah melalui proses yang panjang..."

Ini adalah sebagian statemen seorang hakim tinggi ke saya, tentang masalah pernikahan dini. Sebagai pribadi saya agak kaget, tapi sebagai sebuah "institusi" saya hanya bisa menarik nafas.Bahwa sikap ini tentu terbentuk dari suatu proses pembentukan keadaan dan pola pikir yang sudah "membatu". Dan jika kebetulan ada hakim tingkat pertama yang punya pola seperti saya, maka ini harus diluruskan.

Saya menyadari betul, bahwa persepsi tentang bahwa pernikahan itu adalah sunah, maka tak boleh dipersulit adalah persepsi yang benar. Karena pernikahan memang sunatullah. Tapi apakah sunatullah kemudian dengan serta merta kita ikuti tanpa kemudian kita mempersiapkan anak-anak kita menghadapi pernikahan dengan hal-hal yang kelak menjadi bekal mereka kelak? Kesiapan emosional, finansial dan sosial?

Ketika hakim tinggi tadi tetap mengatakan bahwa anak-anak ini meminta menikah, pasti sudah dengan proses yang panjang. Jadi mereka sudah menyiapkan diri.Termasuk orang tuanya kelak akan membantu secara finansial terhadap anak-anak ini. Saya hanya balik bertanya: "Pak, andai anak bapak seorang wanita berusia kurang dari 16 tahun datang ke bapak,dan meminta restu agar bisa bapak nikahkan, apa bapak langsung restui? Toh bapak jelas bisa membantu kehidupan mereka karena bapak kaya". Hakim tinggi ini hanya terdiam. Entah apa yang dipikirkan. Paling apesnya :"ah...ini takkan terjadi ke saya".

Bukan hanya itu, ada juga pernyataan yang membuat saya terbelalak. "Ini kan bukan seperti syech Puji dengan Ulfa, yang satu berusia 12 tahun yang notabenenya masih 4 tahun lagi dibolehkan, dan syech Puji yang berusia jauh dengan istrinya". Atas pernyataan ini, saya juga mencoba mengemukakan argumen saya. "Pak, apa bedanya syech Puji dengan calon suami yang nyaris seumur. Malah justru jika mereka seumur,masih seperti "unyil-unyillan" untuk menggambarkan bahwa yang seperti ini, seperti anak main boneka-bonekaan. Ini bukan saya setuju dengan syech Puji dan Ulfa, tapi bagi saya, siapapun pasangannya, baik yang lebih tua atau seusia, sama saja.

Adalagi komentar hakim tinggi ini: "Kenapa kita harus persulit, apalagi jika tinggal 2-3 bulan lagi berusia 16 tahun. Ijinkan saja". Saya hanya termanggu, karena jika saya jawab yang ada dalam benak saya, kesannya menggurui. Padahal yang ada dalam benak dan hati saya adalah: "Masya Allah....ternyata hakim tinggi ini hanya berprespektif UU saja. Belum berpikir sampai resiko yang akan di hadapi anak gadis yang menikah di bawah umur. Padahal UU menetapkan ini sebagai batas minimal. Dan sementara dari kita sedang berupaya "menaikkan" batas usia minimal dari 16 tahun jika perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, menjadi minimal 20 tahun baik untuk perempuan dan laki-laki. Apakah bapak ini tak mengetahui salah satu dampak dari pernikahan dini adalah kanker serviks? Apakah bapak gak "mencerna" bahwa begitu banyak perkara perceraian yang pernah bapak tangani disebabkan karena mereka menikah muda?

Sebagai penutup (saya akan segera main), hakim tinggi ini berkomentar lagi: "Jika memang ada pernikahan dibawa umur, biarlah orang tua mereka yang bertanggung jawab". Untuk hal ini saya rasanya harus sedikit "menggurui" hakim tinggi kita. Dan dengan tegas saya harus menjawab: "Pak,justru dalam UU Perlindungan Anak pasal 26 ayat (3), orang tua wajib mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur"

Karena sudah giliran main,saya segera meninggalkan bapak ini, dan sambil main tenis saya hanya berpikir bahwa ini sebagai "gambaran buram" persepsi (yang tentu berimplikasi pada putusan)seorang hakim, bahkan seorang hakim tinggi. Bagaimana kita bisa meminimalisir laju pernikahan anak-anak di bawah umur, jika di pikiran seorang hakim masih seperti di atas. Padahal dari ketokan palu seorang hakimlah salah satu cara menekan jumlah pernikahan dini.

Saya tak tahu bagaimana keadaan 10 tahun ke depan, jika persepsi seperti ini masih melekat erat dalam benak hakim. Tentu angka-angka pertumbuhannya tak tertahankan, karena justru di palu hakimlah akhir dari sebuah perjalanan pernikahan dini ini berada. Jika hakim mengijinkan,maka ini akan terlaksana, dan jika hakim menolak, maka ini takkan terlaksana.

(Catatan: Ini adalah sebuah catatan kegeraman saya. Karena saya tak boleh marah dan saya harus menghormati pendapat yang berbeda. Saya berharap dengan menulis ini kegeraman saya ini agak mereda, tapi semangat untuk menahan laju pernikahan dini ini takkan mereda. Dan kepada hakim tinggi yang saya maksud, jika memang membaca tulisan ini, saya mohon maaf kalau saya harus menulis ini. Karena hanya ini yang bisa saya lakukan, sebagai bentuk tanggung jawab pribadi saya, bahwa hakim punya tanggung jawab untuk membangun bangsa salah satunya dengan tidak membiarkan anak-anak kita menikah di usia anak-anak. Sekali lagi maaf kalau kita berbeda pendapat)

Tidak ada komentar: