Minggu, 17 Mei 2009
Tak Mudah Ternyata Menjadi Mediator
Saat mengikuti pelatihan mediator selama 2 pekan, terbayang dengan ilmu yang didapat,sangat mudah menjadi mediator."Keciil........., yang penting kuasai tahapan-tahapan mediasi, semua bisa terselesaikan". Itu yang ada di benak, dan tumbuh optimisme bahwa dengan bekal yang ada banyak hal yang bisa diselesaikan dengan mediasi.
Ternyata...oh ternyata....mediasi itu bukan pekerjaan mudah. Teringat saat saya belajar mengendarai mobil pertama kali, oleh sopir di rumah (om Hasan) diajarkan bahwa: "Menyetir itu mudah,jika ada persoalan saat mengendarai mobil dan kita tak bisa apa-apa lagi, ya...berhenti saja". Wejangan ini melekat di benak saya, dan membuat rasa optimis untuk berlatih menyetir mobil.
Ternyata....oh ternyata...menyetir itu tidak mudah juga. Mobil bisa kita jalankan, tapi tentu jika ada persoalan saat mobil kita kendarai, tak seenaknya kita berhenti di tengah jalan. Kita harus bisa menyelesaikan apapun persoalan yang ada saat kita mengendarai mobil itu dengan selamat sampai tujuan, syukur tidak terjadi kecelakaan baik ringan maupun berat.
Saat ini, sebagai mediator hakim pemula, seperti kita baru bisa menyetir mobil. Duduk masih tegang, pegang setir masih kencang, masih mikir sekarang perseneleng 1 atau 3m kaki masih full siap-siap di rem. Sehingga menyetir menyebabkan kelelahan yang sangat, belum lagi arus jalanan yang sulit kita prediksi. Tiba-tiba ada yang nyalib kiri, berhenti mendadak di depan kita, sopir lain yang ugal-ugalan dan sejuta kejadian di luar prediksi kita. Padahal sebagai sopir, kita sudah mencoba menyetir dengan baik dan benar. Kecepatan, siaga dan taat peraturan sudah kita penuhi semuanya, tapi toh kita tidak menduga saat di jalan kita harus menghadapi hal-hal yang sulit kita prediksi sebelumnya.
Begitu juga sebagai mediator pemula. Teori rasanya sudah kita kuasai sepenuhnya. Tahapan-tahapan mediasi sudah kita laksanakan sebagaimana petunjuk, kemampuan reframing dan sebagainya sudah kita tingkatkan. Kesabaran dan sikap bijak sudah dipertajam. Ternyata yang dihadapi saat pelaksanaan begitu beragam, dan semua menguji kemampuan kita untuk bisa menjadi mediator yang baik.Rasanya begitu mudah persoalan kita selesaikan, tapi nyatanya tak mudah. Banyak hal di luar dugaan kita yang membelenggu para pihak, sehingga kadang walau kita sudah mencoba menggali keinginan pihak-pihak untuk bisa mencapai satu titik sebagai win-win solution, itupun sulit. Padahal sebagai hakim, sebenarnya kita sudah bisa membayangkan kira-kira putusan yang apa yang akan diambil majelis yang memeriksa perkara ini, jika perkara tersebut tetap dilanjutkan.
Inilah mediator, bukan seperti saat kita pertama menjadi hakim. Setelah diangkat menjadi hakim, saat sidang kita masih bisa belajar dengan hakim lain, karena memeriksa berkara dalam majelis, bukan kita sendiri. Jadi kita tak terlalu gusar, toh sebagai hakim yunior, pasti majelis hakim yang lain adalah hakim yang lebih senior dari kita dan dengan senang hati akan membantu dan membimbing kita dalam proses persidangan.
Dalam mediasi itu semua tidak berlaku. Nyaris semua kita laksanakan sendiri, mulai menyususn jadwal, membuat dokumen,membuat catatan (di dalam perkara ada Panitera Pengganti yang akan melaksanakan ini semua) sampai pada pembuatan akta kesepakatan jika mediasi tersebut berhasil. Ini seperti yang saya gamatkan di atas, seperti kita menjadi sopir. Tak mungkin rem di pegang orang lain, persneleng dibantu orang lain, kita sebagai sopir betul-betul pemain tunggal saat menjalankan kendaraan. Mediasipun demikian, kita betul-betul pemain tunggal dalam menjalankan mediasi,Apapun yang terjadi dalam proses mediasi, semua merupakan tanggung jawab kita sendiri.
Dan sampai saat ini, sebulan setelah pelatihan mediasi, saya merasa saya masih seperti baru belajar menyetir mobil. Apalagi jika perkara yang ditangani adalah masalah yang berat. Tapi tentunya optimisme bahwa pada akhirnya sebagai mediator, hal ini menjadi hal yang mudah dan biasa-biasa saja, sebagaimana sekarang alhamdulillah saya bisa menyetir mobil walau kadang medan yang ditempuh cukup berat. Yang pasti menjadi mediator yang baik itu bukan hanya ilmu yang mumpuni, tapi kemampuan komunikasi dan negosiasi sangat dibutuhkan. Semoga itu semua bisa saya raih perlahan tapi pasti. Amien.....
(Catatan kecil sebulan setelah pelatihan mediator)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar