Senin, 16 Februari 2009

PENGOTAKKAN TERHADAP ALASAN KDRT



Begitu ragam alasan tindakan KDRT yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Bahkan beberapa hari yang lalu, saya membaca di sebuah berita di Tapanuli ada seorang suami yang menganiaya istrinya hanya karena tidak dibuatkan teh sepulang bekerja. Miris sekali rasanya, betapa nilai seorang istri kalah dibanding nilai segelas teh. Setelah perilaku ini dilaporkan di kepolisian, barulah suami menyadari kesalahannya.

Tetapi beberapa hari yang lalu pula, saya menyidangkan sebuah perkara seorang Suprapto yang menganiaya istrinya Suprapti sampai babak belur dikarenakan Suprapto menuduh istrinya mempunyai hubungan dengan laki-laki lain. Oleh istrinya perlakuan KDRT tersebut dilaporkan polisi dan setelah proses di persidangan Suprapto harus mendekam di LP selama 60 hari.

"Saya tak menyesal dipenjara, walau saya tak salah. Toh apa yang saya tuduhkan pada istri saya adalah benar. Sebulan yang lalu istri saya melahirkan, dan itu bukan anak saya".
Sengaja kalimat "walau saya tak salah", saya pertebal, karena ini yang menarik bagi kita untuk menjadi ocehan. Bagaimana seorang suami yang telah menganiaya istrinya sampai babak belur tapi tak pernah merasa bersalah karena tuduhan zina kepada istrinya di kemudian hari benar adanya.

Entah "legal standing" apa yang ada di benak Suprapto untuk menganiaya istrinya, apakah berdasar Islam, budaya atau sebenarnya faktor pribadi Suprapto yang ringan tangan.
Dalam pemahaman Suprapto, Islam memperbolehkan suami untuk mendidik istri dengan tangan, kemudian lisan dan dengan hati, dan ini adalah selemah-lemahnya.

Saya tak ingin memperdebatkan apa yang ada dalam keyakinan Suprapto tadi,hanya saya ingin mencoba mengurai "tafsir pribadi" saya, bahwa mendidik dengan tangan bukanlah diartikan semata-mata dengan pemukulan dan kekerasan. Kita menuntun orang untuk berjalan dengan benar, tidak terjatuh, dan tidak belok-belok juga menggunakan tangan. Begitu juga jika kita menunjuk sesuatu, maka tentulah kita menunjuk dengan tangan.

Artinya, janganlah pemahaman mendidik dengan tangan, diartikan mendidik dengan memukul. Didiklah dengan tangan untuk membimbing dan menunjukan mana yang semestinya dilakukan dan mana yang semestinya dijauhi oleh istri. Raih tangan istri untuk berjalan bersama, bukan tangan kita yang kita arahkan untuk memukul fisiknya.

Suprapto juga memahami, bahwa hukuman bagi wanita dan laki-laki yang berzina adalah dirajam sampai mati. Andai Suprapto adalah murid saya, akan saya ajarkan padanya bahwa hukuman itu berlaku pada masa dan tempat tertentu. Saat ini kitapun mempunyai hukum tersendiri. Dan sadarilah, bahwa pada zaman hukum rajam diberlakukan, sang "eksekutor" bukanlah si suami sendiri. Maka andaipun Suprapti telah terbukti berzina, maka bukan Suprapto yang mengeksekusi dengan mebabakbelurkan fisik Suprapti. Serahkan itu pada negera, biarkan negara yang akan memeriksa. Hal inipun terjadi pada masa nabi dan khalifah, sebagai eksekutor adalah dari negara , bukan si suami.

Lagi-lagi budaya patriarkhi menjadi "alasan pembenar" seorang suami menganiaya istrinya. Laki-laki merasa pemimpin, merasa pahlawan, merasa penyelamat, dan merasa hal-hal yang bersifat heroik sehingga apapun yang dilakukan kepada istri semua benar adanya.
Maka ketika Suprapto melakukan penganiayaan terhadap Suprapti, seakan-akan dibenarkan oleh budaya patriarkhi tadi.

Saya tak ingin membahas secara panjang lebar,karena ini masih terjadi polemik dalam masyarakat, yang sebagian masih menempatkan laki-laki mempunyai posisi di atas wanita. Laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga,dan wanita harus patuh dan taat.Bukan melihat ada kesamaan keduanya dalam hak dan kesempatan, kecuali yang memang secara kodrati yang membedakan, yaitu melahirkan dan menyusui.

Lepas dari alasan budaya patriarkhi, saya masih ingat orang tua saya mengajarkan budaya mereka (budaya Bugis) yaitu budaya "masirri", hal ini sangat berkaitan dengan harga diri. Jika yang diserang adalah keluarga dan harta, maka ini semua adalah pelanggaran harga diri,dan nyawa adalah bayaran yang paling tepat. Dan jika Suprapto tadi orang Bugis, maka Suprapto akan membunuh pasangan Suprapti tadi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Suprapto adalah sebagai lelaki pengecut.

Kedua alasan budaya tadi, hanya sebagai gambaran betapa budaya begitu kuat, sehingga mempengaruhi perilaku seseorang dalam berbuat sesuatu, termasuk perlakuan suami terhadap seorang istri.
Selain kedua alasan tadi, ada juga peyebab yang lain adalah faktor emosi dari masing-masing pelaku. Dalam kasus yang sama, respon yag dilakukan seorang suami mungin sama dan tak jarang juga berbeda. Dan Suprapto dalamkasus ini merupakan suami yang cukup emosional dan menyelesaikannya dengan cara membogem istri.
Mungkin di kasus yang lain, suami-suami yang penyabar, menyelesaikannya lebih penuh kesabaran, tanpa harus dengan kekerasan fisik. Yang justru bisa berakibat suami harus menjalani penjara karena melakukan pelanggaran KDRT. Bagi suami penyabar, kekerasan bukanlah peyelesaian.

Dua kasus ini sengaja saya angkat, sebagai gambaran bagaimana para suami dan( mungkin juga ) kita semua masih memberlakukan pengkotakan terhadap KDRT yang dilakukan suami terhadap istri. Jika alasan si istri tidak membuat teh dan suami marah dan melakukan KDRT akan kita semua akan ramai-ramai menghujat si suami. Tetapi jika KDRT disebabkan karena istri berzina, maka banyak alasan pembenar, sehingga jangankan kita, si suamipun tak pernah merasa bersalah dengan KDRT yang dilakukan.

Sudah saatnya tidak ada pengkotakkan terhadap alasan KDRT. Apapun alasannya, KDRT harus tak ada di sekitar kita.

(Gambar:http://azhar76.files.wordpress.com/2008/10/kdrt.jpg)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hai Ly, makin sering baca ocehanmu, diriku makin kagum n penasaran tuk selalu baca kicauanmu. Dengan ocehanmu, angera makin berkicau. Tentang KDRT, saya punya cerita yang barang kali sulit bisa diterima akal sehat. Sebab si fa'il alias pelaku KDRT (suami) itu sepertinya menjadikan KDRT itu sebagai "hobby". Kenapa? Karena begitu seringnya ber-KDRT, dan begitu mudahnya tuk ber-KDRT dengan penyebab yang sangat sepele. Dan kalau sudah seharian "brak bruk brak bruk", eh di hari berikutnya mereka rukun lagi. Bahkan sang istri yang sebagai maf'ul bih alais obyek penderita KDRT, menyapa suaminya dengan kata manis "ada apa mas?" Kok bisa ya? Silakan dianalisa, dan diocehin. Wis. M. Arifin Ilyas

l@ mengatakan...

Kak Ilyas, makasih sering buka ocehanku. Namanya juga ocehan....jauh dari mutu dan bahasa ilmiah, hehe.

Soal analisa, itu bagian Yuni yang pernah aktif di SP. Moga-moga aja kita bisa minta Yuni untuk analisa dan kemudian masukkan di blog angera.

Kapan nih rencana angatan kak Ilyas buka blog? Kita tunggu lho.....