Sering sekali dalam persidangan perceraian, seorang wanita menunjukkan sikap yang patah arang. Dimana suami masih menunjukkan keinginan untuk memperbaiki rumah tangga tapi si istri sudah sangat tidak menginginkannya. Dengan hanya satu kalimat: "Semua sudah terlambat".
Seperti satu kasus yang saya hadapi, dimana pada tahun 2006 si suami (Suprapto) mempunyai hubungan dengan wanita lain. Hubungan ini diketahui si istri (Suprapti) pada tahun 2007. Kemudian istri menyelesaikannya lewat pimpinan kantor dimana Suprapto bekerja. Yang hasilnya Suprapto akan meninggalkan wanita tersebut dan kembali dengan Suprapti.
Tunggu punya tunggu, sejak 2007 sampai perkara diajukan, tak ada niat yang sungguh-sungguh dari Suprapto untuk membangun rumah tangga yang nyaris ambruk. Akhirnya Suprapti mengajukan perkara ini ke pengadilan. Mengetahui dirinya digugat cerai, barulah Suprapto "blingsatan" mencari dan ingin berbicara dengan Suprapti. Tapi bagi Suprapti, semua sudah terlambat. Waktu 2 tahun yang diberikan hanya terbuang percuma.
Kisah Suprapti yang patah arang ini dan Suprapto yang kesiangan ini,bukanlah satu-satunya kisah rumah tangga yang berujung ke perceraian karena si suami "mengentengkan" masalah rumah tangga yang melilit. Ketika istri dengan keberanian yang ada mengajukan perceraian, barulah suami tadi blingsatan. Seakan-akan lembaga peradilan adalah suatu ancaman.
Lembaga Peradilan Bukan Satu Ancaman
Sikap istri mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tentulah bukan sikap yang asal-asalan. Semua tentu didasari oleh catatan perjalanan panjang persoalan yang melilit rumah tangganya. Dan ini sangat tergantung dengan kemampuan istri untuk bertahan di tengah lilitan persoalan yang membelenggu kehidupan rumah tangganya.
Ada istri yang berpuluh tahun membiarkan hubungan yang terpisah (sebagaimana Suprapto dan Suprapti di atas) selama puluhan tahun. Bagi istri seakan-akan tak ada pengaruh, walau masih dalam ikatan yang sah tapi hidup terpisah dan tanpa penyelesaian yang nyata. Tetapi ada juga yang hanya berbilang bulan bahkan hari, ketika merasa rumah tangganya sudah tak mungkin dipersatukan kembali langsung mnegajukan gugatan cerai di pengadilan.
Masalah muncul, ketika di detik-detik istri mengajukan gugatan cerai. Perasaan suami tentu beragam, jika perceraian ini diinginkan, tentu suami akan bersyukur. Dan jika tidak atau masih ragu, maka banyak reaksi yang muncul. Salah satunya adalah mendekati kembali si istri, walau biasanya reaksi awal adalah penolakan istri seperti di atas: "semua sudah terlambat".
Bagi para Suprapto yang menghadapi hal seperti ini, tak perlu kuatir. Lembaga peradilan bukanlah lembaga ketok palu dan langsung mengijinkan keinginan istri. Hakim tentu akan mendengarkan jawaban yang akan diberikan si suami. Jika si suami masih menginginkan keutuhan rumah tangga, maka ungkapkanlah kesungguhan itu. Yakinkan pada hakim bahwa suami masih menginginkan keutuhan rumah tangga, minta waktu pada hakim untuk melalui proses rekonsiliasi tersebut.
Libatkan keluarga,kerabat terdekat. Jika memang dalam proses rekonsiliasi ini suami menemui hambatan jika ingin mendekati istri, maka libatkanlah kerabat terdekat atau orang-orang yang berpengaruh. Minta bantuan mereka untuk mengadakan pendekatan pada istri.
Biasanya dengan pendekatan kekeluargaan seperti ini akan membuahkan hasil yang memuaskan.Hal ini dikarenakan rasa sungkan istri dan sikap kerabat yang mengadakan pendekatan bisa meyakinkan istri atas niat baik suami.
Dan yang terpenting disini adalah si suami haruslah betul-betul melakukan tindakan-tindakan yang menuju perbaikan, dan bukan hanya punya keinginan yang terpendam di hati.Tanpa implementasi apa-apa yang membuat istri semakin mantap mengajukan perceraian.
Ini semua hanyalah upaya-upaya yang dilakukan suami jika istri sudah merasa:"Semua Sudah Terlambat". Tentu yang terbaik adalah, selesaikanlah masalah rumah tangga sesegera mungkin, jangan biarkan berlarut-larut hinggga semua menjadi terlambat........
(Yk, 25 Pebruari 2009, jam 2 dinihari kala mata tak bisa terlelap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar