Kamis, 12 Februari 2009

SAYA YANG KALAH SUARA KETIKA MEMUTUS PERKARA DISPENSASI KAWIN

"Gimana pendapat ibu?" Demikian kalimat dari Ketua Majelis ketika menanyakan pendapat saya saat kami musyawarah majelis tentang sebuah perkara dispensasi kawin yang sedang kami tangani.
"Kalau saya, ini kita tolak saja. Karena tinggal 3 bulan lagi si Fulan yang berumur 18 tahun 9 bulan ini mencapai batas umur minimal bagi seorang laki-laki. Selain itu juga tak ada alasan yang "mendesak" seperti Fulanah hamil yang menyebabkan kita harus segera menikahkan mereka.

Sambil setengah bercanda teman saya mengatakan:"Bu Lily, selama ini di Bantul, baru ada 2 perkara dispensasi kawin yang ditolak, dan semua majelis hakimnya ada ibu".
Kami kemudian berdebat cukup panjang dengan berbagai argumen dimana teman saya berbeda pendapat dengan saya.

Inilah sebagai "gambaran sumir" bagaimana suatu putusan perkara dispensasi kawin harus melewati jalan yang cukup alot jika saya sebagai majelis. Saya tidak bisa menggambarkan secara rinci, karena sifat musyawarah majelis tertutup dan rahasia.

Kenapa saya lebih berhati-hati dalam memutus perkara dispensasi kawin?Karena hakim sebagai salah satu penegak undang-undang atau peraturan.Dengan putusan hakim, maka undang-undang itu bisa dilaksanakan. Siapa lagi garda terdepan suatu UU itu bisa efektif berlaku jika bukan hakim.

Saya tidak punya massa dan lembaga agar bisa "action" membuat satu gerakan menikah di usia matang,( minimal sesuai yang diamanatkan UU). Hanya dengan keputusan yang kami keluarkan yang bisa menjadi distribusi nyata agar UU tersebut bisa terlaksana.

Peran hakim, bukan sebagaimana (maaf) pejabat kelurahan yang mengeluarkan surat keterangan sebagaimana gambaran teman saya. Hakim punya peran strategis meredam laju pernikahan dini melalui putusan yang dikeluarkan. Dengan memeriksa secara seksama, dan tidak mudah memberi izin kecuali benar-benar keadaan sudah terpaksa, maka hakim bisa memberangus stigma di masyarakat bahwa:"tak ada permohonan dispensasi kawin yang ditolak oleh pengadilan".

Tapi bukan juga hakim akan "sok gagah-gagahan" menjungkir balikkan stigma tadi dengan banyak menolak perkara dispensasi yag diajukan. Untuk perkara-perkara yang mendesak, dimana lebih banyak mudhorat daripada manfaat jika ditolak, maka seharusnya hakim dengan bijak mengabulkan permohonan dispensasi kawin yang diajukan.

Ada beberapa pertimbangan saya yang sangat berhati-hati (lebih ketat) dalam mengabulkan suatu permohonan dispensasi kawin, dan sebagai hakim hanyalah dengan putusan hakim, kita bisa meredam laju semakin maraknya pernikahan dini. Seharusnya semua pihak, baik hakim maupun para pihak yang mengajukan permohonan dispensasi kawin melihat lembaga peradilan:

1. Bukan sebagai lembaga administratif, sehingga permohonan yang diajukan punya kecendrungan untuk selalu dikabulkan. Sebagaimanapun besar keinginan pemohon untuk menikahkan anaknya, pengadilan masih harus memeriksa secara teliti, apakah patut permohonan pemohonan sebagai orang tua dari Fulan maupun Fulanah yang masih di bawah umur dikabulkan.

Hakim betul-betul harus memeriksa kesiapan mental dari Fulan maupun Fulanah untuk menikah. Dengan melihat dan bertanya di dalam persidangan, tentu hakim dapat menilai sampai dimana kedewasaan Fulan maupun Fulanah tadi memasuki jenjang pernikahan. Karena kematangan seseorang bukan hanya ditilik dari usia.

Dalam pemeriksaan, hakim bisa mendapatkan gambaran sampai dimana kematangan tersebut telah dimiliki, sehingga hakim bisa mengambil sikap untuk menerima atau menolak permohonan dispensasi kawin ini. Jangan sampai jika hakim mengabulkan dispensasi kawin ini, ternyata di kemudian hari perkawinan tersebut banyak menimbulkan masalah yang kemudian hari berujung pada perceraian.

2. Putusan hakim sebagai penegak UU. Sebagaimana telah diurai di atas, hakim sebagai penegak suatu UU dilaksanakan. Bagaimana UU itu bisa dilaksanakan dengan teguh, jika banyak hakim agak permisif dengan UU.

Hakim bisa menggunakan kekuasaannya lewat putusan yang dihasilkan sebagai rem lajunya suatu pernikahan di bawah umur. Tentu dalam putusan hakim itu harus mengandung 3 asas suatu putusan, yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Khusus dalam hal ini, jika memang keadaan sangat tidak mendesak, maka sebaiknya lebih berhati-hati mempertimbangkan putusan ini.

Manfaat dari sikap tidak mudah mengabulkan, maka kita bisa menciptakan generasi yang matang menikah, bukan menikah seadanya. Dengan semakin "mempersulit" izin, maka ke depannya akan timbul pemahaman di masyarakat, bahwa tidak mudah mengajukan dispensasi kawin dan tidak semua perkara dispensasi kawin akan dikabulkan sebagaimana stigma yang telah berkembang. Ini akan berdampak anak-anak kita akan semakin hati-hati dalam pergaulan.

Hal di atas, adalah bagian kecil dari yang bisa kita lakukan sebagai hakim, sebagai bagian dari masyarakat yang mengidamkan generasi kemudian lebih baik dari generasi kini. Tapi ini tidak mudah, karena saya bukan hanya berhadapan dengan ribuan orang, dengan 2 teman hakim pun saya masih kalah suara.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

menarik membaca postingan ibu mengenai proses penetapan dispensasi pernikahan yang ibu hadapi, saya cukup tertarik membahas tentang dispensasi pernikahan, kebetulan saya sedang melaksanakan riset tugas akhir dan mengangkat isu tentang dispensasi anak yang kemudian saya kaitkan dengan undang - undang perlindungan anak. metode penulisan saya mengunakan studi perbandingan dispensasi yang dikabulkan dan yang tidak dikabulkan, jika ibu berkenan saya boleh berkomunikasi lebih lanjut via email atau kontak ibu jika berkenan.