"BERBAHASA SATU BAHASA INDONESIA", ini kalimat yang menjadi bagian dari sumpah pemuda tahun lebih seratus tahun yang lalu. Belum lagi UUD 1945 menegaskan tentang Bahasa negara adalah Bahasa Indonesia. Tapi apa mau dikata, kita hidup beragam, dengan keragaman bahasa yang menyertai. Andai kita semua bisa berbahasa Indonesia, tentu mudah dalam berkomunikasi. Jika tidak, maka tentu ini menjadi kendala, termasuk hakim ketika memeriksa perkara.
Dalam aturan, jika dalam proses berperkara ada bahasa yang bukan bahasa Indonesia, seyogyanya dipergunakan penerjemah. Mungkin ada beberapa sidang yag pernah kita ikuti, dimana terdakwanya/pihak-pihak yang tidak bisa berbahasa Indonesia, maka akan didampingi oleh peneramah. Ini umumnya jika pihak-pihak adalah WNA. Tapi sangat jarang kita temui jika pihaknya hanya mampu bahasa daerah dan hakimnya tidak bisa bahasa daerah tersebut,kemudian menggunakan penerjemah. Jika ini terjadi, maka kadang muncul hal-hal yang "menggelitik" jika diingat kembali hanya membuat tersenyum. Ini ada beberapa kejadian yang masih "nyantel" yang bisa jadi bahan ocehan.
1. Pernah dalam satu perkara penetapan nikah, dimana pernikahan tersebut terjadi pada tahun 1933 (76 tahun yang lalu). Yang mengajukan (Pemohonnya) adalah anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Maka saat di panggil masuk persidangan, Pemohon (anak-anak dari perkawinan tersebut) yang rata-rata sudah berumur di atas 70 tahun dengan jalan yang sudah tertatih-tatih. Bisa diduga, kemampuan bahasa Indonesia nyaris tak ada, belum lagi pendengaran yang kurang. "Waaah...gak enak juga mau ngomong Jawa yang belepotan dengan suara harus teriak. Bisa jadi kacau balau deh.". Akhirnya kami menyerahkan pemeriksaan pada teman yang orang Jawa asli: "Monggo pak...jenengan mawon seng merikso,kulo leren mawon"
2. Pihak yang berperkara bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, kemudian setelah dewasa menjadi TKW di Malaysia. Maka "keahlian" bahasanya adalah bahasa Jawa plus bahasa Melayu. Dan ketika hakim bertanya dengan bahasa Indonesia, yang ditanya akhirnya menjawab dengan bahasa Indonesia "aksen" Melayu.
"Bagaimana keadaan rumah tangga saudara?"
"Awak tuh tak pernah diberi nafkah bu hakim.Sakit hati awak nih..."pihak yang ditanya "nyerocos" bahasa Indonesia dengan aksenMelayu.
Dan hakimpun hanya tersenyum sejenak....
3. Logat hakim tentu berbeda-beda. Walau sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, tetap saja sulit menghilangkan aksen bahasa ibu. Dan mungkin ini juga diamati oleh pihak-pihak yang berperkara.
Salah satu Ketua Majelis saya adalah orang Riau, walau sudah puluhan tahun tinggalkan Natuna, tapi tetap saja aksen Melayunya tak luntur.
"Siapa yang akan saudara ajukan sebagai saksi?" tanya pak Jas yang orang Riau.
"Adik mak, pak hakim" Jawab Penggugat "mengikuti" bahasa hakimnya, yang orang Melayu.
Mendengar jawaban Penggugat, majelis hanya senyum-senyum. "Wah....mereka tahu kalau yang nanya bukan orang Jawa. Maka dia tidak menjawab" Bulek saya pak hakim".
Ternyata ragam bahasa di persidangan sangat macam-macam. Dan ini bisa menjadikan "hiburan" bagi hakim di tengah penatnya memeriksa perkara. Hidup Bahasa Indonesia, Hidup Bahasa Daerah!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar