Selasa, 11 November 2008

Dengan Remunerasi, bisakah hakim terbebas dari suap?


Sudah beberapa bulan ini pemerintah memberikan fasilitas tambahan bagi hakim berupa tunjangan kinerja. Menilik dari jumlahnya, tentu cukup banyak. Ini jika dilihat dari gaji yang didapat, serta tunjangan fungsional, karena tunjangan yang diterima hampir berbanding dengan gaji dan tunjangan fungsional yang diterima.

Sebenarnya jika dibandig PNS, maka dengan pangkat dan golongan yang sama, gaji hakim nyaris 2 kali gaji PNS, belum lagi tunjangan fungsional yang diterima, jauh lebih banyak dibanding dengan tunjangan seorang profesor, padahal nota benenya pangkat dan golongan seorang profesor jauh lebih tinggi dengan hakim.

Dengan fasilitas yang sedemikian rupa, ternyata masih saja banyak hakim yang nakal. yang masih mau "menggadaikan" dirinya dengan menerima suap. Walaupun bahasa yang diperhalus, menjadi "uang syukuran". Maka kemudian pemerintah menglontorkan tunjangan remunerasi, dengan harapan hakim semakin lurus dan sudah cukup dengan gaji,tunjangan fungsional dan tunjangan remunerasi.

Bisakah harapan itu terlaksana? Harapan saya sebagai hakim, tentu ini menjadi dambaan. Tapi bisakah "tradisi" yang telah mendarah daging ini dihilangkan sesaat dengan tunjangan remunerasi? Saya kok pesimis!!! Karena tunjangan remunerasi yag diterima, jauh lebih kecil dari "tunjangan syukuran" yang selama ini masuk kantong hakim.

Saya katakan ini, bukan untuk mencoreng wajah kami korps hakim, tapi pola ini semua sudah kasat mata di hadapan kita. Kita bisa melihat bagaimana pola hakim yang hidupnya "mewah", padahal kita sendiri bisa berhitung dengan gaji yang diterima. Apakah mungkin seorang hakim membeli rumah dan kendaraan dengan harga ratusan juta dalam sekejap, sementara jika "dihitung" gajinya untuk mendapatkan itu semuanya si hakim harus menyisihkan uang bertahun-tahun.Dengan dalih kredit? Ah....apa ada bank akan memberikan kredit kepada hakim dengan nilai 500 juta?

Sepertinya masih perlu pola penyadaran kepadahakim untuk bersyukur dengan nikmat yang sudah diterima selama ini, bahwa apa yang diperoleh seorang hakim jauh di atas yang diperoleh teman-teman PNS lainnya. Hal ini sebenarnya telah menjadikan kecemburuan bagi tean-teman kita PNS, karena dengan jam kerja yang saa, pendapatan yang mereka terima jauh di bawah pendapatan seorang hakim.

Untuk memulainya, tentu bukan hal mudah. Karena merubah tradisi "menerima uang syukuran", menjadikan diri "bersyukur dengan apa yang diterima" . Maka seharusnya dimulai dengan tekad bahwa apa yang kita terima, semua haruslah sebagai uang yang betul-betul bersih. Dan kita membuat komitmen, sebaliknya, bahwa jika yang kita terima adalah bukan hal yang bersih, maka semua itu adalah bangkai. Tegakah kita menghidupi keluarga kita dengan bangkai?

Dengan tekad sederhana ini, walau perlu waktu untuk melaksanakannya, maka akan terasa bahwa kita bisa menolak bentuk suap yang banyak bersliweran di hadapan kita. Hakim akan menjadi pribadi tangguh, dan punya harga diri dan berwibawa karena kita menjadi pribadi-pribadi bersih. Dan jika merasa tunjanga yag ada belum memadai, maka carilah dengan jaan halal, masih banyak hampara rejeki yang bisa kita kais dengan jalan halal.

Yogyakarta di hari pahlawan 10 Nopember 2008
(Semoga hakim menjadi pahlawan pada kebenaran dan keadilan)


Tulisan ini hanya sebagai refleksi diri dari kegelisahan yang ada, tanpa maksud menodai yang telah ada. Dan sebagai penghargaan juga kepada banyak hakim yang lurus dan terhindar dari godaan suap.Jujur pada diri sendiri jujur pada nurani, semoga kita menjadi hakim-hakim penghuni surga. Amien............

Tidak ada komentar: