Selasa, 25 November 2008

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS GENDER


Dalam tiap sisi kehidupan kelihatannya sekarang harus memasukkan unsur gender, termasuk penanggulangan bencana. Sehingga menteri pemberdayaan wanita sengaja mengutus salah satu asisten deputinya untuk ke Bantul untuk sosialisasi penanggulangan bencana yang berbasis gender.

Ini sangat menarik, karena selama ini para wanita tidak merasa perlu adanya persoalan gender saat terjadinya bencana alam, entah itu gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi atau KLB.

Khusus masalah hukum, saat terjadinya gempa, hal-hal yang mungkin timbul menurut kementerian peranan wanita al:
-masalah ahli waris
-masalah dokumen
-masalah perlindungan hukum.
Pemaparan dari deputi betul-betul dalam batasan konsep, karena masih harus dijabarkan lagi sehingga hal tersebut bisa apikatif dan betul-betul pas sasaran dan program.

Saya sepakat dengan persoalan-persoalan hukum yang mungkin timbul. Tapi tentunya semua harus dimulai dari pemberdayaan pemahaman hukum. Apa yang menjadi hak sehingga kemudian jika terjadinya pelanggaran akan hak tersebut, muncullah perlindungan hukum yang dimaksud.

Misalnya saat gempa di Bantul 27 Mei 2006 lalu, apakah masyarakat Bantul khususnya para wanita tahu haknya? Apakah para wanita tahu akan adanya perlindungan negara pada wanita. Rasanya semua mengalir begitu saja, tanpa mereka tahu bahwa mereka punya hak untuk dilindungi oleh negara.

Begitu pula saat proses rekonstruksi, apakah para wanita tahu bahwa ada bagaimana posisinya sebagai ahli waris jika ditinggal saudara, kerabat atau suaminya. Selama ini orang beranggapan bahwa ahli waris hanyalah istri atau anak. Tapi dengan kejadian gempa kemarin, banyak wanita yang ditinggal keluarganya, tetapi wanita tersebut mempunyai hak dari warisan keluarganya yang meninggal. Misalnya seorang wanita mempunyai saudara dimana saudaranya yang telah berkeluarga meninggal semua. Otomatis wanita tadi mempunyai hak waris dari harta saudaranya yang meninggal. Ini disebabkan pada awalnya wanita tersebut tertutup haknya sebagai ahli waris karena saudaranya mempunyai anak, tetapi dengan meninggalnya anak, maka hak warisnya terbuka lagi.

Ada hal yang saya munculkan dalam penanggulangan penanggulangan gempa yang berkaitan dengan dokumen. Bahwa penyimpanan dokumen juga harus berbasis gender. Artinya para wanita juga mempunyai harus mempunyai kesempatan untuk menyimpan dokumennya sendiri yang terpisah dengan dokumen suaminya. Misalnya Akta Nikah, maka akta miliknya disimpan sendiri. Demikian juga surat-surat penting yang lain. Sudah seharusnya para wanita "sadar dokumen", sehingga mengetahui dokumen-dokumen penting miliknya sendiri.

(Ah....gak bisa diteruskan, karena lagi diajak teman ngobrol)

Tidak ada komentar: