Sabtu, 15 November 2008

"Pekerjaan hakim itu emang enak eehhmmm..... cukup?"


Kemarin sore menjelang magrib, saat teman-teman sudah beringsut pulang, kantor sudah sepi, tapi saya masih asyik mempersiapkan power point materi penyuluhan oleh hakim tinggi, tiba-tiba telpon saya berdering dari no yang tidak saya kenal.

Ternyata telpon dari sahabat email saya. Saya sebut begitu karena saya mengenalnya lewat email yang saya terima, Teman email ini tahunya karena membaca blog saya.Kaget juga.... karena saya tak menyangka. Ternyata sahabat email saya orangya memang hangat, sehingga suasana telpon sangat cair.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, tiba-tiba muncul pertanyaan:"Pekerjaan hakim itu emang enak eehhmmm..... cukup?". Ah....walau bahasanya tidak lugas, tapi saya bisa menangkap maksud dari pertanyaan sahabat email saya tadi. Teman saya itu mempertanyakan apakah profesi hakim cukup menjanjikan untuk hidup.Atau apakag gaji hakim cukup memadai?

Waah....kalau bicara materi, rasanya tak ada ukuran standar. Yang standar adalah slogannya:"Sedikit cukup, banyak kurang". Jika kita punya sedikit uang, itu sudah cukup untuk hidup. Tapi jika kita punya banyak, maka akan selalu merasa kurang. Dan tentunya hal-hal yang berkaitan dengan namanya uang, sifatnya sangat relatif.

Yang pasti, jika masalah materi,kita mengukurnya dengan melihat sekitar kita yang pada saat ini kebetulan masih dalam kekurangan dalam memenuhi kebutuhan primairnya. Tapi tekad untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka kita belajar dari orang-orang yang memulai dari usaha kecil, kemudian menjadi besar.

Kembali ke masalah "cukup" tidaknya gaji hakim, kalau kita lihat pendapatan hakim sebagai PNS, maka apa yang didapat hakim saat ini (alhamdulillah) jauh dari apa yang didapat PNS pada umumnya. Dari gaji pokoknya hakim yang "lebih" dari dari PNS, dari tunjangan fungsional yang didapat juga jauh "lebih" dari tunjangan fungsional PNS fungsional lainnya. Belum lagi hakim yang saat ini telah menerima tunjangan kinerja, hal mana belum semua instansi menerimanya. Maka dari itu semua rasanya sebagai hakim kita harus bersyukur.

Tapi dilihat dari hakim sebagai "pejabat negara", maka rasanya belum ada sedikit sentuhan "kemakmuran" hakim sebagai pejabat negara yang diterima. Tidak ada tunjangan perumahan, kesehatan yang memadai (selain Askes), dan tunjangan-tunjangan lain sebagaimana tunjangan yang diterima profesi-profesi pejabat negara lainnya.

Alhasil, pendapatan hakim sekarang berada di antara dua sisi, di atas PNS tetapi di bawah pejabat negara. Maka saat ini kami para hakim sedang menanti direalisasikannya "status fasilitas" hakim sebagai pejabat negara, bukan hanya tercantum dalam UU saja, tapi senyatanya tak mendapat apa-apa.

Saya pribadi sebagai hakim, rasanya punya tendensi apa-apa dengan status hakim sebagai pejabat negara. Malah akhirnya hanya membebani status diri saja. Kuatir jika hal ini betul-betul diberlakukan secara penuh, hanya membuat kita "kabotan status" (jawa; keberatan dengan status). Sedangkan tentang tunjangan-tunjangan macam-macam, hanya ada satu pernyataaan:"manusia mana yang tidak ingin kemakmuran?" selama kemakmuran itu tidak mencederai yang lain, dan selama kita bisa mengemban amanat yang diberikan.

Alhasil jika semua itu terpenuhi, dan hakim bisa mengemban amanat yang diberikan. Dapat jujur pada nurani, dapat memberi rasa keadilan, maka rasanya pertanyaan teman email tadi takkan terulang lagi. Amien......

Tidak ada komentar: