Selasa, 16 Desember 2008

BANTUAN PEMERINTAH SEBAGAI PEMICU MENINGKATNYA ANGKA PERCERAIAN?

"Bu, ternyata BLT (Bantuan Langsung Tunai) bisa jadi penyebab perceraian. Kata teman saya Bu Ulil Uswah yang baru selesai sidang. "Ohya? " saya jawab sebagai respon atas pernyataannya tadi. Maklum saya masih harus menyelesaikan konsep putusan yang masih ada. "Ada Suprapti yang menggugat suaminya, karena suaminya telah beselingkuh dengan wanita lain.Dan selama ini dia tidak mendapatkan nafkah yang layak bagi hidupnya serta anak-anak dari Suprapti dan Suprapto tadi" Bu Ulil meneruskan ceritanya. "Lalu?" saya masih coba merespon, karena rasanya cerita teman saya tadi adalah hal yang jamak yang kami alami sehari-hari. Konsepan putusan sayai rasanya masih lebih harus saya pikirkan dibanding cerita teman saya, makanya saya cukup menjawab singkat saja.

"Bu, dengan bercerai dari Suprapto, maka Suprapti bisa membuat Kartu Keluarga Sendiri. Dan dengan demikian, maka Suprapti tadi bisa mengurus bantuan-bantuan yang digelontorkan pemerintah berdasarkan Kartu Keluarga" Bu Ulil masih coba bercerita pajang lebar. Mendengar penjelasan bu Ulil, saya langsung menghentikan membuat putusan, dan mencoba memaknai peristiwa ini. Ini semua dikarenakan Suprapti yang cerdas, atau aturan pemerintah yang tak berpihak pada fakta.

SUPRAPTI YANG CERDAS
Paradigma yang ada, selalu menempatkan posisi perempuan pada posisi yang lemah. Banyak peraturan dan kebijakan, dimana perempuan masih "mendopleng" suami. Contohnya kasus Suprapti ini. Walau selama ini Suprapti yang berjibaku menafkahi keluarga, menyekolahkan anak dengan bekerja tanpa perduli waktu, ternyata jika ada bantuan, maka Suprapto yang tercatat sebagai Kepala Keluarga yang mendapatkannya. Misalnya BLT. maka uang yang diterima Suprapto, bukan untuk Suprapti dan anak-anak, tetapi sepenuhnya dipergunakan untuk Suprapto. Begitu juga dengan kompor gas,setelah mendapatkan kompor, ternyata oleh Suprapto kompor itu dijual kemudian uangnya dipergunakan Suprapto untuk dirinya sendiri.

Saya teringat dalam salah satu pertemuan dengan salah satu tokoh wanita di Yogya. Teman ini "ngedumel" (Jawa; dongkol) karena selama ini teman ini yang mencari uang untuk keluarganya. Suaminya nyaris tak punya peran secara ekonomi.Tapi kenapa NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) nya justru teman tadi mengikut suaminya. Bukankah justru teman ini sebagai tulang punggung, tapi harus berada di belakang suaminya dalam hal NPWP. Ini me

Kembai ke Suprapti, dengan kondisi seperti ini, maka akal cerdasnya Suprapti, maka dia kemudian memutuskan untuk bercerai dengan suami, sehingga di mata status kependudukan Suprapti ini menjadi wanita mandiri, dan dapat memiliki KK sendiri. Dengan demikian setiap ada program dari pemerintah yang ukurannya adalah KK, maka Suprapti akan menerima juga.

Keputusan yang cerdas!! Yah...karena toh selama ini Suprapti ini hanyalah berstatus sebagai istri Suprapto. Tapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Mungkin dalam benak Suprapti, apalah gunanya status sebagai istri, tetapi justru statusnya dimanfaatkan oleh suaminya untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Apalagi jika bantuannya memakai hitungan jiwa dalam keluarga. Selama ini hak-hak dirinya telah diperdaya oleh suaminya. Dengan dirinya bercerai, maka mata rantai penghasilan suaminya dari bantuan-bantuan pemerintah yang menghitung jumlah jiwa akan terputus. Sebaliknya dirinya akan dihitung sebagai KK tersendiri, otomatis secara pribadi Suprapti akan menerima bantuan tersendiri.

ATURAN YANG BERPIHAK PADA FAKTA
Selama ini banyak acuan bantuan dari pemerintah yang hitungannya adalah Kepala Keluarga. Sebutlah BLT, kemudian pasca gempa Bantul, serta banyak bantuan dari foundation luar negeri berdasar catatan Kartu Keluarga.Asumsinya, setiap Kepala Keluarga pasti bertanggung jawab terhadap keluarga yang diampunya. Dan ini memudahkan pendataan.

Lalu bagaimana jika ada kasus seperti Suprapti? Ternyata selama ini pemerintah "mengenyampingkan"kasus-kasus demikian.Kerena mungkin probabilitasnya yang minim. Mungkin 1 di antara 1000 penerima bantuan. Sehingga tak perlu dibuat pengecualian-pengecualian.

Seharusnya pemerintah tak boleh bersikap demikian. Untuk kasus-kasus Suprapti ini, maka sebaiknya ada perlakuan khusus. Apakah pemerintah mengganti nama penerima bukan Suprapto yang mangkir dari tanggung jawab, tetapi Suprapti sebagai tulang punggung perekonomian.

Dengan demikian, maka pikiran-pikiran cerdas seperti Suprapti tidak menjadikan bantuan-bantuan pemerintah sebagai pemicu meningkatnya angka perceraian, tetapi juga menyadarkan para Suprapto bahwa haknya sebagai Kepala Keluarga bisa dialihkan jika dia tidak bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.

Tidak ada komentar: