"Hello mbak Lily, gimana kabarnya?" suara di ujung telpon menyapaku yang lagi asyik baca berita liputan6.com.
"Baik, gimana juga kabar mbak Ratih?" sahutku dengan masih asyik membaca, toh pembicaraan kami walau seringnya lumayan lama, tapi cenderung yang ringan-ringan aja.
"Ya....masih seperti ini aja, kemarin ada dari "penggemar" yang mulai pdkt, tapi rasanya kok kurang sreg. Agak kekanak-kanakan, membuat aku muak", lanjut mbak Ratih memulai pembicaraan tentang kabarnya yang sampai usia ke 39 tahun belum bisa bersanding di pelaminan.
"Gimana gak, jengkel. Sepertinya orangnya gak nyaman, kekanak-kanakan dan hanya iseng aja.Belum lagi mutu pembicaraannya, waaaahhhh.......menyebalkan!!"
"Laki-laki itu tinggal dimana dan profesinya apa?"
"Surabaya, aku juga gak tahu profesinya apa. Ini juga yang membuat aku berkesimpulan dia itu hanya iseng" suara mbak Ratih agak ketus.
Ini tadi sedikit perbincangan saya dengan seorang teman yang namanya saya samarkan. Teman saya ini usianya sudah 39 tahun, dan sampai sekarang belum mempunyai suami. Dan saya mempunyai beberapa teman yang bernasib sama. Di usia mendekati 40 tahun,belum ada suami yang mendampingi.Padahal di lihat dari wajah dan status sosialnya, mereka bukan juga tidak cantik, tapi secara ekonomi sudah bisa dikatagorikan mapan.
Dari beberapa teman wanita, yang belum menikah di usia yang matang, saya melihat ada beberapa alasan:
1. Pernah dikecewakan oleh laki-laki.
Kalau yang ini, rasanya sulit sekali baginya untuk mau memulai menerima laki-laki. Hatinya seakan membeku. Dalam pergaulan cenderung tertutup. Walau tidak terlalu kaku jika berkomunikasi dengan laki-laki.
Saya punya teman seprofesi yang mengalami seperti ini. Berbagai upaya kita lakukan untuk bisa berjodoh, tapi selalu gagal. Karena memang hatinya sudah tertutup untuk laki-laki. Alhasil sekarang kami diam saja, berharap satu saat hatinya bisa terbuka dan teman ini bisa menemukan kebahagiaan.
2. Kepribadian yang sulit.
Sifat-sifat orang berbeda-beda. Tapi yang ini sulit untuk bisa dipahami. Sehingga yang muncul di permukaan adalah pribadi yang kaku, egois, dan mau menang sendiri. Ada teman sekantor saya yang demikian. Hingga usia yang lebih dari 40 tahun, belum ada laki-laki yang mau mendekati, kamipun juga enggan mencoba mencarikan jodoh baginya.
Secara kinerja teman saya ini bagus, tetapi secara "sosial", selalu melihat seseorang dari negatifnya. Menganggap sesuatu selalu ada cacatnya. Orang-orang yang tidak selevel dengannya bukan bagian dari komunitasnya. Dan yang selevel dengannya dianggap rivalnya. Ini membuat kami bersikap ak mau ambil perduli. Terlalu beresiko bagi kami untuk mencarikan jodoh baginya.
3. Menetapkan standar terlalu tinggi.
Siapa sih yang tak punya idealisme tentang perkawinan? Tentu semua menginginkan yang terbaik. Mendapatkan lelaki yang dicintai, agama yang baik, ekonomi yang mapan dan sebagainya.
Ini jika kita bisa memilih, tapi dengan seiringnya waktu kesempatan untuk memilih itu semakin sempit. apalagi standar-standar ideal yang ingin kita canangkan, seharusnya lebih disederhanakan lagi.
Seperti pembicaraan lewat telpon dengan mba Ratih, saya mencoba meminta mba Ratih membuat skala prioritas syarat yang diinginkan.Dengan syarat syarat yang terakhir bisa kita pangkas satu persatu agar kita bisa lebih menyederhanakan stadar calon suami kita. Akhirnya muncul syarat pertama adalah agama,kepribadian, dstnya sehingga yang terakhir adalah kemampuan ekonomi.
Saya mencoba menggali persepsi mbak Ratih, gimana jika ada lelaki yang sesuai dengan standar-standar yang diinginkan, tetapi tidak memenuhi syarat yang terakhir. Paling tidak kemampuan ekonominya hanya cukup untuk membiayai diirinya. Serta merta mbak Ratih langsung menolak.
Padahal di luar sana, banyak sekali perkawinan-perkawinan yang telah berlangsung dimana laki-laki hanya mampu untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan tidak bekerja, sedangkan kebutuhan rumah tangga ditanggung sepenuhnya oleh si istri. Nyatanya perkawinan mereka langgeng dan harmonis.
3 kondisi ini yang umumnya menyebabkan banyak teman yag sampai saat ini masih sulit berjodoh, dan dari ketiga kondisi hanya kondisi terakhir yang agak mudah diselesaikan dengan disusi-diskusi kecil dengan teman. Sedangkan dua sebelumnya harus banyak konsultasi dengan psikiater.
Ada kalimat saya, yang semoga menjadi catatan bagi mbak Ratih, bahwa tak semua yang kita presiksikan baik menjadi baik pada saatnya akan baik seterusnya. Kalau ini terjadi, maka tentu tak ada perceraian. Tapi tak juga kita memperumit diri, kadang kita bisa mengambil sedikit pelajaran pernikahan dari orang-orang yang sederhana, "yang penting cukup". Cukup disini bukan hanya cukup materi, tapi juga cukup yang lain, yang menghantarkan kita pada sikap-sikap kompromis. Semoga mbak Ratih segera menemukan jodohnya. Amien....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar