Sabtu, 31 Januari 2009
INI ANAKKU, INI ANAKKU JUGA!!!!!
"Ini anakku" singkat Suprapti berkata.
"Ini anakku juga", tak kalah sengit Suprapto menukas.
Setelah itu semua diam, maklum sang hakim sebagai mediator juga diam dan hanya memandang kedua suami istri. Mereka tentunya berharap ada "pembelaan" atas daih-dalih sebelumnya yang mereka telah beberkan pada sang mediator. Dan kalimat di atas adalah klimaks dari perebutan anak yang coba diselesaikan oleh mediator sebelum perkara ini di periksa dalam proses pengadilan.
Andai anak boleh memilih, tentu mereka akan memilih Suprapto dan Suprapti sebagai ibu dan bapak yang akan mendidik dan mengasuh mereka. Ketika mereka bangun, ada keduanya di dalam rumah yang penuh kedamaian, dan jika mereka beranjak tidur, kedua orang tuanya menemani mereka sampai mata tertutup dan terbuai mimpi.
Tapi apa hendak dikata, itu hanya keinginan anak. Keinginan Suprapto dan Suprapti berbeda. Perpisahan telah menjadi pilihan mereka, yang embel-embelnya anak bukan hanya menjadi korban, tetapi kemudian menjadi obyek perselisihan.
Jika kemudian terjadi perebutan hak asuh anak, maka dalam hukum negara kita secara tegas-tegas menyatakan bahwa semuanya "demi kepentingan dan kemaslahatan anak" . Dan ini bisa diartikan juga, bukan kepentingan kedua orang tua.
Dalam UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 14 menyebutkan: "Setiap anak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir"
Demikian juga dalam pasal 41 huruf (a) UU No 1 Tahun 1974 menyebutkan: "Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberikan keputusan.
Setiap menghadapi masalah hak pengasuhan anak, baik dalam mediasi maupun perdamian dalam sidang, saya selalu berusaha menekankan pada pihak-pihak yang bersengketa, untuk mengutamakan kepentingan anak, bukan kepentingan diri sendiri.
Misalnya, pernah ada Suprapto yang lain, yang menginginkan hak asuh anak jatuh padanya, dengan dalih bahwa Suprapti istrinya tidak bisa mendidik anak, dan mempunyai perilaku yang kurang baik. Tentu jika alasan ini yang dipakai, maka hak asuh anak bisa jatuh ke suaminya (Suprapto). Tapi ketika melihat anak itu masih kecil, dan masih menyusui, hanya satu pertanyaan saya pada Suprapto: "Apakah saudara bisa menggantikan peran Suprapti menyusui anak ini?". Suprapto hanya terdiam, kemudian mengurungkan niatnyamengasuh anak, sampai anak tersebut selesai masa menyusui.
Dalam hukum, jelas sekali bahwa anak yang di bawah umur, maka pengasuhan ada di tangan ibunya, dan bapak mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah. Kemudian Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa, anak-anak yang setelah mumayiz, berhak memilih hadhonah apakah bapaknya atau ibunya (pasal 156 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam) Tetapi semuanya tentu atas pertimbangan demi kepentingan anak.
Maka, pernah dalam satu perkara kami majelis hakim menolak permohonan saudara suami untuk menjadi wali dari seorang anak, sebutlah Fulan, tetapi tidak juga menetapkan ibunya sebagai wali dari si Fulan. Pertimbangan majelis, bahwa jika hakim menerima permohonan wali dari saudara dari sang bapak (Suprapto) yang sudah meninggal, tentu bertentangan dengan UU karena masih ada ibu (Suprapti) yang berhak, tetapi jika menetapkan Suprapti yang mengasuh, tentu akan membuat "goncangan psikologis" bagi si Fulan yang selama ini dalam asuhan keluarga suaminya.
Secara singkat kasusnya: Suprapto dan Suprapti bercerai dan mempunyai seorang anak yang masih kecil bernama Fulan. Setelah perceraian, dan atas kesepakatan bersama, Fulan diasuh dan dipelihara oleh Suprapto. Tak berapa lama setelah bercerai, Suprapto meninggal dunia. Fulan kemudian tinggal dan dipelihara oleh kakak dan bapaknya Suprapto (pak de dan kakek Fulan)
Karena pakde dan kakek Fulan merasa mereka memelihara Fulan tanpa dasar hukum, utamanya juga tentang hak pensiun yang diterima Fulan, mereka mengajukan permohonan perwalian terhadap Fulan. Tentu Suprapti keberatan dengan upaya yang dilakukan oleh keluarga Suprapto. Suprapti merasa dirinyalah yang lebih berhak mengasuh Fulan sepeninggal Suprapto.
Tetapi dalam persidangan majelis melihat bahwa Fulan lebih merasa nyaman dan tenang tinggal di lingkungan keluarga bapaknya. Dan jika Fulan harus berpindah ke asuhan ke Suprapti, maka Fulan akan merasa tercabik dari lingkungan yang selama ini mengayominya. Tentu ini akan menyebabkan goncangan psikologis bagi Fulan, apalagi baru saja ditinggal oleh bapak yang selama ini mengasuhnya.
Majelis juga berpendapat bahwa ibunya (Suprapti) bukan orang yang tidak tepat untuk mengasuh Fulan, tetapi keluarga bapaknya juga bukan lebih berhak mengasuh Fulan. Tetapi demi kepentingan Fulan, dimana selama ini diasuh oleh keluarga bapaknya, maka majelis menolak permohonan kakak Suprapto, tetapi majelis juga tidak menetapkan Suprapti yang memegang hak asuh dari Fulan. Artinya saat putusan itu dijatuhkan, status Fulan adalah "status quo" dalam asuhan keluarga bapaknya, tanpa naungan hukum.Hingga saatnya Fulan tiba masa mumayiz dan akan menentukan pilihan. Hal ini diputuskan majelis adalah mengutamakan kepentingan Fulan (khususnya kepentingan sosial dan psikologis) kemudian mempertimbangkan aspek hukumnya.Atas putusan ini, kedua pihak dapat menerima, dan tidak mengajukan banding.
Andai setiap orang tua yang menghadapi masalah hak asuh anak pasca perceraian menyadari ini, maka tentu kata-kata: "Ini anakku, Ini anakku juga" tak akan terjadi, tapi akan muncul kata-kata: "Ini anak kita, janganlah kita korbankan anak kita karena kepentingan kita. Mari kita asuh dan rawat bersama anak kita ini".
Nasib di hari Minggu (25 Jan 09)
Dibilang "sial" rasanya tidak, dibilang "apes" juga tak sepenuhnya. Mungkin nasib aja kali, kami mampir di dua resto, tapi nyaris tidak bisa mendapat apa-apa.
Ceritanya Ahad (25 Januari 2009) kemarin, mau jemput kak Abil yang lagi Latihan Dasar Kepemimpinan (LDS) di kaliurang.
Nah, mumpung ke arah utara, maka diputuskan akan mampir makan di resto air boyong kalegan. Anak-anak paling senang kesini, bukan karena menunya, tapi karena bisa main getek.
Kalau orang tuanya, tentu milih resto "lombok ijo" yang hampir berdekatan dengan boyong kalegan. Karena di resto ini kita makan sehat, menu ala desa sayur lombok ijo, nasi merah dan semuanya tidak memakai penyedap rasa. Tapi mama-papa kalah suara dengan anak-anak yang memilih ke boyong kalegan.
Sesampai di boyong kalegan, ternyata semua bale-bale terisi penuh. Sudah memutar tak dapat juga, maklum ini hari libur dan masa long week end, tamu-tamu dari luar kota memenuhi semua bale-bale.Sempat dapet satu bale, tapi kemudian ditempati orang, ya....sebagai orang sabar (ehem....) biarlah, kita menunggu siapa tahu ada yang segera kosong. Dan untuk mengisi waktu, maka anak kita main getek dulu.
Ternyata, sampai selesai main getek dan kak Abil sudah telpon kalau segera minta dijemput, tak ada satu balepun yang kosong. Alhasil, hari itu kami ke boyong Kalegan hanya untuk main getek. Dan bagi anak-anak, ini tak masalah, karena tujuan utama ke boyong kalegan, untuk main getek, bukan makan
Setelah jemput kakak di villa RRI Kaliurang, dan setelah jalan-jalan sbentar, perut sudah mulai lapar. Akhirnya diputuskan makan di mbah Carik di kaliurang. Semua memsan makanan sesuai dengan selera masing-masing.
Tunggu punya tunggu, ternyata makanan kami belum dimasak, karena yang datang kemudian sudah disajikan lebih dulu. Selidik punya selidik, nota pemesanan yang diantar anak-anak, tak diteruskan ke pantry. Alhasil pesanan makanan tidak terlayani. (Ini akibat mama yang selalu mempercayakanke anak-anak, mengajarkan mereka mansiri, tetapi kondisi sosial belum bisa menerima. Belum menagangggap anak-anak layak dilayani sebagai sososk mandiri. Nota pesanan mereka bukan menjadi perhatian).
Ya...udah deh, karena waktu sudah sore dan kami harus turun, maka batalah makan di mbah Carik. Hanya "untungnya" sebelum memesan makanan pokok, mama sudah membeli duluan jadah dan tempe bacem, yang sore itu bisa menjadi "pengganjel" perut yang mulai melilit.
Rabu, 28 Januari 2009
ETIKA BERACARA DI PERSIDANGAN
Berbicara etika,memang tidak ada peraturan baku, apalagi etika dalam persidangan. Sebagaimana interaksi kita dengan sesama, maka seyogyanya dalam persidangan juga ada etika-etika yang dipenuhi. Dan seyogyanya pula, etika dalam persidangan tidak jauh berbeda dengan etika-etika yang lain, hanya bedanya dalam persidangan posisi hakim adalah sentral, sehingga banyak hal yang tolak ukurnya adalah hakim.
Maksudnya, karena hakim yang mengendalikan persidangan, maka tata laksananya, cenderung mengikuti hakim.Tetapi ada hal-hal umum yang berlaku universal, termasuk juga di dalam persidangan.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian sebagai etika jika kita beracara di persidangan.Karena jika hal-hal demikian dilanggar, maka bisa dikatagorikan sebagai "penghinaan terhadap lembaga peradilan".
1. PERILAKU/ SIKAP
Sebaiknya berperilaku sopan. Siapapun yang berperilaku sopan pasti akan dihormati, termasuk hakim akan menghormati. Kita sering mendengar hakim menegur menegur terdakwa atau pihak-pihak dalam persidangan jika hakim menilai sikap-sikap yang ditunjukkan kurang beretiket.
Siapapun orangnya, entah petinggi negera, entah rakyat biasa, jika dalam persidangan menunjukkkan sikap yang kurang baik, maka hakim akan segera menegur dan meminta orang tersebut untuk berperilaku sopan.
Saya pernah menegur seorang Penggugat, karena dalam persidangan ketika hakim memeriksa saksi, Penggugat justru sibuk mematut-matutkan diri. Sibuk membenahi rambutnya, dan ini nyaris terus menerus.Saya menilai Penggugat tersebut tidak memperhatikan jalannya persidangan. Padahal pada akhirnya hakim akan mengkonfirmasi keterangan saksi dengan Penggugat.
2. BERPAKAIAN
Dalam perkara pidana, para terdakwa berpakaian putih. Sedangkan dalam perkara perdata, hal ini tidak diatur. Tetapi tentunya tidak berpakaian yang seronok dan tidak sopan. Untuk wanita tentu jika berpakaian, tidak perlu dengan belahan dada yang terlalu lebar, dan rok yang tidak terlalu mini. Karena posisi duduknya akan berhadap-hadapan, dan jika memakai pakaian yang "minimalis", maka untuk sebagian hakim ini tidak nyaman. Dan untuk laki-laki, sebaiknya tidak menggunakan kaos oblong. Pakailah kemeja dan celana yang rapi. Kenakan sepatu, bukan sendal jepit.
Hakim, jaksa dan pengacara saja dalam persidangan pidana wajib menggunakan toga, sedangkan pengacara dalam perkara perdata selalu datang menggunakan dasi, tentu ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap proses persidangan.
Pernah dalam satu perkara, saya mendapati salah satu pihak datang dengan jalan terseok-seok dan kemeja batik yang sepertinya ukurannya kurang pas untuk digunakan. Saya mencoba menanyakan, apakah Penggugat tersebut dalam keadaan sakit, karena jalan tadi terseok-seok. Dan pertanyaan saya dijawab bahwa Penggugat memakai sepatu dan kemeja batik pinjaman, karena sebagai buruh tani tidak punya sepatu dan tidak bisa menggunakan sepatu. Sebagai hakim, saya haru, karena ini bentuk kesadarannya untuk menghormati institusi pengadilan, walau harus mengorbankan diri meminjam dan menggunakan sepatu.
3. TUTUR KATA.
Sering kita mendengar pihak-pihak yang berperkara menyebut hakim sebagai :"Yang Mulia". Itu semua kita kembalikan pada yang bersangkutan, walau hakim tak meminta penyebutan demikian. Tetapi sebaliknya juga, tentu tidak juga menggunakan kata-kata yang tidak ada tempatnya dengan menyebut "kamu, sampeyan" dan semacamnya.
Untuk pihak-pihak yang sering beracara di pengadilan, seperti pengacara sudah telatih untuk berkata demikian, walau kadang di antara mereka juga ada gesekan-gesekan kepentingan, tetapi tetap menjaga tutur kata yang baik.
Pernah ada pihak yang beracara, sudah tua dan (maaf) kurang berpendidikan. Bapak ini mungkin tahunya semua yang ada di lembaga peradilan adalah jaksa. Maka setiap persidangan memanggil hakim dengan: "bu jekso dan pak jekso". Tapi ini oleh hakim sangat dimaklumi,karena keterbatasan pengetahuan dari yang bersangkutan.
Ketika hal di atas, adalah hal-hal normatif yang seyogyanya dilaksanakan, tetapi bukan juga sebagai aturan yang mengkerangkeng kita untuk bertindak. Bukan juga sebagai hukum yang kaku, tetapi anggaplah ini sebagai tatakrama yang sebaiknya dilaksanakan.
Maksudnya, karena hakim yang mengendalikan persidangan, maka tata laksananya, cenderung mengikuti hakim.Tetapi ada hal-hal umum yang berlaku universal, termasuk juga di dalam persidangan.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian sebagai etika jika kita beracara di persidangan.Karena jika hal-hal demikian dilanggar, maka bisa dikatagorikan sebagai "penghinaan terhadap lembaga peradilan".
1. PERILAKU/ SIKAP
Sebaiknya berperilaku sopan. Siapapun yang berperilaku sopan pasti akan dihormati, termasuk hakim akan menghormati. Kita sering mendengar hakim menegur menegur terdakwa atau pihak-pihak dalam persidangan jika hakim menilai sikap-sikap yang ditunjukkan kurang beretiket.
Siapapun orangnya, entah petinggi negera, entah rakyat biasa, jika dalam persidangan menunjukkkan sikap yang kurang baik, maka hakim akan segera menegur dan meminta orang tersebut untuk berperilaku sopan.
Saya pernah menegur seorang Penggugat, karena dalam persidangan ketika hakim memeriksa saksi, Penggugat justru sibuk mematut-matutkan diri. Sibuk membenahi rambutnya, dan ini nyaris terus menerus.Saya menilai Penggugat tersebut tidak memperhatikan jalannya persidangan. Padahal pada akhirnya hakim akan mengkonfirmasi keterangan saksi dengan Penggugat.
2. BERPAKAIAN
Dalam perkara pidana, para terdakwa berpakaian putih. Sedangkan dalam perkara perdata, hal ini tidak diatur. Tetapi tentunya tidak berpakaian yang seronok dan tidak sopan. Untuk wanita tentu jika berpakaian, tidak perlu dengan belahan dada yang terlalu lebar, dan rok yang tidak terlalu mini. Karena posisi duduknya akan berhadap-hadapan, dan jika memakai pakaian yang "minimalis", maka untuk sebagian hakim ini tidak nyaman. Dan untuk laki-laki, sebaiknya tidak menggunakan kaos oblong. Pakailah kemeja dan celana yang rapi. Kenakan sepatu, bukan sendal jepit.
Hakim, jaksa dan pengacara saja dalam persidangan pidana wajib menggunakan toga, sedangkan pengacara dalam perkara perdata selalu datang menggunakan dasi, tentu ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap proses persidangan.
Pernah dalam satu perkara, saya mendapati salah satu pihak datang dengan jalan terseok-seok dan kemeja batik yang sepertinya ukurannya kurang pas untuk digunakan. Saya mencoba menanyakan, apakah Penggugat tersebut dalam keadaan sakit, karena jalan tadi terseok-seok. Dan pertanyaan saya dijawab bahwa Penggugat memakai sepatu dan kemeja batik pinjaman, karena sebagai buruh tani tidak punya sepatu dan tidak bisa menggunakan sepatu. Sebagai hakim, saya haru, karena ini bentuk kesadarannya untuk menghormati institusi pengadilan, walau harus mengorbankan diri meminjam dan menggunakan sepatu.
3. TUTUR KATA.
Sering kita mendengar pihak-pihak yang berperkara menyebut hakim sebagai :"Yang Mulia". Itu semua kita kembalikan pada yang bersangkutan, walau hakim tak meminta penyebutan demikian. Tetapi sebaliknya juga, tentu tidak juga menggunakan kata-kata yang tidak ada tempatnya dengan menyebut "kamu, sampeyan" dan semacamnya.
Untuk pihak-pihak yang sering beracara di pengadilan, seperti pengacara sudah telatih untuk berkata demikian, walau kadang di antara mereka juga ada gesekan-gesekan kepentingan, tetapi tetap menjaga tutur kata yang baik.
Pernah ada pihak yang beracara, sudah tua dan (maaf) kurang berpendidikan. Bapak ini mungkin tahunya semua yang ada di lembaga peradilan adalah jaksa. Maka setiap persidangan memanggil hakim dengan: "bu jekso dan pak jekso". Tapi ini oleh hakim sangat dimaklumi,karena keterbatasan pengetahuan dari yang bersangkutan.
Ketika hal di atas, adalah hal-hal normatif yang seyogyanya dilaksanakan, tetapi bukan juga sebagai aturan yang mengkerangkeng kita untuk bertindak. Bukan juga sebagai hukum yang kaku, tetapi anggaplah ini sebagai tatakrama yang sebaiknya dilaksanakan.
Selasa, 27 Januari 2009
LIBUR IMLEK DI PARANGTRITIS
Sabtu, 24 Januari 2009
biaya untuk rokok lebih banyak dari biaya untuk anak dan istri.
Sering sekali dalam persidangan, seorang suami berdalih bahwa ia telah menunaikan kewajiban untuk memberi nafkah pada istri dan anak-anaknya.
"Saya tetap memberi nafkah bagi anak dan istri saya bu"
"Berapa yang saudara berikan, dan apakah rutin saudara laksanakan?"
"Rutin bu, dan saya selalu meberi 100 ribu"
"100 ribu itu untuk berapa lama?
"satu bulan bu"
(Hakimnya tarik nafas panjang)
"Saudara rutin merokok?"
"Ya bu"
"Sehari berapa yang saudara keluarkan untuk rokok?"
"rata-rata 7 - 10 ribu bu"
"Jadi kira-kira sebulan saudara keluarkan 300 ribu untuk rokok?"
"Ya...sekitar itu bu"
"Jadi lebih banyak untuk rokok daripada untuk istri dan anak-anak?
(si suami hanya terdiam dan tak berani menatap wajah hakim lagi)
Dialog di atas, bisa menjadi gambaran betapa banyak sekali suami yang belum "sadar"apa yang telah dilakukan terhadap istri dan anak-anak. Dengan nafkah yang sangat minim, bahkan di bawah anggaran rokoknya, para suami sudah merasa telah menunaikan kewajibannya dengan sempurna.
Tulisan ini bukan semata suara anti rokok, tapi ingin mengajak para suami agar "proporsional" mengalokasikan pendapatannya. Beri skala prioritas, dibanding penghasilannya untuk rokok, lebih baik untuk nafkahi anak dan istri.
Andai saya bisa menggambar karikatur, dialog di atas akan saya buatkan karikatur. Pesan dari karikatur bisa bermakna ganda, menyentil para suami yang gak "nyadar" akan kewajibannya, dan juga bisa menjadi bagian dari kampanye anti rokok.
Kadang jika suami masih belum sadar, akan kekeliruannya mengalokasikan dana rokok , saya minta suami tadi berhitung. Dana 100 ribu untu sebulan, jika dibagi perhari menjadi berapa. Jika dijawab 3 ribu, saya taya lebih lanjut bahwa jika 3 rb untuk makan 3 kali,maka tiap kali makan jatahnya seribu rupiah. "Kira-kira bisa tidak anak dan istri sekali makan seribu rupiah?".
Mulai sekarang, sudah saatnya para suami harus memberi nafkah pada anak istrinya melebihi biaya rokok yang dikeluarkan setiap bulannya. Setuju????
(gambar: http://irwandykapalawi.files.wordpress.com/2007/12/rokok1-copy.jpg)
HAKIM DAN PENGADILAN BUKANLAH MENARA GADING
Hakim tidak harus dengan wajah dingin dan angkuh seakan-akan ini menunjukkan kewibawaan hakim. Yang dinilai bukan itu, tapi bagaimana hakim bisa mengadili dengan seadil-adilnya dan menghasilkan putusan yang berkualitas.
Paradigma wajah dingin hakim ingin saya kikis habis, khususnya di PA Bantul.Mumpung saat ini saya jadi hakim pengawas pelayanan publik. Walau ada teman yang meyatakan bahwa hal ini bisa punya implikasi buruk, nanti diduga hakim "memihak" salah satu pihak.
Saya mencoba menguatkan bahwa orang bisa membedakan sapaan atau keramahan yang punya nilai "keberpihakan" dan sapaan sebagai keramahan. Selama keramahan itu datangnya dari hati yang tidak memihak, maka itu akan muncul di wajah kita. Demikian sebaliknya.
Yang dilarang oleh Mahkamah Agung adalah hakim menerima tamu yang berkaitan dengan perkara. Sehingga saat ini di ruang hakim tidak disediakan kursi tamu. Demikian juga hakim tidak boleh menerima salah satu pihak melarang hakim-hakim atau aparat pengadilan untuk bersikap ramah, apalagi mengayomi masyarakat pencari keadilan. Lambang Mahkamah Agung saja bertuliskan: Pengayoman.
Selama ini, jika berpapasan dengan hakim, maka kesan yang muncul adalah "wajah dingin" bahkan cenderung menunjukkan keangkuhan. Seharusnya ini tidak boleh terjadi, karena masyarakat pencari ke adilan datang ke pengadilan, karena mereka punya "masalah". Jadi jangan tambah beban mereka dengan wajah dingin, angker, dari hakim apalagi pegawai pengadilan.
Tanamkan slogan:"Senyum,Salam,Sapa, Service" bagi pencari keadilan.
SENYUM
Senyum paling tidak hal yang paling mudah, tidak perlu keluar enegri yang besar, tapi justru kita mendapat energi yang positif. Betapa indahnya jika setiap kita berpapasan dengan pencari keadilan, maka pertama yang kita anugerahi adalah senyum. Mungkin pada awalnya dari rumah dalam keadaan emosi, tetapi sapai di pengadilan emosinya mereda.
SALAM
Setelah senyum, maka sebaiknya kita menyapa. Syukur bisa mengucapkan:"Assalamu'alaikum". Jika tidak,maka maka menurut "kearifan lokal" menganggukan kepala saja sudah cukup. Hal ini sudah menunjukkan rasa welcome kita pada masyarakat pencari keadilan.
Tapi khusus pegawai yang bertugas di resepsionis, hal ini wajib dilakukan.
SAPA
Menyapa tidak harus berbicara pajang lebar. Banyak "kearifan lokal" yang hanya satu-dua kata, yang sudah bisa dimaknai sebagai menyapa. Misalnya :"monggo, nyuwun sewu",dsbnya.
Menyapa disini tak harus berbicara dengan setiap orang. Tapi andai kita menemui hal-hal tertentu, maka sapaan ini wajib diucapkan
Sedangkan resepsionis,lagi-lagi wajib hukumnya. Harus menyapa, paling tidak setelah senyum dan salam adalah:"Ada yang bisa kami bantu?".
SERVIS
Jangan mentang-mentang merasa hakim, ketika ada pencari keadilan menanyakan sesuatu, langsung meminta menanyakan ke bagian konsultasi/pendaftaran. Jangan sampai terjadi peristiwa seperti ini.
"Maaf pak/bu boleh tanya?
"Oh, silahkan langsung ke bagian konsultasi"hakim/pegawai menunjuk ke bagian konsultasi.
Akhirnya tamu tadi menuju ke bagian konsultasi
"Maaf pak/bu boleh tanya?"
"Silahkan bu,apa yang bisa kami bantu?"
"Saya mau tanya kamar mandinya sebelah mana ya?"
Peristiwa di atas adalah betul-betul konyol!!! Dan tidak akan terjadi jika aparat pengadilan tidak memberikan servis yang baik. Semua aparat pengadilan sebaiknya memberi pelayanan yang baik. Jangan ada unsur keterpaksaan. Kita bekerja untuk rakyat dan dibayar oleh rakyat. Sudah sepatutnya kita mengembalikan itu semua pada rakyat dengan pelayanan yang baik.
Dan khusus untuk loket informasi dan konsultasi, harus bisa melayani sebaik-baiknya.Jawab dan tuntaskan semua. Terangkan apa yang mesti diketahui, jawab semua pertanyaan dengan tuntas.
"Sebaiknya hakim menjelaskan sepintas
Andai ini bisa dilaksanakan, maka wajah pengadilan sebagai wajah keangkuhan, akan sirna. Janganlah diartikan wajah empat jagak kokoh di setiap wajah pengadilan sebagai keangkuhan, tetapi kekokohan untuk melindungi rakyat untuk mendapat keadilan yang diinginkan.
Pengadilan bukanlah menara gading!!!!
Paradigma wajah dingin hakim ingin saya kikis habis, khususnya di PA Bantul.Mumpung saat ini saya jadi hakim pengawas pelayanan publik. Walau ada teman yang meyatakan bahwa hal ini bisa punya implikasi buruk, nanti diduga hakim "memihak" salah satu pihak.
Saya mencoba menguatkan bahwa orang bisa membedakan sapaan atau keramahan yang punya nilai "keberpihakan" dan sapaan sebagai keramahan. Selama keramahan itu datangnya dari hati yang tidak memihak, maka itu akan muncul di wajah kita. Demikian sebaliknya.
Yang dilarang oleh Mahkamah Agung adalah hakim menerima tamu yang berkaitan dengan perkara. Sehingga saat ini di ruang hakim tidak disediakan kursi tamu. Demikian juga hakim tidak boleh menerima salah satu pihak melarang hakim-hakim atau aparat pengadilan untuk bersikap ramah, apalagi mengayomi masyarakat pencari keadilan. Lambang Mahkamah Agung saja bertuliskan: Pengayoman.
Selama ini, jika berpapasan dengan hakim, maka kesan yang muncul adalah "wajah dingin" bahkan cenderung menunjukkan keangkuhan. Seharusnya ini tidak boleh terjadi, karena masyarakat pencari ke adilan datang ke pengadilan, karena mereka punya "masalah". Jadi jangan tambah beban mereka dengan wajah dingin, angker, dari hakim apalagi pegawai pengadilan.
Tanamkan slogan:"Senyum,Salam,Sapa, Service" bagi pencari keadilan.
SENYUM
Senyum paling tidak hal yang paling mudah, tidak perlu keluar enegri yang besar, tapi justru kita mendapat energi yang positif. Betapa indahnya jika setiap kita berpapasan dengan pencari keadilan, maka pertama yang kita anugerahi adalah senyum. Mungkin pada awalnya dari rumah dalam keadaan emosi, tetapi sapai di pengadilan emosinya mereda.
SALAM
Setelah senyum, maka sebaiknya kita menyapa. Syukur bisa mengucapkan:"Assalamu'alaikum". Jika tidak,maka maka menurut "kearifan lokal" menganggukan kepala saja sudah cukup. Hal ini sudah menunjukkan rasa welcome kita pada masyarakat pencari keadilan.
Tapi khusus pegawai yang bertugas di resepsionis, hal ini wajib dilakukan.
SAPA
Menyapa tidak harus berbicara pajang lebar. Banyak "kearifan lokal" yang hanya satu-dua kata, yang sudah bisa dimaknai sebagai menyapa. Misalnya :"monggo, nyuwun sewu",dsbnya.
Menyapa disini tak harus berbicara dengan setiap orang. Tapi andai kita menemui hal-hal tertentu, maka sapaan ini wajib diucapkan
Sedangkan resepsionis,lagi-lagi wajib hukumnya. Harus menyapa, paling tidak setelah senyum dan salam adalah:"Ada yang bisa kami bantu?".
SERVIS
Jangan mentang-mentang merasa hakim, ketika ada pencari keadilan menanyakan sesuatu, langsung meminta menanyakan ke bagian konsultasi/pendaftaran. Jangan sampai terjadi peristiwa seperti ini.
"Maaf pak/bu boleh tanya?
"Oh, silahkan langsung ke bagian konsultasi"hakim/pegawai menunjuk ke bagian konsultasi.
Akhirnya tamu tadi menuju ke bagian konsultasi
"Maaf pak/bu boleh tanya?"
"Silahkan bu,apa yang bisa kami bantu?"
"Saya mau tanya kamar mandinya sebelah mana ya?"
Peristiwa di atas adalah betul-betul konyol!!! Dan tidak akan terjadi jika aparat pengadilan tidak memberikan servis yang baik. Semua aparat pengadilan sebaiknya memberi pelayanan yang baik. Jangan ada unsur keterpaksaan. Kita bekerja untuk rakyat dan dibayar oleh rakyat. Sudah sepatutnya kita mengembalikan itu semua pada rakyat dengan pelayanan yang baik.
Dan khusus untuk loket informasi dan konsultasi, harus bisa melayani sebaik-baiknya.Jawab dan tuntaskan semua. Terangkan apa yang mesti diketahui, jawab semua pertanyaan dengan tuntas.
"Sebaiknya hakim menjelaskan sepintas
Andai ini bisa dilaksanakan, maka wajah pengadilan sebagai wajah keangkuhan, akan sirna. Janganlah diartikan wajah empat jagak kokoh di setiap wajah pengadilan sebagai keangkuhan, tetapi kekokohan untuk melindungi rakyat untuk mendapat keadilan yang diinginkan.
Pengadilan bukanlah menara gading!!!!
Rabu, 21 Januari 2009
PAPI TELAH MENGAJARKAN UNTUK TIDAK MENERIMA SUAP.
Godaan pada hakim memang begitu derasnya. Khususnya godaan untuk menerima "hadiah", yang tentunya ujung-ujungnya untuk mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan.Jika hakim itu tak mampu bertahan,maka akan hanyut oleh derasnya godaan itu. Dan jika sudah hanyut sangat sulit untuk menepi dan kembali.
Alhamdulillah, atas didikan papi (terima kasih papi, ajaran papi begitu mengakar ke Lily), godaan-godaan itu bisa ditepis. Sebagai hakim, tentu pernah ditawari berbagai "hadiah"yang nilainya tidak sedikit. Bahkan pernah saya akhirnya harus bersikap keras ke teman kuliah karena mencoba menawarkan negosiasi atas perkara yang lagi saya tangani.
Sejak kecil, saat masih SD, papi telah "mengajarkan" untuk tidak menerima pemberian orang lain yang punya tendensi tertentu. Ajaran ini sengaja papi tanamkan pada mami dan anak-anak, karena papi yakin, orang-orang yang ingin menyuap, akan menyerang keluarga yang lain jika papi tidak bisa disuap. Posisi papi memang sangat potensial untuk menerima pemberian-pemberian orang, utamanya ha-hal yang berkaitan dengan penerimaan pegawai/guru.
Dan ini terbukti, saya waktu SD pernah "diberi" amplop yang sangat tebal, serta merta saya yang masih kecil menolak pemberian orang tersebut.Dan beberapa peristiwa yang kesemuanya menempa kami untuk tak silau dengan godaan-godaan seperti itu.
Bahkan, ada satu peristiwa yang sebagai manusia biasa saya pun haru. Ini terjadi setelah kami beranjak dewasa, dan saat itu sebagai kakanwil. Seorang tua dari kampung yang sangat jauh dari Manado. Sengaja datang ke rumah, membawa singkong dan pisang. Sebagai rasa syukur karena papi telah menolong anaknya menjadi PNS. Selama ini anaknya yang pintar, selalu diterima sebagai PNS, tetapi dalam proses pengusulan, selalu diganti oleh orang lain. Akhirnya anaknya gagal menjadi PNS.Konon ini dilakukan oleh oknum pada masa kakanwil sebelum papi.
Mengetahui hal tersebut, papi yang memang betul-betul fair dalam perekrutan pegawai, mengangkat anak bapak tua tadi. Dan sebagai orang yang tak punya apa-apa, maka singkong dan pisang dari hasil kebun dibawa ke rumah. Jerih payah orang itu diterima papi, tapi papi menolak untuk menerima pemberian. Bapak tadi sampai mohon pada papi agar menerima rasa syukurnya dengan menerima oleh-olehnya tadi. Bahkan bapaknya mengaku jika oleh-olehnya tadi tidak diterima, maka hanya menjadi beban baginya untuk dibawa kembali ke kampung.
Papi bersikeras tak mau menerima, dan menawarkan jika bawaan tadi menjadi beban, maka orang tua tadi akan diantarkan sopir pulang ke kampung sambil membawa singkong dan pisang yang dibawakan untuk kami.
Tadi, saat sidang, tiba-tiba kami disodori kotak kue. Rasanya jumlah tak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar 6 kotak. Tentu "cukup" untuk majelis yang berjumlah 3 orang dan 1 orang, tapi serta merta kami tolak. Jika dilihat dari bentuk, tentu "harga" kotak-kotak kue tadi belumlah layak dikatakan gratifikasi sebagaimana didengungkan oleh KPK. Tapi kami memang menolak bentuk pemberian sekecil apapun, karena tak ingin meracuni perilaku kami.
Tanpa diajarkan KPK, sejak kecil pun, papi telah mengajarkan kami untuk menerima pemberian yang punya tendensi apapun. Di balik itu, papi pernah sangat menghargai bentuk pemberian dari sahabatnya, berupa kacang-kacang yang dibungkus kecil-kecil. Bahkan papi pernah senang sekali menerima pemberian "kaos golkar" sebagai barang terbaik yang dimiliki sahabatnya. Walau dalam hati papi:"Saudaraku....setiap masa kampanye saya membuat kaos seperti ini dalam jumlah banyak".
Terima kasih papi......ajaran papi tentang suap begitu melekat. Mohon doa, kedepannya tetap melekat dan bisa menyebar ke teman-teman yang masih agak kompromi karena mau menerima suap.
Alhamdulillah, atas didikan papi (terima kasih papi, ajaran papi begitu mengakar ke Lily), godaan-godaan itu bisa ditepis. Sebagai hakim, tentu pernah ditawari berbagai "hadiah"yang nilainya tidak sedikit. Bahkan pernah saya akhirnya harus bersikap keras ke teman kuliah karena mencoba menawarkan negosiasi atas perkara yang lagi saya tangani.
Sejak kecil, saat masih SD, papi telah "mengajarkan" untuk tidak menerima pemberian orang lain yang punya tendensi tertentu. Ajaran ini sengaja papi tanamkan pada mami dan anak-anak, karena papi yakin, orang-orang yang ingin menyuap, akan menyerang keluarga yang lain jika papi tidak bisa disuap. Posisi papi memang sangat potensial untuk menerima pemberian-pemberian orang, utamanya ha-hal yang berkaitan dengan penerimaan pegawai/guru.
Dan ini terbukti, saya waktu SD pernah "diberi" amplop yang sangat tebal, serta merta saya yang masih kecil menolak pemberian orang tersebut.Dan beberapa peristiwa yang kesemuanya menempa kami untuk tak silau dengan godaan-godaan seperti itu.
Bahkan, ada satu peristiwa yang sebagai manusia biasa saya pun haru. Ini terjadi setelah kami beranjak dewasa, dan saat itu sebagai kakanwil. Seorang tua dari kampung yang sangat jauh dari Manado. Sengaja datang ke rumah, membawa singkong dan pisang. Sebagai rasa syukur karena papi telah menolong anaknya menjadi PNS. Selama ini anaknya yang pintar, selalu diterima sebagai PNS, tetapi dalam proses pengusulan, selalu diganti oleh orang lain. Akhirnya anaknya gagal menjadi PNS.Konon ini dilakukan oleh oknum pada masa kakanwil sebelum papi.
Mengetahui hal tersebut, papi yang memang betul-betul fair dalam perekrutan pegawai, mengangkat anak bapak tua tadi. Dan sebagai orang yang tak punya apa-apa, maka singkong dan pisang dari hasil kebun dibawa ke rumah. Jerih payah orang itu diterima papi, tapi papi menolak untuk menerima pemberian. Bapak tadi sampai mohon pada papi agar menerima rasa syukurnya dengan menerima oleh-olehnya tadi. Bahkan bapaknya mengaku jika oleh-olehnya tadi tidak diterima, maka hanya menjadi beban baginya untuk dibawa kembali ke kampung.
Papi bersikeras tak mau menerima, dan menawarkan jika bawaan tadi menjadi beban, maka orang tua tadi akan diantarkan sopir pulang ke kampung sambil membawa singkong dan pisang yang dibawakan untuk kami.
Tadi, saat sidang, tiba-tiba kami disodori kotak kue. Rasanya jumlah tak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar 6 kotak. Tentu "cukup" untuk majelis yang berjumlah 3 orang dan 1 orang, tapi serta merta kami tolak. Jika dilihat dari bentuk, tentu "harga" kotak-kotak kue tadi belumlah layak dikatakan gratifikasi sebagaimana didengungkan oleh KPK. Tapi kami memang menolak bentuk pemberian sekecil apapun, karena tak ingin meracuni perilaku kami.
Tanpa diajarkan KPK, sejak kecil pun, papi telah mengajarkan kami untuk menerima pemberian yang punya tendensi apapun. Di balik itu, papi pernah sangat menghargai bentuk pemberian dari sahabatnya, berupa kacang-kacang yang dibungkus kecil-kecil. Bahkan papi pernah senang sekali menerima pemberian "kaos golkar" sebagai barang terbaik yang dimiliki sahabatnya. Walau dalam hati papi:"Saudaraku....setiap masa kampanye saya membuat kaos seperti ini dalam jumlah banyak".
Terima kasih papi......ajaran papi tentang suap begitu melekat. Mohon doa, kedepannya tetap melekat dan bisa menyebar ke teman-teman yang masih agak kompromi karena mau menerima suap.
Ilmu dari Asmeliardi CW
"Li, lagi ngapain?" suara Fatra di ujung telpon
"Baru selesai bacain cerita anak-anak, dan ini sudah mau tidur"jawabku.Maklum sudah hampir jam 9 malam.
"Ini nih, Asmel lagi di Yogya, kita kumpul-kupul yuk....Kita jemput Lily ya?"
"Waduh....leherku sakit banget, tadi mau ke mang Udin, tapi mang Udin lagi di luar kota"
"Ayolah Li.....besok Asmel sudah mau balik"
"Emangnya mau kemana?"
"Terserah Lily aja"
"Oke, tapi di daerah selatan aja ya....biar gak terlalu jauh dari rumah. Kita ke alun-alun utara aja di di bakmi pak Pele. Ketemu disana aja."
Maka, malam itu aku langsung ke pak Pele. Jaraknya gak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar 8 km.Sampai disana, ternyata Fatra, Ilham dan Asmel sudah mulai makan bakmi sesuai pesanan masing-masing.
Seperti biasa....jika bertemu dengan teman-teman lama, ngobrolnya ngalor-ngidul. Dan yang utama adalah pelajaran-pelajaran bisnis yang diberikan Asmel.Plus satu lagi: "Kita kalau memberi bantuan ke orang, berilah sampai orang yang menerima "terkaget-kaget", supaya Allah juga memberi juga uang pada kita yang memuat kita terkaget-kaget".
Dan rasanya tak menyesal juga, karena Asmel kemudian unjuk kebolehan "ngamen", hobi lama sebagai awak capelin's yang lama tak diasah.
Asmel juga memberi contoh, dengan memberi fee kepada pengamen yang membuat pengamen juga "terkaget-kaget" menerima fee dari Asmel.
PILIH TETAP PNS ATAU PILIH PUNYA SUAMI?
Pertanyaan tadi akan muncul jika seorang PNS wanita akan menjadi istri kedua dari laki-laki (yang tentunya) sudah beristri.
Pilihan yang sulit, karena zaman sekarang untuk menjadi PNS adalah merupakan perjuangan yang tidak mudah. Harus berkompetisi dengan ribuan orang, dan jika akhirnya kompetisi itu kita menangkan apakah harus dilepaskan begitu saja hanya demi seorang laki-laki.
Di sisi yang lain, cinta kepada calon suami tentu melewati pertimbangan sebagai PNS wanita yang tidak boleh menjadi istri kedua. Konon cinta mengalahkan logika. Sehingga logika-logika kompetisi sehingga memenangkan menjadi PNS tersingkirkan. Cinta mati dengan calon suami yang telah beristri, resiko apapun akan diterima. Walaupun harus melepaskan PNS yang sudah disandang.
Adakah solusinya?
Selama PP No 45 Tahun 1990 belum dicabut, maka tak ada solusi selain mengikuti aturan tersebut atau berani melanggar dan bersedia menanggung akibat.
Jika melalui prosedur hukum,maka satu-satunya cara adalah bagaimana PP ini dicabut. Caranya adalah mengajukan hak uji materiil PP No 45 Tahun 1990 ini. Hak uji materiil dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dan jika hak uji materil kita dikabulkan oleh Mahkamah Agung, kemudian PP ini dicabut maka kesempatan ini terbuka kembali.
Adakah cara lain?
Ada, tapi ini hanya semacam "akal-akalan" saja. Tapi walaupun akal-akalan sama sekali tidak bertentangan dengan UU.
Caranya adalah, laki-laki yang telah beristri adi "menceraikan"istrinya, kemudian sseegera mungkin menikah dengan PNS wanita tadi. Setelah menikah dengan PNS tadi, kemudian laki-laki tadi rujuk kembali dengan mantan istrinya. Disini PNS wanita tadi bisa terbebaskan dengan PP NO 45 tahun1990, karena dia menikah bukan sebagai istri kedua, lelaki tersebut juga bisa kembali rujuk dengan istrinya, karena mereka belum melewati masa iddah.
Semua ini hanyalah pilihan, tinggal kita memilih yang mana.Tetap menjadi PNS atau tetap menikah dengan melepas PNS. Atau.....upaya hukum dulu, biar ada landasan hukumnya. Terserah anda!!!
Pilihan yang sulit, karena zaman sekarang untuk menjadi PNS adalah merupakan perjuangan yang tidak mudah. Harus berkompetisi dengan ribuan orang, dan jika akhirnya kompetisi itu kita menangkan apakah harus dilepaskan begitu saja hanya demi seorang laki-laki.
Di sisi yang lain, cinta kepada calon suami tentu melewati pertimbangan sebagai PNS wanita yang tidak boleh menjadi istri kedua. Konon cinta mengalahkan logika. Sehingga logika-logika kompetisi sehingga memenangkan menjadi PNS tersingkirkan. Cinta mati dengan calon suami yang telah beristri, resiko apapun akan diterima. Walaupun harus melepaskan PNS yang sudah disandang.
Adakah solusinya?
Selama PP No 45 Tahun 1990 belum dicabut, maka tak ada solusi selain mengikuti aturan tersebut atau berani melanggar dan bersedia menanggung akibat.
Jika melalui prosedur hukum,maka satu-satunya cara adalah bagaimana PP ini dicabut. Caranya adalah mengajukan hak uji materiil PP No 45 Tahun 1990 ini. Hak uji materiil dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dan jika hak uji materil kita dikabulkan oleh Mahkamah Agung, kemudian PP ini dicabut maka kesempatan ini terbuka kembali.
Adakah cara lain?
Ada, tapi ini hanya semacam "akal-akalan" saja. Tapi walaupun akal-akalan sama sekali tidak bertentangan dengan UU.
Caranya adalah, laki-laki yang telah beristri adi "menceraikan"istrinya, kemudian sseegera mungkin menikah dengan PNS wanita tadi. Setelah menikah dengan PNS tadi, kemudian laki-laki tadi rujuk kembali dengan mantan istrinya. Disini PNS wanita tadi bisa terbebaskan dengan PP NO 45 tahun1990, karena dia menikah bukan sebagai istri kedua, lelaki tersebut juga bisa kembali rujuk dengan istrinya, karena mereka belum melewati masa iddah.
Semua ini hanyalah pilihan, tinggal kita memilih yang mana.Tetap menjadi PNS atau tetap menikah dengan melepas PNS. Atau.....upaya hukum dulu, biar ada landasan hukumnya. Terserah anda!!!
KENAPA WANITA PNS TAK BISA JADI ISTRI KEDUA?
Rasanya sudah menjadi pemahaman bersama jika wanita PNS tidak bisa menjadi istri kedua (walau ternyata baru-baru ini ada juga yang tidak tahu. Khusus yang ini nanti kita buat catatan tersendiri). Peraturan Pemerintah yang menyatakan demikian.
Peraturan Pemeritah No 10 Tahun 1983 yang telah dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1990 yang menjadi dasar hukum larangan wanita PNS menjadi istri kedua, ketiga dan keempat. Pada PP No 10 Tahun 1983, wanita PNS masih boleh menjadi istri kedua,ketiga dan keempat dari suami yang bukan PNS (lihat pasal 4 ayat (2) PP No 10 tahun 1983)
Kemudian dalam pasal 11, pengaturan tentang izin menjadi istri kedua yang antara lain menyebutkan:
1. Ada persetujuan tertulis dari istri bakal suami
2.Bakal suami mempunyai penghasilan yag cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan;
3. Ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Kalau dilihat dari syarat-syarat di atas, tak ada ubahnya dengan syarat-syarat seorang laki-laki yang hendak berpoligami. Semua syarat di atas harus dipenuhi tanpa melihat wanita yang akan menjadi istri kedua tersebut PNS atau bukan.
Demikian juga pejabat yang akan memberikan izin, cukup melihat kepada syarat-syarat poligami sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan. Aturan dalam pasal 10 PP No 10 Tahun 1983 adalah "penjabaran" dari pasal 4 dan 5 UU No 1 Tahun 1974.
Tapi dengan dirubahnya PP 10 Tahun 1983 menjadi PP No 45 Tahun 1990, maka kemungkinan seorang PNS wanita menjadi istri kedua sudah tertutup. PP ini sama sekali tidak membuka peluang sedikitpun seorang wanita PNS untuk menjadi istri kedua, ketiga dan keempat.
Pasal 4 ayat (2) PP Nomer 45 Tahun 1990 ini dengan tegas-tegas menyatakan:
"Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat"
Peraturan ini lebih mempersempit lagi ruang gerak wanita PNS, dimana sama sekai tertutup menjadi istri kedua, dimana dalam PP 10/83 justru masih membolehkan asal bukan dengan laki-laki PNS.
Dan jika pasal 4 ayat (2) ini dilanggar, maka PNS wanita tadi akan dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS (pasal 15 ayat (2) PP No 45 Tahun 1990)
Pertanyaan yang muncul kemudian;"Apakah PP ini tidak melanggar hak sipil PNS wanita?"
Lepas dari kontraversi tentang poligami, dan lepas juga dengan sejarah turunnya UU No 1 Tahun 1974 serta PP yang menyertainya sebagai sebuah produk "rezim yang berkuasa" saat itu, yang konon sangat dipengaruhi oleh campur tangan dari istri orang no satu rezim saat itu, tapi apa yang salah dari PNS wanita untuk menjadi istri kedua, ketiga dan keempat?
Bukankah PNS wanita juga adalah manusia yang punya hak-hak sosial, hak untuk berumah tangga? Kenapa PNS wanita harus dideskreditkan sedemikian rupa, sehingga ruang geraknya untuk menjadi istri kedua harus dilanggar?
Rasanya masa pengkerangkengan PNS sebagai kaki tangan rezim yang berkuasa harus segera dihapus. PNS wanita punya hak sipil. Sudah saatnya PNS wanita dibebaskan untuk meraih hak sipil tersebut, termasuk jika memang nasibnya harusnya menjadi istri kedua,ketiga dan keempat.
Kita bisa mencontohkan sebagaimana "terbebasnya" PNS menjadi anggota golkar. Pada masa orde baru, semua PNS harus anggota Golkar, tetapi dengan bergantinya rezim. keterbelengguan politik tersebut dapat dibebaskan. Demikian juga sudah saatnya PNS wanita harus melepaskan diri dari belenggu aturan PP 45 Tahun 1990. Karena PNS wanita juga punya hak sosial, hak menikah dengan lelaki pilihannya.
Kita harus mendobrak pemberlakuan PP No 45 Tahun 1990 dengan mengajukan hak uji materiil atas PP No 45 Tahun 1990 ini ke Mahkamah Agung. Cabut PP No 45 Tahun 1990 ini khususnya larangan bagi PNS wanita utuk menjadi istri kedua,ketiga dan keempat. Hayo......siapa yang mau maju?????????
Peraturan Pemeritah No 10 Tahun 1983 yang telah dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1990 yang menjadi dasar hukum larangan wanita PNS menjadi istri kedua, ketiga dan keempat. Pada PP No 10 Tahun 1983, wanita PNS masih boleh menjadi istri kedua,ketiga dan keempat dari suami yang bukan PNS (lihat pasal 4 ayat (2) PP No 10 tahun 1983)
Kemudian dalam pasal 11, pengaturan tentang izin menjadi istri kedua yang antara lain menyebutkan:
1. Ada persetujuan tertulis dari istri bakal suami
2.Bakal suami mempunyai penghasilan yag cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan;
3. Ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Kalau dilihat dari syarat-syarat di atas, tak ada ubahnya dengan syarat-syarat seorang laki-laki yang hendak berpoligami. Semua syarat di atas harus dipenuhi tanpa melihat wanita yang akan menjadi istri kedua tersebut PNS atau bukan.
Demikian juga pejabat yang akan memberikan izin, cukup melihat kepada syarat-syarat poligami sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan. Aturan dalam pasal 10 PP No 10 Tahun 1983 adalah "penjabaran" dari pasal 4 dan 5 UU No 1 Tahun 1974.
Tapi dengan dirubahnya PP 10 Tahun 1983 menjadi PP No 45 Tahun 1990, maka kemungkinan seorang PNS wanita menjadi istri kedua sudah tertutup. PP ini sama sekali tidak membuka peluang sedikitpun seorang wanita PNS untuk menjadi istri kedua, ketiga dan keempat.
Pasal 4 ayat (2) PP Nomer 45 Tahun 1990 ini dengan tegas-tegas menyatakan:
"Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat"
Peraturan ini lebih mempersempit lagi ruang gerak wanita PNS, dimana sama sekai tertutup menjadi istri kedua, dimana dalam PP 10/83 justru masih membolehkan asal bukan dengan laki-laki PNS.
Dan jika pasal 4 ayat (2) ini dilanggar, maka PNS wanita tadi akan dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS (pasal 15 ayat (2) PP No 45 Tahun 1990)
Pertanyaan yang muncul kemudian;"Apakah PP ini tidak melanggar hak sipil PNS wanita?"
Lepas dari kontraversi tentang poligami, dan lepas juga dengan sejarah turunnya UU No 1 Tahun 1974 serta PP yang menyertainya sebagai sebuah produk "rezim yang berkuasa" saat itu, yang konon sangat dipengaruhi oleh campur tangan dari istri orang no satu rezim saat itu, tapi apa yang salah dari PNS wanita untuk menjadi istri kedua, ketiga dan keempat?
Bukankah PNS wanita juga adalah manusia yang punya hak-hak sosial, hak untuk berumah tangga? Kenapa PNS wanita harus dideskreditkan sedemikian rupa, sehingga ruang geraknya untuk menjadi istri kedua harus dilanggar?
Rasanya masa pengkerangkengan PNS sebagai kaki tangan rezim yang berkuasa harus segera dihapus. PNS wanita punya hak sipil. Sudah saatnya PNS wanita dibebaskan untuk meraih hak sipil tersebut, termasuk jika memang nasibnya harusnya menjadi istri kedua,ketiga dan keempat.
Kita bisa mencontohkan sebagaimana "terbebasnya" PNS menjadi anggota golkar. Pada masa orde baru, semua PNS harus anggota Golkar, tetapi dengan bergantinya rezim. keterbelengguan politik tersebut dapat dibebaskan. Demikian juga sudah saatnya PNS wanita harus melepaskan diri dari belenggu aturan PP 45 Tahun 1990. Karena PNS wanita juga punya hak sosial, hak menikah dengan lelaki pilihannya.
Kita harus mendobrak pemberlakuan PP No 45 Tahun 1990 dengan mengajukan hak uji materiil atas PP No 45 Tahun 1990 ini ke Mahkamah Agung. Cabut PP No 45 Tahun 1990 ini khususnya larangan bagi PNS wanita utuk menjadi istri kedua,ketiga dan keempat. Hayo......siapa yang mau maju?????????
Selasa, 20 Januari 2009
Main "Gratis" yang mahal.
Ya!!! Anak-anak ini bisa main sepuasnya,dengan gratis.Bahkan kadang masih diberi "bonus" balon yang dibentuk beraneka rupa. Anak mana yang tidak senang? Setiap hari diajak main tentu mau.
Karena mereka begitu puasnya main lompat-lompatan, meluncur, memanjat dan masuk keluar terowongan. Betul-betul sangat menyenangkan bagi anak-anak. Apalagi semua permainan ini relatif aman, walau kena benturan. Karena tidak ada sudut dan tidak ada bagian yang keras. Sehingga kalaupun anak-anak terbentur, tidak akan merasakan sakit karena semua dilapisi dengan busa.
Tapi zaman sekarang apa ada yang gratis? Jawabnya pasti,adalah sulit untuk mendapatkan sesuatu yang gratis. Karena untuk bermain gratis seperti di atas, justru kami harus membayar mahal. Karena permainan ini hanya disediakan di resto-resto frinchise yang nota benenya lumayan mahal. Rasanya masih mimpi untuk mendapatkan sesuatu permainan yang benar-benar gratis, bermutu dan menggunakan alat-alat yang aman.
Senin, 19 Januari 2009
WAJAH LAPAR DAN WAJAH KENYANG
"Ma, mbak Aya masih agak lapar", sapaan pertama ketika memasuki mobil.
"Apa mbak Aya gak makan di sekolah"
"Makan, tapi rasanya kurang, sekarang masih terasa lapar"
"Lho, mbak Aya kok diam aja?" mama coba mengusik, karena dari tadi gak ada suaranya
"Aaaah......gak mampu ngomong ma"
"Kenapa mbak?"
"Mbak Aya kekenyangan....!!
"Apa mbak Aya gak makan di sekolah"
"Makan, tapi rasanya kurang, sekarang masih terasa lapar"
"Lho, mbak Aya kok diam aja?" mama coba mengusik, karena dari tadi gak ada suaranya
"Aaaah......gak mampu ngomong ma"
"Kenapa mbak?"
"Mbak Aya kekenyangan....!!
Minggu, 18 Januari 2009
ENAKNYA PUNYA ANAK PEREMPUAN...
Benar juga kata orang, kalau punya anak puteri, pasti rajin membantu. Rajin bersih-bersih dan paling dekat dengan mama.
Makanya om Sulaeman (alm) adiknya papi, bela-belain harus punya anak puteri, walau sudah punya 8 anak laki-laki.
Rasanya mama patut bersyukur sekali, sudah dikaruniai 2 gadis kecil,walau masih kecil tetapi selalu "tanggap". Jika mama kerepotan karena pembantu pulang, gadis kecil mama ini siap membantu.
Adek paling rajin membersihkan rumah dan dapur. Menyapu, mencuci piring hal yang paling disukai. Sedang mbak Aya, walau tidak serajin adek, tapi paling pintar menjaga kerapian kamar sendiri. Ini tentu membantu mama sehingga tak perlu membersihkan kamar mbak Aya.
Syukur atas segaa nikmat yang diberikan oleh Nya, dan terima kasih 2 gadis kecilku....
MENCOBA "MENOLAK" PENGEMBALIAN DENGAN PERMEN
Rasanya sudah "jamak" jika kita belanja di super market, untuk jumlah uang kecil, berkisar 50-100rupiah kita sebagai konsumen dikembalikan dengan "permen".
Mungkin sebagian orang kurang setuju, tapi pasrah saja.
Ini semua karena "akal-akalan" supermarket yang memberi harga yang sudah tidak umum. Misalnya kue diharga 215 rupiah. Jika kita membayar 500 rupiah, seharusnya dikembalikan 285 rupiah. Tapi umumnya dikembalikan 200 rupiah berbentuk uang, dan sebuah permen. Artinya permen tadi sebagai pengganti uang kita yang 85 rupiah.
Dan saya termasuk tidak setuju dengan pengembalian dengan permen. Selama ini saya mengambil sikap untuk meletakkan permen tadi/ tidak menerima permen tadi dan berlalu begitu saja.Tapi sejak kemarin, saya mencoba untuk menolak untuk dikembalikan dengan permen. Jika mereka tidak punya uang receh tak perlu membayar dengan permen. Toh kita tidak memerlukan permen.
Dan dari dua "peristiwa" sejak kemarin sore, dimana saya menyatakan tidak mau dikembalikan dengan permen, ternyata mereka bisa mengembalikan dengan uang receh yang ada.
Peristiwa pertama, saat saya belanja di toko Progo, nilai belanja semua Rp 110.640 (aneh kan, bagaimana zaman segini kita harus membayar angka 40 rupiah). Saya menyodorkan uang 200 ribu, dimana kasir agar mudah mengembalikan, meminta tambahan 700 rupiah. Akhirnya saya membayar Rp 200.700. Berarti saya harus mendapat kembalian Rp 90.060.- Oleh kasir saya diberi 90 rb plus 1 buah permen. Saya dengan halus menolak pembayaran permen tadi, dan akhirnya kasir mengganti dengan uang 100 rupiah. Seharusnya, jika supermarket tidak siap dengan uang pengembalian, maka seharusnya harga yang dicantumkan, jangan yang menyulitkan diri sendiri.
Sebagai contoh, harga kamper shunton Rp 5.095. kenapa tidak diuatkan saja menjadi Rp 5.100, karena "hari gene" tak ada lagi pengembalian 5 rupiah. Glade Car Rp 8.230, Pepsodent Rp 5.365, Rapika Biang Rp 4.845.- Cheetos Rp 9.30.- Johnson Baby Powder Rp.4145.-dstnya. Dari contoh harga-harga di atas memang hasil akhirnya akan menyulitkan sistim transaksi. Bagaimana Jika saya hanya membeli pepsoden seharga Rp 5.365. Jika membayar Rp 5.400, apa mungkin dikembaikan Rp 35.-?
Ini semua hanyalah "akal-akalan" untuk mengelabuhi konsumen,biar terkesan harganya murah, padahal jatuhnya juga mahal, karena tidak ada pengembalian senilai selisih tadi, dan tidak mungkin toko juga mau menerima di bawah harga yang tercantum.
Yang baru saya alami, nyaris sama. Tapi harga memang "tidak seaneh" di toko Progo. Ini terjadi di toko Pitaloka, toko kue. Saya membeli kue dan roti untuk camilan anak-anak, total harganya Rp 34.700. Saya membayar dengan uang Rp 50 ribu, dan dikembalikan 15 ribu plus 3 buah permen. Lagi-lagi saya menolak secara halus jika dikembalikan permen. Akhirnya kasir meminta saya menambah uang 200 rupiah agar kasir bisa mengembalika uang 500.-.
Rasanya kita harus mulai mendidik untuk "fair" dalam berdagang. Tak perlu dengan "kamuflase" harga sehingga akhirnya konsumen juga yang dirugikan. Disamping itu kita harus memulai menyikapi diri bahwa alat pembayaran yang sah adalah uang, bukan permen. Kira-kira jika permen-permen yang kita terima tadi kemudian kita bayarkan kembali ke toko, apa toko mau manerima? Jelas jawabannya adalah : TIDAK MAU.
Oleh karena itu, marilah kita mulai dari sekarang untuk bersikap "menolak" jika uang kita dikembalikan dengan permen.
Mungkin sebagian orang kurang setuju, tapi pasrah saja.
Ini semua karena "akal-akalan" supermarket yang memberi harga yang sudah tidak umum. Misalnya kue diharga 215 rupiah. Jika kita membayar 500 rupiah, seharusnya dikembalikan 285 rupiah. Tapi umumnya dikembalikan 200 rupiah berbentuk uang, dan sebuah permen. Artinya permen tadi sebagai pengganti uang kita yang 85 rupiah.
Dan saya termasuk tidak setuju dengan pengembalian dengan permen. Selama ini saya mengambil sikap untuk meletakkan permen tadi/ tidak menerima permen tadi dan berlalu begitu saja.Tapi sejak kemarin, saya mencoba untuk menolak untuk dikembalikan dengan permen. Jika mereka tidak punya uang receh tak perlu membayar dengan permen. Toh kita tidak memerlukan permen.
Dan dari dua "peristiwa" sejak kemarin sore, dimana saya menyatakan tidak mau dikembalikan dengan permen, ternyata mereka bisa mengembalikan dengan uang receh yang ada.
Peristiwa pertama, saat saya belanja di toko Progo, nilai belanja semua Rp 110.640 (aneh kan, bagaimana zaman segini kita harus membayar angka 40 rupiah). Saya menyodorkan uang 200 ribu, dimana kasir agar mudah mengembalikan, meminta tambahan 700 rupiah. Akhirnya saya membayar Rp 200.700. Berarti saya harus mendapat kembalian Rp 90.060.- Oleh kasir saya diberi 90 rb plus 1 buah permen. Saya dengan halus menolak pembayaran permen tadi, dan akhirnya kasir mengganti dengan uang 100 rupiah. Seharusnya, jika supermarket tidak siap dengan uang pengembalian, maka seharusnya harga yang dicantumkan, jangan yang menyulitkan diri sendiri.
Sebagai contoh, harga kamper shunton Rp 5.095. kenapa tidak diuatkan saja menjadi Rp 5.100, karena "hari gene" tak ada lagi pengembalian 5 rupiah. Glade Car Rp 8.230, Pepsodent Rp 5.365, Rapika Biang Rp 4.845.- Cheetos Rp 9.30.- Johnson Baby Powder Rp.4145.-dstnya. Dari contoh harga-harga di atas memang hasil akhirnya akan menyulitkan sistim transaksi. Bagaimana Jika saya hanya membeli pepsoden seharga Rp 5.365. Jika membayar Rp 5.400, apa mungkin dikembaikan Rp 35.-?
Ini semua hanyalah "akal-akalan" untuk mengelabuhi konsumen,biar terkesan harganya murah, padahal jatuhnya juga mahal, karena tidak ada pengembalian senilai selisih tadi, dan tidak mungkin toko juga mau menerima di bawah harga yang tercantum.
Yang baru saya alami, nyaris sama. Tapi harga memang "tidak seaneh" di toko Progo. Ini terjadi di toko Pitaloka, toko kue. Saya membeli kue dan roti untuk camilan anak-anak, total harganya Rp 34.700. Saya membayar dengan uang Rp 50 ribu, dan dikembalikan 15 ribu plus 3 buah permen. Lagi-lagi saya menolak secara halus jika dikembalikan permen. Akhirnya kasir meminta saya menambah uang 200 rupiah agar kasir bisa mengembalika uang 500.-.
Rasanya kita harus mulai mendidik untuk "fair" dalam berdagang. Tak perlu dengan "kamuflase" harga sehingga akhirnya konsumen juga yang dirugikan. Disamping itu kita harus memulai menyikapi diri bahwa alat pembayaran yang sah adalah uang, bukan permen. Kira-kira jika permen-permen yang kita terima tadi kemudian kita bayarkan kembali ke toko, apa toko mau manerima? Jelas jawabannya adalah : TIDAK MAU.
Oleh karena itu, marilah kita mulai dari sekarang untuk bersikap "menolak" jika uang kita dikembalikan dengan permen.
Sabtu, 17 Januari 2009
MEMBELI BUKU DI TOKO DISKON
Hari Sabtu hari buku. Ini karena kebiasaan anak-anak mencari buku bacaan di hari Sabtu, sebagai persiapan besoknya libur.
Anak-anak biasanya mencari buku di toko diskon yang menyebar seantero Yogya. Tapi yang paling sering di toko Toga Mas di ujung jalan Afandi (d/h jalan gejayan).
Kita memilih di toko Toga mas, selain karena harga buku yang didiscount sekitar 10-25% juga karena displaynya yang menarik. Tempatnya yang "aldes" (ala deso), dengan dinding yang terbuat bambu, kayu-kayu yang terekspos, membuat tempat ini berkesan akrab. Padahal fasilitasnya tak kalah dengan toko gramedia.
Pengunjung bisa mencari buku dengan panduan beberapa komputer yang tersedia, belum lagi tata letak buku yang memudahkan kita mencari. Dan jika hanya ingin baca-baca, juga terasa nyaman. Belum lagi penjaga toko-tokonya lumayan ramah dan sigap membantu jika kita perlukan.
Selain Toko Toga Mas, ada juga toko buku diskon yaitu "Social Agency". Dibanding Toga Mas yang hanya punya 2 outlet (Jalan Afandi dan Galeria Mall), Social Agency punya beberapa cabang. Di Jalan Afandi, Jln Solo, Jalan Kaliurang, Jalan Herman Yohanes dan di shoping.
Kami jarang ke social agency, karena koleksi buku cerita anak-anaknya tidak sebanyak dengan toga mas. Di social agency banyak tersedia buku-buku pelajaran. Mungkin target pangsa pasarnya memang mahasiswa dan pelajar.
Selain kedua toko itu, sebenarnya cikal bakal dari toko diskon adalah penual buku di shoping (orang Yogya biasa menyebutnya demikian)Disini semacam pasar buku, terdiri dari kios-kios kecil. Harga yang ditawarkan rata-rata semua didiskon.Tapi sebaiknya untuk bisa mendapatkan harga buku yang murah, kita harus tahu standar harga buku yang kita cari, dan harus mau tawar menawar.Jika tidak, alih-alih mendapat harga buku murah, justru bisa-bisa kita membeli dengan harga yang lebih mahal dibanding di toko. Belum lagi tempatnya yang tidak senyaman di toko. Tapi pilihan minggu ini memberi pengalaman ke mbak Aya untuk beli buku di shoping, maka Vansa harus mau mencari sendiri, menawar sendiri dan merasakan sedikit tidak nyaman dibanding membeli buku di toko yang biasanya dikunjungi.
ISI MOBIL IBU RUMAH TANGGA & WANITA BEKERJA
Orang kadang berpikir kalau di mobil wanita itu isinya hanya hal-hal yang "berbau" perawatan dan kecantikan. Tapi ini sepertinya tidak berlaku di mobilku, walau tentu ada juga perlengkapan seperti itu, apalagi jika harus di kantor seharian.
Tak jarang di mobil "penuh" dengan barang-barang rumah, dan yang paling sering adalah gas dan galon. Istilahnya sambil nyangking ke kantor,sekalian beli gas dan aqua.Pernah kejadian,ke kantor dengan muatan seperti itu, ternyata sampai di kantor kami akan keluar, dan mobil harus dipakai penuh.
Dengan terpaksa,harus bongkar muatan dulu, maklum jok kursinya mesti dibuka untuk duduk teman-teman.
Ini mungkin cerminan mobil rangkap: mobil ibu rumah tangga dan mobil ibu bekerja. Sebagai ibu rumah tangga, ada gas, galon, aqua, termos dan laundry dan sebagai ibu bekerja ada berkas perkara dan buku-buku. Belum lagi ada bantal untuk tidur, alat sholat,sendal, sepatu,dlll. Ibaratnya mobil bagaikan rumah berjalan.
MANFAAT MENYIAPKAN KEPERLUAN "CADANGAN"
"Mama besok pak Yo ulang tahun, mbak Aya mau beri hadiah", semalam mbak Aya tiba-tiba mengajukan permintaan.
"Mau nyari apa sayang? Ini sudah malam"
"Terserah mama aja"
Hal mendadak begini sering sekali terjadi. Anak-anak minta pada malam hari, sedangkan besok pagi sudah harus dipergunakan. Alasannya macam-masam:lupa, atau baru tahu adalah alasan yang paling sering diutarakan.
Rasanya tak mungkin malam ini mencari di mall. Kalau mau berangkat sekarang, sampai mall sudah hampir tutup, atau paling-paling penjaganya sudah mau siap-siap tutup. Rasanya dalam waktu 30 menit, sulit utuk mencari sesuatu sebagai hadiah.
Yang terbersit saat itu adalah barang-barang papa yang belum dipakai. Sudah menjadi kebiasaan saya adalah menyiapkan kebutuhan mas Hudi, entah itu pakaian, kaos dalam, sapu tangan, dll, semuanya masih baru dan masih terbungkus plastik. Apa beri batik aja ya? Tapi batik-batik yang ada adalah batik-batik "sarimpit", batik untuk suami istri, sementara pak Yo tidak punya istri. Akhirnya pilihan jatuh ke dasi. Kebetulan masih ada beberapa dasi papa yang baru, belum pernah dipakai dan masih dalam plastik dasi.Dan bukan hanya mbak Aya yang ingin memberi hadiah dasi untuk pak Yo, kak Abil yang pernah menjadi murid pak Yo juga ingin memberi hadiah dasi. Maka akhirnya 2 dasi papa harus berpindah tangan. Walaupun begitu, papa masih punya 3 dasi yang belum dipakai. Hehe....kalau yang ini mungkin sudah tidak akan diberikan walau saat-saat mendesak.
PAMIT KE SEKOLAH BERKALI-KALI
"Mama.....kakak berangkat ya?", biasanya itu kata-kata kak Abil jika berangkat sekolah. Sejak beberapa bulan ini kak Abil sudah disediakan motor agar bisa sekolah dan kegiatan lain sendiri tanpa tergantung jemputan.
"Kacamata sudah dibawa nak?" mama cenderung menanyakan "perlengkapan" yang belum dibawa. Maklum anak laki-laki mama ini paling pelupa.
"Eh...iya" kakak berbalik dan mencari kacamata.
"Udah ya ma, kakak mau berangkat" si kakak mendekat lagi mau salaman.
"HP dan dompet sudah dibawa sayang?", mama mencoba ingatkan lagi.
"Ealah....lupa lagi". Lagi-lagi kakak gak jadi salaman pamit.
"Oke ma......., berangkat nih" sudah sambil keburu-buru.
"Nanti les basket ya? Baju basket sudah masuk tas?"
"Ah....telat!!! ntar papa aja yang bawain ya?".
Waduh!!! inilah kebiasaan kakak yang gak hilang-hilang. Waktu masih di antar, beberapa kali kami harus balik rumah hanya untuk mengambil sesuatu yang tertinggal.Dan setelah bisa berangkat sendiri, setiap salaman, dan diingatkan untuk hal-hal tadi, pasti aja ada yang tertinggal. Akibatnya setiap pagi sering sekali pamit berkali-kali karena belum salaman, sudah harus balik ambil barang yang tertinggal. Kakak.....kakak!!!
WAAAH.....GAK JADI TAMBAH ADEK DONG....
Saya sudah beberapa hari ini terlambat bulan. Positif-negatif,positif-negatif ya?..... Di lihat dari umur, memang sudah tidak muda lagi, Maret besok sudah 40 tahun dan melahirkan terakhir sudah 8 Des 1999 lalu. Ah......masih mampu gak ya?
Pasrah saja, jika memang positif, kita syukuri karena tentu ini yang terbaik menurut Allah. Karena Allah masih memberikan kepercayaan untuk mengasuh hamba Nya, begitu sebaliknya.
Suamiku berkali-kali tawarkan tes dulu, biar ada kepastian. Tapi masih saya tolak. Saya ingin mantapkan hati dulu, apapun hasilnya. Sembari berdoa pada Allah diberi yang terbaik dalam hidup ini. Mental keseharian juga semakin disiapkan. Rumah yang sudah 10 tahun tidak lagi ada tangisan bayi, tiba-tiba harus terdengar lagi. Gimana jadinya ya? Rasanya ada gap generasi deh!! Kakak-kakaknya pasti menjadi kakak-kakak yang usil, sedangkan si ragil pasti menjadi orang paling berkuasa.
"Kakak gak mau kalau mama punya adik lagi" begitu suara Abil
"Mbak Aya terserah aja", Vansa memberi pendapat. Ini dimaklumi karena Vansa cenderung cuek.
"Adik mau asal jangan menganggu adik".Kata Caysa yang sering belum punya pendirian pasti.
Apapun yang terjadi, saya mencoba mempersiapkan diri. Paling tidak kesehatan. Makan sudah mulai makan yang "bergizi",bukan hanya makan yang sesuai selera. Rasanya untuk menyambut si kecil lagi, semua harus dari Nol lagi. Sudah tak ada yang tersisa dari kakak-kakaknya. Wah....harus mulai melirik baby and mom's shop lagi nih. Padahal sudah lama sekali tak pernah memperhatikan hal-hal seperti itu. Di Yogya dimana lagi toko perlengkapan bayi lagi ya? Apa masih wijaya, atau ada yang lain. Belum lagi baju ibu hamil, wow....... harus siap-siap juga.
Kemarin pagi, waktu senam aerobik, mulai jaga gerakan. Gak mau ikut gerakan yang jingkrak-jingkrak. Waktu tenis juga.... gak ngoyo kejar bola. Pokoknya ikuti nasehat si mbah-mbah deh!!!
E........siangnya, waktu mandi untuk siap-siap rapat, ternyata membuyarkan semuanya. Aku gak jadi punya bayi lagi!!! Wallahualam.....
Kamis, 15 Januari 2009
DAN MAJELISPUN MENUNDA UNTUK WAKTU YANG CUKUP LAMA....
Karena sudah tiap hari berkutat dengan perkara, kadang untuk perkara-perkara yang tidak terlalu sulit dan apalagi volunter, biasanya majelis hakim hanya memerlukan waktu singkat untuk musyawarah majelis untuk mengambil keputusan
Dan khusus untuk perkara wali adhol (orang tua tidak mau menjadi wali) yang kami terima, kadang kami memberi waktu yang cukup lama, bukan karena perkaranya memerlukan waktu yang panjang untuk mengambil keputusan. Tapi justru majelis memberi waktu bagi pihak-pihak untuk bisa berunding, saling negosiasi hingga mencapai satu kesepakatan. Karena bagaimanapun jika melalui ketok palu hakim, maka pasti ada pihak yang merasa dimenangkan dan pasti ada pihak yang merasa dikalahkan.
Memutus perkara wali adhol, jika tidak bijak, maka bisa berakibat "memutus" tali kasih antara orang tua yang tak mau menikahkan anaknya (dengan berbagai alasan) dengan anak yang memilih kekasihnya dan melepas orang tuanya.
Jika kekerasan hati orang tua tak pernah luluh, maka sepanjang perkawinan si anak, bisa-bisa tidak mendapatkan restu dari orang tua. Ini yang kadang secara manusia biasa menjadi hal terberat ketika hakim memutuskan.
Dan untuk menghindari ini semua, maka majelis hakim cenderung dalam pemeriksaan ini mencoba menjembatani secara intensif "kekerasan hati" antara anak dan orang tua. Dan tak jarang pula hakim merasa perlu menghadirkan orang-orang yang dituakan dalam keluarga ini, untuk membantu hakim menjadi mediator, sehingga perkara ini bisa selesai dengan damai.
Ini semua hanyalah satu upaya dari berbagai upaya yang dilakukan majelis, agar hubungan anak dan orang tua tak harus retak, oleh sebuah keinginan luhur yaitu lembaga perkawinan. Betapa indahnya keluhuran itu jika disokong oleh restu dari orang tua karena bakti anak pada bapak-ibunya. Hakim hanya bisa berharap dan memberi waktu lebih lama agar proses perdamaian itu bisa tercapai.
(Tulisan ini untuk melerai kegundahan saya atas perkara wali adhol yang saya tangani. Tentu tulisan ini belum tentu dibaca para pihak, tapi spiirit agar ini bisa damai saya yakin akan sampai)
Dan khusus untuk perkara wali adhol (orang tua tidak mau menjadi wali) yang kami terima, kadang kami memberi waktu yang cukup lama, bukan karena perkaranya memerlukan waktu yang panjang untuk mengambil keputusan. Tapi justru majelis memberi waktu bagi pihak-pihak untuk bisa berunding, saling negosiasi hingga mencapai satu kesepakatan. Karena bagaimanapun jika melalui ketok palu hakim, maka pasti ada pihak yang merasa dimenangkan dan pasti ada pihak yang merasa dikalahkan.
Memutus perkara wali adhol, jika tidak bijak, maka bisa berakibat "memutus" tali kasih antara orang tua yang tak mau menikahkan anaknya (dengan berbagai alasan) dengan anak yang memilih kekasihnya dan melepas orang tuanya.
Jika kekerasan hati orang tua tak pernah luluh, maka sepanjang perkawinan si anak, bisa-bisa tidak mendapatkan restu dari orang tua. Ini yang kadang secara manusia biasa menjadi hal terberat ketika hakim memutuskan.
Dan untuk menghindari ini semua, maka majelis hakim cenderung dalam pemeriksaan ini mencoba menjembatani secara intensif "kekerasan hati" antara anak dan orang tua. Dan tak jarang pula hakim merasa perlu menghadirkan orang-orang yang dituakan dalam keluarga ini, untuk membantu hakim menjadi mediator, sehingga perkara ini bisa selesai dengan damai.
Ini semua hanyalah satu upaya dari berbagai upaya yang dilakukan majelis, agar hubungan anak dan orang tua tak harus retak, oleh sebuah keinginan luhur yaitu lembaga perkawinan. Betapa indahnya keluhuran itu jika disokong oleh restu dari orang tua karena bakti anak pada bapak-ibunya. Hakim hanya bisa berharap dan memberi waktu lebih lama agar proses perdamaian itu bisa tercapai.
(Tulisan ini untuk melerai kegundahan saya atas perkara wali adhol yang saya tangani. Tentu tulisan ini belum tentu dibaca para pihak, tapi spiirit agar ini bisa damai saya yakin akan sampai)
Rabu, 14 Januari 2009
SEA FOOD MURAH DAN ENAK DI YOGYA
Kesan selama ini jika makan sea food termasuk "mahal" dibanding makanan lain seperti bakmi dan gudeg, rasanya harus terbantahkan dengan adanya warung sea food yang diberi nama "warung santai".Letaknya di jln Sudirman, tepatnya di depan gedung eks BHS Bank, di pertigaan Terban.
Mungkin karena harganya yang relatif murah dibanding dengan sea food resto, maka warung ini sangat-sangat (sengaja dua kali, biar tambah yakin, hehe) ramai pembelinya. Nyaris tiap kali kesini, kami harus antri untuk mendapatkan tempat duduk. Yang belum kebagian tempat, biasanya duduk-duduk dulu di sekitar warung tenda ini, sampai ada yang meninggalkan tempat.
Kalau mau makan disini, sebaiknya jangan lewat jam 8 malam. Karena bisa-bisa kita tak punya banyak pilihan lagi, atau bahkan sudah habis. Padahal warung ini baru buka sekitar jam 5 sore. Mungkin karena harga yang relatif murah, dan rasa yag lezat membuat orang datang ke tempat ini, walau harus antri untuk bisa makan.
Dengan 7 ribu rupiah kita sudah bisa menikmati kerang. Dan menu termahal adalah kepiting yang dipatok harga seekornya 14 rb. Yang "mahal" disini adalah nasi yang relatif sedikit. Makanya, agar praktis sejak awal biasanya kami langsung pesan nasi 8 piring!!! Asumsi yang pasti nambah, papa, mama dan kakak. Walau biasanya 8 piring ini juga msih kurang.
Menurut papa, yang paling enak sambelnya. Apalagi jika ditambah colekan nanas dan saus tomat, wow....benar-benar nonjok!!! Makanya tempat sambel sepeninggal kami, pasti ludes-des. Maklum, bukan hanya papa yang doyan sambelnya, mama juga selalu dalam porsi banyak ambil sambel warung santai ini.
Tapi, sebaiknya "tenggang rasa" harus ada jika makan di tempat ini. Karena sebaiknya segera meninggalkan tempat jika sudah selesai makan, kasihan yang antri di belakang kita. Tak apa-apalah, dengan uang 100rb, sudah cukup untuk makan seafood warung tenda rasa hotel berbintang.
Mungkin karena harganya yang relatif murah dibanding dengan sea food resto, maka warung ini sangat-sangat (sengaja dua kali, biar tambah yakin, hehe) ramai pembelinya. Nyaris tiap kali kesini, kami harus antri untuk mendapatkan tempat duduk. Yang belum kebagian tempat, biasanya duduk-duduk dulu di sekitar warung tenda ini, sampai ada yang meninggalkan tempat.
Kalau mau makan disini, sebaiknya jangan lewat jam 8 malam. Karena bisa-bisa kita tak punya banyak pilihan lagi, atau bahkan sudah habis. Padahal warung ini baru buka sekitar jam 5 sore. Mungkin karena harga yang relatif murah, dan rasa yag lezat membuat orang datang ke tempat ini, walau harus antri untuk bisa makan.
Dengan 7 ribu rupiah kita sudah bisa menikmati kerang. Dan menu termahal adalah kepiting yang dipatok harga seekornya 14 rb. Yang "mahal" disini adalah nasi yang relatif sedikit. Makanya, agar praktis sejak awal biasanya kami langsung pesan nasi 8 piring!!! Asumsi yang pasti nambah, papa, mama dan kakak. Walau biasanya 8 piring ini juga msih kurang.
Menurut papa, yang paling enak sambelnya. Apalagi jika ditambah colekan nanas dan saus tomat, wow....benar-benar nonjok!!! Makanya tempat sambel sepeninggal kami, pasti ludes-des. Maklum, bukan hanya papa yang doyan sambelnya, mama juga selalu dalam porsi banyak ambil sambel warung santai ini.
Tapi, sebaiknya "tenggang rasa" harus ada jika makan di tempat ini. Karena sebaiknya segera meninggalkan tempat jika sudah selesai makan, kasihan yang antri di belakang kita. Tak apa-apalah, dengan uang 100rb, sudah cukup untuk makan seafood warung tenda rasa hotel berbintang.
DAN TEMANPUN BISA MENANGIS KARENA KITA
Dampak perceraian bukan hanya pada anak dan keluarga, tapi ternyata juga pada sahabat. Hal ini terjadi pada (sebutlah) Arief, seorang lelaki berumur 58 tahun, pensiunan pertamina.
Arief adalah sahabat suami istri Suprapto dan Suprapti.
Selama berkarir di banyak tempat, kerap Arief dan Suprapto bekerja di satu lokasi. Dan akhirnya saking dekatnya mereka, keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa tua pasca pensiun dari pertamina di Yogyakarta.Padahal keduanya buka berasal dari Yogya.
Ini semua tentu karena kedekatan keluarga pak Arief dan keluarga Suprapto.
Menghadapi keinginan Suprapto untuk menceraikan Suprapti, kegalauan bukan hanya dialami oleh anak dan kerabat Suprapto dan Suprapti, tapi pak Arief juga. Hal ini terungkap di depan persidangan. Pak Arief dihadirkan di muka persidangan karena dianggap paling tahu masalah rumah tangga Suprapto dan Suprapti.
Dengan kalimat yang terbata-bata, pak Arief mengharapkan sahabatnya yang sudah dianggap keluarga ini untuk dapat membina rumah tangga kembali. "Ingat umur kita yang sudah tidak muda lagi.....beri contoh bagi anak cucu kita", sepenggal kalimat yang susah sekali diucapkan pak Arief. "Sebagai sahabat, saya tidak membela siapa-siapa. Saya tak ingin memihak Suprapto atau Suprapti. Saya ingin membela kerukunan rumah tangga"ucap pak Arief di luar konteks petanyaan hakim, tapi yang jelas ini ditujukan untuk pasangan suami istri sahabatnya ini.
Di akhir pemeriksaaan, dan lagi-lagi di luar konteks pertanyaan hakim pak Arief dengan tangis yang sudah tak tertahan, berharap sahabat-sahabatnya ini untuk sama-sama taubat, menyadari kesalahan masing-masing dan saling memaafkan.
Pak Arief adalah sahabat dekat suami istri Suprapto dan Suprapti. Mungkin juga setiap pasangan suami istri mempunyai sahabat dekat seperti pak Arief ini. Kisah di atas bisa kita ambil hikmahnya, ada baiknya jika kita memutuskan keinginan untuk bercerai dengan pasangan kita, kita mendengar juga suara "pak Arief". Karena mungkin dengan tangisan sahabat kita, membuat kita mengurungkan niat untuk bercerai.
Arief adalah sahabat suami istri Suprapto dan Suprapti.
Selama berkarir di banyak tempat, kerap Arief dan Suprapto bekerja di satu lokasi. Dan akhirnya saking dekatnya mereka, keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa tua pasca pensiun dari pertamina di Yogyakarta.Padahal keduanya buka berasal dari Yogya.
Ini semua tentu karena kedekatan keluarga pak Arief dan keluarga Suprapto.
Menghadapi keinginan Suprapto untuk menceraikan Suprapti, kegalauan bukan hanya dialami oleh anak dan kerabat Suprapto dan Suprapti, tapi pak Arief juga. Hal ini terungkap di depan persidangan. Pak Arief dihadirkan di muka persidangan karena dianggap paling tahu masalah rumah tangga Suprapto dan Suprapti.
Dengan kalimat yang terbata-bata, pak Arief mengharapkan sahabatnya yang sudah dianggap keluarga ini untuk dapat membina rumah tangga kembali. "Ingat umur kita yang sudah tidak muda lagi.....beri contoh bagi anak cucu kita", sepenggal kalimat yang susah sekali diucapkan pak Arief. "Sebagai sahabat, saya tidak membela siapa-siapa. Saya tak ingin memihak Suprapto atau Suprapti. Saya ingin membela kerukunan rumah tangga"ucap pak Arief di luar konteks petanyaan hakim, tapi yang jelas ini ditujukan untuk pasangan suami istri sahabatnya ini.
Di akhir pemeriksaaan, dan lagi-lagi di luar konteks pertanyaan hakim pak Arief dengan tangis yang sudah tak tertahan, berharap sahabat-sahabatnya ini untuk sama-sama taubat, menyadari kesalahan masing-masing dan saling memaafkan.
Pak Arief adalah sahabat dekat suami istri Suprapto dan Suprapti. Mungkin juga setiap pasangan suami istri mempunyai sahabat dekat seperti pak Arief ini. Kisah di atas bisa kita ambil hikmahnya, ada baiknya jika kita memutuskan keinginan untuk bercerai dengan pasangan kita, kita mendengar juga suara "pak Arief". Karena mungkin dengan tangisan sahabat kita, membuat kita mengurungkan niat untuk bercerai.
Senin, 12 Januari 2009
BANTUAN POKMAS SAAT GEMPA "MENGACAUKAN" GONO-GINI
Sepertinya judul tulisan ini terlalu bombastis. Ternyata tidak juga.... karena fakta di hadapan saya menyatakan demikian.
Tersebutlah Suprapti menikah dengan Suprapto pada tahun 1992. Suprapti janda kemudian menjadi iatri kedua dari Suprapto (dipoligami). Berjalannya waktu, pada tahun 2008 terjadi perceraian antara Suprapti dan Suprapro.
Saat ini, Suprapti mengajukan gugatan harta gono-gini yang diperoleh semasa perkawinan antara tahun 1992-2008. Dalam gugatan balik, Suprapto meminta majelis hakim memperhitungkan sebuah rumah yang telah dimiliki oleh Suprapti pada tahun 1989 (sebelum pernikahan dengan Suprapto) karena saat gempa rumah yang retak-retak tersebut tersebut telah direnovasi kembali oleh Suprapto dengan dana pokmas.
Menurut Suprapto, dana pokmas tersebut harus dianggap "penghasilan yang didapat dalam masa perkawinan", yang nota benenya adalah gono-gini. Tentu Suprapti mengelak, karena dana pokmas tersebut bukanlah kepada KK yang atas nama Suprapto, tetapi kepada pemilik rumah, yaitu Suprapti. Artinya ini adalah "hibah" kepada Suprapti dan tidak bisa dikatagorikan sebagai gono-gini.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan gono-gini?
Dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa: "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama".
Sedangkan pasal 37 Undang-undang ini menyebutkan: " Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing".
Dalam Kompilasi Hukum Islam, harta bersama ini diatur dalam cukup banyak pasal yaitu dari pasal 85 sampai dengan 97. Dan dalam KHI harta bersama ini lebih rinci sampai pada jumlah hak masing-masing, yaitu masing-masing setengah bagian.
Kembali ke masalah di atas, maka harus ditentukan dahulu, apakah dana pokmas yang digulirkan akibat gempa sebagai gono-gini atau hibah kepada pemilik rumah. Menilik dalih dari Suprapto, bahwa bantuan pokmas akibat gempa adalah harta bersama, karena datangnya pada saat perkawinan bisa saja dibenarkan. Tetapi memahami pendapat Suprapti bahwa pokmas ini sebagai hibah atas pribadi pemilik rumah bisa juga dipahami.Ini semua tentu tergantung kearifan dan kemahiran hakim menganalisa apakah pokmas (bantuan pemerintah) ini sebagai harta bersama atau hibah kepada pemilik rumah.
Alhasil rasa-rasanya judul di atas bukanlah hal yang bombastis, karena UU memang tidak megatur bahwa bantuan pemerintah sebagai goo-gini atau bukan. Artinya bantuan pokmas saat gempa memang "mengacaukan" gono-gini.
Tersebutlah Suprapti menikah dengan Suprapto pada tahun 1992. Suprapti janda kemudian menjadi iatri kedua dari Suprapto (dipoligami). Berjalannya waktu, pada tahun 2008 terjadi perceraian antara Suprapti dan Suprapro.
Saat ini, Suprapti mengajukan gugatan harta gono-gini yang diperoleh semasa perkawinan antara tahun 1992-2008. Dalam gugatan balik, Suprapto meminta majelis hakim memperhitungkan sebuah rumah yang telah dimiliki oleh Suprapti pada tahun 1989 (sebelum pernikahan dengan Suprapto) karena saat gempa rumah yang retak-retak tersebut tersebut telah direnovasi kembali oleh Suprapto dengan dana pokmas.
Menurut Suprapto, dana pokmas tersebut harus dianggap "penghasilan yang didapat dalam masa perkawinan", yang nota benenya adalah gono-gini. Tentu Suprapti mengelak, karena dana pokmas tersebut bukanlah kepada KK yang atas nama Suprapto, tetapi kepada pemilik rumah, yaitu Suprapti. Artinya ini adalah "hibah" kepada Suprapti dan tidak bisa dikatagorikan sebagai gono-gini.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan gono-gini?
Dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa: "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama".
Sedangkan pasal 37 Undang-undang ini menyebutkan: " Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing".
Dalam Kompilasi Hukum Islam, harta bersama ini diatur dalam cukup banyak pasal yaitu dari pasal 85 sampai dengan 97. Dan dalam KHI harta bersama ini lebih rinci sampai pada jumlah hak masing-masing, yaitu masing-masing setengah bagian.
Kembali ke masalah di atas, maka harus ditentukan dahulu, apakah dana pokmas yang digulirkan akibat gempa sebagai gono-gini atau hibah kepada pemilik rumah. Menilik dalih dari Suprapto, bahwa bantuan pokmas akibat gempa adalah harta bersama, karena datangnya pada saat perkawinan bisa saja dibenarkan. Tetapi memahami pendapat Suprapti bahwa pokmas ini sebagai hibah atas pribadi pemilik rumah bisa juga dipahami.Ini semua tentu tergantung kearifan dan kemahiran hakim menganalisa apakah pokmas (bantuan pemerintah) ini sebagai harta bersama atau hibah kepada pemilik rumah.
Alhasil rasa-rasanya judul di atas bukanlah hal yang bombastis, karena UU memang tidak megatur bahwa bantuan pemerintah sebagai goo-gini atau bukan. Artinya bantuan pokmas saat gempa memang "mengacaukan" gono-gini.
Minggu, 11 Januari 2009
KEMACETAN DI YOGYA SAAT LIBURAN
"Uuuuuuh................!!!! Begini nih Yogya kalau sudah musim liburan!!! Macet dengan kendaraan luar daerah. Udah gitu mobil orang Jakarta senangnya klakson melulu, tan...tin...., bikin sebel!!!!" ini omelan anak-anak jika musim liburan dan kita jalan-jalan menelusuri jalan-jalan di Yogya. Omelan yang dihasilkan dari pengalaman selama ini mereka hadapi.
Memang betul, jika ada libur long week end saja, Yogya kena imbasnya. Jalan-jalan di Yogya terasa padat, utamanya jalan-jalan yang memasuki obyek wisata.
Jalan Mangkubumi sebagai salah satu akses menuju jalan Malioboro macet mulai di depan KR. Alhasil kalau memang tidak punya niat ke Malioboro, atau jika dari arah samsat mau menuju ugm, ebih baik menghindari masuk lewat mangkubumi. Kita yang tak punya niat masuk Malioboro, hanya terjebak dengan arus angkutan ke Malioboro.
Bukan hanya Malioboro yang macet. Jalan ke gembiraloka juga padat, dan jalan-jalan di alun-alun utara maupun selatan.Jalan Mayor Suryotomo yang sehari-harinya sudah tersendat, akan lebih padat dan merayap jika memasuki musim liburan. Kita lebih baik menghindari jalan-jalan yang menuju tempat-tempat wisata, daripada waktu tempuh kita lebih lama. Lebih baik kita agak melingkar, tetapi lebih lancar, daripada kita memaksakan diri untuk mencari jalan terdekat tapi akhirnya terjebak kemacetan.
Ini bukan "omelan", karena kami yakin dibalik "derita" karena dimana-mana kena macet, tapi terselip juga kegembiraan bagi para pedagang yang dagangannya laris manis diborong turis-turis lokal. Selamat Datang di Yogya....dibalik kemacetan ada tersembul senyuman...
BERTEMU SETELAH 13 TAHUN BERPISAH
Akhir Desember lalu, teman saya bu Yayah kedatangan teman lamanya dari Lampung. E.....ternyata teman ini juga teman saya waktu tugas di PA Manado.
Bu Zurbaniyah dan Pak Nasir keduanya pernah tugas di PA Tondano, saat saya baru melaksanakan tugas sebagai cakim di PA Manado.
Saat saya dimutasi ke PA Mungkid, pak Nasir dan bu Zur masih bertugas di wilayah PTA Manado, dan baru dimutasikan ke PA Liwa dan Tanggamus sekitar tahun 2001.
Tak terasa saya baru berjumpa kembali dengan bu Zur setelah 13 tahun berpisah. Waktu yang lama untuk sebuah silaturrahmi.
Semoga setelah ini komunikasi dan silaturrahmi kami kembali terjalin. Amien..... sukses untuk bu Zur dan pak Nasir
MUSIM LIBUR SAMA DENGAN MUSIM SUNATAN
Memasuki liburan anak-anak, maka umumnya akan banyak juga anak lelaki yang akan sunatan. Ini nyaris jadi ritual liburan.
Dan biasanya ada beberepa orang tua yang membuat acara untuk menyambut anaknya yang sunatan tadi. Sebagian yang lain dengan memberi hantaran berupa makanan kepada tetangga dan kerabat.
Jika kita diundang, tentu sebisa mungkin menghadiri acaranya. Tetapi jika kita mendapatkan hantaran makanan, maka kita tentu akan berkunjung ke rumah anak itu. Anak-anaknya sendiri tak memusingkan apakah mereka dibuatkan acara, atau cukup dibuatkan hantaran. Karena apapun bentuknya mereka senang karena akan mendapat "kado" dari kerabat yang datang.
Kak Abil waktu sunatan, hampir bertepatan dengan perkawinannya mas Banu yang memang ditepatkan dengan masa liburan. Sebenarnya perhitungan kami, saat mas Banu menikah, Abil sudah sehat. Ternyata ada sedikit infeksi, sehingga pada hari pernikahan mas Banu, Abil hadir masih dengan "sarung"supitan.
Ini "menguntungkan" kak Abil, karena kerabat akhirnya tahu kalu Abil baru sunatan. Alhasil Abil juga banyak menerima "amplop" dari saudara-saudara yang hadir di perkawinannya mas Banu. Ini jadi lelucon sendiri, karena Abil jadi semacam pegantin bayangan, hehe.... Mas Banu dapat amlop, Abil dapat juga.
Kembali ke musim liburan musim sunatan, di RT kami saja, liburan kali ini ada 3 anak yang disunat, mas Dian, mas Erwin dan mas Galang. Konon mereka teman sepermainan, dan minta disunat pada masa liburan yang sama. Akhirnya ibu-ibu nyaris tiap minggu harus mendatangi anak-anak yang supitan tadi. Ini belum lagi dari anak-anak kerabat dan teman kantor yang supitan. Jadi, jika musim liburan tiba, selain mencadangkan dana untuk liburan, juga harus siapkan dana untuk supitan, hehe.......
Sabtu, 10 Januari 2009
HAKIM PA, KITA PUNYA UNDANG-UNDANG SELAIN UU 1/1974 DAN UU NO 3/2006 LHO.............
Beberapa hari yang lalu, lagi asyik-asyik makan duren dengan teman-teman kantor, tiba-tiba telpon berbunyi. Ternyata dari PSW UIN Yogyakarta.
"Mbak Lily, kita mau buat suatu project tentang putusan yang berbasis gender", kata mbak Ema ketua PSW.
"Ohya? bukannya program yang kemarin belum ditindaklanjuti?" aku coba mengingatkan beberapa project yang sepertinya haya habis di pelatihan-pelatihan aja.
"Itu sambil jalan dan kita harapkan dengan digabungnya project ini, semua bisa sinergi" lanjut mbak Ema yang ditambahi keterangan mbak Inayah.
"Oke...., kita atur waktu aja. Yang penting gak mengganggu jam kantor saya", saya ingin segera mengakhiri pembicaraan. Maklum tangan belepotan durian, sementara mau segera cuci tangan, eman-eman. Duriannya masih banyak!!!
Dalam benak saya, jika project ini benar-benar jalan, maka bisa menjadi otokritik bagi kami para hakim. Betapa selama ini hakim-hakim peradilan agama masih "terbelenggu" hanya dengan beberapa Undang-Undang dan peraturan yang ada. Sementara begitu banyak Undang-Undang yang sudah ditelurkan oleh pemerintah dan DPR tapi tak digunakan secara maksimal oleh teman-teman hakim PA. Artinya bukan hanya putusan yang mencerminkan gender saja, tapi juga dasar hukum dari beberapa putusan yang hanya "itu-itu mulu".
Sejujurnya, Undang-Undang dan peraturan yang selama ini dipakai oleh teman hakim adalah UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kemudian UU No 3 tahun 2006 tentang peradilan agama sebagai perubahan dari UU No 7 Tahun 1989, PP No 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam, dan beberapa isi kitab-kitab fiqhiyah.
Padahal masih banyak kita mengkombinasikan dan memanfaatkan selain UU dan peraturan di atas, misalnya:
1. UU Tentang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selama ini jika ada perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, hakim-hakim mendasari kepada pasal 19 (f) PP No 9 Tahun 1975 dan pasal 116 KHI huruf (f). Padahal ada peraturan yang bisa menyertai keputusan hakim itu, yaitu UU tentang Perlindungan KDRT. Dengan kita menarik UU ini sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan, maka semakin sempurnalah putusan itu. Hal ini tentunya jika dalam persoalan rumah tangga itu da unsur kekerasan fisik maupun psikis.
2. UU Tentang Perlindungan anak.
Tak jauh berbeda dengan perkara di atas, lagi-lagi hakim hanya menggunakan undang-undang di atas, padahal masih ada Undang-undang lain selain UU yang selama ini sekan-akan menjadi kitab sakti dalam pengambilan keputusan.
UU perlindungan anak ini bisa kita jadikan acuan dalam pertimbangan penentuan hak asuh anak (hadhonah). Dan yang jelas UU ini tidak bertentangan dengan kitab-kitab fiqhiyah yang selama ini seakn-akan menjadi acuan mutlak hakim-hakim dalam memutus perkara.
Sebenarnya masih banyak UU yang bisa dipedomani hakimPA dalam memutusperkara-perkara keluarga. Selain tentunya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang baru terbit sebagai peoman dalam memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah sebagai wewenang baru peradilan agama.
Marilah kita berbenah diri, memulai dari diri sendiri, memulai dari hal terkecil dan memulai dari sekarang seperti selama ini yang diajarkan oleh aa Gym.
"Mbak Lily, kita mau buat suatu project tentang putusan yang berbasis gender", kata mbak Ema ketua PSW.
"Ohya? bukannya program yang kemarin belum ditindaklanjuti?" aku coba mengingatkan beberapa project yang sepertinya haya habis di pelatihan-pelatihan aja.
"Itu sambil jalan dan kita harapkan dengan digabungnya project ini, semua bisa sinergi" lanjut mbak Ema yang ditambahi keterangan mbak Inayah.
"Oke...., kita atur waktu aja. Yang penting gak mengganggu jam kantor saya", saya ingin segera mengakhiri pembicaraan. Maklum tangan belepotan durian, sementara mau segera cuci tangan, eman-eman. Duriannya masih banyak!!!
Dalam benak saya, jika project ini benar-benar jalan, maka bisa menjadi otokritik bagi kami para hakim. Betapa selama ini hakim-hakim peradilan agama masih "terbelenggu" hanya dengan beberapa Undang-Undang dan peraturan yang ada. Sementara begitu banyak Undang-Undang yang sudah ditelurkan oleh pemerintah dan DPR tapi tak digunakan secara maksimal oleh teman-teman hakim PA. Artinya bukan hanya putusan yang mencerminkan gender saja, tapi juga dasar hukum dari beberapa putusan yang hanya "itu-itu mulu".
Sejujurnya, Undang-Undang dan peraturan yang selama ini dipakai oleh teman hakim adalah UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kemudian UU No 3 tahun 2006 tentang peradilan agama sebagai perubahan dari UU No 7 Tahun 1989, PP No 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam, dan beberapa isi kitab-kitab fiqhiyah.
Padahal masih banyak kita mengkombinasikan dan memanfaatkan selain UU dan peraturan di atas, misalnya:
1. UU Tentang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selama ini jika ada perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, hakim-hakim mendasari kepada pasal 19 (f) PP No 9 Tahun 1975 dan pasal 116 KHI huruf (f). Padahal ada peraturan yang bisa menyertai keputusan hakim itu, yaitu UU tentang Perlindungan KDRT. Dengan kita menarik UU ini sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan, maka semakin sempurnalah putusan itu. Hal ini tentunya jika dalam persoalan rumah tangga itu da unsur kekerasan fisik maupun psikis.
2. UU Tentang Perlindungan anak.
Tak jauh berbeda dengan perkara di atas, lagi-lagi hakim hanya menggunakan undang-undang di atas, padahal masih ada Undang-undang lain selain UU yang selama ini sekan-akan menjadi kitab sakti dalam pengambilan keputusan.
UU perlindungan anak ini bisa kita jadikan acuan dalam pertimbangan penentuan hak asuh anak (hadhonah). Dan yang jelas UU ini tidak bertentangan dengan kitab-kitab fiqhiyah yang selama ini seakn-akan menjadi acuan mutlak hakim-hakim dalam memutus perkara.
Sebenarnya masih banyak UU yang bisa dipedomani hakimPA dalam memutusperkara-perkara keluarga. Selain tentunya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang baru terbit sebagai peoman dalam memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah sebagai wewenang baru peradilan agama.
Marilah kita berbenah diri, memulai dari diri sendiri, memulai dari hal terkecil dan memulai dari sekarang seperti selama ini yang diajarkan oleh aa Gym.
http://bardij.multiply.com/journal/item/9/Ketemunya_si_anak_hilang
Liburan akhir tahun 2007, reuni penghuni asrama (al Hidayah) semasa kuliah di Yogyakarta dulu berlangsung cukup sukses.
Tidak mudah mengumpulkan seluruh penghuninya plus mas-mas penggagas dan pengurus asrama muslimah tersebut.
Butuh perjuangan cukup panjang. Berhubung profesiku ibu rumah tangga yang nota bene banyak nganggurnya kata orang (padahal jam kerjanya malah lebih dari 24 jam) maka ketiban tugaslah aku untuk ngurusi acara reuni itu. Yang jelas lebih banyak di rumahnya, bukan banyak nganggurnya.
Beruntung sekarang jamannya teknologi informasi. Mulai dari telepon rumah, sms, email, internet semuanya jadi pembantu aku yang cukup handal. Sehingga hampir 90% penghuni terlacak keberadaannya.
Satu penghuni yang bikin penasaran semua orang karena tidak diketahui dan tak seorangpun tahu. Nugroho Yekti, dimana kamuuuuu?!
Setelah hampir lebih 6 bulan sesudah reuni itu, suatu pagi aku ditelepon Lily.
"Mbak, percaya nggak kalau aku saat ini bersama mbak Yekti?"
Tentu saja aku percaya, berhubung Lily ini orangnya mobile banget. Gesit loncat sana loncat sini dari satu kota ke kota lain. Dalam benakku saat itu Lily berada di suatu kota dan bertemu dengan Yekti disana.
"Jadi kamu sekarang ada dimana?"
"Di jl Pof Johanes di belakang Galeria Mall"
Ternyata dugaanku salah. Lily ada di Yogya.
Ceritanya Yekti memang sedang ada di Yogya mencarikan sekolah untuk anaknya.
Pagi itu dia sedang sarapan soto di warung kaki lima pinggir jalan Prof Johanes. Sementara Lily yang baru selesai mengantarkan anak-anaknya sekolah juga sedang sarapan di warung yang sama. Maka ketemulah mereka disana.
Kalau Allah sudah berkehendak, tak perlu bantuan teknologi canggih ketemulah si anak hilang yang selama ini kami cari-cari.....di pinggir jalan!
Kalau kata arek Jawa Timur:"Ealaaah....ngglethek ae....ketemune nang pinggir ndalan".
Untuk Lilly, terimakasih atas jasanya menemukan Nugroho Yekti yang kita cari cari selama ini.
Tadi itu adalah cerita mbk Eva di blognya. Aku baru saja buka dan membacanya.
Rasanya memang gak menyangka kalau saya bisa ketemu mbak Yekti, karena saat mau reuni kami nyari kemana-mana, tapi gak ketemu juga.
Pagi itu, setelah antar anak-anak ke sekolah, saya mampir sarapan (nyaris tiap hari gak sempat sarapan di rumah, tapi anak-anak wajib sarapan, hehe)di soto ayam. Tiap hari soto ini pasti ramai, termasuk pagi ini. Aku sudah makan duluan, tiba-tiba masuk seorang ibu dan anaknya yang sudah berangkat dewasa. "Ah....rasanya wajah ini tak asing" pikirku. Walau jelas guratan ketuaan sudah mulai ada.
Aku melihat sepintas, dan kebetulan mbak Yekti juga memandangku, "mbak Yekti ya?" aku nekat aja. Dan ternyata benar. Kamipun asyik bercerita, mengkilas balik hidup setelah tinggalkan alhidayah. Mbak Yekti sekarang tinggal di Balikpapan, dan membuka resto, Jauh dari disiplin ilmu yang digelutinya semasa kuliah di MIPA UGM.
Tidak mudah mengumpulkan seluruh penghuninya plus mas-mas penggagas dan pengurus asrama muslimah tersebut.
Butuh perjuangan cukup panjang. Berhubung profesiku ibu rumah tangga yang nota bene banyak nganggurnya kata orang (padahal jam kerjanya malah lebih dari 24 jam) maka ketiban tugaslah aku untuk ngurusi acara reuni itu. Yang jelas lebih banyak di rumahnya, bukan banyak nganggurnya.
Beruntung sekarang jamannya teknologi informasi. Mulai dari telepon rumah, sms, email, internet semuanya jadi pembantu aku yang cukup handal. Sehingga hampir 90% penghuni terlacak keberadaannya.
Satu penghuni yang bikin penasaran semua orang karena tidak diketahui dan tak seorangpun tahu. Nugroho Yekti, dimana kamuuuuu?!
Setelah hampir lebih 6 bulan sesudah reuni itu, suatu pagi aku ditelepon Lily.
"Mbak, percaya nggak kalau aku saat ini bersama mbak Yekti?"
Tentu saja aku percaya, berhubung Lily ini orangnya mobile banget. Gesit loncat sana loncat sini dari satu kota ke kota lain. Dalam benakku saat itu Lily berada di suatu kota dan bertemu dengan Yekti disana.
"Jadi kamu sekarang ada dimana?"
"Di jl Pof Johanes di belakang Galeria Mall"
Ternyata dugaanku salah. Lily ada di Yogya.
Ceritanya Yekti memang sedang ada di Yogya mencarikan sekolah untuk anaknya.
Pagi itu dia sedang sarapan soto di warung kaki lima pinggir jalan Prof Johanes. Sementara Lily yang baru selesai mengantarkan anak-anaknya sekolah juga sedang sarapan di warung yang sama. Maka ketemulah mereka disana.
Kalau Allah sudah berkehendak, tak perlu bantuan teknologi canggih ketemulah si anak hilang yang selama ini kami cari-cari.....di pinggir jalan!
Kalau kata arek Jawa Timur:"Ealaaah....ngglethek ae....ketemune nang pinggir ndalan".
Untuk Lilly, terimakasih atas jasanya menemukan Nugroho Yekti yang kita cari cari selama ini.
Tadi itu adalah cerita mbk Eva di blognya. Aku baru saja buka dan membacanya.
Rasanya memang gak menyangka kalau saya bisa ketemu mbak Yekti, karena saat mau reuni kami nyari kemana-mana, tapi gak ketemu juga.
Pagi itu, setelah antar anak-anak ke sekolah, saya mampir sarapan (nyaris tiap hari gak sempat sarapan di rumah, tapi anak-anak wajib sarapan, hehe)di soto ayam. Tiap hari soto ini pasti ramai, termasuk pagi ini. Aku sudah makan duluan, tiba-tiba masuk seorang ibu dan anaknya yang sudah berangkat dewasa. "Ah....rasanya wajah ini tak asing" pikirku. Walau jelas guratan ketuaan sudah mulai ada.
Aku melihat sepintas, dan kebetulan mbak Yekti juga memandangku, "mbak Yekti ya?" aku nekat aja. Dan ternyata benar. Kamipun asyik bercerita, mengkilas balik hidup setelah tinggalkan alhidayah. Mbak Yekti sekarang tinggal di Balikpapan, dan membuka resto, Jauh dari disiplin ilmu yang digelutinya semasa kuliah di MIPA UGM.
KATA SIAPA GUNUNG KIDUL GERSANG?
Perjalanan menuju wonosari adalah perjalanan menyenangkan, jalan tidak monoton dan lurus. Jalan dari Yogyakarta menuju Wonosari adalah jalan berliku dan menanjak, membuat sensasi bagi anak-anak. Ketika masih di bawah, mereka bisa melihat kendaraan di atas gunung yang berjalan merangkak mengitari gunung, dan ketika di atas bisa melihat pemandanga Yogya dari atas bukit.
Jangan pernah berpikir bahwa Wonosari daerah gersang, tapi sekarang di tiap jengkal tanah sudah menghijau, menandakan kesubran. (Entah karena saat ini musim hujan ya?), tapi yang jelas hamparan hijau yang menunjukkan kesejukan menyertai perjalanan keluarga melewati Wonosari.
Lain kita, lain papa. Papa bicara tentang keperdulian pemerintah sehingga pada masa tertentu menggelontorkan bantuan bla...bla...bla....sehingga mengangkat Wonosari dari daerah gersang dan tertinggal, menjadi Wonosari yang hijau royo-royo. Ini bisa dilihat dari hal yang nyata di dalam perjalanan kita, banyak kendaraan dari dan menuju Wonosari. Ini menunjukkan Wonosari layak dikunjungi, bla...bla...bla....
Kami hanya banyak mendengar cerita papa, karena kami minus ilmu tentang ekonomi. Yang kami tahu, sekarang Gunung Kidul ijo royo-royo....... Udara yag dihiruppun segaaaarrrr.
PILIHAN PAHIT UNTUK MERASAKAN MANIS
"Saya berbuat salah berselingkuh, agar saya bisa berpisah dengan suami saya", ini pengakuan Suprapti, seorang wanita matang, berusia 58 tahun dan telah dikaruniai 5 anak dan beberapa cucu.
Rasanya terlalu naif jika ini dilakukan oleh Suprapti, dimana dengan status hajjah (yag oleh sebagian kita memaknai sebagai "orang alim") melakukan hal demikian. Belum lagi dengan status sosialnya, istri mantan pejabat BUMN yang terkenal berlimpah materi.
Saya tertegun, dan mungkin majelis yang lain juga demikian. Terlalu mahal harga yag Suprapti bayar untuk bisa melepaskan diri dari ikatan suaminya. Apalagi teman selingkuhnya status sosialnya (maaf) lebih rendah dibanding suaminya. Belum lagi anak-anak serta cucu yang mengharapkan mereka menjadi keluarga yang bahagia sampai akhir hayat, mengingat umur Suprapti dan Suprapto yang tidak muda lagi.
Lalu kenapa Suprapti melakukan ini semua?
Tadi itu kacamata kita, hitung-hitungan kita yang nota benenya orang lain. Orang yang tak merasakan apa yang dirasakan Suprapti. Suprapti punya banyak alasan, dan merasa apa yang dilakuan bukanlah kekonyolan, tapi adalah sikap untuk tetap eksis sebagai perempuan.
Suprapti merasakan selama berumah tangga, walau disiram dengan materi yang cukup, tapi materi itu tak punya ruh kemesraan. Materi itu hanya bagaikan minyak untuk menjalankan mesin. Dia tak punya sentuhan kasih yang merengkuh hati Suprapti. Suprapti selama ini hanyalah mesin, bukan jiwa yang dilindungi dan dikasihi.
Perasaan itu dipendam selama 30 tahun, dan ketika anak-anak sudah besar dan berkeluarga, Suprapti merasaka sudah saatnya ia memiliki cinta dan dicintai. Dan untuk itu semua Suprapti memilih untuk melepaskan diri dari belenggu kekeringan cinta, walau harus melakukan hal yang salah. "Ini pilihan pahit untuk merasakan manis" alasan Suprapti.
Rasanya terlalu naif jika ini dilakukan oleh Suprapti, dimana dengan status hajjah (yag oleh sebagian kita memaknai sebagai "orang alim") melakukan hal demikian. Belum lagi dengan status sosialnya, istri mantan pejabat BUMN yang terkenal berlimpah materi.
Saya tertegun, dan mungkin majelis yang lain juga demikian. Terlalu mahal harga yag Suprapti bayar untuk bisa melepaskan diri dari ikatan suaminya. Apalagi teman selingkuhnya status sosialnya (maaf) lebih rendah dibanding suaminya. Belum lagi anak-anak serta cucu yang mengharapkan mereka menjadi keluarga yang bahagia sampai akhir hayat, mengingat umur Suprapti dan Suprapto yang tidak muda lagi.
Lalu kenapa Suprapti melakukan ini semua?
Tadi itu kacamata kita, hitung-hitungan kita yang nota benenya orang lain. Orang yang tak merasakan apa yang dirasakan Suprapti. Suprapti punya banyak alasan, dan merasa apa yang dilakuan bukanlah kekonyolan, tapi adalah sikap untuk tetap eksis sebagai perempuan.
Suprapti merasakan selama berumah tangga, walau disiram dengan materi yang cukup, tapi materi itu tak punya ruh kemesraan. Materi itu hanya bagaikan minyak untuk menjalankan mesin. Dia tak punya sentuhan kasih yang merengkuh hati Suprapti. Suprapti selama ini hanyalah mesin, bukan jiwa yang dilindungi dan dikasihi.
Perasaan itu dipendam selama 30 tahun, dan ketika anak-anak sudah besar dan berkeluarga, Suprapti merasaka sudah saatnya ia memiliki cinta dan dicintai. Dan untuk itu semua Suprapti memilih untuk melepaskan diri dari belenggu kekeringan cinta, walau harus melakukan hal yang salah. "Ini pilihan pahit untuk merasakan manis" alasan Suprapti.
HANYA ADA SATU PARTAI DI PACITAN (???)
"Di Pacitan hanya ada satu partai" ini seloroh papa. Bagaimana tidak, sepanjang jalan mulai masuk Pacitan dari Wonogiri, sepanjang jalan hanya ada gambar Partai Demokrat. Itupun hanya gambar caleg Edi Baskoro Yudhoyono. Ini tentu sangat berbeda dengan di daerah lain dimana sangat beragam dan warna-warni spanduk dan Baliho yang dipasang berbagai macam partai.
Akhirnya memasuki Pacitan kami ngobrol tentang Partai Demokrat dan masyarakat Pacitan, khususnya wilayah Punung tempat asal presiden SBY.Yang intinya rasanya "tidak mungkin" jika masyarakat Pacitan tidak menginginkan putra daerahnya menjadi RI 1. Makanya bisa disebut "pembangkang" jika tak menjagokan SBY. Ini semua hanya diskusi internal kami, Kakak sepertinya asyik juga nimbrung, apalagi perbedaan mencolok di kondisi jalan antara Wonogiri dan Pacitan. Jalan di Pacitan "lus mulus", sementara jalan di Wonogiri masih di bawah kondisi jalan di Pacitan.
Kakak asyik diskusi, mbak Aya dan adek asyik "menghitung" baliho, spanduk caleg Edi Baskoro yang sampai kami memasuki jalan menuju gua tabuhan tak ada tandingannya, atau istilah orang Ambon:"seng ada lawaaaaaaan", hehe.
Langganan:
Postingan (Atom)