Rabu, 21 Januari 2009

PAPI TELAH MENGAJARKAN UNTUK TIDAK MENERIMA SUAP.

Godaan pada hakim memang begitu derasnya. Khususnya godaan untuk menerima "hadiah", yang tentunya ujung-ujungnya untuk mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan.Jika hakim itu tak mampu bertahan,maka akan hanyut oleh derasnya godaan itu. Dan jika sudah hanyut sangat sulit untuk menepi dan kembali.

Alhamdulillah, atas didikan papi (terima kasih papi, ajaran papi begitu mengakar ke Lily), godaan-godaan itu bisa ditepis. Sebagai hakim, tentu pernah ditawari berbagai "hadiah"yang nilainya tidak sedikit. Bahkan pernah saya akhirnya harus bersikap keras ke teman kuliah karena mencoba menawarkan negosiasi atas perkara yang lagi saya tangani.

Sejak kecil, saat masih SD, papi telah "mengajarkan" untuk tidak menerima pemberian orang lain yang punya tendensi tertentu. Ajaran ini sengaja papi tanamkan pada mami dan anak-anak, karena papi yakin, orang-orang yang ingin menyuap, akan menyerang keluarga yang lain jika papi tidak bisa disuap. Posisi papi memang sangat potensial untuk menerima pemberian-pemberian orang, utamanya ha-hal yang berkaitan dengan penerimaan pegawai/guru.

Dan ini terbukti, saya waktu SD pernah "diberi" amplop yang sangat tebal, serta merta saya yang masih kecil menolak pemberian orang tersebut.Dan beberapa peristiwa yang kesemuanya menempa kami untuk tak silau dengan godaan-godaan seperti itu.

Bahkan, ada satu peristiwa yang sebagai manusia biasa saya pun haru. Ini terjadi setelah kami beranjak dewasa, dan saat itu sebagai kakanwil. Seorang tua dari kampung yang sangat jauh dari Manado. Sengaja datang ke rumah, membawa singkong dan pisang. Sebagai rasa syukur karena papi telah menolong anaknya menjadi PNS. Selama ini anaknya yang pintar, selalu diterima sebagai PNS, tetapi dalam proses pengusulan, selalu diganti oleh orang lain. Akhirnya anaknya gagal menjadi PNS.Konon ini dilakukan oleh oknum pada masa kakanwil sebelum papi.

Mengetahui hal tersebut, papi yang memang betul-betul fair dalam perekrutan pegawai, mengangkat anak bapak tua tadi. Dan sebagai orang yang tak punya apa-apa, maka singkong dan pisang dari hasil kebun dibawa ke rumah. Jerih payah orang itu diterima papi, tapi papi menolak untuk menerima pemberian. Bapak tadi sampai mohon pada papi agar menerima rasa syukurnya dengan menerima oleh-olehnya tadi. Bahkan bapaknya mengaku jika oleh-olehnya tadi tidak diterima, maka hanya menjadi beban baginya untuk dibawa kembali ke kampung.

Papi bersikeras tak mau menerima, dan menawarkan jika bawaan tadi menjadi beban, maka orang tua tadi akan diantarkan sopir pulang ke kampung sambil membawa singkong dan pisang yang dibawakan untuk kami.

Tadi, saat sidang, tiba-tiba kami disodori kotak kue. Rasanya jumlah tak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar 6 kotak. Tentu "cukup" untuk majelis yang berjumlah 3 orang dan 1 orang, tapi serta merta kami tolak. Jika dilihat dari bentuk, tentu "harga" kotak-kotak kue tadi belumlah layak dikatakan gratifikasi sebagaimana didengungkan oleh KPK. Tapi kami memang menolak bentuk pemberian sekecil apapun, karena tak ingin meracuni perilaku kami.

Tanpa diajarkan KPK, sejak kecil pun, papi telah mengajarkan kami untuk menerima pemberian yang punya tendensi apapun. Di balik itu, papi pernah sangat menghargai bentuk pemberian dari sahabatnya, berupa kacang-kacang yang dibungkus kecil-kecil. Bahkan papi pernah senang sekali menerima pemberian "kaos golkar" sebagai barang terbaik yang dimiliki sahabatnya. Walau dalam hati papi:"Saudaraku....setiap masa kampanye saya membuat kaos seperti ini dalam jumlah banyak".

Terima kasih papi......ajaran papi tentang suap begitu melekat. Mohon doa, kedepannya tetap melekat dan bisa menyebar ke teman-teman yang masih agak kompromi karena mau menerima suap.

1 komentar:

Adhitya mengatakan...

Ah masak sih tidak menerima suap? walau lagi sakit nggak minta disuapin ya. Di infus dung... hehehe