Sabtu, 10 Januari 2009

HAKIM PA, KITA PUNYA UNDANG-UNDANG SELAIN UU 1/1974 DAN UU NO 3/2006 LHO.............

Beberapa hari yang lalu, lagi asyik-asyik makan duren dengan teman-teman kantor, tiba-tiba telpon berbunyi. Ternyata dari PSW UIN Yogyakarta.
"Mbak Lily, kita mau buat suatu project tentang putusan yang berbasis gender", kata mbak Ema ketua PSW.
"Ohya? bukannya program yang kemarin belum ditindaklanjuti?" aku coba mengingatkan beberapa project yang sepertinya haya habis di pelatihan-pelatihan aja.

"Itu sambil jalan dan kita harapkan dengan digabungnya project ini, semua bisa sinergi" lanjut mbak Ema yang ditambahi keterangan mbak Inayah.
"Oke...., kita atur waktu aja. Yang penting gak mengganggu jam kantor saya", saya ingin segera mengakhiri pembicaraan. Maklum tangan belepotan durian, sementara mau segera cuci tangan, eman-eman. Duriannya masih banyak!!!

Dalam benak saya, jika project ini benar-benar jalan, maka bisa menjadi otokritik bagi kami para hakim. Betapa selama ini hakim-hakim peradilan agama masih "terbelenggu" hanya dengan beberapa Undang-Undang dan peraturan yang ada. Sementara begitu banyak Undang-Undang yang sudah ditelurkan oleh pemerintah dan DPR tapi tak digunakan secara maksimal oleh teman-teman hakim PA. Artinya bukan hanya putusan yang mencerminkan gender saja, tapi juga dasar hukum dari beberapa putusan yang hanya "itu-itu mulu".

Sejujurnya, Undang-Undang dan peraturan yang selama ini dipakai oleh teman hakim adalah UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kemudian UU No 3 tahun 2006 tentang peradilan agama sebagai perubahan dari UU No 7 Tahun 1989, PP No 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam, dan beberapa isi kitab-kitab fiqhiyah.

Padahal masih banyak kita mengkombinasikan dan memanfaatkan selain UU dan peraturan di atas, misalnya:
1. UU Tentang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selama ini jika ada perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, hakim-hakim mendasari kepada pasal 19 (f) PP No 9 Tahun 1975 dan pasal 116 KHI huruf (f). Padahal ada peraturan yang bisa menyertai keputusan hakim itu, yaitu UU tentang Perlindungan KDRT. Dengan kita menarik UU ini sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan, maka semakin sempurnalah putusan itu. Hal ini tentunya jika dalam persoalan rumah tangga itu da unsur kekerasan fisik maupun psikis.

2. UU Tentang Perlindungan anak.
Tak jauh berbeda dengan perkara di atas, lagi-lagi hakim hanya menggunakan undang-undang di atas, padahal masih ada Undang-undang lain selain UU yang selama ini sekan-akan menjadi kitab sakti dalam pengambilan keputusan.
UU perlindungan anak ini bisa kita jadikan acuan dalam pertimbangan penentuan hak asuh anak (hadhonah). Dan yang jelas UU ini tidak bertentangan dengan kitab-kitab fiqhiyah yang selama ini seakn-akan menjadi acuan mutlak hakim-hakim dalam memutus perkara.

Sebenarnya masih banyak UU yang bisa dipedomani hakimPA dalam memutusperkara-perkara keluarga. Selain tentunya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang baru terbit sebagai peoman dalam memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah sebagai wewenang baru peradilan agama.

Marilah kita berbenah diri, memulai dari diri sendiri, memulai dari hal terkecil dan memulai dari sekarang seperti selama ini yang diajarkan oleh aa Gym.

Tidak ada komentar: