Rabu, 28 Januari 2009

ETIKA BERACARA DI PERSIDANGAN

Berbicara etika,memang tidak ada peraturan baku, apalagi etika dalam persidangan. Sebagaimana interaksi kita dengan sesama, maka seyogyanya dalam persidangan juga ada etika-etika yang dipenuhi. Dan seyogyanya pula, etika dalam persidangan tidak jauh berbeda dengan etika-etika yang lain, hanya bedanya dalam persidangan posisi hakim adalah sentral, sehingga banyak hal yang tolak ukurnya adalah hakim.

Maksudnya, karena hakim yang mengendalikan persidangan, maka tata laksananya, cenderung mengikuti hakim.Tetapi ada hal-hal umum yang berlaku universal, termasuk juga di dalam persidangan.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian sebagai etika jika kita beracara di persidangan.Karena jika hal-hal demikian dilanggar, maka bisa dikatagorikan sebagai "penghinaan terhadap lembaga peradilan".

1. PERILAKU/ SIKAP
Sebaiknya berperilaku sopan. Siapapun yang berperilaku sopan pasti akan dihormati, termasuk hakim akan menghormati. Kita sering mendengar hakim menegur menegur terdakwa atau pihak-pihak dalam persidangan jika hakim menilai sikap-sikap yang ditunjukkan kurang beretiket.
Siapapun orangnya, entah petinggi negera, entah rakyat biasa, jika dalam persidangan menunjukkkan sikap yang kurang baik, maka hakim akan segera menegur dan meminta orang tersebut untuk berperilaku sopan.

Saya pernah menegur seorang Penggugat, karena dalam persidangan ketika hakim memeriksa saksi, Penggugat justru sibuk mematut-matutkan diri. Sibuk membenahi rambutnya, dan ini nyaris terus menerus.Saya menilai Penggugat tersebut tidak memperhatikan jalannya persidangan. Padahal pada akhirnya hakim akan mengkonfirmasi keterangan saksi dengan Penggugat.

2. BERPAKAIAN
Dalam perkara pidana, para terdakwa berpakaian putih. Sedangkan dalam perkara perdata, hal ini tidak diatur. Tetapi tentunya tidak berpakaian yang seronok dan tidak sopan. Untuk wanita tentu jika berpakaian, tidak perlu dengan belahan dada yang terlalu lebar, dan rok yang tidak terlalu mini. Karena posisi duduknya akan berhadap-hadapan, dan jika memakai pakaian yang "minimalis", maka untuk sebagian hakim ini tidak nyaman. Dan untuk laki-laki, sebaiknya tidak menggunakan kaos oblong. Pakailah kemeja dan celana yang rapi. Kenakan sepatu, bukan sendal jepit.
Hakim, jaksa dan pengacara saja dalam persidangan pidana wajib menggunakan toga, sedangkan pengacara dalam perkara perdata selalu datang menggunakan dasi, tentu ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap proses persidangan.

Pernah dalam satu perkara, saya mendapati salah satu pihak datang dengan jalan terseok-seok dan kemeja batik yang sepertinya ukurannya kurang pas untuk digunakan. Saya mencoba menanyakan, apakah Penggugat tersebut dalam keadaan sakit, karena jalan tadi terseok-seok. Dan pertanyaan saya dijawab bahwa Penggugat memakai sepatu dan kemeja batik pinjaman, karena sebagai buruh tani tidak punya sepatu dan tidak bisa menggunakan sepatu. Sebagai hakim, saya haru, karena ini bentuk kesadarannya untuk menghormati institusi pengadilan, walau harus mengorbankan diri meminjam dan menggunakan sepatu.

3. TUTUR KATA.
Sering kita mendengar pihak-pihak yang berperkara menyebut hakim sebagai :"Yang Mulia". Itu semua kita kembalikan pada yang bersangkutan, walau hakim tak meminta penyebutan demikian. Tetapi sebaliknya juga, tentu tidak juga menggunakan kata-kata yang tidak ada tempatnya dengan menyebut "kamu, sampeyan" dan semacamnya.

Untuk pihak-pihak yang sering beracara di pengadilan, seperti pengacara sudah telatih untuk berkata demikian, walau kadang di antara mereka juga ada gesekan-gesekan kepentingan, tetapi tetap menjaga tutur kata yang baik.

Pernah ada pihak yang beracara, sudah tua dan (maaf) kurang berpendidikan. Bapak ini mungkin tahunya semua yang ada di lembaga peradilan adalah jaksa. Maka setiap persidangan memanggil hakim dengan: "bu jekso dan pak jekso". Tapi ini oleh hakim sangat dimaklumi,karena keterbatasan pengetahuan dari yang bersangkutan.

Ketika hal di atas, adalah hal-hal normatif yang seyogyanya dilaksanakan, tetapi bukan juga sebagai aturan yang mengkerangkeng kita untuk bertindak. Bukan juga sebagai hukum yang kaku, tetapi anggaplah ini sebagai tatakrama yang sebaiknya dilaksanakan.

Tidak ada komentar: