"Saya berbuat salah berselingkuh, agar saya bisa berpisah dengan suami saya", ini pengakuan Suprapti, seorang wanita matang, berusia 58 tahun dan telah dikaruniai 5 anak dan beberapa cucu.
Rasanya terlalu naif jika ini dilakukan oleh Suprapti, dimana dengan status hajjah (yag oleh sebagian kita memaknai sebagai "orang alim") melakukan hal demikian. Belum lagi dengan status sosialnya, istri mantan pejabat BUMN yang terkenal berlimpah materi.
Saya tertegun, dan mungkin majelis yang lain juga demikian. Terlalu mahal harga yag Suprapti bayar untuk bisa melepaskan diri dari ikatan suaminya. Apalagi teman selingkuhnya status sosialnya (maaf) lebih rendah dibanding suaminya. Belum lagi anak-anak serta cucu yang mengharapkan mereka menjadi keluarga yang bahagia sampai akhir hayat, mengingat umur Suprapti dan Suprapto yang tidak muda lagi.
Lalu kenapa Suprapti melakukan ini semua?
Tadi itu kacamata kita, hitung-hitungan kita yang nota benenya orang lain. Orang yang tak merasakan apa yang dirasakan Suprapti. Suprapti punya banyak alasan, dan merasa apa yang dilakuan bukanlah kekonyolan, tapi adalah sikap untuk tetap eksis sebagai perempuan.
Suprapti merasakan selama berumah tangga, walau disiram dengan materi yang cukup, tapi materi itu tak punya ruh kemesraan. Materi itu hanya bagaikan minyak untuk menjalankan mesin. Dia tak punya sentuhan kasih yang merengkuh hati Suprapti. Suprapti selama ini hanyalah mesin, bukan jiwa yang dilindungi dan dikasihi.
Perasaan itu dipendam selama 30 tahun, dan ketika anak-anak sudah besar dan berkeluarga, Suprapti merasaka sudah saatnya ia memiliki cinta dan dicintai. Dan untuk itu semua Suprapti memilih untuk melepaskan diri dari belenggu kekeringan cinta, walau harus melakukan hal yang salah. "Ini pilihan pahit untuk merasakan manis" alasan Suprapti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar