Sabtu, 31 Januari 2009

INI ANAKKU, INI ANAKKU JUGA!!!!!


"Ini anakku" singkat Suprapti berkata.
"Ini anakku juga", tak kalah sengit Suprapto menukas.
Setelah itu semua diam, maklum sang hakim sebagai mediator juga diam dan hanya memandang kedua suami istri. Mereka tentunya berharap ada "pembelaan" atas daih-dalih sebelumnya yang mereka telah beberkan pada sang mediator. Dan kalimat di atas adalah klimaks dari perebutan anak yang coba diselesaikan oleh mediator sebelum perkara ini di periksa dalam proses pengadilan.

Andai anak boleh memilih, tentu mereka akan memilih Suprapto dan Suprapti sebagai ibu dan bapak yang akan mendidik dan mengasuh mereka. Ketika mereka bangun, ada keduanya di dalam rumah yang penuh kedamaian, dan jika mereka beranjak tidur, kedua orang tuanya menemani mereka sampai mata tertutup dan terbuai mimpi.

Tapi apa hendak dikata, itu hanya keinginan anak. Keinginan Suprapto dan Suprapti berbeda. Perpisahan telah menjadi pilihan mereka, yang embel-embelnya anak bukan hanya menjadi korban, tetapi kemudian menjadi obyek perselisihan.

Jika kemudian terjadi perebutan hak asuh anak, maka dalam hukum negara kita secara tegas-tegas menyatakan bahwa semuanya "demi kepentingan dan kemaslahatan anak" . Dan ini bisa diartikan juga, bukan kepentingan kedua orang tua.

Dalam UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 14 menyebutkan: "Setiap anak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir"

Demikian juga dalam pasal 41 huruf (a) UU No 1 Tahun 1974 menyebutkan: "Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberikan keputusan.

Setiap menghadapi masalah hak pengasuhan anak, baik dalam mediasi maupun perdamian dalam sidang, saya selalu berusaha menekankan pada pihak-pihak yang bersengketa, untuk mengutamakan kepentingan anak, bukan kepentingan diri sendiri.

Misalnya, pernah ada Suprapto yang lain, yang menginginkan hak asuh anak jatuh padanya, dengan dalih bahwa Suprapti istrinya tidak bisa mendidik anak, dan mempunyai perilaku yang kurang baik. Tentu jika alasan ini yang dipakai, maka hak asuh anak bisa jatuh ke suaminya (Suprapto). Tapi ketika melihat anak itu masih kecil, dan masih menyusui, hanya satu pertanyaan saya pada Suprapto: "Apakah saudara bisa menggantikan peran Suprapti menyusui anak ini?". Suprapto hanya terdiam, kemudian mengurungkan niatnyamengasuh anak, sampai anak tersebut selesai masa menyusui.

Dalam hukum, jelas sekali bahwa anak yang di bawah umur, maka pengasuhan ada di tangan ibunya, dan bapak mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah. Kemudian Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa, anak-anak yang setelah mumayiz, berhak memilih hadhonah apakah bapaknya atau ibunya (pasal 156 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam) Tetapi semuanya tentu atas pertimbangan demi kepentingan anak.

Maka, pernah dalam satu perkara kami majelis hakim menolak permohonan saudara suami untuk menjadi wali dari seorang anak, sebutlah Fulan, tetapi tidak juga menetapkan ibunya sebagai wali dari si Fulan. Pertimbangan majelis, bahwa jika hakim menerima permohonan wali dari saudara dari sang bapak (Suprapto) yang sudah meninggal, tentu bertentangan dengan UU karena masih ada ibu (Suprapti) yang berhak, tetapi jika menetapkan Suprapti yang mengasuh, tentu akan membuat "goncangan psikologis" bagi si Fulan yang selama ini dalam asuhan keluarga suaminya.

Secara singkat kasusnya: Suprapto dan Suprapti bercerai dan mempunyai seorang anak yang masih kecil bernama Fulan. Setelah perceraian, dan atas kesepakatan bersama, Fulan diasuh dan dipelihara oleh Suprapto. Tak berapa lama setelah bercerai, Suprapto meninggal dunia. Fulan kemudian tinggal dan dipelihara oleh kakak dan bapaknya Suprapto (pak de dan kakek Fulan)

Karena pakde dan kakek Fulan merasa mereka memelihara Fulan tanpa dasar hukum, utamanya juga tentang hak pensiun yang diterima Fulan, mereka mengajukan permohonan perwalian terhadap Fulan. Tentu Suprapti keberatan dengan upaya yang dilakukan oleh keluarga Suprapto. Suprapti merasa dirinyalah yang lebih berhak mengasuh Fulan sepeninggal Suprapto.

Tetapi dalam persidangan majelis melihat bahwa Fulan lebih merasa nyaman dan tenang tinggal di lingkungan keluarga bapaknya. Dan jika Fulan harus berpindah ke asuhan ke Suprapti, maka Fulan akan merasa tercabik dari lingkungan yang selama ini mengayominya. Tentu ini akan menyebabkan goncangan psikologis bagi Fulan, apalagi baru saja ditinggal oleh bapak yang selama ini mengasuhnya.

Majelis juga berpendapat bahwa ibunya (Suprapti) bukan orang yang tidak tepat untuk mengasuh Fulan, tetapi keluarga bapaknya juga bukan lebih berhak mengasuh Fulan. Tetapi demi kepentingan Fulan, dimana selama ini diasuh oleh keluarga bapaknya, maka majelis menolak permohonan kakak Suprapto, tetapi majelis juga tidak menetapkan Suprapti yang memegang hak asuh dari Fulan. Artinya saat putusan itu dijatuhkan, status Fulan adalah "status quo" dalam asuhan keluarga bapaknya, tanpa naungan hukum.Hingga saatnya Fulan tiba masa mumayiz dan akan menentukan pilihan. Hal ini diputuskan majelis adalah mengutamakan kepentingan Fulan (khususnya kepentingan sosial dan psikologis) kemudian mempertimbangkan aspek hukumnya.Atas putusan ini, kedua pihak dapat menerima, dan tidak mengajukan banding.

Andai setiap orang tua yang menghadapi masalah hak asuh anak pasca perceraian menyadari ini, maka tentu kata-kata: "Ini anakku, Ini anakku juga" tak akan terjadi, tapi akan muncul kata-kata: "Ini anak kita, janganlah kita korbankan anak kita karena kepentingan kita. Mari kita asuh dan rawat bersama anak kita ini".





2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ibu...bagaimana saya bisa ngobrol langsung dengan ibu..? email saya mocca_moe2@yahoo.co.id
mohon mnta bantuannya bu...

Anonim mengatakan...

Ibu...bagaimana saya bisa ngobrol langsung dengan ibu..? email saya mocca_moe2@yahoo.co.id
mohon mnta bantuannya bu...